Dan berikut ini uraian tentang berapa hukum
yang berkaitan dengan hal di atas:
Bersuci dengan air dari apa saja yang keluar
dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak adalah wajib.
Dan tidak diwajibkan (kepada seseorang)
beristinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang wajib baginya adalah
berwudlu. Sebab,
istinja’ itu disyari`atkan
untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur dan keluar angin itu tidak ada
najis.
Istijmar adalah pengganti istinja (bersuci)
dengan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu yang serupa dengannya. Dalam
beristijmar harus menggunakan tiga buah batu yang suci dan bersih, sebab
Rasulullah صلي الله عليه وسلم dalam hadits shahihnya bersabda:
مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ
“Barangsiapa beristijmar hendaklah ia
mengganjilkannya”. [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Ahmad]
Dan beliu juga bersabda:
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ
فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُ
عَنْهُ
“Apabila seorang diantara kalian pergi ke
belakang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa tiga batu, karena
sesungguhnya hal itu cukup baginya” (HR. Abu Daud).
Dan Rasulullah صلي
الله عليه وسلم melarang beristijmar dengan kurang dari
tiga batu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tidak boleh beristijmar dengan kotoran
(manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang haram.
Afdhalnya adalah beristijmar dengan batu atau
apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan lain-lain, kemudian diakhiri
dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan materi najis, sedangkan air
mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini lebih suci.
Seseorang boleh memilih antara
beristinja’ dengan air atau
beristijmar dengan batu dan benda yang serupa dengannya, atau menggabungkan
antara keduanya.
Dari Anas رضي الله
عنه bahwa dia berkata: “Bahwasanya Nabi صلي الله عليه وسلم pernah masuk ke
jamban, dan aku bersama anak sebaya denganku membawa bejana berisi air dan
tongkatnya. Maka Nabi صلي الله عليه وسلم beristinja dengan air itu”. (Muttafaq alaih).
Dan dari `Aisyah رضي
الله عنها bahwa ia berkata kepada sekelompok orang:
“Suruhlah suami-suami kalian bersuci dengan air, karena sesunggunya aku malu
kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah صلي الله
عليه وسلم selalu melakukannya”. Imam At-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Apabila memilih salah satunya, maka (dengan)
air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat (najis) dan
menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam membersihkan.
Dan seandainya memilih bersuci dengan menggunakan batu, maka boleh dengan syarat
menggunakan tiga batu yang dapat membersihkan tempat (najis).
Jika tiga batu tidak cukup untuk
(membersihkan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat najis benar-benar
bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ
“Barangsiapa beristijmar hendaklah
mengganjilkan”. [HR. Abu dawud, Ibnu Majah dan
Ahmad]
Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan
kanan, karena Salman berkata di dalam haditsnya:
“Rasulullah
صلي الله عليه وسلم
telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan
tangan kanan”. [HR. Muslim dan lainnya]
Dan beliau bersabda:
لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ
بِيَمِيْنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ
بِيَمِيْنِهِ
“Jangan ada seorang di antara kamu memegang
kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing, dan jangan pula mengusap
(mengelap) setelah buang air besar dengan tangan kanan”. [HR. Muslim]
Jika tangannya patah atau sakit atau karena
hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena terpaksa, dan tidak
apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya, istijmar dan istinja dengan
air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih sempurna.
Ajaran Islam (Syari`at Islam) dibangun
berlandasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah memberikan
keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam peribadatan sesuai
dengan udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya tanpa kesulitan.
Allah Ta’ala
berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al-Hajj: 78).
Dan firmanNya:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Dan firmanNya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”
(At-Taghabun:16).
Nabi صلي الله عليه
وسلم bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu,
maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian”.
[HR. Bukhari dan Muslim]
Dan beliau juga bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama itu mudah”. [HR. Bukhari]
Orang sakit, apabila ia tidak memungkinkan
bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits kecil atau mandi
dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah parah atau
kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh bertayammum, yaitu menepukkan kedua
telapak tangan ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak
jari-jari dan kedua tangan dengan telapak tangannya; karena Allah
berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن
كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ
لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً
فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
“Dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh
air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. (Al-Ma`idah: 6).
Orang yang tidak mampu menggunakan air
kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang yang tidak memperoleh air,
karena firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kalian
kepada Allah menurut kemampuan kalian” (At-Taghabun:
16).
Dan juga sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم kepada Ammar bin
Yasir:
إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ
هَكَذَا
“Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan
kedua tanganmu seperti ini”. Rasulullah صلي الله عليه وسلم sambil menepukkan
kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka dan kedua telapak
tangannya.
Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan
tanah bersih yang berdebu.
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat,
karena Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِءٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung)
dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (pahala atau tidak)
sesuai dengan niatnya”. [HR. Bukhari dan
Muslim]
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda