Nama lengkapnya panjang sekali. Teguh Budisantosa Resik Bawa Laksana. Tentu tidak seorangpun dari saudara dan kawan-kawannya pernah memanggilnya dengan lenqkap. Untuk menghemat napas kami setuju untuk memanggilnya cukup dengan Mas Guh saja. Dia adalah ipar dari sepupu mertua perempuan saya.
Orang Jawa, yang kadang-kadang memang ruwet sistem kekerabatannya, tidak terlalu mementing-
kan lagi bagaimana orang seperti Mas Guh itu mesti didudukkan dalam bagan pohon kekerabatan kami. Maksud saya bagaimana Mas Guh itu seharusnya dipanggil. Mestikah saya dan istri saya memanggilnya dengan Om, Pakde, Paklik, atau bagaimana. Dan anak-anak kami mesti memanggilnya
dengan Eyang atau mBah Guh? Oh, repot.
Yang bernama Mas Guh itu masih muda. Baru kira-kira empat puluh lima tahun umurnya. Tinggi semampai, gagah, rambut berombak, kulit cokelat matang, matanya serasa, mau membujuk. Lha, mulutnya, begitu sensuous-nya. Kalau menurut anak saya, si Gendut, Oom Guh itu hensem, tubuhnya sangat body, dan senyumnya seperti Robert Redford kayak mau menahan sakit tetapi nggak jadi. Ya sudah. Bagaimana lalu mesti dipanggil Teguh Budisantosa etc., itu!
Maka kembalilah kami serumah memanggilnya dengan Mas Guh dan bagi anak-anak Om Guh.
"Ah, sing penting dia itu sedulur dewek. Sing luwih penting lagi kabeh sedulur kudu rukun." Dan ternyata kesediaan keluarga Mas Guh untuk berukun-rukun itu juga diperluas dengan sifatnya yang luwes, soepel, suka berhandai-handai dengan anggota jaringan keluarga yang mana saja, dan yang lebih penting lagi, Mas Guh itu juga amat murah hati. Loma bin blaba. Setiap tarikan arisan keluarga atau rapat trah di rumahnya selalu didatangi lengkap oleh semua anggota. Menunggu kedatangan hari-H arisan itu seperti, menunggu datangnya satu pesta perayaan kawin perak saja. Habis bagaimana tidak begitu. Untuk arisan begitu-saja keluarga Mas Guh pesan dari catering yang terbaik di kota. Dan jumlahnya selalu berlimpah hingga kami yang datang semua selalu mendapat pembagian oleh-oleh sisa makanan arisan itu. Untuk anggota jaringan trah kawulo negeri yang jarang menikmati kemewahan seperti itu tentulah kesempatan seperti itu welkom. Lha, untuk anak-anak remaja putri kesempatan arisan di rumah Mas Guh itu juga merupakan kesempatan yang bagus untuk menguras isi pakaian anak-anak remaja putri mereka. Entah bagaimana, setiap arisan begitu kok selalu saja ada lemari remaja putri yang siap sedia untuk dikuras lho. Mungkin barhari-hari sebelumnya Mas Guh anak-beranak memang sudah membuat inventaris pakaian anak-anaknya. Mana yang dapat dilepas tetap tinggal di lernari. Sedang yang masih baru, maksudnya baru - dari Hongkong atau Singapore disimpan di lemari lain. (Ah, tetapi ini tentulah imaji saya saja).
Apa pun pokoknya, arisan di keluarga Mas Guh adalah hari yang menyenangkan buat kebanyakan anak-anak perempuan anggota trah. Tetapi juqa buat ibu-ibu anggota trah. Kalau pada arisan-arisan lain kesempatan kumpul begitu dipakai untuk saling menjajakan dagangan dan pinjam-.
meminjam uang, tidak pada arisan di rumah Mas Guh. Di rumah itu, arisan itu berfungsi sebagai Bank Dunia. Ibu-ibu akan datang kepada Mas Guh beserta Ibu, yang akan, dengan penuh simpati, mendengarkan proposal pembangunan yang canggih yang tidak tertulis itu. Biasanya setiap proposal itu gol, diluluskan, tanpa bunga, tanpa batas waktu. Bank Dunia mana dapat murah hati seperti itu ???"
"Wah, Mas Guh, mBakyu Guh, matur nuwun sanget, lho ...... Sudah ditolong. Kalau tidak ada Mas dan mBakyu .... "
Atau bagi mereka yang belum dapat mengangsur utang :
"Aduh, Mas Guh, mBakyu Guh, nyuwun duka, maaf seribu maaf, belum dapat mengangsur. Habis bulan ini si genduk dan tole .... "
Atau kadang-kadang laporan yang dahsyat Lagi. "Ketiwasan, Mas Guh, mBakyu Guuuhh. Proyek kami
bangkrut. Ludes modal kami. Habis, saingan sama modal non pribumi .... "
Mas Guh dan mBakyu Guh sama dengan waktu mereka mendengarkan proposal-para nasabah trah tetap simpatik, tetap tersenyum.
"Wis, wis, ora papa, ora papa. Kami mengerti. Kami akan sabar menunggu sampai kalian sanggup. Kalau akhimya tidak sanggup, ora papa, ora papa, Wong rejeki kami kan rejeki paringan. Kalau tidak sumrambah, merata, buat sanak sedulur; Lha kan sedulur apa saya ini. Kan menurut pesan-mBah Putri: sing rukun, sing rukun .... "
AKAN tetapi namanya cakra manggilingan, sang roda waktu, kok ya berputar ke bawah. Dan itu ditandai dengan berita di koran pagi itu. Cilakanya yang melapor lebih dulu kok ya Mr. Rigen.
"Ini lho, Pak. Kabar rame. Pak Guh terlibat korupsi sak miliar …... "
Cepat-cepat koran saya rebut dari tangannya. Astaga .... Memang di situ diberitakan Dr. Tgh. Bst. Resk. Bwlksn. M.Sc., ditahan untuk dimintai keterangannya tentang uang proyek yang ketlisut sebesar satu miliar rupiah.
"Ini kan betul Pak Guh, nggih, Pak? Wah, tidak nyana, tidak ngimpi, nggih, Pak .... "
"Wis, wis, kau ngurus uang proyek blanjan pasarmu sana dulu!"
Keranjingan..... Mr Rigen alumnus SD Pracimantara pun sudah pinter membaca nama-nama yang dipendekkan di koran. Lha, skandal koran yang mana lagi yang tidak akan dia ketahui.
Saya terhenyak duduk di kursi malasku. Juga tidak nyana dan tidak ngimpi. Wah bagaimana orang sekaya dan sebaik begitu sampai mentlisutkan uang sak miliar. Saya mesti pergi ke rumah kawan wartawan yang bekerja di koran itu. Aku butuh info lebih banyak tentang Mas Guh. Dan ternyata
info dari kawan wartawan itu lebih membuatku grogi: Bagaimana tidak. Mas Guh ternyata telah memutarkan uang itu untuk berbagai proyek spekulasi yang agaknya hancur semua. Tetapi yang lebih mengenaskan lagi proyek spekulasi itu masih ditambah dengan proyek spekulasi yang lain. Mas Guh ternyata punya tiga istri lagi. Dikawin sah.
Astaga .... Serta-merta saya ingat lukisan kaca karya almarhum Pak Sastra-gambar dari Muntilan. Gambar itu menampilkan Petruk jadi raja, duduk di kursi goyang, memangku seorang perempuan, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi wiski.
Gambar itu bertuliskan huruf Jawa: Melik Nggendong Lali. Mendamba Menggendonq Alpa. Sayang lukisan itu dulu saya berikan kepada seorang sahabat di Jakarta. Siapa tahu, kalau dulu
saya hadiahkan Mas Guh, ada pengaruhnya, Tetapi yah, siapa nyana, siapa ngimpi ....
Di Jakarta semua anggota keluargaku sedih mendengar laporanku. Masing-masing terdiam dengan kenangannya sendiri tentang Mas Guh. Mungkin buat istri saya dia dikenang sebagai sedulur yang pernah memberi oleh-oleh tas Etienne Aigner dan bagi anak-anak saya sebagai Oom yang ngganteng, yang senyumnya bagaikan senyum Robert Redford yang aneh, yang bodynya sangat body.
"Tapi korupsi kan nggak buat dia sendiri, Pak. Rezekinya di bagi-bagi kan? Buat tolong sanak sedulur, kan …..".
Saya tidak mendengar apa-apa lagi. Mungkin saya masih grogi dan bengong. Akhirnya aneh sekali saya cuma bisa bergumam kepada anak Istriku. Wis, wis, ora papa, ora papa, ora papa, ora ...
By : Umar Kayam
4 Agustus 1987
Orang Jawa, yang kadang-kadang memang ruwet sistem kekerabatannya, tidak terlalu mementing-
kan lagi bagaimana orang seperti Mas Guh itu mesti didudukkan dalam bagan pohon kekerabatan kami. Maksud saya bagaimana Mas Guh itu seharusnya dipanggil. Mestikah saya dan istri saya memanggilnya dengan Om, Pakde, Paklik, atau bagaimana. Dan anak-anak kami mesti memanggilnya
dengan Eyang atau mBah Guh? Oh, repot.
Yang bernama Mas Guh itu masih muda. Baru kira-kira empat puluh lima tahun umurnya. Tinggi semampai, gagah, rambut berombak, kulit cokelat matang, matanya serasa, mau membujuk. Lha, mulutnya, begitu sensuous-nya. Kalau menurut anak saya, si Gendut, Oom Guh itu hensem, tubuhnya sangat body, dan senyumnya seperti Robert Redford kayak mau menahan sakit tetapi nggak jadi. Ya sudah. Bagaimana lalu mesti dipanggil Teguh Budisantosa etc., itu!
Maka kembalilah kami serumah memanggilnya dengan Mas Guh dan bagi anak-anak Om Guh.
"Ah, sing penting dia itu sedulur dewek. Sing luwih penting lagi kabeh sedulur kudu rukun." Dan ternyata kesediaan keluarga Mas Guh untuk berukun-rukun itu juga diperluas dengan sifatnya yang luwes, soepel, suka berhandai-handai dengan anggota jaringan keluarga yang mana saja, dan yang lebih penting lagi, Mas Guh itu juga amat murah hati. Loma bin blaba. Setiap tarikan arisan keluarga atau rapat trah di rumahnya selalu didatangi lengkap oleh semua anggota. Menunggu kedatangan hari-H arisan itu seperti, menunggu datangnya satu pesta perayaan kawin perak saja. Habis bagaimana tidak begitu. Untuk arisan begitu-saja keluarga Mas Guh pesan dari catering yang terbaik di kota. Dan jumlahnya selalu berlimpah hingga kami yang datang semua selalu mendapat pembagian oleh-oleh sisa makanan arisan itu. Untuk anggota jaringan trah kawulo negeri yang jarang menikmati kemewahan seperti itu tentulah kesempatan seperti itu welkom. Lha, untuk anak-anak remaja putri kesempatan arisan di rumah Mas Guh itu juga merupakan kesempatan yang bagus untuk menguras isi pakaian anak-anak remaja putri mereka. Entah bagaimana, setiap arisan begitu kok selalu saja ada lemari remaja putri yang siap sedia untuk dikuras lho. Mungkin barhari-hari sebelumnya Mas Guh anak-beranak memang sudah membuat inventaris pakaian anak-anaknya. Mana yang dapat dilepas tetap tinggal di lernari. Sedang yang masih baru, maksudnya baru - dari Hongkong atau Singapore disimpan di lemari lain. (Ah, tetapi ini tentulah imaji saya saja).
Apa pun pokoknya, arisan di keluarga Mas Guh adalah hari yang menyenangkan buat kebanyakan anak-anak perempuan anggota trah. Tetapi juqa buat ibu-ibu anggota trah. Kalau pada arisan-arisan lain kesempatan kumpul begitu dipakai untuk saling menjajakan dagangan dan pinjam-.
meminjam uang, tidak pada arisan di rumah Mas Guh. Di rumah itu, arisan itu berfungsi sebagai Bank Dunia. Ibu-ibu akan datang kepada Mas Guh beserta Ibu, yang akan, dengan penuh simpati, mendengarkan proposal pembangunan yang canggih yang tidak tertulis itu. Biasanya setiap proposal itu gol, diluluskan, tanpa bunga, tanpa batas waktu. Bank Dunia mana dapat murah hati seperti itu ???"
"Wah, Mas Guh, mBakyu Guh, matur nuwun sanget, lho ...... Sudah ditolong. Kalau tidak ada Mas dan mBakyu .... "
Atau bagi mereka yang belum dapat mengangsur utang :
"Aduh, Mas Guh, mBakyu Guh, nyuwun duka, maaf seribu maaf, belum dapat mengangsur. Habis bulan ini si genduk dan tole .... "
Atau kadang-kadang laporan yang dahsyat Lagi. "Ketiwasan, Mas Guh, mBakyu Guuuhh. Proyek kami
bangkrut. Ludes modal kami. Habis, saingan sama modal non pribumi .... "
Mas Guh dan mBakyu Guh sama dengan waktu mereka mendengarkan proposal-para nasabah trah tetap simpatik, tetap tersenyum.
"Wis, wis, ora papa, ora papa. Kami mengerti. Kami akan sabar menunggu sampai kalian sanggup. Kalau akhimya tidak sanggup, ora papa, ora papa, Wong rejeki kami kan rejeki paringan. Kalau tidak sumrambah, merata, buat sanak sedulur; Lha kan sedulur apa saya ini. Kan menurut pesan-mBah Putri: sing rukun, sing rukun .... "
AKAN tetapi namanya cakra manggilingan, sang roda waktu, kok ya berputar ke bawah. Dan itu ditandai dengan berita di koran pagi itu. Cilakanya yang melapor lebih dulu kok ya Mr. Rigen.
"Ini lho, Pak. Kabar rame. Pak Guh terlibat korupsi sak miliar …... "
Cepat-cepat koran saya rebut dari tangannya. Astaga .... Memang di situ diberitakan Dr. Tgh. Bst. Resk. Bwlksn. M.Sc., ditahan untuk dimintai keterangannya tentang uang proyek yang ketlisut sebesar satu miliar rupiah.
"Ini kan betul Pak Guh, nggih, Pak? Wah, tidak nyana, tidak ngimpi, nggih, Pak .... "
"Wis, wis, kau ngurus uang proyek blanjan pasarmu sana dulu!"
Keranjingan..... Mr Rigen alumnus SD Pracimantara pun sudah pinter membaca nama-nama yang dipendekkan di koran. Lha, skandal koran yang mana lagi yang tidak akan dia ketahui.
Saya terhenyak duduk di kursi malasku. Juga tidak nyana dan tidak ngimpi. Wah bagaimana orang sekaya dan sebaik begitu sampai mentlisutkan uang sak miliar. Saya mesti pergi ke rumah kawan wartawan yang bekerja di koran itu. Aku butuh info lebih banyak tentang Mas Guh. Dan ternyata
info dari kawan wartawan itu lebih membuatku grogi: Bagaimana tidak. Mas Guh ternyata telah memutarkan uang itu untuk berbagai proyek spekulasi yang agaknya hancur semua. Tetapi yang lebih mengenaskan lagi proyek spekulasi itu masih ditambah dengan proyek spekulasi yang lain. Mas Guh ternyata punya tiga istri lagi. Dikawin sah.
Astaga .... Serta-merta saya ingat lukisan kaca karya almarhum Pak Sastra-gambar dari Muntilan. Gambar itu menampilkan Petruk jadi raja, duduk di kursi goyang, memangku seorang perempuan, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi wiski.
Gambar itu bertuliskan huruf Jawa: Melik Nggendong Lali. Mendamba Menggendonq Alpa. Sayang lukisan itu dulu saya berikan kepada seorang sahabat di Jakarta. Siapa tahu, kalau dulu
saya hadiahkan Mas Guh, ada pengaruhnya, Tetapi yah, siapa nyana, siapa ngimpi ....
Di Jakarta semua anggota keluargaku sedih mendengar laporanku. Masing-masing terdiam dengan kenangannya sendiri tentang Mas Guh. Mungkin buat istri saya dia dikenang sebagai sedulur yang pernah memberi oleh-oleh tas Etienne Aigner dan bagi anak-anak saya sebagai Oom yang ngganteng, yang senyumnya bagaikan senyum Robert Redford yang aneh, yang bodynya sangat body.
"Tapi korupsi kan nggak buat dia sendiri, Pak. Rezekinya di bagi-bagi kan? Buat tolong sanak sedulur, kan …..".
Saya tidak mendengar apa-apa lagi. Mungkin saya masih grogi dan bengong. Akhirnya aneh sekali saya cuma bisa bergumam kepada anak Istriku. Wis, wis, ora papa, ora papa, ora papa, ora ...
By : Umar Kayam
4 Agustus 1987
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda