MENANGKAP suara rakyat, keluh-kesah wong cilik, sesungguhnya tidak selalu harus jauh- jauh terjun ke lapangan lewat survei dengan metode penelitian yang canggih. Menangkap gerutu atau komentar sengak dari Mister Rigen yang sekali-sekali dilontarkan seringkali merupakan suara representatif juga dari rakyat banyak. Individu-individu vokal yang kadar kecerewetannya mendekati kualitas jenius seperti Mister Rigen saya anggap mewakili mulut beribu malah mungkin berjuta rakyat banyak. Pendapat-pendapatnya yang diterjemahkan dalam bahasa sengak bin nylekit sesungguhnya merupakan perasan dari pikiran rakyat banyak itu. Begitulah, misalnya, percakapan Mister Rigen dengan Pak Jo- yoboyo, penjaja ayam panggang Klaten yang legendaris itu. Seperti biasa mereka mengobrol sembari duduk ngglesot di lantai di hadapan hamparan ayam-ayam panggang yang pating gelundung ditata dengan apiknya di atas daun-daun pisang.
"Lha, enggih, Mas Joyo. Ini tidak mau menyinggung perasaan sampeyan lho, nggih?'
"Menyinggung perasaan saya bagaimana? Belum-belum kok mau menyinggung perasaan to, Mas."
"Ha, enggih. Sampeyan itu, lho! Ning tidak tersinggung lho, nggih?"
"Enggih, enggih. Silakan menyinggung, to. Silakan."
Saya yang duduk mendengarkan dari dalam ruang dalam segera memasang kuping saya. Saya tahu kalau ancang-ancang percakapan sudah dimulai dengan gaya dagelan Mataram begitu, itu tandanya percakapan bakalan seru.
Saya amati sampeyan itu sejak saya kenal kok ya sama saja to, Mas. Padahal sebelum kenal saya mestinya sampeyan rak sudah menjaja penggeng eyem, penggeng eyem begitu, Mas
Joyo?"
"Woo, itu to yang sampeyan maksud dengan menyinggung itu. Ya memang tersinggung saya, Mas Rigen. Wong kenyataan kok dihilangi terus terang. Lha, sama dengan sampeyan to, Mas. Sejak dulu ngawula Pak Ageng, kok ya sama saja sampeyan itu. Padahal pangkat sampeyan itu kabarnya tinggi banget: Drijen apa jerigen begitu."
Saya dengar mereka lantas tertawa cekikikan Saya dengar Pak Joyo melanjutkan percakapan.
"Orang kayak kita itu Mas Rigen bangsa awet."
"Lho, awet pripun?"
"Awet tur wanteg. Tanggung tidak luntur."
'Lho, awet, wanteg pripun to, Mas Joyo?"
Ha, enggih. Awet mlaratnya, wanteg kerenya. Dari dulu sampai mbesuk kita-kita ini ya akan begini terus. Gaji- sampeyan sebagai drijen yang sak petutuk dan warisan tambah bonus dari nyonyahe Klaten itu rak tidak pernah mengubah hidup kita to, Mas Rigen. Wong terus menggeh-menggeh kepontalan mengejar implasi yang terus ngebet lari kenceng terus begitu. Rak iya to, Mas Rigen. Rak enggih, to?"
We, ha enggih, lho. Saya itu sama mbok-nya thole-thole itu kadang-kadang tidak merasa kalau hidup kita itu pancet saja. Wong ya sesungguhnya tidak terlalu kekurangan."
"Lha iya, sampeyan itu masih rada kepenak. Makan tidak mikir tur cukup. Sandang ya apesnya dapat lorodan-lorodan bos sama nyonya bos. Lha, yang baru"sekali-sekali kan ya diberi. Ya to, nggih? Lha, kalau saya ini apa-apa mesti cari sendiri. Ning ya tidak apa-apa itu, Mas Rigen. Ndilalah kersaning Allah saya pancet-pancet begini ya cukup-cukup saja itu, Mas."
"Lha iya, wong kita itu bangsanya nrimo. Nrimo ing pandum, menerima apa yang sudah dijatah Gusti Allah. Lha kalau
sudah tahu fosisi ........"
"Apa itu, Mas Rigen?"
"Fosisi. Fo-si-si. Fosisi. Kalau tidak bisa bilang /f/ ya posisi saja. Artinya ya fosisi itu. Ah, tempat, tempat. Artinya, Mas Joyo, kalau kita tahu tempat kita yang sudah digariskan Gusti Allah ya tentramlah hati kita. Tidak usah ngoyo, Mas Joyo. Nanti...."
"Lekas tuwa! Tapi terus terang Mas Drijen nrimo-nrimo begitu sampeyan apa kadang-kadang tidak tergiur untuk kepingin jadi konglomerat? Kong(!)-lhoo-meraat."
Mereka tertawa cekikikan lagi. trembelane tenanl Mereka kumat terus filsafat-filsafatan. Tapi, kalau direnungkan boleh juga fosisi otak mereka. Agak miring sedikit, tapi sehat.
"Ya, sesungguhnya sekali-sekali kepingin juga. Tapi, hanya untuk mimpi-mimpi saja. Wah, kalau sudah mimpi begitu saya bisa jadi kong(!)-lhoo-meraat beneran, Mas Joyo. Lha, wong mimpi tidak bayar saja, kok. Rumah dua belas. Istri dua belas."
"Elho, elho, kok yang itu juga dua belas itu pripun, Mas Rigen."
"Wualah, wong mimpi saja lho, Mas Joyo."
"Lhoo. Melik nggendong lali! Mendamba sesuatu membawa serta lupa!"
"Iya, iya. Saya tak menggendong mbokne thole saja. Meskipun berat. Enam puluh kilo itu, Mas. Tapi terus terang lagi, Mas Joyo. Selama jadi karyawan penjaja nyonyah sampeyan itu sampeyan pernah nguntet, koropsi uang jualan apa tidak, Mas Joyo?"
"Elho, sampeyan itu bagaimana! Lha, mbok disamber gledek tujuh turunan kalau saya sampai tega nguntet uang orang lain. Sebaliknya sampeyan sendiri bagaimana? Pernah mendodosi, merogoh-rogoh uang Pak Ageng yang ketinggalan di saku celana yang mau dicuci apa tidak, hayo?"
"Woo, lha mbok jari-jari saya ciker mblungker tidak bisa lagi membuka tangan saya kalau saya pernah rogoh-rogoh begitu. Paling kalau ada lebihan uang belanja pasar sedikit saya belikan sedikit satu, dua bungkus gatot-tiwul buat seisi rumah."
"Lho, itu ya koropsi, Mas."
"Woo, ya tidak. Wong seluruh rumah, termasuk Pak Ageng, ikut menikmati, kok."
kamar depan. Sampai sekarang saya tidak tahu arti "wooo" dari suara wong cilik itu. Woooo —
19 April 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda