Hui Shi adalah teman karib dari seorang filsuf bernama Zhuangzi1.
Setelah Hui Shi diangkat menjadi perdana menteri di Negara Wei, Zhuangzi pun merasa
sangat bahagia atas pelantikan teman karibnya ini. Beliau pun berkenan untuk
berangkat mengunjungi Hui Shi.
Berita keberangkatan Zhuangzi ini telah terdengar oleh orang-orang licik
yang selalu berada di sekeliling Hui Shi, di antaranya ada seseorang yang
ingin menjilat Sang Perdana Menteri dengan cara mengadu domba. Dia mengatakan
maksud dan tujuan kedatangan Zhuangzi ke Ibu Kota ini bukanlah demi persahabatan,
melainkan berusaha dan bermaksud untuk merebut kedudukan perdana menteri.
Begitu Hui Shi mendengar hasutan ini, dia merasa ketakutan, takut jika
Zhuangzi yang sangat bertalenta itu benar-benar datang
untuk merebut kedudukannya. Dengan segera, Hui Shi mengantisipasinya dengan
mengeluarkan maklumat untuk menangkap Zhuangzi sebagai buronan. Demi
melaksanakan perintah dari Sang Perdana Menteri, pasukan Wei telah berpatroli
dan memeriksa daerah Ibu Kota selama tiga hari tiga malam.
Tingkah laku Hui Shi ini juga
telah diketahui oleh Zhuangzi. Beliau justru mengambil inisiatif untuk
berkunjung ke tempat Sang Perdana Menteri dengan menyatakan diri ingin bertemu.
Hui Shi berprasangka bahwa Zhuangzi nekat mencelakakan diri sendiri, padahal
beliau mengetahui ada jebakan atau perangkap yang ditujukan kepadanya.
Hui Shi pun merasa heran dan
penasaran dengan sikap Zhuangzi, karena Zhuangzi juga tidak memberikan
penjelasan apa pun kepada Hui Shi—tetapi hanya duduk dan menceritakan sebuah
dongeng:
"Di Selatan, konon terdapat
burung sakti, sejenis burung feng- huang atau burung phoenix yang disebut dengan nama
yuanchu. Burung sakti ini sering terbang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan
dan sebaliknya. Di tengah perjalanan, bila tak menemukan pohon wutong
(jenis pohon Firmiana simplex yang sangat tinggi; pohon sejenis
ini bisa tumbuh setinggi belasan meter), sang burung tak akan berhenti untuk
bersinggah dan beristirahat. Kalau tidak menemukan buah dari pohon bambu hijau
atau buah- buahan lain yang sangat langka, dia pun takkan pernah berhenti untuk
sekadar makan. Bila tak menemukan sumber air alam yang manis dan segar, dia pun
takkan pernah turun untuk minum.
"Pernah suatu kali burung
yuanchu yang sedang terbang tinggi di atas langit tak sengaja menyaksikan
pemandangan di bawah:
seekor burung kukuk beluk atau burung hantu sedang
mematuk dan memakan jasad tikus yang telah mati dan membusuk. Mungkin burung
hantu ini sedang kelaparan. Menyaksikan burung sakti yuanchu sedang
terbang di atasnya—saat menikmati jasad tikus busuk, karena takut kalau burung
yuanchu akan turun demi merebut makanannya—maka burung hantu itu langsung
bersiap siaga memagari makanannya. Wajah si burung hantu pun memerah karena
marah. Bulu sekujur badannya berdiri tegak, sepasang matanya menyorotkan sinar
kemarahan, dan berlagak seolah-olah siap berduel dengan sang burung sakti. Saat
menyaksikan si burung sakti masih beterbangan, berkeliling-keliling di atas,
dengan sekuat tenaga burung hantu itu bersiul keras dan mengeluarkan suara
melengking sebagai pertanda bahwa si burung hantu siap untuk bertarung, juga
sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti si burung sakti."
Zhuangzi dengan tenang
menceritakan kisah pertemuan burung hantu dengan burung sakti yuanchu.
Setelah selesai, dengan langkah kaki yang sangat mantap dan yakin, sambil
tertawa beliau menghampiri Hui Shi dan bertanya kepadanya: "Hari ini Anda
telah mendapatkan promosi sebagai perdana menteri. Menyaksikan kedatangan
saya, apakah Anda juga hendak menghadang dan menakut-nakuti saya?" Setelah
selesai bertanya demikian, beliau kembali tertawa terbahak-bahak dan terus berjalan
dengan tak menoleh ke belakang lagi.
Sebagai seorang bijak yang berpandangan jauh,
berjiwa dan berbudi luhur, seseorang selalu mendambakan sesuatu yang
mulia dan tak ternoda. Ini semua takkan mungkin dimengerti oleh, orang biasa, apalagi yang berpikiran
sempit. Dengan pemikiran manusia yang tamak dan serakah mencoba menyelami
tindakan dan martabat kebijaksanaan seorang yang budiman, seperti yang
dikatakan dalam peribahasa China: Yi xiao ren zhi xin, du junzi zhi fu" yang berarti: "Dengan hati 'manusia
kerdil' mengukur perut (baca: hati) seorang budiman yang saleh."
Cerita ini juga mengejek dan menyindir para "manusia kerdil" yang
selalu rakus terhadap kekayaan dan kekuasaan.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda