“Ada orang ingin sekali ketemu Bapak.”
“Siapa ?”
“Duko. Katanya setap kawan Bapak di kantor kesenian. Sudah kenal Bapak.”
“Wah, siapa ya ?”
“Katanya namanya Soemantio. Perlu sekali sama Bapak. Orangnya sopan sekali lho, Pak.”
“Tahumu kalau sopan ?”
“Lha wong ing atas-nya cuma ngomong sama saya lho, Pak, bahasanya itu bahasa Jawa krama halus sekali. Biasanya priyayi itu kalo ngomong sama wong cilik seperti saya cukup krama madya atau ngoko saja kan, Pak ? Ini tidak, lho. Halus, gaya Solo, berdirinya jugangapurancang terus.”
Saya jadi penasaran. Sudah lama sekali tidak ada orang sopan bertamu ke rumah saya. Maksud saya dengan sopan yang seperti yang diceritakan Mr. Rigen itu. Penuh tata krama, berbahasa Jawa krama halus.
Teman-teman saya selalu berbahasa Jawa ngoko campur bahasa Indonesia. Teman yang kurang akrab (meskipun Jawa) berbahasa Indonesia (yang baik dan benar). Mungkin untuk mencegah kami terperosok dalam komunikasi bahasa Jawa yang membingungkan jenjang-jenjangnya itu. Lha, kalau sanak saudara saya, karena yang paling akrab dengan saya yang paling kacau bahasa percakapannya itu. Bahasa Jawa penuh tidak, bahasa Indonesia yang baik dan benar juga tidak. Dan untuk aksi di sana-sini bahasa Inggris yang kadang-kadang saja betul. Sering kali saya bertanya sendiri, quo vadis bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ? Lha, ya quo vadis, wong mau tanya ke mana saja kok ya quo vadis, lho !
“Selamat pagi, Pak Ageng. Nyuwun duko enjing-enjing sampun ngresahi.”
Mati aku !. Pagi-pagi mendapat sarapan kata-kata yang begitu sopan, halus, diucapkan dengan diksi yang sempurna oleh seorang yang setengah baya, tinggi semampai, handsome, ngapurancang lagi.
“Lenggah, lenggah, Mas.”
Ia pun duduk. Dan gerak mau duduknya itu juga dengan ritme seorang yang kayaknya sudah pernah mendapat kuliah di jurusan teater Institut Kesenian Jakarta. Sangat luwes dan metodis.
Untuk mendapat gambaran yang lebih tepat dari dialog kami, juga karena tidak mungkin saya muat di sini bahasa krama halusnya yang sempurna dan krama saya yang jumpalitan, saya akan menerjemahkan saja dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Bagaimana ? Ada yang bisa saya tolong, Mas ?”
“Begini, Pak Ageng. Mungkin Bapak tidak kenal lagi dengan sahaya. Sahaya adalah staf Pak Soerono di Kantor Kesenian DIY. Nama saya Soemantio. Sahaya yang selalu mengatur penyetensilan makalah-makalah bila ada seminar, lokakarya atau diskusi di Kepatihan. Bapak masih ingat ? Ah, pasti Bapak tidak ingat sama saya. Saya orang kecil, Bapak orang penting.”
Kalau mendengar basa-basi seperti itu, heran sekali, saya kok masih senang saja. Bahkan mongkok hatiku ….
“Lantas, maksud kedatangan, Mas Mantio ?”
“Ya, terus terang saja, Pak. Sahaya mohon pertolongan Bapak. Ini kalau tidak menyusahkan atau merepotkan Bapak.”
“Wah, pertolongan apa, ya ? Kalau saya dapat, tentu dengan senang hati akan saya usahakan.”
“Begini, Pak Ageng. Begini … eh, begini.”
“Ya, begini bagaimana, Mas ? Coba terangkan. Jangan segan-segan.”
“Begini, Pak Ageng. Begini. Saya harus menebus anak saya dari Panti Rapih. Dia baru sembuh dari operasi uci-uci di kakinya. Saya bawa uang Rp. 250.000,- … eh, masih kurang. Lengkapnya Rp. 283.750,-. Jadi masih kurang Rp. 33.750,-. Karena sahaya pikir Pak Ageng tinggal dekat sini, dan Pak Ageng biasa menolong teman-teman, sahaya mohon pertolongan Pak Ageng menutup kekurangan itu. Ini kalau tidak menyusahkan Pak Ageng, lho.”
Dia duduk menunduk. Tangannya disilangkan di pahanya. Wajahnya kelihatan prihatin sekali. Oh … Korpri kecil yang malang. Ada berapa juga dari kalian yang akan selalu menemui kesulitan seperti itu. Menebus surat gadai, menebus beras, menebus baju, menebus uang lembur dan ini menebus anak dari rumah sakit.
Saya sebagai Korpri yang tidak begitu kecil terpanggil untuk menolong sesama anggota korps. Kalau menolong begini saja tidak dapat, buat apa saya tempoh hari lulus P4 nomor satu sak DIY, bukan ? Tetapi, uwahhh, tanggalnya kok ya tua bangka, lho. Di laci lemari pakaian yang berfungsi sebagai brangkas, tempat menyimpan uang, surat-surat yang sesungguhnya tidak perlu, foto-foto yang juga tidak pantas disimpan, saya lihat uang saya tinggal Rp. 45.000,-. Kira-kira pas untuk uang belanja harian Mr. Rigen ke Pasar Kranggan sampai hari gajian tiba.
Waduh, kalau dipotong untuk membantu Raden Soemantio yang halus itu, saya dan keluarga Mr. Rigen bisa survive sampai kapan ? Tapi saya lantas ingat mahasiswa saya dari Bali yang tempoh hari bercerita tentang pengorbanan Suthasoma dengan mengharukan sekali. Wahh, dibanding dengan Suthasoma yang ikhlas menyediakan tubuhnya dilalap harimau demi keselamatan desanya, apalah artinya pengorbanan yang cuma beberapa puluh ribu rupiah itu. Saya jadi malu sekali. Kok begitu saja ragu-ragu, meski sebentar. Tidak. Uang tiga puluh tiga ribu sekian itu saya ambil, saya hitung dan srett … saya ulung-kan kepada Raden Soemantio. Raden Soemantio gurawalanmenerima uang itu. Uang itu diangkatnya sebentar di dahinya, kemudian mak srett … dimasukkan ke dalam saku hem-nya. Juga dengan luwes dan metodisnya. Saya pikir tatakrama, unggah-ungguh Jawa, memang seni terapan ilmu teater yang canggih.
“Waduhh, … matur nuwun, sewu sembah nuwun, Pak Ageng. Tidak salah dugaan sahaya. Kalau kesulitan di tanggal tua begini, pasti Pak Ageng yang dapat menolong sahaya. Matur nuwun, Pak Ageng. Matur nuwun.”
Dan cengklak, dia pun menyengklak sepedanya menuju Panti Rapih. Saya pun lega, di tanggal tua masih dapat menolong kawan sesama korps. Cuma waktu ingat sebentar lembar ribuan yang cuma beberapa biji terseruak di antara surat-surat dan foto-foto bosok di laci lemari pakaian, saya jadi tergetar sebentar. Ah, … tidak. Dibanding dengan Suthasoma …..
Esok harinya saya menelepon Mas Soerono di kantor Kesenian, melapor tentang Raden Soemantio yang sopan dan halus budi bahasanya itu.
“Lho, Mas Ageng, tidak ada yang bernama Raden Soemantio di kantor kami. Kebetulan hari ini kami sedang menyiapkan daftar gaji. Tidak ada dalam daftar ini yang bernama Raden Soemantio.”
“Mungkin tenaga honorer ?”
“Tidak ada tenaga honorer di sini, Mas Ageng. Wahhh …. sampeyan kejeblos !”
Trembelane ! Orang yang begitu halus dan sopan menyandang sisa-sisa keagungan peradaban Mataram. Kok, eh … trembelane tenan ! Mr. Rigen pun tidak kurang-kurang jengkelnya. Sejarah hari-hari paceklik tempe dan kangkung tempoh hari terbayang di mukanya.
“To, gimana kalau begini, Gen ?”
“Ha, enggih. Wong priyayi alus itu jaman susah begini kok ya ngapusi-nya pakai seni halus. Saya hitung tadi sebelum dia ngulurtangannya minta duit, ancang-ancangnya bilang begini, begini, sampai 27 kali, Pak.”
Saya membayangkan priayi-priyayi halus penipu yang kelas kakap di Pusat sana. Apakah mereka juga masih harus ancang-ancang begini, begini, begini, sampai ratusan kali ?
Yogyakarta, 16 Februari 1988
*) gambar dari ngapak.com
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda