Jajan adalah sarapan kedua, dessert atau cuci mulut sesudah makan siang, dan alat untuk mancal kemul atau penedang selimut sebelum tidur. Bagaimana hebat dan bertubi-tubinya indoktrinasi yang telah kita dapat sejak kecil bahwa jajan adalah tidak baik. Karena airnya mentah, makanannya tidak ditutup tudung saji karena itu penuh dengan debu, gizinya cuma sedikit, tempat nangkring lalat pembawa penyakit. Toh, dengan gembira kita lawan indoktrinasi itu. Seakan-akan indoktrinasi yang sudah berdasar penelitian dan penemuan ilmiah itu omongan gombal saja.
Korban besar atau kecil, perut mules atau mencret bahkan meninggal, tidak pernah membuat kita jera. Kita jajan, jajan dan jajan. Dan sepertinya ini merupakan persekongkolan internasional melawan fatwa-fatwa tentang hygiene dan kesehatan, di seluruh dunia, baik kesatu, kedua dan ketiga, orang gemar melahap jajanan itu. Dan with relish, dengan nikmat !
Lihat saja Meryl Streep dalam “Falling in Love”. Dengan sedapnya aktris dahsyat itu melahap hot-dog jalanan sembari terus minta tambah sambal chili kepada penjajanya. Padahal di samping indoktrinasi di sekolah, majalah “Comsumer’s Report” yang sangat berwibawa di Amerika itu, tidak jera-jeranya memperingatkan khalayak akan kotor dan tidak hygienis-nya makanan seperti hot-dog atau hamburgerjalanan itu.
Bahkan untuk makanan rakyat atau makanan jalanan itu, mereka menciptakan istilah junk food. Makanan sampah ! Makanan rongsokan ! Toh, rakyat Amerika terus melahap makanan rongsokan itu di jalan-jalan. Restoran-restoran yang canggih di negara itu yang mengangkathamburger dalam menu mereka dengan, misalnya, merk hamburger with college education, tidak pernah dapat mengusir hot-dog danhamburger dari jalanan. Mereka tumbuh terus dengan suburnya. Ilalang tidak pernah punah, kata pepatah Belanda.
“Pak Ageng, Beni boleh panggil ginding-ginding, ya ?”
“Ginding-ginding itu apa ?”
“Itu, lho, yang bundel-bundel, yang ting-ting.”
Anak kecil, apalagi jenius seperti Beni Prakosa, selalu mempunyai cara sendiri untuk menggambarkan benda-benda. Adapun ginding-ginding itu maksudnya glinding-glinding, bundel-bundel adalah bunder-bunder dan ting-ting adalah suara mangkuk yang dipukul sendok. Maka tahulah kita yang dia gambarkan. Bakso ! Wah, setan cilik itu minta bakso pada pukul empat sore. Dua jam sebelumnya dia masih tidur pules. Dan setengah jam sebelumnya dia masih makan siang dengan sop cakar yang sangat bergizi. Pada pukul empat sore tubuhnya sudah membutuhkan jajan bunderan daging kecil-kecil yang direkat dengan kanji dalam jumlah yang sangat sporadis berenang-renang di kolam larutan kaldu yang mengagumkan cuwer-nya.
“Boleh, boleh. Panggil, Le !”
Saya tidak tahu mengapa nyaris otomatis saya mengatakan “boleh” kepada setiap permintaan bedhes cilik itu. Mr. Rigen yang mendengar itu, buru-buru berteriak,
“Ginding-ginding tiga saja !”
Hari berikutnya, hari yang memang panas betul. Kami serumah leyeh-leyeh kegerahan. Suara penjaja es puter lewat. Beni Prakosa pun berteriak,
“Pak Ageengg ! Es tung-tung, es tung-tung !”
“Terus mau apa kalau ada es tung-tung ?”
“Beni mau, Pak Ageng.”
“Kamu baru sembuh dari pilek, to ?”
“Sudah sembuh, sudah sembuh !”
“Sudah sembuh, sudah sembuh ! Ya, boleh panggil, Le !”
Dan, eh, kok saya ikut-ikutan beli juga, lho. Dan, hemm … nikmat juga ! Dan tentu saja saya tidak bertanya apakah airnya matang atau mentah, santannya diperas di bekas kaos dalam penjajanya atau dikalo bambu yang bersih, merasnya pakai tangan kanan atau tangan kiri. Pokoknya rasanya enak. Dan kami serumah menikmati es tung-tung tanpa beban apa pun. Mr. Rigen dan spouse pun ikut menikmatinya tanpa kekhawatiran anaknya mungkin akan kambuh batuknya. Pokoknya enak.
Di Jakarta beberapa hari sesudah itu si mBak, anak sulung saya yang sudah bersuami dan beranak bayi itu, membawa berita setengah pengumuman setengah tuntutan.
“Pak, es krim Häagen Dasz sudah datang di Jakarta !”
“Terus ?”
“Kok terus. Beli, dong !”
“Dalam rangka ?”
“Dalam rangka nostalgia.”
Es krim, saya ingat, memang kelewat enak. Cuma enaknya es krim itu sampai mana sih batas puncaknya ? Di Moskow, saya ingat, es krimnya juga kelewat enak. Konon dulu mereka mengirim Anastasia Mikoyan sendiri untuk belajar membuat es krim di Amerika. Ada punHäagen Dasz itu bukan es krim Skandinavia, melainkan es krim Amerika tulen. Nama Häagen Dasz itu konon untuk bikin seram di telinga saja. Biar lebih meyakinkan, memberi kesan es krim impor. Jadi, sesungguhnya sama saja dengan sepatu Cibaduyut diberi merk ‘kebarat-baratan’, tas kantor Sidoarjo diberi merk Echolac atau Samsonite.
“Demi nostalgia nih, yeee ?”
“Iye, dong, Be.”
Dan demi nostalgia itu mahal juga harganya. Eh, bukan mahal ! Tapi … muahall ! Plus korban perasan lagi. Bayangkan, di delicatessenHotel Borobudur saya memang plingak-plinguk mencari saudara Häagen Dasz itu ngumpet di mana. Perempuan yang jaga itu, perempuan Indonesia, bertanya rada ketus,
“Yes ?”
Lho, kok yes, tanya saya dalam hati, “Yes ?”
Wah, repot nih. Tanyanya yes melulu.
“Anu, apa betul di sini jualan Häagen Dasz ?”
“Sure. Di situ. Di freezer itu. Mau beli ? Satu pint Rp 9.500,- plus tax, lho. Diamond saja lebih murah. Bule saja kalau ke sini ambil yangDiamond …”
Untuk show of force bahwa Häagen Dasz itu dulu di Amerika sono adalah dessert kami setiap saat, saya beli dua pint. Satu Chocolate, satuVanilla Honey. Di depan kas, meski mata masih menteleng mempertahankan gengsi, hati saya kecut juga. Mati aku. Es krim dua pint saja kok dua kali Rp. 9.500,- plus tax, lho.
“Terima kasih, Pak. Saya harap keluarga akan enjoy Häagen Dasz.”
“Sure, sure, mBak. Häagen Dasz ganyangan kami sehari-hari.”
Di rumah kami, di Cipinang Indah, memang dengan penuh relish anak-anak saya plus meng-Häagen Dasz dengan nikmatnya. Akan halnya saya, karena yang membayar, tentu saja harus juga kelihatan nikmat melahap es krim canggih itu. Juga istri saya, yang sepeninggal saya wajib ketir-ketir hatinya menampung tuntutan-tuntutan nostalgia yang lain dari anak-anak saya.
Waktu kembali ke Bulaksumur segera saya keluarkan perintah hari itu.
“Mr. Rigen, Mrs. Nansiyem, Beni Prakosa, kalau es tung-tung lewat, segera panggil, ya !”
“Lho, tumben Bapak kok ngebet es tung-tung ?”
“Demi nostalgia, Gen.”
Kami berempat, sekali lagi leyeh-leyeh di lincak menikmati es tung-tung di siang yang gerah itu. Empat gelas es tung-tung harganya cuma Rp. 200,-. Junk food, makanan rongsokan sedunia, bersatulah !
Yogyakarta, 23 Februari 1988
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda