Jika seorang hamba diuji dengan suatu musibah, maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah bangkit dengan dirinya sendiri. Jika tidak mampu, maka mintalah pertolongan kepada sesama makhluk; seperti kepada para penguasa, pejabat, orang-orang yang lapang, dokter, dan lain sebagainya. Apabila masih juga tidak mendapatkan solusi, maka hendaknya ia kembali kepada Tuhannya dengan cara berdoa, menundukkan diri, dan memuji.
Selama masih bisa mendapatkan bantuan dari dalam dirinya, maka ia tidak perlu menghampiri makhluk lainnya. Dan, jika masih bisa mendapatkan bantuan dari makhluk, maka ia tidak perlu merujuk kepada Allah, Dzat Yang Maha Menciptakan. Kemudian, jika pertolongan tidak kunjung datang, maka ia harus menghambakan diri di hadapan-Nya, terus-menerus meminta, berdoa, menundukkan diri, dan merasa membutuhkan disertai dengan rasa takut dan penuh harapan.
Allah, Dzat Yang Maha Menciptakan tidak akan mengabulkan doa seorang hamba, sampai ia memutus ikatan dengan sarana-sarana duniawi. Ketika itulah, takdir diterapkan kepadanya dan perbuatan Allah Swt. berlaku pada dirinya. Akhirnya, ia menjadi fana (melebur binasa) dari segala sarana dan gerak, yang tersisa hanya ruhnya.
Dengan kondisinya yang demikian, ia menjadi yakin dan menyatu bahwa ia tidak lagi melihat apa pun, selain manifestasi tindakan Allah Swt. Tidak ada kebaikan dan keburukan, mudharat dan manfaat, pembuka dan penutup, kematian dan kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, kecuali di tangan-Nya.
Ia menjadi seperti anak kecil yang sedang menyusu di bawah asuhan perawatnya, mayat di tangan orang yang memandikannya, serta bola di hadapan orang Persia yang bisa dibolak-balik,
diubah, dan diganti; tidak ada gerakan pada dirinya sendiri maupun selainnya.
Ia menghilang dari dirinya dalam perbuatan Penguasanya. Tidak ada yang dilihatnya, selain Penguasanya. Ia tidak bisa mendengar dan memikirkan tentang selain-Nya.
Walaupun ia melihat, maka karena perbuatan-Nya-lah ia dapat melihat. Ia mendengar dengan kalam-Nya, mengetahui dengan ilmu-Nya, menikmati dengan nikmat-Nya, bahagia dengan kede- katan-Nya, serta merasa enak dan tenang dengan janji-Nya.
Bersama firman Allah Swt., ia merasa dekat. Sedangkan, dengan selain-Nya, ia merasa jauh dan muak. Melalui dzikir, ia kembali bersandar kepada-Nya. Hanya dengan-Nya, ia menjadi mulia, agung, dan kokoh. Kepada-Nya-lah ia bertawakkal. Dengan cahaya makrifat-Nya, ia mendapatkan petunjuk. Dengan ilmu-Nya, ia mengkaji dan menelaah. Serta, dengan rahasia-rahasia kekuasaan- Nya, ia menjadi mulia. Dari-Nya, ia mendengar dan tersadar. Kemudian, dengan semua itu, ia terus memuji, menyanjung, bersyukur, dan berdoa.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
------
Selama masih bisa mendapatkan bantuan dari dalam dirinya, maka ia tidak perlu menghampiri makhluk lainnya. Dan, jika masih bisa mendapatkan bantuan dari makhluk, maka ia tidak perlu merujuk kepada Allah, Dzat Yang Maha Menciptakan. Kemudian, jika pertolongan tidak kunjung datang, maka ia harus menghambakan diri di hadapan-Nya, terus-menerus meminta, berdoa, menundukkan diri, dan merasa membutuhkan disertai dengan rasa takut dan penuh harapan.
Allah, Dzat Yang Maha Menciptakan tidak akan mengabulkan doa seorang hamba, sampai ia memutus ikatan dengan sarana-sarana duniawi. Ketika itulah, takdir diterapkan kepadanya dan perbuatan Allah Swt. berlaku pada dirinya. Akhirnya, ia menjadi fana (melebur binasa) dari segala sarana dan gerak, yang tersisa hanya ruhnya.
Dengan kondisinya yang demikian, ia menjadi yakin dan menyatu bahwa ia tidak lagi melihat apa pun, selain manifestasi tindakan Allah Swt. Tidak ada kebaikan dan keburukan, mudharat dan manfaat, pembuka dan penutup, kematian dan kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, kecuali di tangan-Nya.
Ia menjadi seperti anak kecil yang sedang menyusu di bawah asuhan perawatnya, mayat di tangan orang yang memandikannya, serta bola di hadapan orang Persia yang bisa dibolak-balik,
diubah, dan diganti; tidak ada gerakan pada dirinya sendiri maupun selainnya.
Ia menghilang dari dirinya dalam perbuatan Penguasanya. Tidak ada yang dilihatnya, selain Penguasanya. Ia tidak bisa mendengar dan memikirkan tentang selain-Nya.
Walaupun ia melihat, maka karena perbuatan-Nya-lah ia dapat melihat. Ia mendengar dengan kalam-Nya, mengetahui dengan ilmu-Nya, menikmati dengan nikmat-Nya, bahagia dengan kede- katan-Nya, serta merasa enak dan tenang dengan janji-Nya.
Bersama firman Allah Swt., ia merasa dekat. Sedangkan, dengan selain-Nya, ia merasa jauh dan muak. Melalui dzikir, ia kembali bersandar kepada-Nya. Hanya dengan-Nya, ia menjadi mulia, agung, dan kokoh. Kepada-Nya-lah ia bertawakkal. Dengan cahaya makrifat-Nya, ia mendapatkan petunjuk. Dengan ilmu-Nya, ia mengkaji dan menelaah. Serta, dengan rahasia-rahasia kekuasaan- Nya, ia menjadi mulia. Dari-Nya, ia mendengar dan tersadar. Kemudian, dengan semua itu, ia terus memuji, menyanjung, bersyukur, dan berdoa.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
------
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda