MESKIPUN saya adalah seorang Pancasilais (buktinya saya sudah lulus P4 dengan gemilang dan mendapatvaandel dari Kanjeng Gusti), harus saya akui bahwa sisa-sisa gaya hidup feodal masih sedikit lengket menempel di tubuh saya. Mr. Rigen meski sudah saya panggil Mister Rigen masih saya haruskan berbahasakrama halus terhadap saya dan anak kerabat saya. Dan saya tentu saja cukup dengan ngoko saja kepadanya, kepada istrinya, Mrs. Nansiyem, dan anaknya Beni Prakosa. Meskipun untuk standar gaji pembantu wilayah DIY Mr. Rigen dan family tergolong tinggi, mereka masih saya perlakukan sebagai anggota keluarga bagian belakang. Buktinya, kapan saja dan di mana saja saya merasa kelelahan, mereka masih siap sedia memijit tubuh saya dan sekal-kali juga ngeroki sampai belang-belonteng seluruh badan saya. Pancasila memang mengisyaratkan sikap egaliter bagi para pemeluknya, namun menerapkan prinsip persamaan hak ternyata kita harus luwes dan bijaksana. Maksud saya luwes dan bijaksana yang menguntungkan kita …..
“Gen ! Mr. Rigen ! Mis – terr Ri – gennn … !”
Dari belakang kedengaran jauh, “Doalemmmmm !”
Melhat saya sudah menggeletak dengan sarung dan kaos oblong di tikar dekat meja, Mr. Rigen langsung tanggap ing sasmita. Bos-nya sedang lelah dan membutuhkan pijitan. Radio transistor didekatkan dan Mr. Rigen pun dengan cekatan putar-putar mencari suara gamelan di EMC atau Reco Buntung. Sejak menemukan “Ojo Lamis” ciptaan Ki Nartosabdo tangan Mr. Rigen langsung menggerayangi kaki saya. Beni Prakosa pun tidak ketinggalan ikut-ikutan memegang kaki saya sambil terus nyerocos bilang nyet-nyet-nyet. Mata saya pejamkan, tangan ekspert dari Mr. Rigen dengan penuh roso mengelus kempol saya yang kaku. Suara pesinden yang mengingatkan kita jangan suka bersikap mis alias lip-service pun terdengar merdu membelai, saya semangkin yakin bahwa gaya hidup feodal punya hak didup di alam demokrasi Pancasila. Dan lima, enam menit pun berlalu. Suara nyet-nyet-nyet Beni telah menghilang karena anaknya sudah lari ke kamra ibunya. Tetapi, suara Mr. Rigen, tumben betul belum juga keluar. Biasanya saat-saat seperti ini adalah saat di mana dia melepas intrik-intrik ini dan itu. Tentang ongkos hidup yang semangkin mahal, tentang babu blok anu yang dihamili tuannya, tentang hari depan Beni Prakosa, tentang ….
“Kok diam aja, Gen ?”
“Lha, cerita apa to, Pak ?”
“Ayakk, pasti ada yang ngganjel pikiranmu. Ya, to ?”
Masih diam. Tangannya terus menggerayangi kaki saya dengan enaknya.
“Begini, lho, Pak. Ini bukannya saya tidak tahu berterima kasih nderek Bapak. Saya seneng-seneng saja di sini. Cuma akhir-akhir ini saya mulai mikir apa ya saya ini akan teruusss saja begini ?”
Saya, mak njenggirat, membalikkan badan terus duduk jegang di depannya. Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang ahli dan berwibawa itu, jadi mengkeret duduk bersila di depanku.
“Bukan, bukan itu, nDoro. Gaji dari Bapak cukup memuaskan. Cuma saya ingin ganti propesi.”
“Ganti apa ?”
“Ganti kerjaan, nDoro. Kepingin jadi sopir.”
Hatiku angles buat dua hal. Satu, Mr. Rigen, kepala kabinetku kok memanggilku “nDoro” lho.Mentang-mentang saya mulai membentaknya. Kedua, dia kepingin jadi sopir.
“Lha, kamu kan kadang-kadang sudah nyopir jip saya to, Gen ?”
“Tapi kan belum propesi.”
Uwahh, ini kata “propesi” rupanya sudah merasuk benar di benaknya. Saya pun mengalah. Mr. Rigen saya beri kesempatan cari lowongan buat jadi sopir. Setiap hari dibacanya iklan di koran. Setiap ada lowongan sopir dicobanya melamar. Begitu hingga satu, dua minggu. Karena kesibukan saya mondar mandir secara rutin Yogya-Jakarta saya tidak sempat mengurusnya. Baru pada kesempatan menggeletak untuk dipijit lagi saya bisa berdialog lagi dengannya. Kali ini sunyi. Tidak ada gamelan “Condong Raos” atau nyet-nyet-nyet Beni. Yang ada hanya pijitan yang kurang antusias dan desah tarikan nafas yang dalam dari Mr. Rigen.
“Bagaimana kamu berburu propesi, Mister ?”
“Wah, sudah lima kali gagal terus, Pak. Saingannya berat-berat, Pak.”
“Mosok ? Siapa saja ?”
“Ada yang jebolan SMA, jebolan IKIP, malah juga jebolan Gama.”
“Wah, kok jebolan melulu begitu. Kamu sendiri jebolan apa ?”
“Wah, saya tidak jebol apa-apa, Pak. Saya hanya lulus SD Pracimantoro.”
“Jadi, apa rencanamu sekarang ?”
Diam sebentar. Mendesah lagi.
“Ya, kalau pareng, untuk sementara saya masih nderek Bapak.”
Mr. Rigen yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri dengan well, life is but a bowl of cherry. Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya ini di Yogya ! Di sini, life is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet teruusss …..
Cilaka. Mendengar keluhan Mr. Rigen itu saya malah lega. Untuk waktu yang agak lama saya masih akan menikmati pijitannya.
Yogyakarta, 7 Juli 1987
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda