MINGGU kemarin saya pergi menengok idola saya yang lain, Prof. Dr. Ir. Prasodjo Legowo M.Sc. atau sebaliknya Prof. Dr. Ir. Legowo Prasodjo MSc, miturut danganing panggalih yang mau mengingat-ingat nama yang bagus itu. Orang Jawa suka mempersoalkan urutan nama. Mana yang lebih dahulu: Prasodjo dulu baru Legowo atau Legowo dulu baru Prasodjo. Sederhana, apa adanya dulu atau pemaaf, lapang dada. Untuk menjadi pemaaf, lapang dada, mesti sanggup berwatak atau bersikap sederhana apa adanya terlebih dahulu. Atau, kalau mau bersikap pemaaf dan lapang dada, orang mesti dasarnya sederhana, apa adanya, tidak neka-neka. Tapi ah, kalau masalah begini dijadikan begitu akademis, filosofis, kebatinan, buat idola saya itu, masalah itu begitu sederhananya. Sederhana menghadapi nasi putih berlauk iwak empal. Pertanyaan nasinya dulu atau iwak-nya dulu akan dijawab: Sama saja urutannya. Nasinya dulu baru iwak empal-nya boleh, iwak empal-nya dulu baru nasi ya boleh juga. Wong di mulut akan nempel sama-sama di lidah, terus nyuus terasa enak dan seterusnya mak-legender mengglinding lewat kerongkongan masuk ke usus untuk digiling menjadi "hot-dog' yang lain aromanya itu. Dus sami mawon. Mau nasi dulu oke, mau iwak dulu ya oke juga. Mau Prasodjo dulu oke, lha mau Legowo dulu inggih oke mawon.
Begitulah, waktu Kiai Garuda Yeksa saya dengan anggunnya tapi tertatih-tatih di bawah penyopiran sopir profesional Mister Rigen memasuki halaman nDalem Prasodjoan Legowoan, saya lihat Kamas Prasodjo Legowo sedang duduk sinewaka didampingi sang permaisuri. Mereka berdua angra- cut busana hari Minggu yaitu celana pendek Bermuda jeans yang sudah pada butut dan T-shirt yang gambar-gambarnya sudah susah dilacak saking tuanya dimakan Kala.
"Weh, tamu dari kawasan utara datang nglurug ke sini."
"Kamu kalau nengok mbakyumu ini mbok jangan sering- sering, Dimas Geng. Kalau bisa setiap tahun Dai begitu bagaimana?"
Saya jadi kukur-kukur kepala mendapat sambutan tembakan ledekan itu.
"Wong tubuh belum diparkir di kursi, lho, kok sudah dapat brondongan mitralyur. VJong situ juga sudah tahun pekak ora enak juga tidak berkenan rawuh begitu, lho."
Suami-istri idola saya itu pun tertawa dengan renyahnya. Serenyah krupuk udang Sidoarjo yang digoreng dalam suhu panas minyak yang tepat. Sementara itu Mister Rigen juga sudah menarik kursi di pojok untuk ikut melibatkan diri dalam percakapan. Semangkin lama memang semangkin canggih. Digabung dengan kecenderungannya yang sok-filosofis tidak me-mudeng-kan itu, pernyataan-pernyataannya kadang-kadang tidak kalah ruwetnya dari priyagung-priyagung di pemerintahan pusat.
"Lha, kamu Mister, kok ya masih awet saja menjadi pembina bos-mu. Pasti bos-mu sudah beberapa kali menaikkan gajimu."
"Lho, Pak, hubungannya awet sama gaji itu apa, Pak?"
Mendengar itu saya mulai deg-degan. We lha, baru keluar satu kecap kalimat Mister Rigen sudah melemparkan soal kepada pakar matematika merangkap ilmu fisika yang sudah punya reputasi internasional. Kamas Prasodjo pun tertawa nggleges.
"Oh, rupamu, Gen. Jelas ada dong hubungannya."
"Apa, wii?"
"Lha, tampangmu itu apa akan awet bagus seperti Naraya- na kalau gajimu tidak pernah naik-naik. Gaji yang terus lu- mintu naik itu ibarat jamu, Gen."
"Enggih, to?"
"Ha, iya, Mister. Semangkin sedikit gajimu semangkin tidak awet tampangmu. Soalnya mau beli uba-rampe-nya untuk mengawetkan mukamu itu kan butuh uang."
"Uba-rampe-nya itu apa saja to, Pak?"
"Kamu itu bodo apa pura-pura bodo?'
"Lho, dari Pracinya saya itu tergolong pinter, Pak."
"Lha, kok begitu saya kok tidak tahu."
Saya sendiri mengikuti dialog jenius matematika internasional dengan jenius super lokal from Praci itu semangkin deg-degan lagi. Kamas Prasodjo semangkin nekad bolehnya nyebar propokasi. Lha, wulu cumbu saya semangkin ndablek bolehnya pura-pura bodo. Saya jadi semangkin curiga dialog itu semangkin berfungsi untuk memojokkan saya sebagai seorang majikan pancasilais. Bukankah majikan pancasilais tidak gampang-gampang menuruti kemauan buruh yang mau menuntut asal mau menuntut. Itu kemauan buruh yang kon- tra-revolusi, anti-produksi, subversi, dan pasti dengan sendirinya anti-pembangunan dan ujung-ujungnya anti Pancasila. Dan kalau Kamas Prasodjo terus menghasut-hasut begitu kan berabe saya ini. Apa bedanya Kamas Prasodjo itu dengan PKI kalau begitu.
"Lha, Bapak pakai istilah uba-rampe segala. Apa muka saya ini bangsanya lauk-pauk to, Pak."
"Oh, bento, bento. Uba rampe itu misalnya gizi, vitamin. Kalau makanmu sehari-hari itu tiga .......”
"Sehat, empat sempurna ..........."
"Lha, tahunya ngerti."
Saya lantas ngunandika. Mati aku kalau tuntutan tiga sehat, empat sempurna itu diterapkan secara konsekuen kepada menu batur-batur en para bedienden to? Sedang dari gaji saya saja belum tentu bisa konsekuen menuruti formula Prof. Poerwosoedarmo itu, apalagi buat Mister Rigen sak bedhes-bedhes-nya.
"Lha, kalau bos saya tidak bisa mencukupi bagaimana?"
"Protes, Gen, protes. Mogok, Gen, mogok."
Sambil ngomong begitu mata idola saya itu berkedip-kedip kepada saya. Cilaka. Dari sudut beliau mungkin itu dimaksudkan sebagai nyamikan gurauan Minggu pagi. Tapi, dari sudut si Rigen yang merasa dirinya pemimpin rakyat pedesaan, benggol rakyat pekerja petani, bagaimana? Belum tentu itu dianggap gurauan. Mungkin gurauan itu dianggap jadi penyulut pemberontakan. Bayangkan, keluarga Rigen memberontak kepada saya? Mau pakai baju apa saya?
"Stop. Stop Kamas Prasodjo Legowo, Legowo Prasodjo. Setop! Panjenengan sudah mulai nyrempet-nyrempet bahaya ini"
"Ha-ha-ha. Takut to, kamu? Takut, to? Wong nyalimu nyali borjuis kecil saja. Mau kehilangan comfort sedikit saja sudah takut kau. Kalau takut, diopeni yang baik dong buruhmu itu. Gizinya dicukupi. Sandang dilengkapi."
Saya jadi sedih mendengar ledekan idola saya itu. Jangan-jangan saya memang kurang fair memperlakukan buruh saya yang bernama Mister Rigen sekeluarga itu. Jangan-jangan yang saya berikan kepada mereka itu jauh di bawah upah minimum buruh. Jangan-jangan, jangan kangkung yang dimasak lima hari dalam satu minggu itu memang membosankan mereka. Tetapi, kenapa mereka diam saja? Dan bedhes-bedhes yang doyanannya sate usus itu kok ya nrimo saja kalau ber- minggu-minggu tidak saya panggilkan Pak Joyoboyo? Apa ini yang disebut sosialisasi nilai kulturnya wong mlarat?
"Ning bos kami itu sudah cukup semua kok memberi saya sekeluarga. Estu, betul, itu Pak Legowo. Malah kepara dimanja kita orang itu."
Saya pukul gundul wulu cumbu saya. Gung! Tapi, bukannya tanpa roso terharu. Ah, begitu peka dan tepa slira kamu terhadap majikanmu. Hai, kaum buruh seluruh dunia! Bersatulah untuk selalu tepa slira dengan majikan-majikanmu. Lho
3 Mei 1994
Begitulah, waktu Kiai Garuda Yeksa saya dengan anggunnya tapi tertatih-tatih di bawah penyopiran sopir profesional Mister Rigen memasuki halaman nDalem Prasodjoan Legowoan, saya lihat Kamas Prasodjo Legowo sedang duduk sinewaka didampingi sang permaisuri. Mereka berdua angra- cut busana hari Minggu yaitu celana pendek Bermuda jeans yang sudah pada butut dan T-shirt yang gambar-gambarnya sudah susah dilacak saking tuanya dimakan Kala.
"Weh, tamu dari kawasan utara datang nglurug ke sini."
"Kamu kalau nengok mbakyumu ini mbok jangan sering- sering, Dimas Geng. Kalau bisa setiap tahun Dai begitu bagaimana?"
Saya jadi kukur-kukur kepala mendapat sambutan tembakan ledekan itu.
"Wong tubuh belum diparkir di kursi, lho, kok sudah dapat brondongan mitralyur. VJong situ juga sudah tahun pekak ora enak juga tidak berkenan rawuh begitu, lho."
Suami-istri idola saya itu pun tertawa dengan renyahnya. Serenyah krupuk udang Sidoarjo yang digoreng dalam suhu panas minyak yang tepat. Sementara itu Mister Rigen juga sudah menarik kursi di pojok untuk ikut melibatkan diri dalam percakapan. Semangkin lama memang semangkin canggih. Digabung dengan kecenderungannya yang sok-filosofis tidak me-mudeng-kan itu, pernyataan-pernyataannya kadang-kadang tidak kalah ruwetnya dari priyagung-priyagung di pemerintahan pusat.
"Lha, kamu Mister, kok ya masih awet saja menjadi pembina bos-mu. Pasti bos-mu sudah beberapa kali menaikkan gajimu."
"Lho, Pak, hubungannya awet sama gaji itu apa, Pak?"
Mendengar itu saya mulai deg-degan. We lha, baru keluar satu kecap kalimat Mister Rigen sudah melemparkan soal kepada pakar matematika merangkap ilmu fisika yang sudah punya reputasi internasional. Kamas Prasodjo pun tertawa nggleges.
"Oh, rupamu, Gen. Jelas ada dong hubungannya."
"Apa, wii?"
"Lha, tampangmu itu apa akan awet bagus seperti Naraya- na kalau gajimu tidak pernah naik-naik. Gaji yang terus lu- mintu naik itu ibarat jamu, Gen."
"Enggih, to?"
"Ha, iya, Mister. Semangkin sedikit gajimu semangkin tidak awet tampangmu. Soalnya mau beli uba-rampe-nya untuk mengawetkan mukamu itu kan butuh uang."
"Uba-rampe-nya itu apa saja to, Pak?"
"Kamu itu bodo apa pura-pura bodo?'
"Lho, dari Pracinya saya itu tergolong pinter, Pak."
"Lha, kok begitu saya kok tidak tahu."
Saya sendiri mengikuti dialog jenius matematika internasional dengan jenius super lokal from Praci itu semangkin deg-degan lagi. Kamas Prasodjo semangkin nekad bolehnya nyebar propokasi. Lha, wulu cumbu saya semangkin ndablek bolehnya pura-pura bodo. Saya jadi semangkin curiga dialog itu semangkin berfungsi untuk memojokkan saya sebagai seorang majikan pancasilais. Bukankah majikan pancasilais tidak gampang-gampang menuruti kemauan buruh yang mau menuntut asal mau menuntut. Itu kemauan buruh yang kon- tra-revolusi, anti-produksi, subversi, dan pasti dengan sendirinya anti-pembangunan dan ujung-ujungnya anti Pancasila. Dan kalau Kamas Prasodjo terus menghasut-hasut begitu kan berabe saya ini. Apa bedanya Kamas Prasodjo itu dengan PKI kalau begitu.
"Lha, Bapak pakai istilah uba-rampe segala. Apa muka saya ini bangsanya lauk-pauk to, Pak."
"Oh, bento, bento. Uba rampe itu misalnya gizi, vitamin. Kalau makanmu sehari-hari itu tiga .......”
"Sehat, empat sempurna ..........."
"Lha, tahunya ngerti."
Saya lantas ngunandika. Mati aku kalau tuntutan tiga sehat, empat sempurna itu diterapkan secara konsekuen kepada menu batur-batur en para bedienden to? Sedang dari gaji saya saja belum tentu bisa konsekuen menuruti formula Prof. Poerwosoedarmo itu, apalagi buat Mister Rigen sak bedhes-bedhes-nya.
"Lha, kalau bos saya tidak bisa mencukupi bagaimana?"
"Protes, Gen, protes. Mogok, Gen, mogok."
Sambil ngomong begitu mata idola saya itu berkedip-kedip kepada saya. Cilaka. Dari sudut beliau mungkin itu dimaksudkan sebagai nyamikan gurauan Minggu pagi. Tapi, dari sudut si Rigen yang merasa dirinya pemimpin rakyat pedesaan, benggol rakyat pekerja petani, bagaimana? Belum tentu itu dianggap gurauan. Mungkin gurauan itu dianggap jadi penyulut pemberontakan. Bayangkan, keluarga Rigen memberontak kepada saya? Mau pakai baju apa saya?
"Stop. Stop Kamas Prasodjo Legowo, Legowo Prasodjo. Setop! Panjenengan sudah mulai nyrempet-nyrempet bahaya ini"
"Ha-ha-ha. Takut to, kamu? Takut, to? Wong nyalimu nyali borjuis kecil saja. Mau kehilangan comfort sedikit saja sudah takut kau. Kalau takut, diopeni yang baik dong buruhmu itu. Gizinya dicukupi. Sandang dilengkapi."
Saya jadi sedih mendengar ledekan idola saya itu. Jangan-jangan saya memang kurang fair memperlakukan buruh saya yang bernama Mister Rigen sekeluarga itu. Jangan-jangan yang saya berikan kepada mereka itu jauh di bawah upah minimum buruh. Jangan-jangan, jangan kangkung yang dimasak lima hari dalam satu minggu itu memang membosankan mereka. Tetapi, kenapa mereka diam saja? Dan bedhes-bedhes yang doyanannya sate usus itu kok ya nrimo saja kalau ber- minggu-minggu tidak saya panggilkan Pak Joyoboyo? Apa ini yang disebut sosialisasi nilai kulturnya wong mlarat?
"Ning bos kami itu sudah cukup semua kok memberi saya sekeluarga. Estu, betul, itu Pak Legowo. Malah kepara dimanja kita orang itu."
Saya pukul gundul wulu cumbu saya. Gung! Tapi, bukannya tanpa roso terharu. Ah, begitu peka dan tepa slira kamu terhadap majikanmu. Hai, kaum buruh seluruh dunia! Bersatulah untuk selalu tepa slira dengan majikan-majikanmu. Lho
3 Mei 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda