PADA hari Lebaran ke-2 kemarin, brayat sak-go- trah saya, saya angkut ke \bgya. Begitulah selalu aturan permainannya. Lebaran ke-I saya di Jakarta memainkan peranan sebagai anak, karena orang-orang tua atau yang saya tuakan pada bermukim di Jakarta. Sedang pada Lebaran ke-2 saya berfungsi di \bgya sebagai orang-tua. Di nDalem Keagengan cabang \bgya saya madeg penguasa kadipaten yang besar, sedang di Jakarta, karena memainkan peranan sebagai anak itu, saya cuma madeg di kadipaten yang lebih kecil. Di \bgya Kadipaten Jodipati, di Jakarta Kadipaten Ngawangga. Wau to, tadi to, pada Lebaran ke-2 itu sangat ramai dan kemruyuk para sanak-saudara yang lebih muda, juga si Mbak dan Mister Kebumen dalah precil-precil mereka yang tahun ini pada lebaran di Kebumen pada menghadap juga di Kadipaten Jodipati, Gendut, dan para keponakan sepupu dalah koleha-kole- ha yang paling muda, semua ander berdudukan, ber-pentalit- an di rumah saya. Pada kesempatan begitu di samping merasa hangat, bangga, juga roso tuwo, perasaan tua itu sekaligus agak memiriskan hati juga. Lebaran tahun ini jelas semangkirt tuwo, mana tubuh semangkirt enggrik-enggrikan lagi. Tetapi, yang menyenangkan anak-anak saya, lain daripada di Jakarta di mana semua barisan belakang pada mudik, Mister Rigen & family kali ini hadir lengkap di tengah-tengah kami. Kehadiran mereka itu menggembirakan, karena itu berarti anak-anak saya, si Mbak dan si Gendut, tidak usah ikut cancut tali wanda, menyingsingkan lengan baju ikut terjun ke dapur dan bagian korah-korah. Semua smooth ditandangi oleh keluarga Rigen.
"Menu Lebaran di sini apa, Mister?"
"Ya, maunya apa, Ndut?'
"Yang tidak umum Lebaran, dong. Di Jakarta sudah lontong, sambel goreng ati, opor ayam, ditambah rendang lagi. Di sini mesti lain, dong."
"Yang khas di sini?"
"Iya dong, yang biasa dimakan Bapak."
"Woo, kalau itu tidak ada urusannya dengan Lebaran, yang dimakan Bapak sampeyan itu."
"Misalnya?"
"Bapakmu itu, Ndut, sukaannya brongkos, sayur ndeso tempe dimasak sama lombok ijo, botok, pokoknya yang mble- kotrok-mblekotrok begitu."
"Ah, yang bener!"
"Iya, Ndut, Mbak. Itu-itu saja kok makanannya."
"Lho, di Jakarta sukaannya ngajak makan kita di tempat macem-macem itu."
"Misalnya?"
"Di restoran-restoran hotel berbintang, di Sogo, di restoran
Thai...."
Saya yang mendengar percakapan absurd dari beranda depan jadi tertawa nggleges. Sekarang Mister Rigen yang suka ndobos ala Pracimantara itu kena batunya. Gendut kalau kumat hobinya ngerjain orang bisa sadis sekali. Yang di-do- bos-kan Gendut seakan-akan kerja saya di Jakarta sepertinya setiap malam makan di hotel berbintang atau di restoran mewah jelas tidak betul. Sekali-sekali iya. Untuk menjaga imej Bapak yang generous dan tidak kunjung kekeringan dana. (Bahwa dana ini keluar dari amplop-amplop oceh-ocehan dan sebagainya itu, anak-anak saya tidak perlu tahu, to. Juga untuk unjuk muka di publik Jakarta yang sangat mejeng conscious alias sadar-mejeng itu. Untuk sekadar kasih unjuk: lho, ini orang Yukja tidak terlalu baekward untuk bisa makan dengan garpu dan pisau-belati, to? Tetapi, Mister Rigen sesungguhnya men-dobos juga tentang saya. Kalau Gendut men-dobos tentang bapaknya yang* suka tampil sebagai gastronomigue yang kayak yako-yako, Mister Rigen sesung-
guhnya mau ceritcra kalau di Yogya bosnya itu suka nglakoni, menjalani gerakan hidup sederhana. Makan cuma segala yang mblekotrok-mblekotrok dan murah-murah saja. Memberikan kesan seakan-akan saya anti-bestik, empal, dan kepiting. We, lha!
"Wah, Bapak sampeyan itu kalau di sini kalau makan luar sukaannya cuma makan gudeg dan nasi goreng Masih Sepuluh itu, Ndut. Lekotrok lagi."
"Mister, begini saja. Hari ini kau masak yang kau bilang blekotrok-blekotrok itu."
"Ah, yang betul, Non. Ini 'kan masih Lebaran Kalau banyak tamu datang bagaimana?'
"Biarin. Biar tahu cita-cita rumah ini kalau Lebaran."
"Lho, itu kan bikin jatuh nama Bapak sampeyan dan, he-he, nama saya juga."
"Saya tanggung tidak deh. Dan tambah sayur ijo-ijo yang banyak."
Begitulah. Siang itu pada hari Lebaran ke-2 di nDalem Keagengan yang prestisius itu makan siang berupa makan sehari-hari saya. Brongkos (yang konon berasal dari nama Meneer Bronkhoorst) met kikil en kacang tolo dan segala sayur ijo-ijoan yang diurap en tempe bacem. Mestinya saya makan susunan lauk yang begitu ya lahap. Wong kesenengan saya. Ning hari Lebaran itu? Mestinya kita bermewah-mewah sedikit. Met opor ayam dan sambel goreng ati begitu. Jadi, saya secara psikolohi jadi tidak enak juga makan. Lha Bu Ageng yang kalau datang ke rumahnya cabang Yogya tidak mau ambil kendali inisiatif apa-apa mengernyitkan alis juga melihat komposisi menu begitu.
"Lho, Pak, Mister Rigen, ini menu Lebaran apa ya? Brongkos!"
"He-he-he."
Yah, saya cuma bisa tertawa begitu. Wong di dapur saya sudah terjadi kudeta yang dilancarkan Gendut. Gendut sendiri tersenyum puas. Si Mbak judeg melihat pokal adiknya. Cucu-cucu saya protes minta spaghetti.
"Ha-ha-ha, all of you the Ageng family. Listen to me! Saya
mengaku deh. Ini memang pokal saya. Maunya back to basic"
Si Mbak yang masih keki langsung me-nyantlap adiknya.
"Emangnya lu Jenderal Wismoyo apa?'
"Yo wis ben! Menu Lebaran yang biasa itu. Opor ayam, sambel goreng ati, dendeng ragi, ketupat, bubuk dele, itu semua ketahuilah wahai the Ageng famfly, menu priyayi pamong praja. Menu birokrat elite. Menu Korpri bagian tinggi. Ini! Menu Lebaran ini yang bener! Ayolah bon apetit, slamat makan."
Semua pada diam Tidak sari-sarinya Gendut beragitasi begitu. Saya yang sudah lama tidak lihat dia kumat tertawa kecil juga. Semua lantas pada makan. Ajaib! Kalau sebelum disilakan Gendut secara psikolohi saya sudah nglokro melihat brongkos, kok jadinya enak juga.
"Enak to! Enak to! Mister Rigen, congratulations! Enaak!"
Tapi, waktu Mister Rigen menghidangkan buah-buahan dan mengundurkan piring-piring kosong saya tangkap juga dia menggrendeng.
"Ciloko! Di Praci Lebaran juga tidak ngopor dan nyambel goreng ati. Di sini malah membrongkos! Ciloko...."
Saya menoleh ke ambang pintu dapur. Saya memang tidak melihat gundul-gundul kecil Beni dan Tolo-Tolo. Pasti mereka sudah putus asa juga tidak bisa ikut makan Lebaran betul
22 Maret 1994
"Menu Lebaran di sini apa, Mister?"
"Ya, maunya apa, Ndut?'
"Yang tidak umum Lebaran, dong. Di Jakarta sudah lontong, sambel goreng ati, opor ayam, ditambah rendang lagi. Di sini mesti lain, dong."
"Yang khas di sini?"
"Iya dong, yang biasa dimakan Bapak."
"Woo, kalau itu tidak ada urusannya dengan Lebaran, yang dimakan Bapak sampeyan itu."
"Misalnya?"
"Bapakmu itu, Ndut, sukaannya brongkos, sayur ndeso tempe dimasak sama lombok ijo, botok, pokoknya yang mble- kotrok-mblekotrok begitu."
"Ah, yang bener!"
"Iya, Ndut, Mbak. Itu-itu saja kok makanannya."
"Lho, di Jakarta sukaannya ngajak makan kita di tempat macem-macem itu."
"Misalnya?"
"Di restoran-restoran hotel berbintang, di Sogo, di restoran
Thai...."
Saya yang mendengar percakapan absurd dari beranda depan jadi tertawa nggleges. Sekarang Mister Rigen yang suka ndobos ala Pracimantara itu kena batunya. Gendut kalau kumat hobinya ngerjain orang bisa sadis sekali. Yang di-do- bos-kan Gendut seakan-akan kerja saya di Jakarta sepertinya setiap malam makan di hotel berbintang atau di restoran mewah jelas tidak betul. Sekali-sekali iya. Untuk menjaga imej Bapak yang generous dan tidak kunjung kekeringan dana. (Bahwa dana ini keluar dari amplop-amplop oceh-ocehan dan sebagainya itu, anak-anak saya tidak perlu tahu, to. Juga untuk unjuk muka di publik Jakarta yang sangat mejeng conscious alias sadar-mejeng itu. Untuk sekadar kasih unjuk: lho, ini orang Yukja tidak terlalu baekward untuk bisa makan dengan garpu dan pisau-belati, to? Tetapi, Mister Rigen sesungguhnya men-dobos juga tentang saya. Kalau Gendut men-dobos tentang bapaknya yang* suka tampil sebagai gastronomigue yang kayak yako-yako, Mister Rigen sesung-
guhnya mau ceritcra kalau di Yogya bosnya itu suka nglakoni, menjalani gerakan hidup sederhana. Makan cuma segala yang mblekotrok-mblekotrok dan murah-murah saja. Memberikan kesan seakan-akan saya anti-bestik, empal, dan kepiting. We, lha!
"Wah, Bapak sampeyan itu kalau di sini kalau makan luar sukaannya cuma makan gudeg dan nasi goreng Masih Sepuluh itu, Ndut. Lekotrok lagi."
"Mister, begini saja. Hari ini kau masak yang kau bilang blekotrok-blekotrok itu."
"Ah, yang betul, Non. Ini 'kan masih Lebaran Kalau banyak tamu datang bagaimana?'
"Biarin. Biar tahu cita-cita rumah ini kalau Lebaran."
"Lho, itu kan bikin jatuh nama Bapak sampeyan dan, he-he, nama saya juga."
"Saya tanggung tidak deh. Dan tambah sayur ijo-ijo yang banyak."
Begitulah. Siang itu pada hari Lebaran ke-2 di nDalem Keagengan yang prestisius itu makan siang berupa makan sehari-hari saya. Brongkos (yang konon berasal dari nama Meneer Bronkhoorst) met kikil en kacang tolo dan segala sayur ijo-ijoan yang diurap en tempe bacem. Mestinya saya makan susunan lauk yang begitu ya lahap. Wong kesenengan saya. Ning hari Lebaran itu? Mestinya kita bermewah-mewah sedikit. Met opor ayam dan sambel goreng ati begitu. Jadi, saya secara psikolohi jadi tidak enak juga makan. Lha Bu Ageng yang kalau datang ke rumahnya cabang Yogya tidak mau ambil kendali inisiatif apa-apa mengernyitkan alis juga melihat komposisi menu begitu.
"Lho, Pak, Mister Rigen, ini menu Lebaran apa ya? Brongkos!"
"He-he-he."
Yah, saya cuma bisa tertawa begitu. Wong di dapur saya sudah terjadi kudeta yang dilancarkan Gendut. Gendut sendiri tersenyum puas. Si Mbak judeg melihat pokal adiknya. Cucu-cucu saya protes minta spaghetti.
"Ha-ha-ha, all of you the Ageng family. Listen to me! Saya
mengaku deh. Ini memang pokal saya. Maunya back to basic"
Si Mbak yang masih keki langsung me-nyantlap adiknya.
"Emangnya lu Jenderal Wismoyo apa?'
"Yo wis ben! Menu Lebaran yang biasa itu. Opor ayam, sambel goreng ati, dendeng ragi, ketupat, bubuk dele, itu semua ketahuilah wahai the Ageng famfly, menu priyayi pamong praja. Menu birokrat elite. Menu Korpri bagian tinggi. Ini! Menu Lebaran ini yang bener! Ayolah bon apetit, slamat makan."
Semua pada diam Tidak sari-sarinya Gendut beragitasi begitu. Saya yang sudah lama tidak lihat dia kumat tertawa kecil juga. Semua lantas pada makan. Ajaib! Kalau sebelum disilakan Gendut secara psikolohi saya sudah nglokro melihat brongkos, kok jadinya enak juga.
"Enak to! Enak to! Mister Rigen, congratulations! Enaak!"
Tapi, waktu Mister Rigen menghidangkan buah-buahan dan mengundurkan piring-piring kosong saya tangkap juga dia menggrendeng.
"Ciloko! Di Praci Lebaran juga tidak ngopor dan nyambel goreng ati. Di sini malah membrongkos! Ciloko...."
Saya menoleh ke ambang pintu dapur. Saya memang tidak melihat gundul-gundul kecil Beni dan Tolo-Tolo. Pasti mereka sudah putus asa juga tidak bisa ikut makan Lebaran betul
22 Maret 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda