Keluarlah dari nafsu dirimu. Ber-uzlah-lah dari kekuasaanmu dan serahkan semuanya kepada Allah Swt. Jadilah penjaga pintu-Nya di pintu hatimu dan jalankanlah perintah-Nya untuk memasukkan orang yang diperintahkan memasukkannya. Berhentilah melakukan larangan-Nya untuk mengusir orang yang diperintahkan supaya kamu usir. Jangan sampai hawa nafsu memasuki hatimu setelah ia keluar. Mengeluarkan hawa nafsu dari hati bisa dilakukan dengan menyelisihinya dan tidak mengikutinya dalam segala keadaan. Sedangkan yang dimaksud dengan memasukkan nafsu ke dalam hati adalah dengan mengikuti dan menaatinya.
Nafsu merupakan lembah orang-orang bodoh. Di dalamnya, terdapat kematianmu, kehancuranmu, dan kejatuhanmu dalam pandangan-Nya, serta hijabmu dari-Nya. Oleh karena itu, jagalah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya selama-lamanya, pasrahlah pada takdir-Nya, serta janganlah menyekutukan-Nya dengan apa pun dari makhluk-Nya.
Keinginan, hawa nafsu, dan syahwatmu adalah makhluk-Nya. Maka, janganlah berkeinginan, berhawa nafsu, dan berhasrat, agar kamu tidak menjadi orang yang musyrik. Allah Swt. berfirman:
“.. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. al-Kahfi [18]: 110).
Syirik itu bukan hanya menyembah berhala, namun juga ketika kamu mengikuti hawa nafsumu, memilih sesuatu selain-Nya; berupa dunia dan akhirat seisinya. Jika kamu tunduk kepada selain- Nya, maka kamu telah menyekutukan- Nya. Oleh sebab itu, waspadalah dan jangan terlena, takutlah selalu dan jangan merasa aman, serta periksalah dan jangan lalai, niscaya kamu merasa tenang.
Janganlah menyandarkan suatu keadaan dan kedudukan kepada dirimu, dan jangan pula meninggalkan sesuatu pun darinya. Apabila kamu diberikan harta atau ditempatkan pada suatu kedudukan, maka janganlah memberi tahu kepada siapa pun, karena Allah Swt. setiap hari berada dalam urusan-Nya untuk mengubah dan mengganti. Dia-lah yang menghijab antara seseorang dengan hatinya. Dia menghilangkanmu dari sesuatu yang kamu beri tahu. Dia mengubahmu dari yang kamu bayangkan ketetapannya dan keabadiannya, sehingga kamu merasa malu di dekat orang yang kamu beri tahu mengenai hal itu.
Apabila kedudukan tersebut kekal dan terus menerus di dalam dirimu, kamu akan menyadari bahwa itu adalah karunia yang harus disyukuri. Mohonlah taufiq dan pertolongan kepada Allah Swt. agar kamu bisa senantiasa bersyukur. Jika tidak kekal, maka di dalamnya terdapat tambahan ilmu, makrifat, cahaya, kesadaran, dan pengajaran. Allah Swt. berfirman:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. al-Baqarah [2}: 106).
Janganlah menganggap Allah Swt. lemah dalam kekuasaan-Nya, janganlah mencela-Nya dalam takdir-Nya dan pengaturan- Nya, dan janganlah pula meragukan janji-Nya. Jadikanlah Rasulullah Saw. sebagai teladan yang baik. Memang benar, ada ayat- ayat dan surat-surat yang diturunkan kepada beliau dan sudah diamalkan, dibaca di mihrab-mihrab, dan ditulis di dalam mushaf, namun kemudian di-naskh. Rasulullah pun lalu beralih kepada yang lainnya (ketetapan yang baru/ayat yang me-naskh).
Naskh inilah yang tampak dalam teks syariat. Sedangkan, mengenai sisi ilmu dan keadaannya, maka itu adalah rahasia antara diri Rasulullah Saw. dengan Allah Swt. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya, aku dikayakan atas hatiku. Setiap hari, aku beristighfar kepada Allah Swt. sebanyak 70 kali." Dalam riwayat lain disebutkan, "Seratus kali."
Rasulullah Saw. berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya, berjalan melewati tangga-tangga kedekatan dan medan kegaiban, serta khawatir jika cahaya-cahaya dicabut. Oleh karena itu, keadaan yang pertama terpapang jelas setelah disusul dengan kekurangan. Dari sinilah, timbul kekurangan dalam pemeliharaan batasan-batasan berdasarkan perspektif kerendahan hati beliau. Kemudian, beliau mengucapkan istighfar. Itulah sebaik-baik keadaan seorang hamba.
Istighfar mengandung pengakuan dosa dan kelalaian. Keduanya merupakan sifat seorang hamba dalam segala keadaan. Juga merupakan warisan dari bapak manusia, Nabi Adam As. kepada Rasulullah Saw., yaitu ketika keadaannya yang jernih diselimuti oleh lupanya janji dan sumpah, keinginan abadi di Darus Salam, berdekatan dengan kekasih ar-Rahman al-Mannan, serta ditemui oleh para malaikat yang mulia dengan penghormatan dan salam. Sejak saat itu, nafsu Nabi Adam As. berhasrat agar keinginannya dapat berbaur dengan kehendak Allah Swt., sehingga keinginan ini menjadi pecah berkeping-keping. Status kemuliaannya dan wewenang kewaliannya pun ikut lenyap. Ia turun dari kedudukannya, cahayanya padam, serta kesuciannya terkotori.
Setelah itu, Nabi Adam As. disadarkan, diingatkan, dan ditegur oleh Allah Swt., Dzat Yang Maha Pengasih. Ia pun mengakui dosanya dan kelupaannya, serta melantunkan ikrarnya sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
"...Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raaf [7]: 23).
Lalu, datanglah cahaya hidayah dan ilmu taubat mengganti keinginan itu dengan selainnya, serta kewalian paling besar dan ketenangan di dunia menghampirinya. Dunia pun menjadi tempat tinggal baginya dan keluarganya, sedangkan akhirat adalah tempat kembalinya.
Kamu memiliki teladan yang baik pada diri kekasih Allah Swt., yakni Rasulullah Saw. dan Nabi Adam As., yang merupakan kekasih-Nya dalam hal mengakui kekurangan serta beristighfar dalam segala keadaan.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Nafsu merupakan lembah orang-orang bodoh. Di dalamnya, terdapat kematianmu, kehancuranmu, dan kejatuhanmu dalam pandangan-Nya, serta hijabmu dari-Nya. Oleh karena itu, jagalah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya selama-lamanya, pasrahlah pada takdir-Nya, serta janganlah menyekutukan-Nya dengan apa pun dari makhluk-Nya.
Keinginan, hawa nafsu, dan syahwatmu adalah makhluk-Nya. Maka, janganlah berkeinginan, berhawa nafsu, dan berhasrat, agar kamu tidak menjadi orang yang musyrik. Allah Swt. berfirman:
“.. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. al-Kahfi [18]: 110).
Syirik itu bukan hanya menyembah berhala, namun juga ketika kamu mengikuti hawa nafsumu, memilih sesuatu selain-Nya; berupa dunia dan akhirat seisinya. Jika kamu tunduk kepada selain- Nya, maka kamu telah menyekutukan- Nya. Oleh sebab itu, waspadalah dan jangan terlena, takutlah selalu dan jangan merasa aman, serta periksalah dan jangan lalai, niscaya kamu merasa tenang.
Janganlah menyandarkan suatu keadaan dan kedudukan kepada dirimu, dan jangan pula meninggalkan sesuatu pun darinya. Apabila kamu diberikan harta atau ditempatkan pada suatu kedudukan, maka janganlah memberi tahu kepada siapa pun, karena Allah Swt. setiap hari berada dalam urusan-Nya untuk mengubah dan mengganti. Dia-lah yang menghijab antara seseorang dengan hatinya. Dia menghilangkanmu dari sesuatu yang kamu beri tahu. Dia mengubahmu dari yang kamu bayangkan ketetapannya dan keabadiannya, sehingga kamu merasa malu di dekat orang yang kamu beri tahu mengenai hal itu.
Apabila kedudukan tersebut kekal dan terus menerus di dalam dirimu, kamu akan menyadari bahwa itu adalah karunia yang harus disyukuri. Mohonlah taufiq dan pertolongan kepada Allah Swt. agar kamu bisa senantiasa bersyukur. Jika tidak kekal, maka di dalamnya terdapat tambahan ilmu, makrifat, cahaya, kesadaran, dan pengajaran. Allah Swt. berfirman:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. al-Baqarah [2}: 106).
Janganlah menganggap Allah Swt. lemah dalam kekuasaan-Nya, janganlah mencela-Nya dalam takdir-Nya dan pengaturan- Nya, dan janganlah pula meragukan janji-Nya. Jadikanlah Rasulullah Saw. sebagai teladan yang baik. Memang benar, ada ayat- ayat dan surat-surat yang diturunkan kepada beliau dan sudah diamalkan, dibaca di mihrab-mihrab, dan ditulis di dalam mushaf, namun kemudian di-naskh. Rasulullah pun lalu beralih kepada yang lainnya (ketetapan yang baru/ayat yang me-naskh).
Naskh inilah yang tampak dalam teks syariat. Sedangkan, mengenai sisi ilmu dan keadaannya, maka itu adalah rahasia antara diri Rasulullah Saw. dengan Allah Swt. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya, aku dikayakan atas hatiku. Setiap hari, aku beristighfar kepada Allah Swt. sebanyak 70 kali." Dalam riwayat lain disebutkan, "Seratus kali."
Rasulullah Saw. berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya, berjalan melewati tangga-tangga kedekatan dan medan kegaiban, serta khawatir jika cahaya-cahaya dicabut. Oleh karena itu, keadaan yang pertama terpapang jelas setelah disusul dengan kekurangan. Dari sinilah, timbul kekurangan dalam pemeliharaan batasan-batasan berdasarkan perspektif kerendahan hati beliau. Kemudian, beliau mengucapkan istighfar. Itulah sebaik-baik keadaan seorang hamba.
Istighfar mengandung pengakuan dosa dan kelalaian. Keduanya merupakan sifat seorang hamba dalam segala keadaan. Juga merupakan warisan dari bapak manusia, Nabi Adam As. kepada Rasulullah Saw., yaitu ketika keadaannya yang jernih diselimuti oleh lupanya janji dan sumpah, keinginan abadi di Darus Salam, berdekatan dengan kekasih ar-Rahman al-Mannan, serta ditemui oleh para malaikat yang mulia dengan penghormatan dan salam. Sejak saat itu, nafsu Nabi Adam As. berhasrat agar keinginannya dapat berbaur dengan kehendak Allah Swt., sehingga keinginan ini menjadi pecah berkeping-keping. Status kemuliaannya dan wewenang kewaliannya pun ikut lenyap. Ia turun dari kedudukannya, cahayanya padam, serta kesuciannya terkotori.
Setelah itu, Nabi Adam As. disadarkan, diingatkan, dan ditegur oleh Allah Swt., Dzat Yang Maha Pengasih. Ia pun mengakui dosanya dan kelupaannya, serta melantunkan ikrarnya sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
"...Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raaf [7]: 23).
Lalu, datanglah cahaya hidayah dan ilmu taubat mengganti keinginan itu dengan selainnya, serta kewalian paling besar dan ketenangan di dunia menghampirinya. Dunia pun menjadi tempat tinggal baginya dan keluarganya, sedangkan akhirat adalah tempat kembalinya.
Kamu memiliki teladan yang baik pada diri kekasih Allah Swt., yakni Rasulullah Saw. dan Nabi Adam As., yang merupakan kekasih-Nya dalam hal mengakui kekurangan serta beristighfar dalam segala keadaan.
Dikutip dari : Kitab Nasihat dan Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda