35
Pangkal segala
maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap
puas terhadap keadaan
diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap
tidak puas dengan keadaan diri sendiri.
— Ibnu Atha' illah
al-Iskandari —
Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah.
Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah.
Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri
dan membuat lupa dari Allah swt.
Menurut orang-orang 'arif, sebab
dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap
tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya
sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan
dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan
semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan
lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan
mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat.
Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat.
Adapun ketaatan berarti melaksanakan
segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang
kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridhai-Nya. Kesucian berarti ketinggian
tekad dan kebersihannya dari syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan
kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang
tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua
kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat
seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang
dan menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar ini,
ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya. Saat
itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya,
ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah
dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
Sikap puas terhadap keadaan diri
sendiri adalah sikap orang- orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak niau
mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah melarang kita untuk
berteman dengan orang-orang semacam itu.
36
Berteman dengan orang
bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada
berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak
berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak
bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?
— Ibnu Atha'illah
al-Iskandari —
Orang bodoh ialah orang yang tidak memiliki ilmu lahir.
Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina
atau menyadari kekurangannya.
Tidaklah baik berteman dengan
seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim
(orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang
besar padamu. Ketika kauberteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa
mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam
melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang
berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib
yang dimiliki dirinya.
Sebaliknya, berteman dengan orang
bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat
bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu
terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu,
kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya—yang
membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya—justru amat berguna bagimu. Seakan
ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa
puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan
dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan
orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.
37
"Sinar mata
hati" membuatmu menyaksikan kedekatan- Nya denganmu. "Penglihatan
mata hati" membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya.
"Hakikat mata
hati" membuatmu menyaksikan keberadaan- Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan
pula keberadaanmu.
— Ibnu Atha* illah
al-Iskandari —
Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan 'ilmul
yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan 'ainul
yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul
yaqm.
Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan
menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan
manfaatnya sendiri-sendiri.
Seseorang berkata, "Seorang
hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu', kecuali saat terpancarnya cahaya
tnusydhadah dari hatinya." Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada
sang Khaliq dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk.
Melalui hikmah ini, Ibnu Atha'illah
menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan
Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa
bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia
melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya.
Orang yang terbuka dengan cahaya
kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq.
Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak memedulikannya lagi
karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Maicjud.
Wujud hakiki hanyalah milik Allah swt. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang
dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan
bertawakal kepada-Nya, ridha, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
Sementara itu, orang yang terbuka
dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa
kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya.
Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefanaan
total itu, ia akan menempati macjam keabadian.
Penulis Al-'Awarif berkata,
"Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk
dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana akan
terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk."
38
Allah telah ada dan
tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya
semula.
— Ibnu Atha * illah
al-Iskandari —
Ini adalah kondisi orang yang menduduki macjdm kefanaan. Ia
tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih
tetap sebagaimana ada-Nya semula.
Seorang musyahid meyakini bahwa
wujud hakiki hanya milik Allah swt., sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud.
Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah swt. sekarang dan sebelum musyahid
itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain
karena adanya hijab.
39
Jangan sampai tekadmu
tertuju pada selain-Nya karena Tuhan Yang Mahamulia (karim) tidak mungkin akan
terlampaui oleh harapan dan angan.
— Ibnu Atha ' illah
al-Iskandari —
Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi
kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya.
Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang
mulia; dan tak ada yang benar- benar mulia, kecuali Allah swt. Setiap orang yang
mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji,
akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan.
Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak
mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapa pun yang berlindung kepadanya.
Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki
selain oleh Allah swt. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap
tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya.
Ketahuilah bahwa meminta kepada
makhluk dianggap bertentangan dengan 'ubudiyah (penghambaan di hadapan-Nya)
bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada
Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut diiringi dengan keyakinan bahwa
makhluk yang dimintainya itu hanyalah wasilah (perantara), tetapi yang
sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini
tidak bertentangan dengan 'ubudiyah.