Mutiara karya Syeikh Abdul Qadir Jailani
Lenyaplah dari (pandangan) manusia, dengan perintah Allah, dan dari kedirian, dengan perintah-Nya, hingga kau menjadi bahtera ilmu-Nya. Lenyapnya diri dari manusia, ditandai oleh pemutusan diri sepenuhnya dari mereka, dan pembebasan jiwa dari segala harapan mereka. Tanda lenyapnya diri dari segala nafsu ialah, membuang segala upaya memperolehi sarana-sarana duniawi dan berhubungan dengan mereka demi sesuatu manfaat, menghindarkan kemudharatan; dan tak bergerak demi kepentingan peribadi, dan tak bergantung pada diri sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan dirimu, tak melindungi atau membantu diri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah, kerana Ia pemilik segalanya sejak awal hingga akhirnya; sebagaimana kuasaNya, ketika kau masih disusui.
Hilangnya kemahuanmu dengan kehendakNya, ditandai dengan ketak-pernahan menentukan diri, ketakbertujuan, ketakbutuhan, kerana tak satu tujuan pun termiliki, kecuali satu, iaitu Allah. Maka, kehendak Allah mewujud dalam dirimu, sehingga kala kehendakNya beraksi, maka pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang, fikiran pun cerah, berserilah wajah dan rohanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan bendawi berkat berhubungan dengan Pencipta segalanya. Tangan Kekuasaan senantiasa menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu menyeru namamu, Tuhan Semesta alam mengajarmu, dan membusanaimu dengan nurNya dan busana rohani, dan mendapatkanmu sejajar dengan para ahli hikmah yang telah mendahuluimu.
Sesudah ini, kau selalu berhasil menaklukkan diri, hingga tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih dari air, atau larutan. Dan kau terjauhkan dari segala gerak manusiawi, hingga rohanimu menolak segala sesuatu, kecuali kehendak Allah. Pada maqam ini, keajaiban dan adialami akan ternisbahkan kepadamu. Hal-hal ini tampak seolah-olah darimu, padahal sebenarnya dari Allah.
Maka kau diakui sebagai orang yang hatinya telah tertundukkan, dan kediriannya telah musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujudan sehari-hari. Mengenai maqam ini, Nabi Suci saw, telah bersabda: "Tiga hal yang kusenangi dari dunia - wewangian, wanita (isteri solehah) dan shalat - yang pada mereka menyejukkan mataku." Sungguh, hal-hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu sirna darinya, sebagaimana telah kami isyaratkan. Allah berfirman: "Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku."
Allah Yang Maha Tinggi takkan besertamu, sampai kedirianmu sirna. Dan bila kedirianmu telah sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali Dia, maka Allah menyegarbugarkan kamu, dan memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga terdapat noda terkecil pun, maka Allah meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah-hati. Dengan cara begini Ia terus menciptakan kemahuan baru di dalam dirimu, dan bila kedirian masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai akhir hayat dan bertemu (liqa') dengan Tuhan. Inilah makna firman Allah: " Aku bersama orang-orang yang putus asa demi Aku, " Dan makna kata: "Kedirian masih maujud" ialah kemasih-kukuhan dan kemasih puasan dengan keinginan-keinginan barumu. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Suci saw: "Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan." Tak diragukan lagi, beginilah keadaan fana.
Maka Dia menyelamatkanmu dari kejahatan makhluq-Nya, dan menenggelamkanmu ke dalam samudera kebaikanNya; sehingga kau menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, kecerahan, kedamaian, dan kesentosaan. Maka fana (penafian diri) menjadi tujuan akhir, dan sekaigus dasar perjalanan para wali. Para wali terdahulu, dari berbagai maqam, senantiasa beralih, hingga akhir hayat mereka, dari kehendak peribadi kepada kehendak Allah. Kerana itulah mereka disebut badal (sebuah kata yang diturunkan dari badala, yang bererti: berubah). Bagi peribadi-peribadi ini, menggabungkan kehendak peribadi dengan kehendak Allah, adalah suatu dosa.
Bila mereka lalai, terbawa oleh tipuan perasaan dan ketakutan, maka Allah Yang Maha Besar menolong mereka dengan kasih sayangNya, dengan mengingatkan mereka sehingga mereka sedar dan berlindung kepada Tuhan, kerana tak satu pun mutlak bersih dari dosa kehendak, kecuali para malaikat. Para malaikat senantiasa suci dalam kehendak, para Nabi senantiasa terbebas dari kedirian, sedang para jin dan manusia yang dibebani pertanggung jawaban moral, tak terlindungi. Tentu, para wali terlindung dari kedirian, dan para badal dari kekotoran kehendak. Kendati mereka tak bisa dianggap terbebas dari dua keburukan ini, kerana mungkin bagi mereka berkecenderung kepada dua kelemahan ini, tapi Allah melimpahi rahmatNya dan menyedarkan mereka.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda