AGAK mengejutkan juga percakapan dengan Prof. Dr. Lemahamba M.Sc. seminggu yang lalu di rumah saya. Pertama, kunjungan itu adalah kunjungan yang boleh dikatakan langka karena kesibukan Profesor tersebut mengurus dunia. Mungkin itu yang disebut mamayu hayuning bawana. Kedua, tema percakapannya itu. Coba ….
“Well, I think our economy is in totally, completely chaos.”
“Lho, kados pundi to, Prof ?”
“Ekonomi-ne negaramu itu, lho, ancur-ancuran !”
“Lho, ancur-ancuran bagaimana to, Prof ?”
“Daging sekarang sudah Rp. 5.500,- satu kilo, kacang lanjaran yang beberapa waktu yang lalu satus rupiah tiga ikat, sekarang seketrupiah satu ikat. How, about that ?”
“Wah … lha how ya ? Prof kok begitu up to date data-data pasar ? Dapat dari ibu, ya ?”
“Eh, tidak. Data dari ibu itu hanya untuk mengecek saja. Saya mengadakan grounded research sendiri. Di Pasar Kranggan, Pasar Beringharjo, bahkan pasar di jalan Solo yang nylempit di antara toko-toko itu.”
“Yakk, apa bener itu harga-harga di pasar Yukja, Prof ? Kok kayaknya ibunya Gendut di Jakarta minggu lalu laporannya ya kayak begitu, Prof. Daging, kacang lanjaran, kangkung … “
“Pokoknya mahal, mahal, mahal. Terus nanti kalau lebaran bagaimana ? Rakyat kecil itu lho, yang saya pikirkan. Mau makan apa mereka ?”
“Kalau pertanyaan itu yang kita tanyakan, wah, kita hanya akan dikecelekan oleh surprise-surprise mereka, Prof.”
“Maksudmu ?”
“Wong cilik itu kayaknya kok pinter jadi tukang sulap semua, Prof. Coba Prof, lebaran nanti datang nyelonong begitu saja ke rumah pembantu Prof. di desa. Nanti Prof. rak kaget.”
“Kaget bagaimana ?”
“Di meja makan mereka akan ada juga opor ayam, ketupat, lontong, sambel goreng ati. Coba saja datang, Prof.”
“Ahh, masa. Dari mana mereka dapat duit untuk itu semua, hah ?”
“Yaa, ada saja akal mereka, Prof. Menabung sedikit demi sedikit.”
“Curi sedikit demi sedikit ?”
“Ahh, ya tidak, Prof. Kalau yang diikuti pegawai negeri kayak kita, yang mau dicuri itu gek ya apa to, Prof ?”
Prof. Lemahamba menghela nafas panjang. Kekhilafannya masih tercekam oleh naiknya harga-harga. Atau mungkin lebih oleh rosoprihatinnya memikirkan nasib wong cilik. Lha wong beliau itu sarjana, intelektual, patriot, penerap tri dharma perguruan tinggi komplet, pelaksana P4 sempurna, lho !
“Wah, … hemm. Hidup kita sebagai pegawai negeri kok semakin berat, ya ?”
“Ya berat, Prof. Tapi ya tidak usah sedih-sedih amat, Prof. Seperti para pembantu kita itu, mosok kita akan kehilangan akal. Akan tetap ada opor ayam, sambel goreng ati, ketupat sak uba rampe-nya. Ya, embuh nanti, Prof. Lebaran tahun ini di mana, Prof ?”
“Wah, … kami agak mujur lagi tahun ini, Bung. Kalau tahun lalu kebetulan kami dapat undangan konferensi di Geneva. Tahun ini dekat-dekat sini saja. Kebetulan, kebetulan lagi nih, kami ada undangan rapat konsultasi di Hongkong. Ya, lumayan. Ngirit !Menghemat tidak usah sedia opor ayam. Cuma itu, lho …. !”
“Cuma apa, Prof ?”
“Kami masih memikirkan para pembantu itu, lho. Mau makan apa mereka nanti lebaran. Tapi ah, ya, kalau seorang sosiolog seperti kamu sudah mengatakan para pembantu itu banyak akalnya, very resourceful, ya sebagai orang di bidang matematika, yah, saya percaya saja.”
Sesudah Prof. Lemahamba pergi dan Mr. Rigen mengundurkan cangkir-cangkir, Mr. Rigen kembali ke ruang duduk nglesot di dekat kursi malas. Saya sudah tahu, dia pasti mau kasih komentar.
“Apa, kamu rak habis nguping, menelinga lagi, to ?”
Saya menunggu Mr. Rigen meringis. Eh, kok tidak.
“Jan para priyayi itu sadis semua !”
“Lho, sadis bagaimana, Mister ?”
“Lha, coba saja dengar kata-kata profesor yang lemah-nya berhektar-hektar itu.”
“Ya, tidak berhektar-hektar to, Mister. Beberapa ribu meter saja.”
“Ya sudah, beribu-ribu. Kayak yak-yak-nya saja mengeluh harga kangkung, kacang lanjaran. Wong tahu harga koran Jakarta, lho.”
“Ya, kan tidak salah to, Gen ? Harga-harga rak mumbul semua, to ?”
“Iya. Tapi mboten usah ethok-ethok sedih. Terus saya ini yang mau sedih betul bagaimana ?”
“Lho, kamu sedih apa, Mister ?”
“Yakk, Bapak ki. Saya dengar Bapak ikut-ikutan bilang wong cilik banyak akalnya itu, saya jadi semangkin sedih. Wong akal sayamangkin sedikit lho, Pak, kalau dekat-dekat lebaran begini.”
“Saya kan ya tidak terlalu salah to, Gen, kalau bilang kalian bisa menyediakan opor ayam sak uba rampe-nya itu ?”
“Ya, tidak terlalu salah. Ning tetep salah, Pak.”
“Salahnya ?”
“Ya, wong cilik itu makin pringisan cari akalnya, Pak. Makin susah mengumpulkan duit. Opor ayam ya tetep ada. Ning ya itu. Yang disembelih ayamnya mangkin cilik tur sithik. Santannya juga mangkin cuwer. Sambel gorengnya ya tidak pakai ati lagi. Daging ya adaning disuwir-suwir. Pak, Pak, mbok panjenengan sedaya jangan sadis-sadis sama wong cilik …. “
Mak klepat Mr. Rigen pergi ke belakang. Hatiku anjlok beberapa meter. Kali ini miris betul aku. Aku tercenung mendengar grundelan Mr. Rigen itu. Aku membayangkan Prof. Lemahamba jalan-jalan shopping di Kowloon lebaran yang akan datang. Aku membayangkan opor ayam dan rendang dagingku di Jakarta.
“Pak Ageng, nanti sore boleh lihat baris dramben ?”
Beni Prakosa tahu-tahu sudah mengelus-ngelus tanganku di kursi.
“Boleh, boleh, Le. Bilang bapakmu boleh pakai jip …”
“Horee, horee, boleh pakai jip, Paaakkkk !”
Yogyakarta, 2 Februari 1988
*) gambar dari bekajaya.tumblr.com
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda