Prof. DR.
Lemahamba Ph.D., M.A, M.Sc., M.Ed., Drs.,
SMA, SMP, SO, Number 2 Village School from Ngrambe, satu sore
minggu lalu nongol lagi ke rumah. Dan,
of course, dengan BMW beliau yang kali
ini berwarna hijau
mentah metallic Kena sorotan sinar
matahari sore mak-keclap-keclap BMW itu semangkin berwibawa penampilannya. Soalnya keclap-nya sinar matahari sore, karena tidak
begitu tajem, tidak membikin mobil itu jadi membikin silau tapi justru
memberi sinar mistik. Kalau kita
lihat bayangannya di beceknya bekas air
hujan di jalan, kayaknya mobil
itu menyemburat sinar pelangi. Edaan!
Memang prof.
idola yang satu ini kesinungan cahyaning
dewa. Warna pelangi yang mengikuti
kendaraan, titihan, ya cuma disediakan
buat dewa-dewa beserta para putra-putrinya dewa kahyangan.
Kadangkala neel & nicht der goden,
yang bisa tutup mulut rahasia kedewataan boleh juga c;:lapat privilege semprotan
pelangi sedikit (mak-criit). Akan para intel kahyangan apakah juga
mendapat semprotan pelangi
dari kadewatan wah, itu saya
tidak tahu. Yang jelas Kiai Garuda Yeksa versi jip terpal anno 1972, titihan
saya, sampe ini detik belum
mendapat kanugrahan dewa-dewa
kahyangan Jonggring Nggajah Mada,
untuk diganti. Pistonnya masih menembakkan sinar abu, seperti luapan
Gunung Kelud. Kalau kena sinar matahari pagi, siang atau
sore pancet, sama kualitasnya. Mbluwek seperti celana
jins anak-anak muda. Eh,
etung-etung jaman posmo. Jip
dinas juga mesti posmo juga, dong ... Begitulah.
"Just imagine, Geng.
Just imagine. Coba to
coba, Gen. Coba!" Itulah
cara prof. idola itu melemparkan uluk-salam buat kami berdua, saya dan Mister
Rigen.
"Lho,
Prof:Apa yang mesti di-imajin.
Rawuh-rawuh kok ...."
"Jin, jin,
jin. Terus dawuh coba to coba. Apa Prof. mau menyuruh saya coba celana jin to,
Prof."
"Ooh,
nggak majikan nggak krocuk sama saja begonya. Celana jin gundulmu
itu, Gen. Puasa juga belum mau
hadiah. Puasa dulu penuh, baru omong tentang celana jin."
Sesudah
kami menyilakan beliau duduk
dan Mister Rigen mengeluarkan uba-rampe-nya orang bermasyarakat, yakni pisang goreng dan
klethik-klethik dan wedang teh
nas-gi-tel, panas-legi-kentel ala Yogya, tiba-tiba bagaikan
pensiunan Baladewa Sriwedari
beliau angkat bicara.
"Coba to
coba ...."
"Lho, kok
coba lagi ....
"Huuuuss,
mundur kowe! Bedinde mau ikut
saja."
Mister
Rigen jadi mengkeret kena semprotan Prabu Baladewa. Malah saya juga ikutan
mengkeret sebentar. Tapi dasar Mister Rigen. Dia memang mundur
(dan tidak teratur) lantas duduk ndepis, ngglesot di ambang pintu ke dapur.
"Just
imagine, Geng. Sala! Sala, kotamu waktu
kecil!" "Lho, ada apa dengan Sala,Prof."
"Kamu itu
baca koran apa tidak, to?"
"Ya baca,
Prof. Jelek-jelek saya langganan Republika
dan Herald Tribune, lho."
"Aahh. Di
Herald Tribune pasti nggak ada kabar itu. Koran Amerika kanan,
anti Clinton, kolumnisnya
Yahudi-Yahudi. Bau-bau zionis.
Tapi kalau Republika ha, itu mesti muat.
Pasti muat."
"Lho, lha
iya. Yang dimuat itu, lho, Prof. Kabar apa?"
"Dua belas
ribu buruh batik mogok. Dua belas ribu!
Hopo tumon! Kebanyakan perempuan lagi. Kebanyakan gadis-gadis desa. Pada pake kain kebaya,
slendang, payung .. . ."
"Jalannya sempleh-sempleh seperti macan
lapar. Kainnya Rujak Sente
sama Tirto Tejo.
Jarikee, jarik Tirto
Tejo. Gelungee ...."
"Huuuuss, bedhes
'ki. Tadi sudah baik-baik ndepis di pintu, tahu-tahu kok sudah di sini
lagi."
Dan memang benar.
Tanpa kedengaran Mister Rigen sudah duduk bersila di belakang kursi saya.
"Lho,
siapa tahu, Prof., mau-jog tehnya lagi." "Jog gundulmu. Minum saja
belum sempat." "Pisangnya. Cripingnya."
"Huuuuss.
Nanti saya ambil sendiri."
Agar dialog itu
jangan berat sebelah, saya ikut nimbrung bertanya.
"Enggak,
Prof. Apa waktu itu Prof. hadir di tengah-tengah para pemogok itu? Kok bolehnya mendetil
cara Prof. meng gambarkan
gadis-gadis jtu."
"Woo,
untuk kesekian kali kamu
mengecewakan saya. Katanya Sastra.
Penulis. Kok tidak bisa punya imajinasi. Apalagi menghargai. Wulu
cumbu-mu si bedhes Rigen kok lebih imajinatif senajan kurang ajar
nimbrung-nimbrung orang lagi
ngomong."
Mister Rigen
saya lihat menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya,
muhun maaf to, Prof. Saya itu mendengar
cerita Prof. itu rak sesungguhnya
trenyuh to, Prof."
"Sebabnya?" ·
"Dari
sekian banyak yang mogok
itu pasti apesnya
10% dari daerah saya."
''Tahumu?. Apa
kamu sudah ikut diterjunkan survei apa?" "Apa itu surpe-surpe, Prof?
Susur dipepe apa?"
"Kamu itu
kepingin jadi profesor plesetan
apa? Survei itu meneliti di
masyarakat."
"Lha,
mboten usah surpe-surpe di sana rak bisa dikira-kira to, Prof."
"Caranya?''
"Pracimantara
itu gudangnya wong lapar, wong daerahnya minus, nggak ada kerjaan. Tiap lowongan kerja pasti dicoba.
Aplagi kalo
kerjaan ini di Sala. Pasti dicoba."
Kami manggut-manggut membayangkan
orang-orang sederhana yang pada protes
mogok itu. Uang Iembur yang jadi hak mereka tidak dibayarkan
kepada mereka selama
tiga tahun, katanya. Mereka juga
menuntut kenaikan upah sedikit. Orang-orang
sederhana yang pikirannya sederhana, hidupnya sederhana, gaya hidupnya lebih sederhana lagi, rupanya dalam kebingungan dan
keputusasaan menghadapi tantangan hidup sehari-hari sekarang jadi
nekat. Mogok.
"Kalo
menurut kamu, Gen, P(erkumpulan) B(abu)
B(abu) dan P(erkumpulan) J(ongos) J(ongos) di sini bisa juga mogok apa
tidak?"
"Elho,
bisa saja, Prof., bisa saja. Tergantung sikon."
"Weh, pake
sikon segala. Maksudmu?"
"Lha, kalo bapak-bapak
dan ibu-ibu bos itu
kecukupan memberi nafkah kita, merengkuh kita seperti sakbae nya menungsa
ya mosok kita tega mogok to, Prof, Paak."
|
"Ooh, yang
suka nylomoti api, ngancing di kamar, kasih makan cuma sama garem sama air itu,
to? Lha, silakan saja berani di kawasan sini, kalo kita tidak bergerak. Bukan
cuma mogok, Prof., Paak. Total, Prof., total."
"Total itu
apa to, Gen. Kok kedengarannya serem. Istilah PKI itu ya?"
"Ayak
Prof.! PKI! Kok Bapak terus latah sama orang-orang kuasa itu.
Sithik-sithik PKI, sithik-sithik PKI. Total itu ya seperti ajaran Bapak.
Menyeluruh."
Saya diam saja
mendengar dialog dirjen saya dengan Prof Lemahamba. Si Rigen yang kira-kira dua
belas fahun lalu datang sama saya turun
dari padepokan Pracimantara, kemudian
kawin-mawin, sekarang bisa bicara
tentang hak total.
Total. Saya
lihat sinar matamya Jadi lain. Lebih
nggentileng.
Menyinarkan
sinar yang lebih mantep.
Membanggakan ning ya mungkin
lebih memrindingkan. Prof. Lemahamba saya
lihat siap-siap mau pulang.
"Geng,
kamu 'kan belum coba BMW-ku yang hijau metallic ini, kan? Yuk, besok kita ke Sala, yuk. Nonton pemogokan. Mungkin lebih rame ...." -
"Wah, saya
seharian konsultasi sama mahasiswa itu, Prof." "Yo, wis. Some other time-lah. Enak, lho. Lebih nglenyer.
Kalau kamu bisa
tak traktir gule tengkleng. Nyuuss. Habis lihat pemogokan makan
tengkleng."
"Sori,
Prof. Mboten saged nderek."
BMW hijau muda
metallic itu meluncur dengan nyuusnya.
Tiba-tiba Beni dan Tolo-Tolo masuk merengek-rengek diikuti ibunya, Ms.
Nansiyem.
"Ini, lho,
Pak. Anak-anakmu mogok makan. Katanya
lawuhnya tidak enak, tidak ada dagingnya."
Dengan sebat
saya rogoh kantong saya. selembar uang sepuluh ribu melayang ke tangan Mister
Rigen.
"Sana beli
sate ayam Cak Fa'i sana. Seratus tusuk!"
Dua bedhes itu
pun langsung duduk di jip butut saya. "Asyik, asyik, asyik."
Memang asyik
kalau tidak ada pemogokan ....
8 Februari 1994
By : Umar Kayam
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda