APAKAH service itu sudah dipahami di negeri kita ? Tentu ! Bukankah padanan untuk kata itu dalam bahasa kita : pelayanan ?
Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa paham betul makna service atau pelayanan tersebut. Dari pukul 06.00 pagi hingga selesai teve pada pukul 23.00 konsentrasi mereka nyaris pada service saja. Melayani majikan atau boss dengan penuh dedikasi, bahkan kasih sayang. Bayangkan ! Pada waktu fajar sudah merekah Beni sudah berteriak di kursi goyang saya.
“Slamat pagii, Pak Ageeng !!”
“Slamat pagii, Le. Pak-tung-plak-pak-tung-plak.”
“Pak-tung-plak-pak tung-plak ! Teh apa topi, teh apa topi, Pak Ageng ?”
“Kopi ! Kopi ! Sudah hampir empat tahun kok masih saja bilang topi. Kopi !”
“Yes, Pak Ageng. To-pi !”
Bedhes kepala batu itu pun mak brabat ke belakang lapor kepada bapak ibunya. Pukul 06.15 entrée Mr. Rigen denga secangkir kopi panas dan dua potong pisang goreng.
“Sarapannya mau nasi gudeg, nasi goreng atau toos dengan tigan orak-arik ? Terus mau dhahar sebelum siram atau sesudahnya ?”
Dan kalau saya bilang ‘sekarang’, maka dengan sebat pula kitchen cabinet saya bekerja dengan gesit dan efisien. Siapa bilang orang kita tidak paham service ? Service, pelayanan, mereka kurang bagus, ojo takon dosa, out, out !
Tetapi bener nih, service sudah dipahami semua lapisan masyarakat ? Dalam pesawat Garuda saya pernah menyaksikan seorang pramugri gemas, matanya melotot, mukanya menggambarkan rasa jijik kepada seorang ibu muda yang kebingungan melihat anaknya muntah-muntah. Penumpang (yang membayar) itu tidak ditolong, malah ditinggal lari. Ahh, apalagi yang menjijikkan begitu. Permintaan sederhana buat secangkir kopi lagi saja dilayani dengan muka anyel bin cemberut ! Dan hari Minggu kemarin, di dalam cabin kelas eksekutif lho, seorang penumpang (yang membayar) mengeluh karena kopi yang diminumnya kok terasa dingin. Sang pramugari cuma tersenyum manis banget, tetapi tidak berbuat apa-apa. Kayaknya beliau itu mau mengatakan, “Woo .. Pak, sudah berapa-berapa, sudah untung Bapak bisa naik Garuda hari ini. Kok masih nggerundel, lho. Mbok jadi orang itu jangan rewel to, Paakk, Paakk.”
Saya sering tercenung melihat gejala seperti itu. Mr. Rigen tahu artinya service atau pelayanan dan melaksanakannya dengan baik dan ikhlas. Miss pramugari ? Edaann ! Ya tahu dong arti service. Tetapi ngelapi bayi muntah, nggodog kopi secangkir buat penumpang ? Tunggu dulu, dong. Memangnya aku ini batur atau babu penumpang apa ? mBakyu saya dan pakdhe saya di rumah saja tidak beranimrintah-mrintah begitu. Kok ini ….
Rupanya melayani, meladeni, dan service ada nuansa-nuansa maknanya. Bahkan mungkin ada hubungannya dengan kelas ! Mr. Rigen ikhlas, lega-lila melayani karena melaksanakan tugas batur yang allround ! mBak pramugari yang ayu menik-menik melayani pilih-pilih, muntah atau tidak. Wong di rumah tidak pernah melayani, tetapi dilayani, je !
Lha, kalo kemenakan dan sepupu saya yang kerja di Bea Cukai dan Kantor Pajak itu ? Makna service-nya bagaimana ? Wee, lha …….
Yogyakarta, 12 April 1988
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda