Luqman teringat kisah salah satu legenda kampung yang tenggelam dan berubah menjadi danau, la lupa persisnya. Saat itu, ada nenek tua renta yang mengetuk hampir seluruh pintu penduduk kampung, yang saat itu sedang makmur. Nenek itu meminta dengan mengiba, agar kiranya ada setetes air yang bisa melewati tenggorokannya yang kering.
Tapi semua tak peduli bahkan menutup hidung, tanda tak sudi mencium bau Nenek yang menyengat. Tak satu pun penduduk yang sudi menawarkan bejana berisi air untuk direguk sang Nenek.
Nenek itu akhirnya putus asa dan marah, la menancapkan tongkatnya di tengah alun-alun. Semua tak memerhatikan kemarahan sang Nenek kecuali terbengong sesaat ketika sang Nenek kemudian menghilang. Dan semua awalnya tak memedulikan, hingga pada suatu hari berbulan-bulan setelah sang Nenek menghilang dan menancapkan tongkatnya, mereka dilanda kekeringan dan kemarau yang berkepanjangan. Sawah mereka mengering, gagal panen. Ternak mereka kurus dan mati kelaparan. Tidak ada lagi anak yang kuat berlari ke sana kemari. Semuanya lesu, semuanya tidak mempunyai energi.
Saat itu, tetua kampung mengingatkan kejadian beberapa bulan yang lalu, kejadian mengenai sang Nenek yang tidak dipedulikan penduduk kampung. Dan seketika mereka ingat akan tongkat tersebut. Mereka menduga, tongkat sang Nenek itu yang menyebabkan timbulnya kekeringan air. Diperintahkanlah orang terkuat mencabut tongkat tersebut. Tapi, seinci pun tidak terangkat!
Mulailah rasa sesal datang. "Kalau tahu begini, dulu aku suguhi dia sapiku yang terbaik," sahut seorang penduduk. "Iya, kalau tahu begini, dulu aku tidak meludahi dia," sahut yang lain. Sesal kemudian sering tidak berguna.
Tiba-tiba sang Nenek datang dengan tersenyum. Dengan entengnya ia mencabut tongkatnya dan seketika keluarlah air dari bekas lubang tongkat itu. Penduduk menyambut-
nya dengan sukacita. Meledak tawa di seluruh penjuru kampung.
Sayang, sorak-sorai penduduk kampung itu tidak bertahan lama. Air yang keluar tersebut semakin lama semakin bertambah besar dan bertambah besar hingga menenggelamkan separuh desa.
Ajal mendekat. Sebagian yang tersisa sujud di hadapan Sang Khaliq agar sudi kiranya menahan keluarnya air yang teramat dahsyat itu. Mereka tidak lagi memedulikan harta bendanya yang telanjur hanyut dibawa air. Mereka memohon diberikan kesempatan hidup untuk memperbaiki diri.
Air memang berhenti keluar, tapi kampung sudah menjadi danau!
Sayang Luqman lupa akan nama danau dan kampung pada legenda itu. la percaya, tidak akan ada legenda bila tidak ada kenyataan yang mendahului. Perihal besar dan kecilnya legenda itulah yang menjadi bumbunya.
Terbukti kini Luqman sendiri mengalami kejadian yang begitu aneh. Pertemuan dengan Bocah Misterius bagaikan sebuah legenda.
Luqman tidak mau penduduk negerinya terus-menerus tidak menginjak bumi dan tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Sehingga ketika sadar, kesadaran itu terlambat seperti kesadarannya penduduk kampung yang separuh kampungnya menjadi danau tersebut.
Luqman berniat terus menggunakan lisannya untuk bersuara dan tangannya untuk menulis agar "seribu tahun" lagi kita masih mendengar tawanya anak bangsa dalam keadaan ceria.
Ah, bocah kecil, di mana kau berada?
Di setiap tetesan nikmat yang kita rasakan, ada baiknya kita mengingat bahwa ada orang lain yang juga berhak merasakannya.
Tapi semua tak peduli bahkan menutup hidung, tanda tak sudi mencium bau Nenek yang menyengat. Tak satu pun penduduk yang sudi menawarkan bejana berisi air untuk direguk sang Nenek.
Nenek itu akhirnya putus asa dan marah, la menancapkan tongkatnya di tengah alun-alun. Semua tak memerhatikan kemarahan sang Nenek kecuali terbengong sesaat ketika sang Nenek kemudian menghilang. Dan semua awalnya tak memedulikan, hingga pada suatu hari berbulan-bulan setelah sang Nenek menghilang dan menancapkan tongkatnya, mereka dilanda kekeringan dan kemarau yang berkepanjangan. Sawah mereka mengering, gagal panen. Ternak mereka kurus dan mati kelaparan. Tidak ada lagi anak yang kuat berlari ke sana kemari. Semuanya lesu, semuanya tidak mempunyai energi.
Saat itu, tetua kampung mengingatkan kejadian beberapa bulan yang lalu, kejadian mengenai sang Nenek yang tidak dipedulikan penduduk kampung. Dan seketika mereka ingat akan tongkat tersebut. Mereka menduga, tongkat sang Nenek itu yang menyebabkan timbulnya kekeringan air. Diperintahkanlah orang terkuat mencabut tongkat tersebut. Tapi, seinci pun tidak terangkat!
Mulailah rasa sesal datang. "Kalau tahu begini, dulu aku suguhi dia sapiku yang terbaik," sahut seorang penduduk. "Iya, kalau tahu begini, dulu aku tidak meludahi dia," sahut yang lain. Sesal kemudian sering tidak berguna.
Tiba-tiba sang Nenek datang dengan tersenyum. Dengan entengnya ia mencabut tongkatnya dan seketika keluarlah air dari bekas lubang tongkat itu. Penduduk menyambut-
nya dengan sukacita. Meledak tawa di seluruh penjuru kampung.
Sayang, sorak-sorai penduduk kampung itu tidak bertahan lama. Air yang keluar tersebut semakin lama semakin bertambah besar dan bertambah besar hingga menenggelamkan separuh desa.
Ajal mendekat. Sebagian yang tersisa sujud di hadapan Sang Khaliq agar sudi kiranya menahan keluarnya air yang teramat dahsyat itu. Mereka tidak lagi memedulikan harta bendanya yang telanjur hanyut dibawa air. Mereka memohon diberikan kesempatan hidup untuk memperbaiki diri.
Air memang berhenti keluar, tapi kampung sudah menjadi danau!
Sayang Luqman lupa akan nama danau dan kampung pada legenda itu. la percaya, tidak akan ada legenda bila tidak ada kenyataan yang mendahului. Perihal besar dan kecilnya legenda itulah yang menjadi bumbunya.
Terbukti kini Luqman sendiri mengalami kejadian yang begitu aneh. Pertemuan dengan Bocah Misterius bagaikan sebuah legenda.
Luqman tidak mau penduduk negerinya terus-menerus tidak menginjak bumi dan tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Sehingga ketika sadar, kesadaran itu terlambat seperti kesadarannya penduduk kampung yang separuh kampungnya menjadi danau tersebut.
Luqman berniat terus menggunakan lisannya untuk bersuara dan tangannya untuk menulis agar "seribu tahun" lagi kita masih mendengar tawanya anak bangsa dalam keadaan ceria.
Ah, bocah kecil, di mana kau berada?
Di setiap tetesan nikmat yang kita rasakan, ada baiknya kita mengingat bahwa ada orang lain yang juga berhak merasakannya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda