Mr. Rigen yang pencandu sepakbola itu gemas sekali melihat hasil skor pertandingan Persebaya lawan Persipura.
“Kok bisa-bisanya ya, Pak ?”
“Bisa-bisanya bagaimana ?”
“Lha, ya itu. Skor kok 12 – nul. Itu kan main sabun to, Pak ?”
“Bagaimana kamu pasti itu hasil main sabun ?” Saya pancing dia.
“Ha, inggih jelas gitu kok, Pak. Mana mungkin Persebaya kalah sampai dua belas dari Persipura. Persebaya sekali-sekali ya boleh kalah dari Persipura. Ning nek sampai kalih welas itu mboten umum. Jadi, ini pasti main sabun.”
Saya mengangguk-angguk, menyatakan setuju dengan jalan pikirannya. Cara dia membangun logika, memilih premis dan menarik kesimpulan boleh juga.
“Terus kalau menurut kamu permainan sabun begitu harus diapakan ?”
“Ya dihukum gitu, Pak. Dihukum. Sebab kalau tidak, mremen-mremen, menjalar ke mana-mana. Bisa rusak sepakbola kita.”
Saya mengangguk-angguk lagi. Kagum akan ketegasan dan kekukuhan pendiriannya. Dan pada waktu orang-orang Persebaya sendiri mengaku bahwa itu main sabun dengan Persipura agar bisa mendepak keluar PSIS, dengan bersemangat Mr. Rigen datang lagi kepada saya.
“To, Pak. To, Pak. Pripun, pripun, kalau begni ini.”
“Ada apa kali ini, Mister ? Kok bolehmu gugup !”
“Lha, ini Persebaya ngaku kalau main sabun.”
“Terus ?”
“Enak saja bilangnya itu siasat. Kalau semua main sabun pakai alasan siasat, rak inggih kaco aturan negoro nggih, Pak ?”
Sekali lagi saya mengangguk-angguk. Sekali lagi saya kagum akan keteguhan pendiriannya. Oh, rakyatku yang sederhana, pikiranmu yang polos itulah sokoguru kelangsungan republik ini. Kepolosanmu akan disalahgunakan, kepolosanmu akan diinjak-injak, kepolosanmu akan diperjualbelikan, tetapi kepolosanmu itu akan tetap menjadi sokoguru republik ini. Nah !
Di belakang rumah, saya mendengar Mrs. Nansiyem ribut-ribut dengan Beni Prakosa. Mr. Rigen segera mak brabat lari ke belakang mungkin mencium gejala krisis di daerah kekuasaannya. Saya pun jadi ikutan tergerak mak brabat lari ke belakang.
“Iki lho, Pak-e. Iki lho, Pak-e !”
“Ada apa, Bune ? Ada apa kok ribut ora karuan ?”
“Lha, ini kamu lihat sendiri anakmu si bedhes ndoromas Beni Prakosa. Mandi cuma main sabun terus. Nggak mau mandi-mandi. Ayo mandi, nggak ? Nanti dak jewer betul, lho, kupingmu !”
Saya melihat sang bedhes Beni yang memang angudubilah nakalnya itu, tertawa terkekeh-kekeh menggosok-nggosokkan sabun di tubuhnya, lantas dicelup-celupkan lagi ke ember mandi hingga air di ember jadi putih semua. Sabun yang berenang-renang di ember itu selalu mrucut menghindar tangkapan anak itu. Mrs. Nansiyem tidak sabar lagi. Tangannya dengan sebat menjewer kedua telinga anaknya. Cengeerrrr … sang Beni pun menangis menjempling-jempling. Situasi pun menjadi tidak terkendali lagi.
“Ini anak bandel tidak ketulungan lagi. Dibilangin jangan main sabun, kok terus saja main sabun !”
Dan Mrs. Nansiyem dengan lebih getol dan penuh gusto mengewer-ngewer telinga anaknya lagi.
“Kapok ora ?! Kapok ora ?!”
Dan Beni Prakosa pun semangkin menjadi-jadi jerit tangisnya. Lama-lama saya lihat Mr. Rigen tidak tahan lagi melihat situasi yang bising dan kacau nggak karuan itu.
“Wis, Bune. Wis, Bune. Kamu jangan ngawur mala anak. Salah-salah malah putus kewer-kewer kuping anakmu. Nanti kamu yangnyesel.”
“Anak salah ya kudu diajar ngono.”
“Iyo. Ning kamu sudah kebangeten.”
Beni lantas digendong bapaknya. Dihanduki lantas digeletakkan di tempat tidur. Waktu Mr. Rigen ketemu saya lagi di ruang depan, dia merasa perlu menjelaskan sikapnya menyelematkan anaknya dari jeweran istrinya.
“Lha, inggih to, Pak.”
“Apanya yang lha inggih ?”
“Anak itu ya kita tega patine ning ora tega larane. Bune thole itu sok kebangeten mala anak.”
“Ayak, Gen, Gen … Yang tadi bilang orang main sabun kudu dihukum itu siapa ?”
“Ha, inggih kulo. Ning ya lihat-lihat sikonnya to, Pak.”
“Weh, kok kowe tahu sikon apa ?”
“Ha, inggih to, Pak. Yang main sabun ini kan anak. Anak, Pak. Anak ! Meski salah ya akhirnya kudu tetep dilindungi. Wong anak kok, Pak. Anak !”
Saya mengangguk-ngangguk. Oh, rakyatku yang baik hati. Kebaikan hatimu inilah yang akan menjaga kelangsungan hidup republik kita yang tercinta ini ….
Yogyakarta, 15 Maret 1988
*) gambar dari bajulijo.net