Mister Rigen adalah seorang kepala kitchen cabinet yang baik. Sebagai direktur, dia membawahi dua staf yang sangat kompeten di bidang masing-masing. Mrs. Nansiyem adalah seorang asisten semua bidang yang, meskipun memeliki tempo sendiri dalam bekerja, sangat efektif. Dia adalah seorang drop out SD sebuah desa, tetapi sama dengan banyak penyandang drop out di dunia, dia adalah seorang yang dengan sukses menguasai beberapa bidang. Memasak masakan tanpa nama tetapi sangat kreatif, mencuci segala macam cucian beberapa jam sehari dan mengelola dinamika anaknya Junior Beni Prakosa.
Beni Prakosa sendiri, yang sekarang semangkin mendekati usianya yang ke-3, pastilah juga seorang anggota staf kitchen cabinet dengan status capeg (calon pegawai) karena belum cukup umur dan belum menguasai bahasa Jawa dan Indonesia dengan sempurna karena teknik melipat lidahnya masih sangat awam tingkatannya. Hobinya berdiri di pinggir rak piring dan berteriak, “Solo – Plambanan … Solo – Plambanan” sambil mengacungkan tangannya menirukan kenek kol yang dalam pandangan junior begitu tampak gesit berwibawa. Orang tuanya selalu tersenyum kagum melihat anaknya yang kecil-kecil begitu sudah pinter menjadi kenek kol. Namun dalam hati mungkin rada cemas juga, jangan-jangan cita-citanya Cuma segitu saja. Meskipun Mr. Rigen belum pernah mendengar Bung Karno meneriakkan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit !” Setidak-tidaknya dia tidak berharap cita-cita anaknya setinggi kol Yogya – Solo saja. Lahirnya saja pas hari ABRI, je ! Mosok akan cuma jadi kenek.
Bulan Syawal yang panjang belum habis dan Mr. Rigen & staf dengan patuh dan penuh profesionalisme melaksanakan garis kebijaksanaan ekonomi-finansial-budgetair yang telah saya gariskan. Karena keringnya dana tentulah deregulasi juga saya terapkan. Artinya, saya tidak terlalu menuntut yang macam-macam. Namun demikian, justru karena anggaran kering itulah, saya telah menuntut kitchen cabinet saya untuk bisa lebih kreatif lagi. Ekspor non migas juga saya galakkan dan saya tuntut pula kreatifitas mereka. Koran-koran lama. Majalah dan beberapa brosur diekspor Rigen ke tukang loak untuk merentang panjang anggaran. Kadang-kadang kreatifitas mereka keterlaluan juga.Mosok, pada satu hari saya dapatkan file dokumentasi kertas-kertas seminar lama semakin menipis. Mr. Rigen mengaku telah mengikut sertakan makalah-makalah lama itu berpartisipasi dalam ekspor non migas.
“Itu kan makalah yang tidak penting lagi, Pak !” penjelasannya pasti.
“Lho, bagaimana kamu tahu itu tidak penting, hah ?” hardik saya.
“Lha, makalah seminar ditumpuki terus sampai kuning semua begitu mosok taksih penting to, Pak ? Bapak juga tidak pernah baca lagi, kan ?” pembelaannya sangat pasti.
Saya menghentikan diskusi itu. Toh, deregulasi sudah saya dekritkan dan kratifitas ekspor non migas telah saya canangkan pula. Konsekuen, dong !
Akan tetapi, bidang non migas itu di rumah saya ternyata terbatas. Cuma yang itu-itu saja. Koran, majalah, makalah seminar, koran, majalah …. akhirnya menipis juga. Bagimana tidak terbatas kalau dunia itu hanya dunia tempe, tahu, terong dan kangkung saja dan seminggu sekali iwak pitik. Dan sejak dekrit saya itu baru sekali ada ikan sapi, dan naga-naganya akan semakin menipis saja. Ms. Atau Mrs. (tergantung kapan memakainya) Nansiyem yang memang selalu kreatif, saya tahu, telah memutar saya kreasinya. Tempe goreng, tempe bacem, tempe bakar, sate tempe, gule tempe bahkan sop tempe pun sudah dihidangkan di meja dahar. Juga oseng-oseng kangkung, salad kangkung, dengan mayonaise santen, sayur asem kangkung, sayur bening kangkung dan entah menu kangkung apa lagi. Dan cilaka, kuantitasnya pun kok semakin menipis saja. Tempenya semakin langsing dan kangkungnya pun semakin kurus. Jangan ditanya iwak-iwak itu ! Semangkinsporadis dikepyur-kepyur di sela-sela tempe dan kangkung ! Wah, kalau begini terus-terusan aluwung menggabung anak istri di Betawi yang, meski sama-sama kencangkan ikat pinggang, siapa tahu tempe itu masih canggih …
Suatu sore, dari balik jendela belakang saya melihat Mr. Rigen dan family pada reriungan makan. Di bawah sinar listrik dan sinar matahari senja, saya melihat anak-beranak itu seperti lukisan Renoir.
“Lho, Pak, tempenya kok dicuwil-cuwil lagi ?!” protes Beni.
“Ssttt, biar roto, Le. Ini dak tambahi jlantah iwak. Enak tho, gurih !”
“Iwak-nya mana, Bu ?”
“SSttt, cuma sepotong buat Pak Ageng !”
“Kok sudah lama Lik Joyo tidak bawa ayam panggang, Pak ?”
“Ssttt, Lik Joyo baru sakit. Mungkin bulan depan, Le. Ayo, ini dimakan sop kangkung ibumu. Seger !”
Oh, kitchen cabinet-ku yang kompak. Aku tahu sekarang mengapa para ahli ekonomi kita begitu pasti dan gagah mengatakan bahwa “daya tahan ekonomi rakyat desa masih kuat”.
Di dapur saya lihat Junior sudah mulai lagi nggenjot-genjot rak piring dengan penuh energi. “Solo-Plambanan …. Solo-plambanan …. Solo-plambanan …. “
Yogyakarta, 16 Juni 1987
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda