Berita -Berita bencana alam seperti gempa, gunung meletus, banjir dan sebagainya selalu dilihat Mister Rigen sekeluarga dan teman-temannya sebagai tanda-tanda jaman. Tanda jaman akan mengalami perubahan dahsyat. Tanda akan datangnya goro-goro dimana jagad akan diguncang,
dikocok dilebur. Kemapanan dan kedamaian lama akan harus diganti dengan tatanan yang lebih baru lagi.
Begitulah, pagi Minggu kemarin waktu Pak Joyoboyo sang maestro penggeng eyem, singgah di rumah, duduk ngglesot di teras mengobrol dengan koleganya Mister Rigen.
"Bosse, belum wungu-bangun, to?"
"He-he-he. Wungu-bangun itu bahasa napa?"
"Elho itu bahasa Indonesia krama, Mas Rigen."
"Weh, kok ada lho! Bahasa Indonesia kok punya krama to, Mas Joyo?"
"Lho, ha enggih to, Mas Rigen. Kalo saya bilang bos sampeyan niku sudah bangun rak saya tidak menghormati beliau namanya. Jadi ya wungu, wungu-bangun."
"Oh begitu, to. Jadi, kalau sampeyan tidak tega mengatakan bos saya “makan penggeng eyem” ya mesti dikatakan “makandahar atau dahar-makan penggeng eyem”, begitu? Minum jadi ngunjuk-minum. Jalan jadi tindak-jalan. Begitu?"
"Ha enggih, Mas. Namanya menghormati orang."
"Elho! Bahasa Indonesia itu rak sesungguhnya demokratis to, Mas Joyo. Tidak kenal tinggi-rendah bahasa. Kalo diimbuhi kata-kata krama terus bagaimana, Mas Joyo."
"Ya sesungguhnya lucu, nggih? Ning wong saya masih Jowo itu? Apa tidak boleh to saya mengarang basa lndonesia-Jawa, Mas Rigen?"
Kedua orang itu lantas kedengaran pada tertawa cekakakan.
"Mas Joyo apa ya mengikuti kabar-berita tentang bencana alam di mana-mana itu, Mas Joyo?"
"Oh, ha enggih. Kan saya habis dapat rejeki hadiah tipi berwarna dari anak saya yang sekarang sudah kerja di Jakarta. Weh, gambare bencana itu kok jadi bagus di tipi berwarna, nggih Mas Rigen?"
"Elho, sampeyan itu lho Mas Joyo! Kok ya ada-ada saja. Tadi menciptakan basa Indonesia krama. Sekarang bencana alam kelihatan bagus. Pripun, Mas."
"Lho, maksud saya itu nampak lebih jelas, gitu. Banjirnya jadi kelihatan airnya mimplah-mimplah."
Saya mendengarkan percakapan itu dari kamar tidur dengan perasaan takjub. Pak Joyoboyo yang sehari-hari mesti berjuang menghabiskan penggeng eyem sak tenong. Dan belum tentu habis. Yang berarti bencana kecil-kecilan rutin kalau tidak bisa menghabiskan dagangannya itu. lni kok bisa melihat "keindahan" bencana alam yang lebih besar?
Dan Mister Rigen? Yang sejak kecilnya di tanah-tanah tandus Pracimantara sudah digojlok dengan berbagai penderitaan? Bagaimana dia melihat gambar-gambar atau berita koran tentang berbagai bencana itu?
"Yang saya heran itu lho, Mas Joyo. Bencana kok beruntun, urut kacang datangnya. Gempa ini Los Anyles. Terus diikuti di Irian, Halmahera. Terus banjir di mana-mana, mBandung, mBogor, Jakarta, Sumatra. Wah, rata. Niku kalau miturut saya ngalamat, Mas Joyo. Ngalamat!'
"Lha, terus ngalamat apa, Mas Rigen?"
"Ngalamat kita ini akan dapat bebendu, dapat hukuman dari Gusti Allah."
"Wah, mbok sampeyan itu jangan serem serem begitu to, Mas Rigen. Wong negaranya sudah apik-apik begini, lho."
"Apik? Sampeyan merasa sudah apik to, Mas Joyo?"
"Lha, ya belum. Ning sedikitnya kita wong cilik rak sudah lumayan, to !
Buktinya saya mak-jleg dapat rejeki tipi berwarna dari anak saya. Lho, wong ing atasnya bakul penggeng eyem kok punya anak yang bisa belikan tipi berwarna. Pripun?"
"Woo, kalau begitu cara sampeyan melihat ya oke-oke saja, Mas. Ning kalo dilihat macem-macem gejala jelek mangkin mendadra, mangkin menjadi-jadi itu bagaimana?"
"Seperti?"
"Lha,. gejala sadis di mana...mana begitu kok. Orang nyembelih orang ya mak klekak-klekek. Nusuk mak-jus cuma per kara rokok. Buruh wedok mau minta tambahan gaji dibunuh. Nonton bal-balan awut..,awutan, amuk-amukan. Bocah sekolah pada berkelahi pake rante dan pisau. Kroyokan lagi. Lha, priyagung atas-atasan kok ya pada kumat semua to, Mas Joyo?"
"Kumat pripun?'
"Ya pada seperti maling kambuhan semua begitu, lho. Korupsi, Mas Joyo, korupsi. Teruus saja. Ning kalo pidato seperti yak-yak-o. Bolehnya menenteramkan wong cilik, janji muluk-muluk, menyuruh pegawai cilik tidak menggresula, mengeluh, biar gajinya sungguhnya tidak pernah naik kalo dihitung dari inplasi. Malah disuruh kreatip ....."
Wah, wah! Mak-jenggirat saya terpaksa loncat dari tempat tidur saya. Mister Rigen, dirjen saya itu, sudah terlalu jauh nih.
Sudah dekat prikik bolehnya ngamuk. Sudah mau SARA atau jangan-jangan malah saraf nih. Apa saja yang mendorong dia begitu galak bin sewot!
"Coba, Mas Joyo! Tunggu saja, tunggu saja!"
"Tunggu apa to, Mas Rigeen?"
"Tunggu bebendu Pangeran. Tunggu!"
"Lha, kalo termasuk sampeyan sama saya dan semua wong cilik yang kena bebendu lha rak ciloko gitu."
Tiba-tiba Mister Rigen diam. Tidak meneruskan sewotnya.
Mungkin kalimat Pak Joyoboyo yang terakhir itu yang membuat dia diam.
"Saya bungkuskan empat sate usus buat anak-anak sampeyan ya, Mas Rigen?"
Saya pun keluar dari kamar. Pak Joyoboyo lantas menyambut saya dengan senyum diplomatnya yang khas.
"Selamat siang, Pak? Minggu-Minggu wayah begini baru wungu-bangun? Dada mentok berapa, pahanya berapa; usus-nya berapa, Pak? Masih komplit lho, Pak!"
Saya tersenyum. Orang ini, Pak Joyoboyo ini, sudah tahu betul kalau saya sekarang tidak mungkin makan penggeng eyemnya. Terlalu manis dan santennya terlalu mlekoh. Enak memang. Ning tidak boleh sama dokter, En toch, en toch dia selalu tanpa putus asa membujuk saya untuk membeli. Sungguh semangat entrepeneur sejati. Tapi, yang penting senyum diplomatnya itu, juga sekaligus meluluhkan amarah Mister Rigen yang melihat bencana alam di mana-mana sebagai pertanda goro-goro, bahkan Armagedon sudah di ambang pintu.
Bless you Joyoboyo. Saya optimistis masih ada wong cilik seperti kau. Tapi eh, bukankah wong cilik sudah selalu begitu ....
25 Januari 1994
dikocok dilebur. Kemapanan dan kedamaian lama akan harus diganti dengan tatanan yang lebih baru lagi.
Begitulah, pagi Minggu kemarin waktu Pak Joyoboyo sang maestro penggeng eyem, singgah di rumah, duduk ngglesot di teras mengobrol dengan koleganya Mister Rigen.
"Bosse, belum wungu-bangun, to?"
"He-he-he. Wungu-bangun itu bahasa napa?"
"Elho itu bahasa Indonesia krama, Mas Rigen."
"Weh, kok ada lho! Bahasa Indonesia kok punya krama to, Mas Joyo?"
"Lho, ha enggih to, Mas Rigen. Kalo saya bilang bos sampeyan niku sudah bangun rak saya tidak menghormati beliau namanya. Jadi ya wungu, wungu-bangun."
"Oh begitu, to. Jadi, kalau sampeyan tidak tega mengatakan bos saya “makan penggeng eyem” ya mesti dikatakan “makandahar atau dahar-makan penggeng eyem”, begitu? Minum jadi ngunjuk-minum. Jalan jadi tindak-jalan. Begitu?"
"Ha enggih, Mas. Namanya menghormati orang."
"Elho! Bahasa Indonesia itu rak sesungguhnya demokratis to, Mas Joyo. Tidak kenal tinggi-rendah bahasa. Kalo diimbuhi kata-kata krama terus bagaimana, Mas Joyo."
"Ya sesungguhnya lucu, nggih? Ning wong saya masih Jowo itu? Apa tidak boleh to saya mengarang basa lndonesia-Jawa, Mas Rigen?"
Kedua orang itu lantas kedengaran pada tertawa cekakakan.
"Mas Joyo apa ya mengikuti kabar-berita tentang bencana alam di mana-mana itu, Mas Joyo?"
"Oh, ha enggih. Kan saya habis dapat rejeki hadiah tipi berwarna dari anak saya yang sekarang sudah kerja di Jakarta. Weh, gambare bencana itu kok jadi bagus di tipi berwarna, nggih Mas Rigen?"
"Elho, sampeyan itu lho Mas Joyo! Kok ya ada-ada saja. Tadi menciptakan basa Indonesia krama. Sekarang bencana alam kelihatan bagus. Pripun, Mas."
"Lho, maksud saya itu nampak lebih jelas, gitu. Banjirnya jadi kelihatan airnya mimplah-mimplah."
Saya mendengarkan percakapan itu dari kamar tidur dengan perasaan takjub. Pak Joyoboyo yang sehari-hari mesti berjuang menghabiskan penggeng eyem sak tenong. Dan belum tentu habis. Yang berarti bencana kecil-kecilan rutin kalau tidak bisa menghabiskan dagangannya itu. lni kok bisa melihat "keindahan" bencana alam yang lebih besar?
Dan Mister Rigen? Yang sejak kecilnya di tanah-tanah tandus Pracimantara sudah digojlok dengan berbagai penderitaan? Bagaimana dia melihat gambar-gambar atau berita koran tentang berbagai bencana itu?
"Yang saya heran itu lho, Mas Joyo. Bencana kok beruntun, urut kacang datangnya. Gempa ini Los Anyles. Terus diikuti di Irian, Halmahera. Terus banjir di mana-mana, mBandung, mBogor, Jakarta, Sumatra. Wah, rata. Niku kalau miturut saya ngalamat, Mas Joyo. Ngalamat!'
"Lha, terus ngalamat apa, Mas Rigen?"
"Ngalamat kita ini akan dapat bebendu, dapat hukuman dari Gusti Allah."
"Wah, mbok sampeyan itu jangan serem serem begitu to, Mas Rigen. Wong negaranya sudah apik-apik begini, lho."
"Apik? Sampeyan merasa sudah apik to, Mas Joyo?"
"Lha, ya belum. Ning sedikitnya kita wong cilik rak sudah lumayan, to !
Buktinya saya mak-jleg dapat rejeki tipi berwarna dari anak saya. Lho, wong ing atasnya bakul penggeng eyem kok punya anak yang bisa belikan tipi berwarna. Pripun?"
"Woo, kalau begitu cara sampeyan melihat ya oke-oke saja, Mas. Ning kalo dilihat macem-macem gejala jelek mangkin mendadra, mangkin menjadi-jadi itu bagaimana?"
"Seperti?"
"Lha,. gejala sadis di mana...mana begitu kok. Orang nyembelih orang ya mak klekak-klekek. Nusuk mak-jus cuma per kara rokok. Buruh wedok mau minta tambahan gaji dibunuh. Nonton bal-balan awut..,awutan, amuk-amukan. Bocah sekolah pada berkelahi pake rante dan pisau. Kroyokan lagi. Lha, priyagung atas-atasan kok ya pada kumat semua to, Mas Joyo?"
"Kumat pripun?'
"Ya pada seperti maling kambuhan semua begitu, lho. Korupsi, Mas Joyo, korupsi. Teruus saja. Ning kalo pidato seperti yak-yak-o. Bolehnya menenteramkan wong cilik, janji muluk-muluk, menyuruh pegawai cilik tidak menggresula, mengeluh, biar gajinya sungguhnya tidak pernah naik kalo dihitung dari inplasi. Malah disuruh kreatip ....."
Wah, wah! Mak-jenggirat saya terpaksa loncat dari tempat tidur saya. Mister Rigen, dirjen saya itu, sudah terlalu jauh nih.
Sudah dekat prikik bolehnya ngamuk. Sudah mau SARA atau jangan-jangan malah saraf nih. Apa saja yang mendorong dia begitu galak bin sewot!
"Coba, Mas Joyo! Tunggu saja, tunggu saja!"
"Tunggu apa to, Mas Rigeen?"
"Tunggu bebendu Pangeran. Tunggu!"
"Lha, kalo termasuk sampeyan sama saya dan semua wong cilik yang kena bebendu lha rak ciloko gitu."
Tiba-tiba Mister Rigen diam. Tidak meneruskan sewotnya.
Mungkin kalimat Pak Joyoboyo yang terakhir itu yang membuat dia diam.
"Saya bungkuskan empat sate usus buat anak-anak sampeyan ya, Mas Rigen?"
Saya pun keluar dari kamar. Pak Joyoboyo lantas menyambut saya dengan senyum diplomatnya yang khas.
"Selamat siang, Pak? Minggu-Minggu wayah begini baru wungu-bangun? Dada mentok berapa, pahanya berapa; usus-nya berapa, Pak? Masih komplit lho, Pak!"
Saya tersenyum. Orang ini, Pak Joyoboyo ini, sudah tahu betul kalau saya sekarang tidak mungkin makan penggeng eyemnya. Terlalu manis dan santennya terlalu mlekoh. Enak memang. Ning tidak boleh sama dokter, En toch, en toch dia selalu tanpa putus asa membujuk saya untuk membeli. Sungguh semangat entrepeneur sejati. Tapi, yang penting senyum diplomatnya itu, juga sekaligus meluluhkan amarah Mister Rigen yang melihat bencana alam di mana-mana sebagai pertanda goro-goro, bahkan Armagedon sudah di ambang pintu.
Bless you Joyoboyo. Saya optimistis masih ada wong cilik seperti kau. Tapi eh, bukankah wong cilik sudah selalu begitu ....
25 Januari 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda