Menyusul maraknya kekerasan di sejumlah negara Barat (sebagai contoh serangan AS dan sekutunya ke Afganistan dan Irak) yang tadinya menjadi suri teladan dunia dalam banyak hal, sejumlah sahabat mulai bertanya: siapakah yang akan menjadi teladan di depan dalam menentukan peradaban manusia?
Sebuah pertanyaan sulit. Meminjam pendapat seorang guru, mungkin lebih mudah bagi benang kusut untuk keluar dari lubang jarum, dibandingkan mencari suri teladan peradaban pada zaman ini.
Bagi pencinta optimisme, tentu selalu ada jendela-jendela kesempatan yang terbuka pada setiap zaman. Bila saja cahaya teladan belum kelihatan, mungkin karena awan penghalang belum waktunya untuk berlalu. Bukannya karena tidak bercahaya. Ada dua jenis pemanah yang targetnya dihalangi awan: menunggu awannya berlalu, atau tetap memanah kendati berisiko tidak tepat sasaran.
Keduanya membawa plus-minusnya masing-masing. Yang pertama aman, namun ketika awan berlalu papan sasaran sudah penuh dengan anak panah orang lain. Yang kedua berisiko, namun lebih mungkin mencapai sasaran dibandingkan yang pertama.
Kemurnian perjuangan
Dengan risiko seperti inilah kemudian sejumlah sahabat mulai berspekulasi tentang penentu-penentu peradaban pada masa depan. Ada yang mengemukakan kalau China sebuah kandidat terutama dengan melihat jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonominya. Ada yang menoleh pada India, terutama karena penguasaan teknologi informasi yang menonjol. Ada juga yang menunjuk pada Afrika Selatan, secara lebih khusus karena fundamen kemajuan yang dibangun Nelson Mandela demikian kokoh. Dan, Anda pun boleh menambahkannya dengan pendapat yang lain.
Apa pun negaranya, sulit membayangkan bisa menjadi teladan peradaban tanpa peran pemimpin yang mengagumkan. Oleh karena itulah, maka eksplorasi ide tentang hal ini akan difokuskan pada sifat-sifat kepemimpinan.
Mendalami tantangan-tantangan yang menghadang, tidak ada kata yang lebih tepat dari kata berat. Jangankan pemimpin yang belum menunjukkan tanda-tanda kinerja yang mengagumkan, Thaksin di Thailand yang sudah menunjukkan sejumlah kinerja saja dikudeta. Jangankan mereka yang usia kepemimpinannya masih bisa dihitung dengan beberapa jari, yang sudah mencengkeram beberapa puluh tahun pun harus runtuh.
Dari sinilah muncul perlunya sikap teguh dalam memimpin. Dan salah satu pemimpin dengan kualitas keteguhan mengagumkan yang pernah lahir bernama Mahatma Gandhi. Tidak terhitung banyak sekaligus besarnya tantangan yang pernah dihadapi Gandhi. Mulai dari disiksa ketika menjadi pengacara di Afrika Selatan; berhadapan dengan penjajah Inggris yang memegang kuasa sekaligus senjata; sampai dengan digoda kekuasaan setelah India merdeka. Apa pun godaannya, Gandhi tetap teguh pada dua hal: tanpa kekerasan, tidak mencampurkan urusan pribadi dengan urusan perjuangan.
Soal tanpa kekerasan, Gandhi memang nyaris tiada tandingannya pada abad ini. Baik ketika di Afrika Selatan maupun di India, berkali-kali tubuhnya disakiti dan dilukai, ia tetap konsisten dengan prinsip tanpa kekerasan. Bahkan, ketika tubuhnya ditembus peluru pun, beberapa detik sebelum mati masih sempat memohon agar yang menembak dirinya diampuni.
Berkaitan dengan keteguhan tidak mencampurkan perjuangan dengan urusan pribadi, terlihat puncaknya tatkala India baru merdeka. Tidak sedikit tokoh baik dari kubu Hindu maupun Muslim yang sepakat, Gandhi-lah yang paling pantas duduk sebagai Perdana Menteri India yang pertama. Namun, sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, ia menjaga kemurnian perjuangan dengan mempersilakan Nehru memegang kursi perdana menteri. Dengan demikian, dalam totalitas, jadilah Gandhi tokoh yang merenda keindahan kehidupan dengan dua keteguhan: tanpa kekerasan dan kemurnian perjuangan.
Mengetuk pintu
Namun, sebagaimana telah banyak dicatatkan oleh waktu, terlalu banyak pemimpin yang menggunakan keteguhan tanpa pedoman. Ibarat pengayuh perahu, keras sekali ia mengayuh (baca: teguh), namun lupa bahwa ia tidak seorang diri di dalam perahu. Maka, jadilah keteguhan bersahabatkan kesewenang-wenangan.
Pada zaman di mana wacana, perjuangan, konflik, tarik-menarik kepentingan demikian riuhnya, bukan lagi saatnya mengubah orang dengan pentungan, kepalan tangan, ancaman, apalagi pembunuhan. Seberapa keras pun kepribadian seseorang, seberapa gelap pun pengalamannya, seberapa sentimen pun ia akan kehidupan, tetap manusia rindu akan sentuhan-sentuhan.
Seperti Cleopatra yang menundukkan Eropa pertama kalinya. Seperti Taj Mahal yang bukan permaisuri raja, bukan beragama Hindu, tetapi dikenang menawan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Seperti Ibu Teressa yang menyentuh hati dunia. Di sinilah kemudian manusia memerlukan seorang Rumi.
Bila Gandhi menawan dengan keteguhan, Rumi menawan dengan sentuhan-sentuhan. Ada wibawa, ada karisma, ada getaran, ada sentuhan di hampir setiap karya-karya Rumi. Suatu hari Rumi berdoa dalam-dalam. Sehabis berdoa, ia ketuk pintu Kekasih Yang Maha Mencintai. Dari dalam ada yang bertanya: "Siapa?". Dengan teduh Rumi menjawab: "Aku...! Tanpa menunggu lama-lama suara tadi menjawab kembali: "Tidak ada tempat untuk berdua." Kembali Rumi berdoa dalam-dalam. Setelah dirasa cukup, ia ketuk lagi pintu yang sama. Kali ini pun terdengar suara yang sama: "Siapa?" Dengan bergetar Rumi menjawab: "Engkau!" Tanpa aba-aba pintu itu langsung terbuka. Bagi setiap pejalan kaki ke dalam diri akan mengerti, seberapa jauh Rumi sudah pergi.
Dalam doa, dalam kerja pintu itu diketuk-ketuk selalu dengan berbagai cara. Namun, bagi manusia yang masih sibuk dengan kata aku (baca: penuh ego, kesombongan, kecongkakan, kemarahan, kebencian), Pintu itu tidak terbuka. Kapan saja akunya menghilang, tanpa diketuk pun Pintu ini otomatis terbuka.
Dalam bahasa seorang guru: when you step up in the path of God means you step down in the path of ego. Kalau kaki manusia melangkah naik di tangga-tangga ketuhanan, berarti melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan. Baik kehidupan Gandhi maupun kehidupan Rumi sama-sama penuh inspirasi karena melangkah turun dalam tangga-tangga keegoan.
Kembali ke cerita awal tentang teladan peradaban, di mana saja lahir pemimpin yang seteguh Gandhi dan semenyentuh Rumi, barangkali dari sana cahaya peradaban akan mulai membimbing kegelapan-kegelapan.
Oleh :Gede Prama - Kompas, 2 desember 06
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda