Pada hari ulang tahunnya yang ke-3 beberapa waktu yang lalu, Beni Prakosa menerima berbagai macam hadiah. Mobil-mobilan, pesawat terbang 747, pestol-pestolan dan sudah tentu segala macam permen dan coklat. Mr. Rigen & spouse mengundang semua P(erkumpulan) D(jongos) D(jongos) –nama perkumpulan itu masih memakai ejaan lama karena katanya, konon, sudah eksis sebelum ejaan yang disempurnakan lahir- dan P(erkumpulan) B(abu) B(abu) dari wilayah kami. Organisasi ini adalah organisasi profesional, terdaftar pada Kanwil Tenaga Kerja, mempunyai anggaran dasar yang sangat canggih, memiliki kas yang terdiri dari mata uang rupiah dan dollar Amerika.
Salah satu ritual mereka yang penting selain arisan bulanan dan rapat koperasi, adalah juga merayakan hari ulang tahun anak-anak mereka. Rupanya kebiasaan merayakan hari ulang tahun itu dimulai oleh seorang teknokrat yang ikut pada keluarga Amerika di Sekip. Buktinya ritual itu selalu menghadirkan kue taart dengan ditancepi lilin dan ditulisi happy birthday. Kadang-kadang juga ditambah dengan ditancepi bendera Amerika Serikat, The Stars and Stripes. Tetapi, di samping kue itu juga masih disediakan satu tumpeng besar nasi kuning komplit sak uba rampene. Mungkin skenario ritual itu bersemboyan : menuju modernitas tanpa meninggalkan kepribadian tradisi kita.
Hari ulang tahun ke-3 dari putra mahkota Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, asal Pracimantoro dan Jatisrono, berjalan menurut skenario yang sudah mentradisi di kawasan kami. Kue taart itu besar, berwarna putih berkembang jambon dan hijau mentah. Sebelum upacara dimulai bunga-bunga jambon itu sudah pada mretheli karena, ya dipretheli, oleh siapa lagi kalau bukan sang Beni sendiri. Peniupan lilin diksanakan oleh Beni dengan tuntas. Dengan sekali sebul matilah tiga lilin itu. Sesudah itu mereka menyanyikan lagu “Panjang Umurnya”. Hanya sang teknokrat profesor Amerika itu yang rupanya ingin show of force dengan menyanyi “Happy Birthday to You”.
Sebelum berangkat dari Jakarta tempo hari, kami serumah mengadakan sidang darurat untuk menghadapi perayaan hari ulang tahun Beni Prakosa. Kami berdebat sengit tentang kado apa yang mesti diberikan. Kami setuju bahwa kado itu harus bias dipertanggung jawabkan. Mentang-mentang jebolan Fakultit Sastra, Pedagogik dan Filsafat, Universitit Gadjah Mada, istri selalu menyebut kata “pedagogisch” pada hampir setiap kalimatnya.
“Pak, sebaiknya kita kasih Beni buku gambar, puzzle dan blok rumah-rumahan.”
“Kenapa ?”
“Itu kado yang paling pedagogisch. Mendidik dan merangsang daya imajinasi dan daya pikirnya.”
“Ah, aku sudah menjanjikan dia sepur-sepuran.”
“Lho, itu kan tidak pedagogisch, Pak. Menurut Maria Montessori, si anak jangan dibentuk fantasinya. Biarlah dia membentuk sendiri fantasinya. Sepur sudah terlalu jelas bentuknya, sepur ! Kalau blok kayu kan selain bisa dianggap rumah bisa juga jadi sepur.”
“Lho, sepur yang saya beli ini sudah komplit dengan rel, stasiun dan tanda-tanda sinyalnya, Bu. Kalau kecil-kecil sudah dilatih begini, kalau nanti dia kerja di PJKA nggak mungkin tabrakan kayak di Bintaro tempo hari.”
Si Gendut, kencana wingka saya, tertawa berderai mendengar perdebatan saya dengan ibunya. Mungkin bagi telinganya kedengaran absurd sekali.
“Paaaakk, Bapak. Si Beni kerja di PJKA saja belum tentu, kok sudah dibayangin tidak akan nabrakkan lokomotif. Kapan maunya bapak ibunya si Beni jadi jenderal ?”
“Pokoknya sepur itu sudah terlanjur Bapak beli. Itu juga pedagogisch-lah. Mengajar seluk beluk perkereta apian. Mendidik berpikir canggih.
“Bapaaak, Bapak. Wong anak baru umur 3 tahun kok bolehnya repot banget kita mikirin apa, Pak ? Peda … peda apa, Pak ?”
“Tanya ibumu, tuh.”
“Pe-da-go jangan go ngucapnya tapi chochis. Lho, bukan cocis ! Chochis. Seperti mau nggereng gitu lho, nDut !”
“Ah, sudahlah. Tenggorokan Belanda kesumbat kerikil kali.”
Saya pun akhirnya pulang ke Yogya beberapa hari sesudah hari besar itu. Cerita yang saya laporkan pada permulaan kolom ini tentulah rekonstruksi saja dari apa yang diceritakan Mr. Rigen anak beranak. Dengan bangga mereka saya kumpulkan untuk saya berikan oleh-oleh dari Jakarta. Ritual begitu selalu saya anggap penting dan khidmat karena fungsinya adalah untuk membentuk roso solider dan kohesif dengan majikannya. Rasa terima kasih dari wong cilik bukankah kudu dipupuk terus kalau ingin mencegah kontadiksi-kontradiksi dalam tubuh masyarakat ?
“Rene, rene, Le, nyedhak. Ya, mendekat sini, Ben.”
Beni yang biasanya spontan setiap saya tawari kue, kali ini jadi tersipu-sipu mendekati saya. Mungkin suasana ritual yang menekan, mungkin rasa kagum, overwhelmed, melihat bungkusan yang apik mengkilat disodorkan di hadapannya.
“Yang ini dari mBak Gendhut. Buku gambar supaya kamu pinter nggambar dan mbaca. Yang ini dari Bu Ageng. Blok untuk bikin rumah, mobil, sepur, kapal terbang, apa saja. Ini lagi dari Bu Ageng, puzzle. Ini kepingan karton bisa dikotak-katik jadi macam-macam. Dan ini, yang gedhiii banget ini, tentu saja dari Pak Ageng. Sepur seperti di Stasiun Tugu itu. Tuwit, tuwiitt, jes-jes-jes, jo jajan, jo jajan….”
Dan seharian itu saya bersama keluarga Rigen geletakan di tikar main anaknya. Beni dengan gembiranya melihat dan mengawasi bapaknya dan Pak Ageng memainkan sepur-sepuran, memasang stasiun dan bermain puzzle dan melihat ibunya dengan asyik melihat buku-buku gambar.
Beberapa minggu berlalu. Seperti biasa saya terbenam pekerjaan mondar-mandir Yogya-Jakarta hingga tidak sadar bahwa rumah saya lengang-lengang saja. Saya selalu berharap hari-hari pasca kado itu akan dibarengi dengan suara gaduh sepur-sepuran, teriakan gembira Beni mencoret-coret buku gambarnya dan mengobrak-ngabrik kepingan puzzle-nya. Tidak. Rumah keliwat tertib dan sepi.
“Lho, Gen. Mana Beni, kok tidak main sepur-sepuran-nya. Atau gambar, kek. Coba bikin puzzle, kek. Di mana dia ?”
“Itu di luar, di pinggir jalan nyegati bakul-bakul yang lewat untuk ditodongi dengan pestolnya.”
Saya melongok ke jalan. Benar saja. Beni sedang menodong nenek tua pengemis langganan kami, “Angkat tangan, angkat tangan ….. !”
“Lho, kok dia tidak kamu ajak main sepur atau nggambar. Itu mainan pedagogisch, Mister !”
“Apa, Pak ?”
“Pe-da-go-gisch. Pestol itu tidak pedagogisch, Gen. Itu mendidik anak jadi galak, lho. Kok sepur-nya tidak dimainkan ?”
“Anaknya malas masang relnya. Saya juga malas ngajari terus, Pak.”
Dari luar Beni berlari ke dalam. Pestol-nya diacungkan kepadaku.
“Dher,dher,dher !. Angkat tangan, Pak Ageng. Angkat tangan, Pak Ageng. Banda apa nyawa. Banda apa nyawa … !”
Saya melirik ke Mr. Rigen. Pasti itu ajaran bapaknya. Banda apa nyawa. Tetapi Mr. Rigen membuang mukanya, pura-pura tidak tahu saya lirik.
Di Jakarta, di rumahku di Cipinang, saya laporkan fenomena kultural itu kepada istriku yang pedagogisch. Istriku hanya geleng-geleng kepala mendengar laporanku. Aku sendiri tiba-tiba saja nyeletuk, “Mungkin benar juga Arief Budiman dan Ariel Herianto. Kontekstual, kontekstual, kontekstual. Semua itu kontekstual. Juga mainan anak, dong.”
“Maksudmu karena Rigen kepingin anaknya jadi jenderal, kecil-kecil sudah diajari main pestol ?”
Saya tidak menjawab pertanyaan yang tendensius begitu. Saya hanya terbayang Beni Prakosa menodongkan pestolnya kepada nenek pengemis itu. Angkat tangan, angkat tangan. Banda apa nyawa, banda apa nyawa …..
Yogyakarta, 24 Nopember 1987
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda