Sesungguhnya, tidak ada sesuatu pun yang tampak, kecuali hanya Allah Swt. Sedangkan, nafsumu dan dirimu merupakan mukhatab (yang diajak bicara/sasaran firman-Nya). Nafsu adalah lawan dan musuh-Nya. Segala sesuatu tunduk kepada-Nya, begitu pula nafsu yang telah diciptakan-Nya dan dikuasai-Nya. Nafsu memiliki kecenderungan untuk sering mengklaim, berharap sesuatu yang impossible, serta mengandung syahwat dan kenikmatan ketika kamu menurutinya.
Oleh karena itu, jika kamu mengikuti Allah Swt. untuk melawan dan memusuhi nafsu maka kamu sedang bertempur dengan nafsu kamu sendiri dan berada di pihak-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. kepada Nabi Daud As.:
"Wahai Daud, Aku menyerumu dengan kelaziman. Tetapkanlah penghambaanmu dengan menjadi musuh bagi nafsumu."
Dengan kondisi semacam itu, kamu akan mewujudkan loyalitas dan penghambaanmu kepada Allah Swt. Lalu, kamu akan mendapatkan bagianmu dengan senang, nikmat, dan penuh kebaikan. Kamu juga berada pada posisi yang mulia dan agung. Segala sesuatu akan melayanimu, menyanjungmu, dan memuliakan- mu. Sebab, semua adalah bawahan yang tunduk kepada Allah Swt., Dia-lah Yang Maha Pencipta dan Membentuk mereka. Mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Nya. Allah Swt berfirman:
"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. Tetapi, kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (QS. al-Israa' [17]: 44).
Allah Swt. Juga berfirman:
"Kemudian, Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap. Lalu, Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati." (QS. Fushilat [41]: 11).
Semua ibadah itu terletak pada sikap dirimu dalam melawan hawa nafsu. Di dalam al-Qur'an disebutkan:
"...Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...." (QS. Shaad [38]: 26).
Allah Swt. juga berfirman kepada Nabi Daud As., "Jauhilah hawa nafsumu, karena ia adalah penentang." Ada sebuah hikayat terkenal tentang Abu Yazid al-Busthamy Ra. Konon, ia bermimpi melihat Allah Swt. Lalu, ia bertanya kepada-Nya, "Bagaimana jalan menuju- Mu?" Dia menjawab, "Tinggalkanlah hawa nafsumu dan kemarilah." Setelah itu, ia mengatakan bahwa ia melepaskan diri dari nafsunya; laksana ular yang melepaskan diri dari kulitnya.
Semua kebaikan berada pada usahamu dalam melawan nafsu dalam segala keadaan. Jika kamu berada dalam keadaan takwa, maka lawanlah hawa nafsu itu dengan cara menjauh dari hal-hal yang haram dan syubhat, bergantung kepada para makhluk, meyakini mereka, takut kepada mereka, dan berharap terhadap mereka, serta tamak terhadap hukum-hukum dunia yang ada di tangan mereka. Kamu juga tidak lagi mengharap pemberian atas nama hadiah, zakat, shadaqah, dan nadzar.
Putuskanlah harapanmu terhadap mereka dari segala bentuk dan perantara. Bahkan, seandainya kamu memiliki pewaris orang kaya, maka janganlah mengharapkan kematiannya agar kamu bisa mewarisi hartanya. Keluarlah dari ketergantungan terhadap mereka dengan sungguh-sungguh. Jadikanlah mereka layaknya pintu yang ditutup dan dibuka, seperti pohon yang terkadang berbuah dan terkadang tidak. Semua terjadi dengan perbuatan dan pengaturan Dzat Yang Maha Mengatur, yaitu Allah Swt. Jika kamu bisa seperti itu, maka kamu sudah mengesakan-Nya.
Bersamaan dengan semua itu, janganlah melupakan usaha untuk membebaskan diri dari paham fatalisme (Jabariyah). Yakinilah bahwa segala perbuatan tidak akan terjadi, tanpa adanya campur tangan Allah Swt. Janganlah menyembah para makhluk dan melupakan- Nya. Jangan pula mengatakan bahwa perbuatan mereka terlepas dari-Nya. Hal itu akan menyebabkan kamu kufur dan menjadi pengikut paham Qadariyyah. Akan tetapi, katakanlah bahwa semua itu adalah milik Allah Swt. dari sisi penciptaan, sedangkan para hamba hanyalah berusaha; sebagaimana disebutkan dalam berbagai atsar yang menjelaskan balasan dalam bentuk pahala dan siksaan.
Laksanakanlah perintah-perintah Allah Swt. yang berkenaan dengan para makhluk. Lepaskanlah bagianmu dari mereka dengan perintah-Nya dan jangan melampaui batas (ekstrem). Hukum-Nya akan tegak menghukumi kamu dan mereka. Oleh karena itu, janganlah kamu menganggap dirimu sebagai hakim.
Keberadaanmu bersama mereka adalah takdir. Dan, takdir itu adalah "kegelapan". Oleh karena itu, masukilah kegelapan tersebut dengan lampu, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw. Janganlah meninggalkan keduanya. Jika melintas suatu ide dalam pikiranmu, timbanglah dengan keduanya. Apabila kamu mendapatkan pengharaman terhadap ide tersebut, seperti keinginan untuk melakukan riba serta bergaul dengan orang-orang fasik dan pelaku maksiat, maka tolaklah dan jauhilah, jangan menerimanya dan mengerjakakannya. Yakinilah, bahwa ide tersebut berasal dari setan yang terlaknat.
Apabila kamu mendapatkan dalil yang membolehkan ide tersebut, seperti makan, minum, berpakaian, dan nikah, maka jangan mudah menurutinya.
Ketahuilah, bahwa itu adalah keinginan yang bersumber dari nafsu dan syahwat.
Kamu diperintahkan untuk menyelisihi- nya dan melawannya. Jika kamu tidak mendapatkan pengharamannya dan pembolehannya di dalam keduanya, bahkan itu adalah perkara yang tidak masuk akal, seperti orang yang mengarahkanmu, "Datangilah tempat ini dan ini, temuilah Fulan yang shalih." Padahal, kamu tidak ada keperluan, dan tidak juga terhadap kemaslahatan di dalamnya dikarenakan Allah Swt. telah memberikan nikmat-Nya kepadamu yang berupa ilmu dan makrifat, maka berhentilah dan jangan buru-buru menghampirinya, sehingga kamu berkata, "Benarkah ini ilham dari Allah Swt. yang harus aku kerjakan?" Amatilah semua kebaikan di dalamnya.
Semua ini dapat diketahui jika ilham itu datang berulang-ulang yang memerintahkan kamu untuk mengerjakannya, atau tanda- tanda yang nyata bagi para ahli ilmu yang mengenal-Nya, serta mampu dilogika oleh orang-orang yang berakal dari kalangan para wali dan para pendukung dari abdal.
Adapun alasan agar kamu tidak bersegera menghampirinya adalah dikarenakan kamu tidak mengetahui akibatnya, efek yang akan ditimbulkannya, serta sesuatu yang terkandung di dalamnya; baik berupa fitnah, kehancuran, makar dari Allah Swt., maupun ujian. Bersabarlah, sampai Dia sendiri yang berbuat pada dirimu. Jika kamu sudah berlepas diri dari perbuatan-Nya, dan kamu digiring ke sana serta dikalahkan oleh fitnah, maka kamu adalah orang yang digiring dan dijaga ketika menghadapinya, karena Allah Swt. tidak menghukummu karena perbuatan-Nya. Hukuman itu hanya bergerak menujumu, karena kamu berada dalam sesuatu keadaan.
Jika kamu berada dalam keadaan hakikat, yaitu keadaan perwalian, maka selisihilah hawa nafsumu dan ikutilah perintah- Nya. Mengikuti perintah terbagi menjadi dua. Pertama, kamu mengambil bahan makanan dari dunia yang merupakan hak jiwa dan meninggalkan bagian lainnya, menunaikan yang fardhu, dan beramal meninggalkan dosa; baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kedua, masalah batin adalah perkara Allah Swt. yang memerintahkan dan melarang hamba-Nya. Perintah mubah (boleh) ini hanya terwujud dalam sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam syariat, yaitu sesuatu yang tidak dilarang dan tidak pula diperintahkan, akan tetapi ini adalah muhmal (dibiarkan).
Allah Swt. memberikan seorang hamba ketentuan untuk bertindak dengan pilihannya. Ini dinamakan mubah. Dalam hal ini, janganlah seorang hamba berpendapat dengan dirinya sendiri, namun tunggulah perintah. Apabila ia diperintahkan, maka hendaklah ia menjalankannya, sehingga seluruh gerakan dan ketenangannya ada bersama-Nya. Sesuatu yang ada hukumnya dalam syara', maka hukumlah dengan syara'. Jika tidak ada hukumnya dalam syara', maka hukumlah dengan perintah batin. Ketika itu, ia akan menjadi orang yang mendapatkan hak dari kalangan ahli hakikat. Apabila tidak ada perintah batinnya, maka ia hanyalah sekadar perbuatan dalam keadaan taslim (penyerahan diri).
Jika kamu berada dalam keadaan haqAl-haq, yaitu keadaan al-mahw dan fana, yang merupakan keadaan para abdal yang hati mereka patah karena-Nya, yang merupakan ahli tauhid dan para'arifin, para ulama dan intelektual, para pemimpin dan petinggi, orang-orang yang baik dan berakhlak mulia, para khalifah, serta orang-orang tercinta- Nya dan para kekasih-Nya, maka mengikuti perintah dalam hal ini bisa dilakukan dengan tindakan penyelisihanmu, yaitu dengan membebaskan diri dari kekuasaan dan kekuatan, tidak memiliki keinginan dan hasrat dalam hal apa pun, baik dunia maupun akhirat, sehingga kamu menjadi hamba yang menguasai; bukan sebagai budak raja, hamba Dzat yang memerintah; bukan budak hawa nafsu, seperti anak kecil bersama perempuan yang menyusuinya, mayat yang dimandikan bersama dengan orang yang memandikannya, orang sakit yang hanya bisa membolak-balikkan badannya di hadapan dokter, kecuali dalam hal perintah dan larangan. Wallahu a'lam.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
------
Oleh karena itu, jika kamu mengikuti Allah Swt. untuk melawan dan memusuhi nafsu maka kamu sedang bertempur dengan nafsu kamu sendiri dan berada di pihak-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. kepada Nabi Daud As.:
"Wahai Daud, Aku menyerumu dengan kelaziman. Tetapkanlah penghambaanmu dengan menjadi musuh bagi nafsumu."
Dengan kondisi semacam itu, kamu akan mewujudkan loyalitas dan penghambaanmu kepada Allah Swt. Lalu, kamu akan mendapatkan bagianmu dengan senang, nikmat, dan penuh kebaikan. Kamu juga berada pada posisi yang mulia dan agung. Segala sesuatu akan melayanimu, menyanjungmu, dan memuliakan- mu. Sebab, semua adalah bawahan yang tunduk kepada Allah Swt., Dia-lah Yang Maha Pencipta dan Membentuk mereka. Mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Nya. Allah Swt berfirman:
"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. Tetapi, kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (QS. al-Israa' [17]: 44).
Allah Swt. Juga berfirman:
"Kemudian, Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap. Lalu, Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati." (QS. Fushilat [41]: 11).
Semua ibadah itu terletak pada sikap dirimu dalam melawan hawa nafsu. Di dalam al-Qur'an disebutkan:
"...Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...." (QS. Shaad [38]: 26).
Allah Swt. juga berfirman kepada Nabi Daud As., "Jauhilah hawa nafsumu, karena ia adalah penentang." Ada sebuah hikayat terkenal tentang Abu Yazid al-Busthamy Ra. Konon, ia bermimpi melihat Allah Swt. Lalu, ia bertanya kepada-Nya, "Bagaimana jalan menuju- Mu?" Dia menjawab, "Tinggalkanlah hawa nafsumu dan kemarilah." Setelah itu, ia mengatakan bahwa ia melepaskan diri dari nafsunya; laksana ular yang melepaskan diri dari kulitnya.
Semua kebaikan berada pada usahamu dalam melawan nafsu dalam segala keadaan. Jika kamu berada dalam keadaan takwa, maka lawanlah hawa nafsu itu dengan cara menjauh dari hal-hal yang haram dan syubhat, bergantung kepada para makhluk, meyakini mereka, takut kepada mereka, dan berharap terhadap mereka, serta tamak terhadap hukum-hukum dunia yang ada di tangan mereka. Kamu juga tidak lagi mengharap pemberian atas nama hadiah, zakat, shadaqah, dan nadzar.
Putuskanlah harapanmu terhadap mereka dari segala bentuk dan perantara. Bahkan, seandainya kamu memiliki pewaris orang kaya, maka janganlah mengharapkan kematiannya agar kamu bisa mewarisi hartanya. Keluarlah dari ketergantungan terhadap mereka dengan sungguh-sungguh. Jadikanlah mereka layaknya pintu yang ditutup dan dibuka, seperti pohon yang terkadang berbuah dan terkadang tidak. Semua terjadi dengan perbuatan dan pengaturan Dzat Yang Maha Mengatur, yaitu Allah Swt. Jika kamu bisa seperti itu, maka kamu sudah mengesakan-Nya.
Bersamaan dengan semua itu, janganlah melupakan usaha untuk membebaskan diri dari paham fatalisme (Jabariyah). Yakinilah bahwa segala perbuatan tidak akan terjadi, tanpa adanya campur tangan Allah Swt. Janganlah menyembah para makhluk dan melupakan- Nya. Jangan pula mengatakan bahwa perbuatan mereka terlepas dari-Nya. Hal itu akan menyebabkan kamu kufur dan menjadi pengikut paham Qadariyyah. Akan tetapi, katakanlah bahwa semua itu adalah milik Allah Swt. dari sisi penciptaan, sedangkan para hamba hanyalah berusaha; sebagaimana disebutkan dalam berbagai atsar yang menjelaskan balasan dalam bentuk pahala dan siksaan.
Laksanakanlah perintah-perintah Allah Swt. yang berkenaan dengan para makhluk. Lepaskanlah bagianmu dari mereka dengan perintah-Nya dan jangan melampaui batas (ekstrem). Hukum-Nya akan tegak menghukumi kamu dan mereka. Oleh karena itu, janganlah kamu menganggap dirimu sebagai hakim.
Keberadaanmu bersama mereka adalah takdir. Dan, takdir itu adalah "kegelapan". Oleh karena itu, masukilah kegelapan tersebut dengan lampu, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw. Janganlah meninggalkan keduanya. Jika melintas suatu ide dalam pikiranmu, timbanglah dengan keduanya. Apabila kamu mendapatkan pengharaman terhadap ide tersebut, seperti keinginan untuk melakukan riba serta bergaul dengan orang-orang fasik dan pelaku maksiat, maka tolaklah dan jauhilah, jangan menerimanya dan mengerjakakannya. Yakinilah, bahwa ide tersebut berasal dari setan yang terlaknat.
Apabila kamu mendapatkan dalil yang membolehkan ide tersebut, seperti makan, minum, berpakaian, dan nikah, maka jangan mudah menurutinya.
Ketahuilah, bahwa itu adalah keinginan yang bersumber dari nafsu dan syahwat.
Kamu diperintahkan untuk menyelisihi- nya dan melawannya. Jika kamu tidak mendapatkan pengharamannya dan pembolehannya di dalam keduanya, bahkan itu adalah perkara yang tidak masuk akal, seperti orang yang mengarahkanmu, "Datangilah tempat ini dan ini, temuilah Fulan yang shalih." Padahal, kamu tidak ada keperluan, dan tidak juga terhadap kemaslahatan di dalamnya dikarenakan Allah Swt. telah memberikan nikmat-Nya kepadamu yang berupa ilmu dan makrifat, maka berhentilah dan jangan buru-buru menghampirinya, sehingga kamu berkata, "Benarkah ini ilham dari Allah Swt. yang harus aku kerjakan?" Amatilah semua kebaikan di dalamnya.
Semua ini dapat diketahui jika ilham itu datang berulang-ulang yang memerintahkan kamu untuk mengerjakannya, atau tanda- tanda yang nyata bagi para ahli ilmu yang mengenal-Nya, serta mampu dilogika oleh orang-orang yang berakal dari kalangan para wali dan para pendukung dari abdal.
Adapun alasan agar kamu tidak bersegera menghampirinya adalah dikarenakan kamu tidak mengetahui akibatnya, efek yang akan ditimbulkannya, serta sesuatu yang terkandung di dalamnya; baik berupa fitnah, kehancuran, makar dari Allah Swt., maupun ujian. Bersabarlah, sampai Dia sendiri yang berbuat pada dirimu. Jika kamu sudah berlepas diri dari perbuatan-Nya, dan kamu digiring ke sana serta dikalahkan oleh fitnah, maka kamu adalah orang yang digiring dan dijaga ketika menghadapinya, karena Allah Swt. tidak menghukummu karena perbuatan-Nya. Hukuman itu hanya bergerak menujumu, karena kamu berada dalam sesuatu keadaan.
Jika kamu berada dalam keadaan hakikat, yaitu keadaan perwalian, maka selisihilah hawa nafsumu dan ikutilah perintah- Nya. Mengikuti perintah terbagi menjadi dua. Pertama, kamu mengambil bahan makanan dari dunia yang merupakan hak jiwa dan meninggalkan bagian lainnya, menunaikan yang fardhu, dan beramal meninggalkan dosa; baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kedua, masalah batin adalah perkara Allah Swt. yang memerintahkan dan melarang hamba-Nya. Perintah mubah (boleh) ini hanya terwujud dalam sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam syariat, yaitu sesuatu yang tidak dilarang dan tidak pula diperintahkan, akan tetapi ini adalah muhmal (dibiarkan).
Allah Swt. memberikan seorang hamba ketentuan untuk bertindak dengan pilihannya. Ini dinamakan mubah. Dalam hal ini, janganlah seorang hamba berpendapat dengan dirinya sendiri, namun tunggulah perintah. Apabila ia diperintahkan, maka hendaklah ia menjalankannya, sehingga seluruh gerakan dan ketenangannya ada bersama-Nya. Sesuatu yang ada hukumnya dalam syara', maka hukumlah dengan syara'. Jika tidak ada hukumnya dalam syara', maka hukumlah dengan perintah batin. Ketika itu, ia akan menjadi orang yang mendapatkan hak dari kalangan ahli hakikat. Apabila tidak ada perintah batinnya, maka ia hanyalah sekadar perbuatan dalam keadaan taslim (penyerahan diri).
Jika kamu berada dalam keadaan haqAl-haq, yaitu keadaan al-mahw dan fana, yang merupakan keadaan para abdal yang hati mereka patah karena-Nya, yang merupakan ahli tauhid dan para'arifin, para ulama dan intelektual, para pemimpin dan petinggi, orang-orang yang baik dan berakhlak mulia, para khalifah, serta orang-orang tercinta- Nya dan para kekasih-Nya, maka mengikuti perintah dalam hal ini bisa dilakukan dengan tindakan penyelisihanmu, yaitu dengan membebaskan diri dari kekuasaan dan kekuatan, tidak memiliki keinginan dan hasrat dalam hal apa pun, baik dunia maupun akhirat, sehingga kamu menjadi hamba yang menguasai; bukan sebagai budak raja, hamba Dzat yang memerintah; bukan budak hawa nafsu, seperti anak kecil bersama perempuan yang menyusuinya, mayat yang dimandikan bersama dengan orang yang memandikannya, orang sakit yang hanya bisa membolak-balikkan badannya di hadapan dokter, kecuali dalam hal perintah dan larangan. Wallahu a'lam.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
------
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda