PULANG dari kantor pada bulan puasa adalah puncak penderitaan. Hari sedang menikmati sinar kepanasannya menusuk kulit manusia yang lalu-lalang di muka bumi pada jam-jam begitu. Tetapi, setidaknya pada hari-hari bukan puasa, kita akan segera terhibur membayangkan apa yang bakal kita makan pada siang itu. Masuk rumah yang terasa teduh, baju kerja diganti sarung, kita akan segera duduk di kursi meja makan. Tetapi, pada hari-hari bulan puasa, urutan skenario yang begitu akan banyak dilompati. Ada beberapa jumping scenes menurut istilah skenario film. Sesudah adegan ganti sarung, ya sudah melompat ke adegan tidur siang hingga adegan maghrib waktu kita membuka puasa.
Begitulah siang itu waktu saya pulang dari kantor. Sarung sudah membungkus separuh tubuh, kaos oblong pun sudah melekat di badan. Sambil menunggu keringat mengering, saya duduk berkipas-kipas di kursi goyang kerajaan. Dari tempat itu saya melihat gelombang panas bergetar di jalan depan rumah.
Tiba-tiba, dari belakang datang si bedhes cilik Beni Prakosa mengelamuti es tung-tung yang tinggal separuh. Mulutnya belepotan dengan es yang berwarna-warni pelangi.
“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule es tung-tung itu enak lho, Pak Ageng.”
Kembali bedhes cilik itu mengelamuti es-nya. Kelihatan nikmat dan seger betul. Sialan ! Trembelane tenan ! Kerongkonganku terasa lebih kering lagi melihat itu.
“Jebule enak tenan, Pak Ageng.”
Dan ia pun terus saja mengitari kursi goyangku, nggubel di dekatku. Tampangnya yang lucu menjengkelkan itu membuat saya gregetandan kerongkongan semakin kering lagi. Akhirnya es tung-tung itu pun habis juga. Mukanya sudah coreng-moreng seperti badut sirkus, bajunya sudah berantakan oleh lumuran es.
“Ayo, lekas ke belakang. Minta cuci ibumu sana. Minta ganti baju yang sudah basah semua itu. Masuk angin baru tahu rasa kowe.”
“Beni Prakosa dengan pringisan lari ke belakang sambil berteriak, “Yeeessss, Pak Ageng !”
Damai turun kembali di bumi. Saya masih belum siap untuk menuju ke tempat tidur. Rasanya lemas betul untuk dapat bangkit dari kursi goyang. Indahnya es tung-tung itu masih terbayang di mukaku. Kenapa pada masa puasa begini es tung-tung dengan kualitascekeremes itu jadi seindah lukisan Andy Warhol ? Begitu nyata lumeran es-nya. Mata mulai mengantuk. Ada semilir angin terasa menerobos masuk.
Tiba-tiba datang lagi si bedhes cilik. Bajunya sudah ganti dengan yang bersih. Mukanya juga sudah bebas dari belepotan es tung-tung. Sekarang di tangannya ada sepotong tempe bacem yang tampak hitam kecoklatan. Pasti Mrs. Nansiyem agak kebanyakan menaruh gulanya. Kedelainya pun tampak besar-besar menonjol. Puasa, puasa ! Kenapa bisa betul kau membuat mataku jadi bertambah peka begini ! Es tung-tung jadi seindah lukisan, warna tempe bacem jadi tampak lebih matang dan kedelainya pun muncul lebih menor.
“Eh, Pak Ageng, Pak Ageng. Jebule tempe bacem itu enak lho, Pak Ageng.”
Sambil berkata begitu mulutnya bergerak menggerogoti tempe itu dengan dahsyatnya.
“Jebule enak tenan, Pak Ageng.”
“Jebulmu, jebulmu kuwi ! Ayo sana out ! Aououtt … !”
Dan kembali Beni Prakosa sembari pringisan lari ke belakang.
“Yeeesss, Pak Ageeng !”
Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya, syaiton pasti yang mengirim Beni Prakosa untuk meruntuhkan iman puasaku. Astaghfirullah hal adziim !. Es tung-tung, tempe bacem. He .. syaiton, ayo kirimi aku es krim Haagen Dasz satu galon dan t-bone steak barang sepuluh kilo. Ini perutku, mana perutmu ! Dan saya pun berjalan gontai masuk kamar tidur. Maghrib masih tiga jam lagi …
Seminggu sesudah syaiton mencobaku dengan es tung-tung dan tempe bacem, di Jakarta saya mendapat undangan untuk berbuka puasa di salah satu hotel berbintang empat. Ahh … ini pasti bukan syaiton yang mengirim undangan. Pastilah malaikat. Wong yang mengundang itu mantan pejabat tinggi yang sudah dua kali naik haji. Acaranya pun lengkap. Buka puasa, sembahyang maghrib, santap malam, sembahyang isya’ disambung dengan sembahyang tarawih. Kemudian ditutup dengan ceramah tarawih dan ular-ular, wejangan, buat putra dan putri sang pengundang yang baru pulang dari California menamatkan kuliah mereka.
Yah, enaknya jadi mantan pejabat pemerintah pusat seperti saya ini. Masih dihitung dalam undangan yang hebat-hebat seperti itu. Dan kalau dihitung, sudah beberapa kali saya jadi mantan pejabat. Jabatan ini, jabatan itu. Eehh … lumayan juga mantan-mantan priyagung itu masih ingat kepada saya. Dan di room-room yang sudah disiapkan di hotel mewah itu, memang banyak saya lihat tidak hanya para mantan dirjen, sekjen dan menteri, tetapi juga para mantan, eh ..bukan, purnawirawan pati. Semua sokur ngalkhamdulillah, kelihatan segar-segar dan makmur belaka. Hem batik mereka kelihatan gemerlap. Begitu juga dengan para ibu beliau-beliau itu. Dalam baju jilbab pun ibu-ibu itu masih tampak kemilau. Dan bukan main. Dalam percakapan di tengah santap malam yang terdiri dari makanan Indonesia dan Eropa itu, saya juga ikut bersyukur, ikut senang mendengar tukar-menukar informasi tentang keadaan keluarga masing-masing. Percakapan seperti,
“Kalau buat si Joni dan Desi yang mBakyu kirim sekolah di Boston itu berapa mBakyu sediakan tiap bulannya ?”
“Eh, ternyata not so much, lho.”
Saya tidak dapat mendengar jumlah uang itu. Karena, mungkin saya ada di dekat-dekat ibu-ibu itu, beliau menempelkan mulutnya pada telinga ibu yang seorang. Kedua ibu itu tertawa cekikikan. Mereka melihat kepada saya. Saya mengangguk sopan sekali, tersenyum tanpa teges.
“Ahh, masa cuma segitu, mBakyu ?”
“Bener, heus echt, tenan kok mBakyu. Buat apa lho saya bohong. Lagian kami sekarang kan sudah mantan toh ? Mesti berhemat-hemat.”
“Kalau begitu saya mau pindahkan anak-anak saya ke Boston juga, ah. Habis di California saya dengar brengsek sih, situasinya.”
Saya berjalan bergeser mencoba mencari makanan lain sambil mau bergabung dengan kelompok lain. Wah, kalau ongkos hidup satu orang dihitung mepet saja sudah US $ 500,0, maka dua orang anak sudah US $ 1.000,0. Masak nggak pakai uang jajan ? Belum lagi uang kuliah mereka. Tetapi bukankah buat pendidikan anak-anak kita , kita sanggup berkorban apa saja ? Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala dan entah bagian tubuh kita yang mana lagi yang akan kita jumpalik-kan asal anak bisa sekolah setinggi mungkin ? Ahh, ibu-ibu dan bapak-bapak yang sangat bertanggung jawab !
Saya hanyut bergeser ke kelompok anak-anak muda. Pastilah anak-anak para kolega mantan-mantan itu.
“Malam, Oom !”
“Malam. Bagaimana nih score-nya ?”
Mereka tertawa serempak. Mungkin senang mendengar saya bicara dengan lingo, bahasa, mereka.
“Score ya ini Oom. Kita harap tarawihnya jangan lebih dari sebelas rakaat, gitu.”
“Lho, memangnya kenapa kalau lebih dari sebelas rakaat ?”
“Pegel, dong, Oom. Lagian kita mau itu tuuhh …”
“Itu tuuhh apa ?”
“Yah, Oom manula, sih. Kita mau nyambung ke disko …”
Saya terus bergeser menemui kawan-kawan lama. Makanan yang mbanyu mili itu serba nyuss dan milyuss belaka. Baik roast beef-nya maupun rendang ala rumah makan Pagi-Sore Padang serba dahsyat. Malam pun berlalu dengan mulus. Sembahyang tarawih berlalu tidak lebih dari sebelas rakaat dan ceramah, ular-ular, dari ulama itu pun singkat mengena. Akhir ular-ular itu …
“ … begitulah, saya harapkan dari anak-anak berdua. Sepulangnya nanti, anak-anak dengan mulus dapat kembali kepada ayah dan ibumu. Yaitu menjadi bagian keluarga muslim yang taat, dari keluarga pejuang yang selalu berbakti kepada negara dan bangsa …”
Di rumah, istri saya yang berhalangan ikut datang karena uzur, langsung menginterogasi saya.
“Bagaimana suasananya ?”
“Jebule buka puasa dan tarawih di hotel itu menyenangkan betul.”
“Menyenangkannya ?”
“Ruangan full AC yang sangat adem. Permadani tebel bin empuk. Bau harum. Makanan lezat dan mewah. Percakapan seronok. Sembahyang khusyuk. Tidak terganggu suara berisik lalu-lintas. Jemaahnya tidak ada yang bau keringat penguk. Wis to, pokokemenyenangkan.”
Istri saya manggut-manggut.
“Jebule begitu to buka puasa dan tarawih para priyagung di hotel itu ?”
Saya juga manggut-mangut. Mungkin pada saat itu anak-anak muda putra-putri para mantan dan purnawirawan itu sedang asyik berajojing. Saya jadi terbayang irisan roast beef yang merah dan nyuss itu. Santapan kiriman para malaikat. Tetapi kemudian juga bayangan si bedhes cilik Beni Prakosa tampil dengan sekeping tempe bacem.
“Jebule tempe bacem itu enak, Pak Ageng !”
Ahh, santapan kiriman syaiton untuk meruntuhkan iman puasaku ….
Yogyakarta, 26 April 1988
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda