GARA-GARA jatuh terpeleset, dengkul saya jadi sakit dan untuk kesekian kali, saya harus in de kost di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Baru pada hari-hari liburan Natal yang lalu saya mondok di RSCM, dan beberapa bulan sebelumnya di Panti Rapih, eh, sekarang harus ngendon di rumah sakit lagi. Untung kamar-kamar yang saya tempati di rumah sakit tersebut bersih dan perawatannya baik, meskipun di rumah-rumah sakit tersebut Askes tidak berlaku. Yah, nasib pegawai negeri. Mau minta yang sedikit /ux terseok pada pepatah jer basuki mawa bea. Kalau mau enak ya ada beayanya, dong. Dan ini tidak terkecuali pada Korpri- Korpri yang bernama Basuki yang ribuan banyaknya itu.
Begitulah. Di rumah sakit ini saya sudah kena ledek, baik dari juru rawat maupun dari dokternya.
"Bapak sudah umur berapa, sih?" tanya sang juru rawat.
"Enam puluh dua tahun."
"Pantesan."
"Pantesan bagaimana."
"Sudah berumur."
"Lantas, kalau sudah berumur bagaimana?"
Juru rawat-juru rawat itu pada ketawa cekikikan kecil seperti ringkik anak kuda. Hi-hi-hiiik tanpa ngi-yeeeh.
"Bapak itu bodi masih nampak boleh, tapi kaki kok sudah keropos!"
Mereka pun meringkik lagi. Cuma perasaan saya kali itu ringkikannya kok tambah ngi-yeeek ......
Lha, dokter ahli tulang itu sesudah me-rontgen dengkul saya dan menggerak-gerakkan dengkul saya bagaikan meng-ontel mesin maju dan mundur sampai berbunyi mak-kreteg, tersenyum seperti anak yang baru menjajal mainan mobil Tamiya.
"Bapak jangan kaget ya dengar komentar saya."
"Ah, tidak. Wong saya sendiri cari makan sebagai tukang komentar, je."
"Bapak itu umpama mobil ........."
"BMW, Mercedes, Kijang, Oplet?"
"Terserah Bapak, deh. Mercedes?"
"BMW saja, yang lebih sederhana."
Saya lantas ingat BMW Prof. Dr. Lemahamba etc., etc., yang hijau metallic, yang kalau distarter bunyinya mak klenyer-klenyer itu.
"Bapak itu umpama BMW, BMW tahun '50-an begitu. Mesinnya sudah aus." Mak-cles, hati saya jadi angles mendengar tembakan yang berbunyi "aus" itu. Dalam bayangan saya BMW hijau metallic Prof. Lemahamba itu distarter tidak bunyi mak-klenyer-klenyer lagi, tapi mak-krotok-krotok.
"Sekrup-sekrupnya sudah londot semua. Begitu dengkul Bapak. Sudah mulai kapuran dan oglak-aglik."
Mati aku, pikir saya. Wong dengkul kok oglak-aglik.
"Tapi, Bapak jangan pesimis dan putus asa. Dengkul Bapak nampaknya tidak retak. Tidak perlu operasi, cuma aus saja."
"Mbok Dokter tidak usah pake bilang aus segala. Bikin saya minder saja. Mahasiswi S-2 saya masih banyak yang yahud, lho."
Dokter tulang-belulang itu dengan senyumnya yang khas pergi meninggalkan kamar saya.
Saya pergi ke depan kaca wastafel saya. Mengaca bagaikan Narcissus yang jatuh cinta pada wajahnya sendiri yang nampak pada permukaan air telaga. Mengamati muka saya lama- lama. Andeng-andeng saya ada dua yang gede-gede sekarang. (Pak Dengkek dhuwe andeng-andeng gede ...)
Jerawat kecil-kecil beserta lobang-lobang besarnya tan kena kinira banyaknya. Wah, wajah Narcissus gadungan ini memang sudah hopeless situasi dan kondisinya.
Lantas saya ingat tayangan tentang Museum Palaentologi Sangiran. Tulang, tulang, tulang yang sudah pada membatu. Dengkul saya yang mulai aus ini akan membatu juga sekian ratus ribu tahun lagi. The petrified dengkul of Ageng. Sekian ratus ribu tahun lagi (kalau masih ada bahasa Inggris dan museum palaentologi pada waktu itu) dengkul kualitas BMW saya akan tampak seperti itu dan mungkin dipajang di museum palaentologi sebagai spesimen manusia homo erectus atau The petrified dengkul of Ageng itu bisa juga dijadikan titel lakon sandiwara seperti lakon The Petrified Forest, yang dimainkan oleh mahasiswa A(kademi) T(eater) N(asional), yang hampir 30 tahun lalu pernah saya lihat di Gedung Kesenian Jakarta. Mungkin saja, kan?
"Hidup ini hanya sandiwara," nyanyi Ahmad Albar.
Cermin di wastafel saya tinggalkan, di pinggir tempat tidur saya kembali menekuni nasib dengkul saya. Saya ingat kata- kata Prof. Dr. Teuku Jacob bahwa tulang-tulang membatu di Sangiran itu adalah spesimen mahapenting dari sejarah perjalanan manusia menjadi manusia. Maka penemuan dan museum Sangiran mesti dijaga baik-baik.
Saya mengelus dengkul saya dengan bangga. Inilah dengkul dari sekian matarantai perjalanan manusia memanusia.
Lha, Apa yang Kau Cari Palupi, tanya Asrul Sani dalam filmnya.
12 April 1994
Begitulah. Di rumah sakit ini saya sudah kena ledek, baik dari juru rawat maupun dari dokternya.
"Bapak sudah umur berapa, sih?" tanya sang juru rawat.
"Enam puluh dua tahun."
"Pantesan."
"Pantesan bagaimana."
"Sudah berumur."
"Lantas, kalau sudah berumur bagaimana?"
Juru rawat-juru rawat itu pada ketawa cekikikan kecil seperti ringkik anak kuda. Hi-hi-hiiik tanpa ngi-yeeeh.
"Bapak itu bodi masih nampak boleh, tapi kaki kok sudah keropos!"
Mereka pun meringkik lagi. Cuma perasaan saya kali itu ringkikannya kok tambah ngi-yeeek ......
Lha, dokter ahli tulang itu sesudah me-rontgen dengkul saya dan menggerak-gerakkan dengkul saya bagaikan meng-ontel mesin maju dan mundur sampai berbunyi mak-kreteg, tersenyum seperti anak yang baru menjajal mainan mobil Tamiya.
"Bapak jangan kaget ya dengar komentar saya."
"Ah, tidak. Wong saya sendiri cari makan sebagai tukang komentar, je."
"Bapak itu umpama mobil ........."
"BMW, Mercedes, Kijang, Oplet?"
"Terserah Bapak, deh. Mercedes?"
"BMW saja, yang lebih sederhana."
Saya lantas ingat BMW Prof. Dr. Lemahamba etc., etc., yang hijau metallic, yang kalau distarter bunyinya mak klenyer-klenyer itu.
"Bapak itu umpama BMW, BMW tahun '50-an begitu. Mesinnya sudah aus." Mak-cles, hati saya jadi angles mendengar tembakan yang berbunyi "aus" itu. Dalam bayangan saya BMW hijau metallic Prof. Lemahamba itu distarter tidak bunyi mak-klenyer-klenyer lagi, tapi mak-krotok-krotok.
"Sekrup-sekrupnya sudah londot semua. Begitu dengkul Bapak. Sudah mulai kapuran dan oglak-aglik."
Mati aku, pikir saya. Wong dengkul kok oglak-aglik.
"Tapi, Bapak jangan pesimis dan putus asa. Dengkul Bapak nampaknya tidak retak. Tidak perlu operasi, cuma aus saja."
"Mbok Dokter tidak usah pake bilang aus segala. Bikin saya minder saja. Mahasiswi S-2 saya masih banyak yang yahud, lho."
Dokter tulang-belulang itu dengan senyumnya yang khas pergi meninggalkan kamar saya.
Saya pergi ke depan kaca wastafel saya. Mengaca bagaikan Narcissus yang jatuh cinta pada wajahnya sendiri yang nampak pada permukaan air telaga. Mengamati muka saya lama- lama. Andeng-andeng saya ada dua yang gede-gede sekarang. (Pak Dengkek dhuwe andeng-andeng gede ...)
Jerawat kecil-kecil beserta lobang-lobang besarnya tan kena kinira banyaknya. Wah, wajah Narcissus gadungan ini memang sudah hopeless situasi dan kondisinya.
Lantas saya ingat tayangan tentang Museum Palaentologi Sangiran. Tulang, tulang, tulang yang sudah pada membatu. Dengkul saya yang mulai aus ini akan membatu juga sekian ratus ribu tahun lagi. The petrified dengkul of Ageng. Sekian ratus ribu tahun lagi (kalau masih ada bahasa Inggris dan museum palaentologi pada waktu itu) dengkul kualitas BMW saya akan tampak seperti itu dan mungkin dipajang di museum palaentologi sebagai spesimen manusia homo erectus atau The petrified dengkul of Ageng itu bisa juga dijadikan titel lakon sandiwara seperti lakon The Petrified Forest, yang dimainkan oleh mahasiswa A(kademi) T(eater) N(asional), yang hampir 30 tahun lalu pernah saya lihat di Gedung Kesenian Jakarta. Mungkin saja, kan?
"Hidup ini hanya sandiwara," nyanyi Ahmad Albar.
Cermin di wastafel saya tinggalkan, di pinggir tempat tidur saya kembali menekuni nasib dengkul saya. Saya ingat kata- kata Prof. Dr. Teuku Jacob bahwa tulang-tulang membatu di Sangiran itu adalah spesimen mahapenting dari sejarah perjalanan manusia menjadi manusia. Maka penemuan dan museum Sangiran mesti dijaga baik-baik.
Saya mengelus dengkul saya dengan bangga. Inilah dengkul dari sekian matarantai perjalanan manusia memanusia.
Lha, Apa yang Kau Cari Palupi, tanya Asrul Sani dalam filmnya.
12 April 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda