Adapun riwayat dengan sanad dari Uddai bin Musafir dan Syekh Ahmad Ar-Rifa'ie, mereka berkata, "Ketika Syekh Abdul Qadir berkata seperti itu, maka tiga ratus tujuh puluh wali menundukkan leher dan pundak mereka dengan serempak." Kemudian, dikutip dari perkataan Syekh Lu'lu' Al-Ardhi tentang penjelasan jumlah orang-orang yang berbuat demikian itu. Menurut Syekh Lu'lu' Al-Ardhi ada sekitar 17 orang di Haramain, 106 di Irak, 4 di negeri Ajami, 30 orang di Syam, 20 di Mesir, 17 di Barat, 23 di Yaman, 21 di Habasyah, 10 orang di penjaranya Ya'juj Ma'juj, 47 orang di jazirah-jazirah sepanjang lautan, 24 orang di lembah Sarnadib, dan 7 orang di Jabal Qaf.
Dari Abu Sa'id bin Abu Ashrun, ia berkata, "Saat aku remaja, aku menuntut ilmu di Baghdad. Ibnu As-Saqa adalah teman karibku di Nizhamiyah. Kami berdua pergi menuju seorang Syekh yang dikenal sebagai wali Al-Ghauts (Wali Qutub). Ibnu As-Saqa' menanyakan suatu permasalahan kepadanya, lalu beliau marah seraya berkata, 'Aku tidak melihat api pikiran berkobar dalam jiwamu.' Kemudian beliau menoleh ke arahku seraya berkata: 'Sungguh, persoalan duniawi ini membuat telingamu panas dan sedih.' Selanjutnya beliau berkata: 'Wahai Abdul Qadir, seakan-akan aku ini berada di Baghdad bersamamu. Dan engkau duduk di atas kursi, dan berkata kepada semua orang: 'Kakiku ini berada di atas leher dan pundak seluruh wali Allah swt." Syekh Ali Al-Haiti berdiri, beranjak mendekati kursi, memegang kaki Syekh Abdul Qadir, dan meletakkannya di atas lehernya.
Abu Sa'id bin Abu Ashrun menyitir sebuah riwayat dengan sanad yang bersambung kepada Syekh Abdurrahim putra saudari Syekh Ahmad Ar-Rifa'ie, ia berkata: "Aku datang ke kota Baghdad, lalu menghadiri majelis taklim Syekh Abdul Qadir. Aku melihat di dalam sikapnya, hatinya, dan kelembutan rahasia jiwanya, sesuatu yang membuatku takjub. Ketika aku kembali menemui Ummi Ubaidah, aku menceritakan semua pengalaman yang kulihat itu kepada pamanku. Beliau berkata, 'Wahai kemenakanku, siapakah orang yang mampu menyamai ketakwaan Syekh Abdul Qadir, keadaannya yang sekarang, dan pencapaian jiwanya'."
Salim bin Ahmad Al-Khatthab, pelayan Syekh Abdul Qadir, berkata, "Syekh Abdul Qadir ketika itu sedang berceramah, lalu beliau berjalan di udara beberapa langkah sambil berkata: 'Wahai Israili, berhentilah, dan dengarkan nasihat-nasihat ajaran Muhammad.' Kemudian beliau kembali ke tempatnya semula, dan ditanyakan tentang apa yang terjadi. Beliau menjawab: 'Khidhir melintas di majelisku ini dengan tergesa- gesa. Makanya, aku mengejar dia dan bertanya padanya: 'Apa yang engkau dengarkan?'"
Dengan sanad yang bersambung pada Syekh Uddai bin Musafir, ia berkata," Pada suatu hari langit sedang hujang deras, dan Syekh Abdul Qadir sedang memberi pengajaran. Orang- orang di majelis membubarkan diri. Kemudian Syekh Abdul Qcidir mengangkat kepala ke langit sambil berkata: 'Aku telah mengumpulkan mereka di sini dan engkau membuat mereka bubar.' Hujan pun tiba-tiba reda, namun di sekitar madrasahnya itu hujan tetap deras, dan di dalam majelis itu sendiri tidak ada setetes air pun." Uddai bin Musafir juga meriwayatkan bahwa pada suatu hari air sungai Tigris meluap sehingga menyebabkan banyak orang terhanyut. Lalu mereka pun minta pertolongan Syekh Abdul Qadir. Beliau pergi menuju tepi sungai sambil membawa sebatang tongkat. Tongkat itu dipukulkan ke air sambil berkata: 'Sampai di sini saja!' Air itu pun berkurang seketika.
Dari Abu Bakar bin Muhammad At-Thahhan, ia berkata, "Syekh Abdul Qadir sedang memberikan ceramah keagamaan di lapangan terbuka, lalu hujan jatuh tiba-tiba. Beliau berkata, “Aku mengumpulkan mereka dan engkau membubarkannya” Hujan pun reda seketika itu juga." Nashr bin Abdurrazzaq, putra Syekh Abdul Qadir, berkata, "Aku mendengar ayah berkata, 'Pada suatu hari, bapakku, aku dan beberapa saudaraku; Abdul Wahhab dan Isa, keluar rumah untuk mengerjakan shalat Jum'at. Di tengah jalan kami berpapasan dengan tiga orang pembawa minuman arak (khamr) untuk Sultan. Bau arak itu sangat menyengat. Mereka diiringi beberapa penjaga. Lalu Syekh Abdul Qadir berkata kepada mereka: 'Berhentilah kalian!' Namun mereka malah mempercepat langkahnya dan menarik kereta kudanya lebih kencang lagi. Syekh Abdul Qadir berkata kepada kuda itu: 'Berhenti!' Kuda itu pun berhenti. Mereka memukuli kuda itu tapi tetap saja kuda tersebut tidak mau berjalan. Mereka tiba-tiba saja merasa mual, perutnya sakit sekali. Mereka bertaubat sehingga rasa sakit di perutnya hilang, dan arak itu berubah menjadi cuka. Kuda kereta itu juga mulai bisa berjalan lagi, dan suara tashbih menggema nyaring. Berita tentang peristiwa itu sampai ke telinga Sultan. Sang Sultan menangis, gemetar, dan segera berkunjung menemui Syekh Abdul Qadir."
Mansur bin Mubarak yang bergelar Al-Wasithi, berkata, "Pada waktu muda, aku menghadap Syekh Abdul Qadir sambil membawa buku yang berisi pelajaran filsafat dan ruhaniyat. Sebelum melirik bukuku, beliau berkata padaku: 'Wahai Mansur, sahabat paling buruk adalah bukumu itu. Berdiri dan basuhlah buku itu/ Aku memiliki keinginan untuk menaruh buku itu di rumah saja, dan tidak lagi mau membawanya ke mana-mana. Jiwaku ini tidak rela jika harus membasuh (menghilangkan tulisan dalam) buku itu. Karena banyak pelajaran telah melekat dalam pikiranku. Aku mau berdiri sambil melihat wajah Syekh Abdul Qadir. Akan tetapi aku tidak kuat berdiri. Seakan-akan kakiku terikat kuat. Syekh Abdul Q3dir berkata: 'Berikan buku itu padaku.' Beliau membuka halamannya. Tetapi tiba-tiba buku itu tinggal kertas kosong berwarna putih. Tidak ada tulisannya sama sekali. Setelah aku serahkan buku itu pada beliau, Syekh Abdul Qadir membuka lembaran-lembaran halamannya. Beliau berkata: 'Ini buku tentang keutamaan-keutamaan al-Qur'an.' Beliau lalu menyerahkannya kembali padaku. Ya, bukuku itu betul-betul telah berubah isinya menjadi buku tentang keutamaan al-Qur'an. Tulisannya pun indah sekali. Syekh Abdul Qadir berkata padaku: 'Bertaubatlah untuk tidak lagi mengatakan apa yang tidak ada dalam hatimu.' Aku kemudian mulai bisa berdiri dan lupa semua yang pernah aku hapalkan."
Dari Abu Sa'id bin Abu Ashrun, ia berkata, "Saat aku remaja, aku menuntut ilmu di Baghdad. Ibnu As-Saqa adalah teman karibku di Nizhamiyah. Kami berdua pergi menuju seorang Syekh yang dikenal sebagai wali Al-Ghauts (Wali Qutub). Ibnu As-Saqa' menanyakan suatu permasalahan kepadanya, lalu beliau marah seraya berkata, 'Aku tidak melihat api pikiran berkobar dalam jiwamu.' Kemudian beliau menoleh ke arahku seraya berkata: 'Sungguh, persoalan duniawi ini membuat telingamu panas dan sedih.' Selanjutnya beliau berkata: 'Wahai Abdul Qadir, seakan-akan aku ini berada di Baghdad bersamamu. Dan engkau duduk di atas kursi, dan berkata kepada semua orang: 'Kakiku ini berada di atas leher dan pundak seluruh wali Allah swt." Syekh Ali Al-Haiti berdiri, beranjak mendekati kursi, memegang kaki Syekh Abdul Qadir, dan meletakkannya di atas lehernya.
Abu Sa'id bin Abu Ashrun menyitir sebuah riwayat dengan sanad yang bersambung kepada Syekh Abdurrahim putra saudari Syekh Ahmad Ar-Rifa'ie, ia berkata: "Aku datang ke kota Baghdad, lalu menghadiri majelis taklim Syekh Abdul Qadir. Aku melihat di dalam sikapnya, hatinya, dan kelembutan rahasia jiwanya, sesuatu yang membuatku takjub. Ketika aku kembali menemui Ummi Ubaidah, aku menceritakan semua pengalaman yang kulihat itu kepada pamanku. Beliau berkata, 'Wahai kemenakanku, siapakah orang yang mampu menyamai ketakwaan Syekh Abdul Qadir, keadaannya yang sekarang, dan pencapaian jiwanya'."
Salim bin Ahmad Al-Khatthab, pelayan Syekh Abdul Qadir, berkata, "Syekh Abdul Qadir ketika itu sedang berceramah, lalu beliau berjalan di udara beberapa langkah sambil berkata: 'Wahai Israili, berhentilah, dan dengarkan nasihat-nasihat ajaran Muhammad.' Kemudian beliau kembali ke tempatnya semula, dan ditanyakan tentang apa yang terjadi. Beliau menjawab: 'Khidhir melintas di majelisku ini dengan tergesa- gesa. Makanya, aku mengejar dia dan bertanya padanya: 'Apa yang engkau dengarkan?'"
Dengan sanad yang bersambung pada Syekh Uddai bin Musafir, ia berkata," Pada suatu hari langit sedang hujang deras, dan Syekh Abdul Qadir sedang memberi pengajaran. Orang- orang di majelis membubarkan diri. Kemudian Syekh Abdul Qcidir mengangkat kepala ke langit sambil berkata: 'Aku telah mengumpulkan mereka di sini dan engkau membuat mereka bubar.' Hujan pun tiba-tiba reda, namun di sekitar madrasahnya itu hujan tetap deras, dan di dalam majelis itu sendiri tidak ada setetes air pun." Uddai bin Musafir juga meriwayatkan bahwa pada suatu hari air sungai Tigris meluap sehingga menyebabkan banyak orang terhanyut. Lalu mereka pun minta pertolongan Syekh Abdul Qadir. Beliau pergi menuju tepi sungai sambil membawa sebatang tongkat. Tongkat itu dipukulkan ke air sambil berkata: 'Sampai di sini saja!' Air itu pun berkurang seketika.
Dari Abu Bakar bin Muhammad At-Thahhan, ia berkata, "Syekh Abdul Qadir sedang memberikan ceramah keagamaan di lapangan terbuka, lalu hujan jatuh tiba-tiba. Beliau berkata, “Aku mengumpulkan mereka dan engkau membubarkannya” Hujan pun reda seketika itu juga." Nashr bin Abdurrazzaq, putra Syekh Abdul Qadir, berkata, "Aku mendengar ayah berkata, 'Pada suatu hari, bapakku, aku dan beberapa saudaraku; Abdul Wahhab dan Isa, keluar rumah untuk mengerjakan shalat Jum'at. Di tengah jalan kami berpapasan dengan tiga orang pembawa minuman arak (khamr) untuk Sultan. Bau arak itu sangat menyengat. Mereka diiringi beberapa penjaga. Lalu Syekh Abdul Qadir berkata kepada mereka: 'Berhentilah kalian!' Namun mereka malah mempercepat langkahnya dan menarik kereta kudanya lebih kencang lagi. Syekh Abdul Qadir berkata kepada kuda itu: 'Berhenti!' Kuda itu pun berhenti. Mereka memukuli kuda itu tapi tetap saja kuda tersebut tidak mau berjalan. Mereka tiba-tiba saja merasa mual, perutnya sakit sekali. Mereka bertaubat sehingga rasa sakit di perutnya hilang, dan arak itu berubah menjadi cuka. Kuda kereta itu juga mulai bisa berjalan lagi, dan suara tashbih menggema nyaring. Berita tentang peristiwa itu sampai ke telinga Sultan. Sang Sultan menangis, gemetar, dan segera berkunjung menemui Syekh Abdul Qadir."
Mansur bin Mubarak yang bergelar Al-Wasithi, berkata, "Pada waktu muda, aku menghadap Syekh Abdul Qadir sambil membawa buku yang berisi pelajaran filsafat dan ruhaniyat. Sebelum melirik bukuku, beliau berkata padaku: 'Wahai Mansur, sahabat paling buruk adalah bukumu itu. Berdiri dan basuhlah buku itu/ Aku memiliki keinginan untuk menaruh buku itu di rumah saja, dan tidak lagi mau membawanya ke mana-mana. Jiwaku ini tidak rela jika harus membasuh (menghilangkan tulisan dalam) buku itu. Karena banyak pelajaran telah melekat dalam pikiranku. Aku mau berdiri sambil melihat wajah Syekh Abdul Qadir. Akan tetapi aku tidak kuat berdiri. Seakan-akan kakiku terikat kuat. Syekh Abdul Q3dir berkata: 'Berikan buku itu padaku.' Beliau membuka halamannya. Tetapi tiba-tiba buku itu tinggal kertas kosong berwarna putih. Tidak ada tulisannya sama sekali. Setelah aku serahkan buku itu pada beliau, Syekh Abdul Qadir membuka lembaran-lembaran halamannya. Beliau berkata: 'Ini buku tentang keutamaan-keutamaan al-Qur'an.' Beliau lalu menyerahkannya kembali padaku. Ya, bukuku itu betul-betul telah berubah isinya menjadi buku tentang keutamaan al-Qur'an. Tulisannya pun indah sekali. Syekh Abdul Qadir berkata padaku: 'Bertaubatlah untuk tidak lagi mengatakan apa yang tidak ada dalam hatimu.' Aku kemudian mulai bisa berdiri dan lupa semua yang pernah aku hapalkan."
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda