SUATU kali Nasruddin ditanya hakim tentang umurnya. Dengan tegas ia menyebut angka empat puluh tahun. Sambil berkerut, hakim bertanya, "Lima tahun lalu di ruang sidang ini Anda menyebut angka empat puluh tahun, apa yang salah dalam ingatan Anda?" Dengan ekspresi muka tidak berubah, Nasruddin menjawab, "Lima tahun yang lalu juga, Bapak Hakim mengajarkan saya untuk menjawab konsisten, apa Bapak Hakim lupa dengan anjuran Bapak sendiri tentang konsistensi?"
Dulu, banyak orang berkilah tidak tahu ketika bencana terjadi, terutama karena teknologi komunikasi belum berkembang. Sekarang, dalam waktu hampir bersamaan, di mana pun darah berceceran langsung bisa dilihat oleh jutaan pasang mata di belahan bumi lain. Dulu, ketika pendidikan hanya menjangkau elite perkotaan, bencana diidentikkan dengan kebodohan. Sekarang, ketika anak-anak muda sudah demikian canggihnya menangani televisi dan internet, kebodohan apalagi yang akan disalahkan?
Di tengah bahan-bahan ini, tidak sedikit rekan yang bertanya, "Dalam wacana yang boros logika dan kata-kata, manusia bergerak dari kekisruhan ke kekisruhan yang lain, adakah yang keliru dengan kendaraan logika dan kata-kata?"
Ah, kata keliru lagi yang keluar, sebuah kata yang mudah sekali memperpanjang daftar kekisruhan. Mendengar jawaban ini, ada yang bertanya balik, "Kalau bukan keliru, kata apa yang layak digunakan?"
Ah, bertanya ke orang lagi, sebuah kegiatan belajar yang tepat, tetapi salah alamat. Jika bertanya ke orang salah alamat, lantas pertanyaan diajukan kepada siapa? Ah, logika dan kata-kata lagi yang keluar, yang juga akan mengundang logika dan kata-kata tandingan.
Diam, "pendalaman atau pendangkalan?"
Diam, itulah kegiatan yang mengundang dukungan sekaligus hujatan. Bagi mereka yang paham batas-batas logika dan kata-kata, diam cermin kedalaman. Bagi mereka yang masih menemukan keindahan logika dan kata-kata, diam hanya wakil sikap bodoh.
Sebagian sahabat menyebut keheningan sebagai perjalanan berbahaya. Terlepas dari semua ini, Rumi pernah mengalami kejadian, setelah disuruh membakar buku-buku yang dimiliki, tidak lama kemudian guru ini menghilang. Osho dalam Tao, the Pathless Path, memberi judul salah satu bab terbaiknya: Best Be Still, Best Be Empty.
Hiruk-pikuk logika versus keheningan juga terjadi di Bali. Sejalan dengan majunya pendidikan, timbul pertanyaan tentang berbagai macam praktik beragama. Pura yang dulu amat sedikit ditandai kata-kata manusia kini penuh dengan kata-kata. Jawaban orang tua melalui anak mula keto (sudah begitu dari dulu), memang berwajah ganda. Pertama, wakil ketidaktahuan dan ketidakpedulian. Kedua, wakil kedalaman. Sekaligus membuka pintu belajar, cari sendiri ke dalam, dan temukan jawabannya di luar bahasa manusia.
Seorang peneliti Belanda yang datang ke Bali tahun 1920-an menemukan, Bali tidak mengenal istilah kesenian. Ketika ditanya, jika bukan kesenian, lantas apa yang dilakukan orang-orang Bali ketika mereka rajin menari, melukis, dan mematung. Dengan terkejut peneliti ini menemukan jawaban, "Tidak semua kami mengerti. Yang jelas semua ini hanya serangkaian persembahan kepada Tuhan."
Dulu, ada orang yang menyebut Bali dengan sebutan tradisional. Namun, saat itu Pulau Bali dikenal serba tenang dan tenteram. Ada yang menyebut Bali sekarang sebagai modern. Namun, di zaman ini juga terjadi peledakan bom, pembunuhan di bekas istana raja yang dulu disakralkan. Dalam sejarah seperti ini, apakah diam serangkaian pendalaman atau pendangkalan? Bertanyalah pada kejernihan hati masing-masing.
"The ecstasy of silence"
Di tengah kekayaan makna, izinkan sekali-sekali hening dan sepi itu "berbicara". Tidak dalam posisi menyalahkan, namun datang sebagai pelengkap yang belum tentu lengkap.
Tidak mudah menerangkan hening dan sepi melalui logika dan kata-kata. Ia sama tidak mudahnya dengan menerangkan perasaan jatuh cinta kepada orang yang belum pernah mengalaminya. Jantung berdebar, seperti habis berlari pagi? Bukan! Kalau jatuh cinta gagal diterangkan oleh logika dan kata-kata, apalagi menerangkan hening dan sepi.
Dalam kesempatan menyelami kedalaman keheningan, ada murid bertanya tentang pendidikan. Dengan kata-kata terbatas, seorang guru bergumam, "Tatkala Anda menyalahkan, itu tanda-tanda kuat pentingnya pendidikan. Ketika Anda mulai menyalahkan diri sendiri, berarti pendidikannya baru dimulai. Dan manakala Anda berhenti menyalahkan, itu artinya pendidikan sudah selesai."
Banyak murid tertegun dengan ungkapan pendek ini. Ada yang merasa dadanya seperti ditusuk karena ternyata dirinya butuh pendidikan. Ada yang kecut karena sudah bermeditasi bertahun-tahun, tetapi pendidikannya ternyata baru dimulai.
Dalam teropong ini bisa dimaklumi jika sejumlah orang kemudian suka bersahabatkan sepi dan sunyi. Tidak saja karena tidak memiliki pihak mana pun yang layak disalahkan, tetapi karena sadar jika setiap kesalahan yang ditimpakan kepada orang hanya akan mengirim kesalahan balik lagi ke tempat kita. Selain itu, sikap sepi dan sunyi yang dipilih karena hanya dalam sepi sunyi setiap bentuk negasi (benar-salah, baik-buruk, sukses-gagal) menjadi cair, sekaligus berhenti menimbulkan kisruh.
Perhatikan apa yang pernah ditulis Gibran dalam The Prophet, "Ketika manusia bercengkerama dengan kebahagiaan di tempat tidur, kesedihan sedang menunggu di kamar tamu". Bagaimana manusia bisa lari dari kebahagiaan atau kesedihan jika kita serumah dengan keduanya?
Rumi lain lagi. Di sebuah waktu, Rumi berdoa karena mau menemui Kekasih. Di depan pintu Kekasih, Rumi mengetuk pintu. "Siapa?" terdengar tanya dari dalam. Dengan tenang dijawab, "Aku!" Dari dalam terdengar suara, "Pergilah, tidak ada tempat bagi kita berdua." Kembali Rumi berdoa. Setelah cukup, ia datangi lagi rumah Kekasih itu. Lagi-lagi dari dalam bertanya, "Siapa?" Kali ini ia menjawab, "Engkau!" Dan tanpa suara pintu pun terbuka dengan sendirinya.
Ketika masih ada kata "aku", terjadi dikotomi "aku-engkau". Tatkala semua diberi judul "engkau", semuanya jadi lebur dan menyisakan satu pilihan kepada aku: sepi dan sunyi. Dalam bahasa Osho, "The day you become a nothingness you have come to know who you are,"
Bisa dipahami jika seorang guru Zen pernah berbisik, "This isness is the ultimate experience of bliss." Dengan begitu, dapat dimaklumi jika pecinta keheningan lebih tertarik pada keindahan dibandingkan dengan kebenaran. Tentu bukan kebetulan yang tidak terkait jika orang tua di Bali dulu memberi nama Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Embang (Yang Mahasunyi). Dan menyebut setiap hari (eka wara) dengan sebutan luang (lengang). Selamat hari raya Nyepi dan Tahun Baru Çaka 1927.
Oleh : Gede Prama - Kompas 10 Maret 2005
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda