Tuesday, January 22, 2013

Goro Goro


Berita-Berita  bencana   alam  seperti   gempa, gunung   meletus,  banjir dan  sebagainya selalu dilihat  Mister  Rigen  sekeluarga   dan  teman-temannya  sebagai  tanda-tanda  jaman.  Tanda  jaman akan mengalami  perubahan dahsyat. Tanda akan  datangnya  goro-goro dimana  jagad akan  diguncang, dikocok dilebur. Kemapanan dan kedamaian lama akan harus diganti dengan tatanan yang lebih baru lagi.

Begitulah, pagi Minggu kemarin waktu Pak Joyoboyo sang maestro  penggeng eyem, singgah  di rumah, duduk  ngglesot di teras mengobrol  dengan  koleganya Mister Rigen.
"Bosse, belum wungu-bangun, to?"
"He-he-he. Wungu-bangun itu bahasa  napa?"
"Elho itu bahasa  Indonesia krama, Mas Rigen."
"Weh, kok ada lho! Bahasa  Indonesia  kok punya  krama  to, Mas Joyo?"
"Lho, ha enggih to, Mas Rigen. Kalo saya bilang bos sampeyan niku sudah  bangun  rak saya tidak menghormati beliau namanya. Jadi  ya wungu, wungu-bangun."
"Oh begitu, to. Jadi, kalau sampeyan tidak tega mengatakan bos saya “makan  penggeng eyem” ya mesti dikatakan “makan­dahar atau dahar-makan penggeng  eyem”, begitu? Minum jadi ngunjuk-minum. Jalan jadi tindak-jalan. Begitu?"
"Ha enggih, Mas. Namanya  menghormati orang."
"Elho! Bahasa  Indonesia  itu rak sesungguhnya demokratis to, Mas Joyo. Tidak kenal tinggi-rendah bahasa. Kalo diimbuhi kata-kata  krama terus bagaimana,  Mas Joyo."
"Ya sesungguhnya lucu, nggih? Ning wong saya masih Jowo itu? Apa tidak boleh to saya mengarang basa lndonesia-Jawa, Mas Rigen?"                                                                                             
Kedua  orang   itu  lantas  kedengaran  pada  tertawa   cekakakan.
"Mas Joyo apa  ya mengikuti  kabar-berita tentang bencana alam di mana-mana itu, Mas Joyo?"
"Oh, ha enggih. Kan saya habis dapat  rejeki hadiah  tipi berwarna  dari anak  saya yang sekarang sudah  kerja di Jakarta. Weh, gambare   bencana  itu  kok  jadi bagus  di tipi  berwarna, nggih Mas Rigen?"   
"Elho, sampeyan itu  lho Mas Joyo! Kok ya ada-ada saja.  Tadi menciptakan basa  Indonesia  krama. Sekarang bencana alam kelihatan  bagus. Pripun, Mas."
"Lho, maksud  saya itu nampak  lebih jelas, gitu. Banjirnya jadi kelihatan airnya  mimplah-mimplah."

Saya  mendengarkan percakapan itu dari  kamar  tidur  dengan perasaan takjub. Pak Joyoboyo yang sehari-hari  mesti berjuang menghabiskan penggeng  eyem  sak tenong.  Dan  belum tentu  habis. Yang berarti bencana  kecil-kecilan  rutin  kalau tidak bisa menghabiskan dagangannya itu. Ini kok bisa melihat "keindahan" bencana alam yang lebih besar?
Dan Mister Rigen? Yang sejak kecilnya di tanah-tanah tandus Pracimantara sudah digojlok dengan  berbagai  penderita­an? Bagaimana dia melihat gambar-gambar atau  berita koran tentang berbagai bencana itu?               

"Yang saya heran itu lho, Mas Joyo. Bencana  kok beruntun, urut kacang datangnya. Gempa ini Los Anyles. Terus diikuti di Irian,  Halmahera. Terus  banjir  di  mana-mana,  mBandung, mBogor, Jakarta, Sumatra. Wah, rata. Niku kalau miturut saya ngalamat, Mas Joyo. Ngalamat!'
"Lha, terus ngalamat apa, Mas Rigen?"
"Ngalamat  kita  ini akan  dapat   bebendu, dapat   hukuman dari Gusti Allah."
"Wah, mbok  sampeyan  itu  jangan  serem serem  begitu  to, Mas Rigen. Wong negaranya sudah apik-apik  begini, lho."
"Apik? Sampeyan merasa sudah apik to, Mas Joyo?"
"Lha, ya belum.  Ning sedikitnya  kita wong cilik rak sudah lumayan, to !
Buktinya saya mak-jleg dapat  rejeki tipi berwarna dari anak saya. Lho, wong ing atasnya bakul penggeng  eyem kok punya anak yang bisa belikan tipi berwarna. Pripun?"
"Woo, kalau begitu cara sampeyan  melihat ya oke-oke  saja, Mas. Ning  kalo dilihat macem-macem gejala  jelek mangkin mendadra, mangkin menjadi-jadi itu bagaimana?"
"Seperti?"
"Lha,. gejala sadis di mana...mana begitu kok. Orang  nyembelih orang  ya mak  klekak-klekek. Nusuk mak-jus cuma  per­ kara rokok. Buruh  wedok mau minta  tambahan gaji dibunuh. Nonton  bal-balan  awut..,awutan, amuk-amukan. Bocah sekolah pada  berkelahi  pake rante  dan  pisau. Kroyokan lagi. Lha, priyagung  atas-atasan  kok  ya  pada  kumat  semua  to,  Mas Joyo?"
"Kumat pripun?'
"Ya pada seperti  maling kambuhan semua  begitu, lho. Korupsi, Mas Joyo, korupsi. Teruus saja. Ning kalo pidato seperti yak-yak-o. Bolehnya  menenteramkan wong cilik, janji muluk-muluk, menyuruh pegawai cilik tidak menggresula, mengeluh, biar gajinya  sungguhnya tidak  pernah naik  kalo dihitung dari inplasi. Malah disuruh kreatip ....."

Wah, wah! Mak-jenggirat saya terpaksa  loncat  dari tempat tidur saya. Mister Rigen, dirjen saya itu, sudah terlalu  jauh nih.
Sudah dekat  prikik bolehnya ngamuk. Sudah mau SARA atau jangan-jangan malah saraf nih. Apa saja yang mendorong dia begitu galak bin sewot!
"Coba, Mas Joyo! Tunggu saja, tunggu saja!"
"Tunggu apa to, Mas Rigeen?"
"Tunggu bebendu Pangeran. Tunggu!"
"Lha, kalo termasuk  sampeyan sama saya dan semua  wong cilik yang kena bebendu lha rak ciloko gitu."
Tiba-tiba  Mister Rigen diam. Tidak meneruskan sewotnya.
Mungkin kalimat Pak Joyoboyo  yang terakhir  itu yang membuat dia diam.
"Saya bungkuskan empat sate usus buat anak-anak sampeyan ya, Mas Rigen?"
Saya pun keluar dari kamar. Pak Joyoboyo lantas menyambut saya dengan senyum diplomatnya yang khas.
"Selamat siang, Pak? Minggu-Minggu  wayah begini baru wungu-bangun? Dada mentok berapa, pahanya berapa; usus-nya berapa, Pak? Masih komplit lho, Pak!"
Saya tersenyum. Orang ini, Pak Joyoboyo ini, sudah  tahu betul kalau saya sekarang tidak mungkin makan penggeng eyemnya. Terlalu manis dan santennya  terlalu mlekoh.  Enak memang. Ning tidak boleh sama dokter, En  toch, en  toch dia selalu tanpa  putus asa membujuk saya untuk membeli. Sungguh semangat  entrepeneur sejati. Tapi, yang penting senyum diplomatnya  itu, juga sekaligus  meluluhkan  amarah   Mister Rigen yang melihat bencana alam di mana-mana sebagai pertanda goro-goro, bahkan Armagedon sudah di ambang  pintu.
Bless you Joyoboyo. Saya optimistis masih ada wong cilik seperti kau. Tapi eh, bukankah wong cilik sudah selalu begitu ....

25 Januari 1994

By : Umar Kayam

No comments:

Post a Comment

Silahkan Tinggalkan Comment Anda

Liquid Culture

Sedang senang senangnya coba coba buat liquid culture untuk Jamur Tiram, so far so gud, besok tinggal fase test apakah liquid culture yang ...