Bahkan seorang Nelson Piquet, tiga kali juara dunia balap mobil Formula Satu (F-1), harus mengikuti kursus menyetir, sebagaimana orang-orang yang baru bisa mengemudi, untuk memperoleh SIM baru. Sebelumnya, SIM Piquet dicabut karena dia beberapa kali melanggar peraturan lalu lintas. Misalnya, ngebut di jalan atau parkir sembarangan.
Piquet, bagaimana pun petugas, dan orang seluruh Brazil kenal, dan bangga padanya, akhirnya tunduk pada peraturan. Dia harus mengikuti kursus menyetir itu (mobil, dan bukan kapal induk) selama 30 jam, walaupun dia lebih piawai ketimbang instrukturnya. Kalau tidak, mana mungkin dia juara dunia balap mobil sampai tiga kali? Namun, dia bukan orang spesial yang bisa seenaknya melanggar ketentuan.
Di Jakarta, dengan membayar sejumlah uang, orang tanpa ujian apa pun bisa dapat SIM secara kilat. Dia tidak usah bisa menyetir. Membedakan mana pedal kopling, dan pedal rem saja mungkin dia tidak tahu.
Piquet tidak dapat memanfaatkan ketenarannya itu untuk mencari jalan pintas, yang jauh lebih cepat. Ini terlihat beda dengan, misalnya, aktris sinetron kemayu di Jakarta. "Para petugas ngenalin saya, jadi saya banyak dapat kemudahan." Seperti itulah kata seorang bintang sinetron yang baru saja ngurus paspor di kantor imigrasi. Dia bicara begitu saja, normal saja, tanpa ada ekspresi seperti rasa bersalah. Ulahnya itu, tentu saja, membuat pengantre yang lain tersisihkan.
Piquet juga tidak mendapatkan layanan istimewa hanya karena dia merasa sebagai orang penting. Layanan yang diberikan petugas adalah layanan biasa, bukan khusus untuk very important person (VIP). Kalau kita jadi dia, misalnya, mungkin merasa gusar karena tidak ada layanan khusus. "Apa kamu nggak tahu siapa saya!" Itulah ucapan tipikal dari kita yang berlagak jadi orang penting, yang punya kuasa.
Mematuhi peraturan. Kedengarannya mudah, tapi alangkah sukarnya. Ketika ratusan orang antre panjang di loket stasiun kereta api, tiba-tiba seseorang nyelonong ke depan. Sewaktu lampu lalu lintas sudah menyala merah, masih banyak mobil yang nyerobot, kendati itu tindakan berbahaya. Orang-orang berduit menyuap petugas supaya dia mendapat layanan lebih mudah, dan lebih cepat. Petugas tidak berani
membongkar gedung baru yang melanggar IMB, karena pemiliknya, konon, adalah kumpulan jenderal bintang satu.
Seorang ulama mengatakan menaati larangan itu jauh lebih sulit ketimbang menaati anjuran atau kewajiban. Misalnya, Allah Swt. melarang umat manusia berlaku congkak. Berapa persen dari kita yang benar-benar mematuhinya, sementara tak kurang-kurangnya ancaman hukuman berat dijatuhkan bagi pelakunya? Kita sudah dengar bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong, meskipun hanya seberat biji sawi."
Kita ingat, Nabi Ibrahim a.s. adalah teladan hebat soal ketaatan. Tuhan memerintahkannya untuk membunuh Ismail, anaknya. Adakah ayah yang tega melakukannya? Ada perang batin yang bergejolak di dalam hatinya. Menolak-menaati-membantah-patuh-melanggar-menuruti-mengabaikan-peduli-menunda-menyegerakan-melawan-mengikuti?
Pada akhirnya, karena kepasrahan anaknya, dan juga ketaatannya kepada Allah Swt. jualah yang lalu membulatkan tekad Nabi Ibrahim untuk mematuhi perintah-Nya. Ujian sangat berat tentang ketaatan itu berbuah sangat manis. Jauh lebih manis ketimbang biang gula sakarin. Dan kita pun sudah tahu bagaimana ending kisah ini. Happy.
Kita suka, dan sering menyebut diri kita hamba Tuhan. "Kabulkanlah doa hamba-Mu yang hina ini," itulah bunyi sepotong doa kita. Celakanya, sebagai hamba, kita jauh dari patuh karena kerap kali melanggar, membangkang, membantah, menentang, melawan, menyangkal, memungkiri perintah, dan larangan Tuhan Yang Maha Menyaksikan. Dilarang korupsi, kita korupsi. Dilarang menipu, kita menipu. Dilarang berdusta, kita berdusta. Dilarang minum minuman memabukkan, kita menenggaknya berbotol-botol. Disuruh sembahyang lima waktu, kita sering melalaikannya. Disuruh membantu orang susah, kita malah rajin menyengsarakannya.
Yang namanya hamba, mestinya hanya taat, patuh, nurut. Tugasnya hanya menghamba. Apa pun perintah tuannya, seorang hamba wajiblah mematuhinya. Tak ada keinginan lain selain itu. Apalagi hamba Allah. Hamba ini mulia. Tak ada sesuatu yang lebih mulia dari penghambaan, kata Abu 'Ali Al-Daqqaq. "Juga tidak ada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain daripada hamba," ujarnya.
Sufi wanita terkemuka, Rabi'ah Al-Adawiyah, memperjelas apa arti seorang hamba. Dia bertutur, "Aku adalah hamba-Nya, dan apa urusan seorang hamba dengan keinginan? Jika aku ingin, tapi Tuan-ku tidak ingin, ini adalah ketidaksetiaan." Untuk menjadi hamba Allah yang sejati, kata Rabi'ah, "engkau seharusnya hanya menginginkan apa yang diinginkan-Nya."
Keraton Yogjakarta Hadiningrat adalah tempat para abdi dalem mengabdi kepada sultannya. Mereka mengerjakan apa saja yang menjadi kewajiban mereka dengan patuh. Misalnya, membersihkan keris, dan pusaka keraton lainnya pada waktu-waktu tertentu, dengan ritual tertentu yang tidak sembarangan. Memandikan kebo bule (kerbau albino), yang dianggap keramat, dan mengaraknya keliling kota pada waktu khusus sesuai dengan petunjuk yang sudah diwariskan sejak dahulu. Mereka tidak mengeluh kendati hanya 'digaji' di bawah UMR (upah minimun regional). Bukan besarnya uang yang memotivasi orang-orang sederhana itu untuk tetap bekerja di sana. Mereka ingin mengabdi kepada Sinuhun yang sangat mereka hormati. Dalam batas-batas, dan kadar tertentu, mereka ini bagaikan para hamba. Tidak ada protes, apalagi demo riuh rendah dengan mengarak puluhan poster, dan speaker untuk menuntut hak. Tidak gampang untuk memahami mereka jika kita memakai ukuran 'standar' baku zaman sekarang. Mereka adalah abdi dalem.
Lain kali, kalau terbersit dalam hati untuk, atau sudah, melanggar aturan, mungkin kita perlu mengingat Nelson Piquet. Boleh-boleh saja kita merasa betul-betul jadi pembalap jempolan seperti dia, tetapi dalam hal kepatuhan. Meniru Nabi Ibrahim a.s.? Itu sih terlampau jauh. Tak mampulah. *
Piquet, bagaimana pun petugas, dan orang seluruh Brazil kenal, dan bangga padanya, akhirnya tunduk pada peraturan. Dia harus mengikuti kursus menyetir itu (mobil, dan bukan kapal induk) selama 30 jam, walaupun dia lebih piawai ketimbang instrukturnya. Kalau tidak, mana mungkin dia juara dunia balap mobil sampai tiga kali? Namun, dia bukan orang spesial yang bisa seenaknya melanggar ketentuan.
Di Jakarta, dengan membayar sejumlah uang, orang tanpa ujian apa pun bisa dapat SIM secara kilat. Dia tidak usah bisa menyetir. Membedakan mana pedal kopling, dan pedal rem saja mungkin dia tidak tahu.
Piquet tidak dapat memanfaatkan ketenarannya itu untuk mencari jalan pintas, yang jauh lebih cepat. Ini terlihat beda dengan, misalnya, aktris sinetron kemayu di Jakarta. "Para petugas ngenalin saya, jadi saya banyak dapat kemudahan." Seperti itulah kata seorang bintang sinetron yang baru saja ngurus paspor di kantor imigrasi. Dia bicara begitu saja, normal saja, tanpa ada ekspresi seperti rasa bersalah. Ulahnya itu, tentu saja, membuat pengantre yang lain tersisihkan.
Piquet juga tidak mendapatkan layanan istimewa hanya karena dia merasa sebagai orang penting. Layanan yang diberikan petugas adalah layanan biasa, bukan khusus untuk very important person (VIP). Kalau kita jadi dia, misalnya, mungkin merasa gusar karena tidak ada layanan khusus. "Apa kamu nggak tahu siapa saya!" Itulah ucapan tipikal dari kita yang berlagak jadi orang penting, yang punya kuasa.
Mematuhi peraturan. Kedengarannya mudah, tapi alangkah sukarnya. Ketika ratusan orang antre panjang di loket stasiun kereta api, tiba-tiba seseorang nyelonong ke depan. Sewaktu lampu lalu lintas sudah menyala merah, masih banyak mobil yang nyerobot, kendati itu tindakan berbahaya. Orang-orang berduit menyuap petugas supaya dia mendapat layanan lebih mudah, dan lebih cepat. Petugas tidak berani
membongkar gedung baru yang melanggar IMB, karena pemiliknya, konon, adalah kumpulan jenderal bintang satu.
Seorang ulama mengatakan menaati larangan itu jauh lebih sulit ketimbang menaati anjuran atau kewajiban. Misalnya, Allah Swt. melarang umat manusia berlaku congkak. Berapa persen dari kita yang benar-benar mematuhinya, sementara tak kurang-kurangnya ancaman hukuman berat dijatuhkan bagi pelakunya? Kita sudah dengar bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong, meskipun hanya seberat biji sawi."
Kita ingat, Nabi Ibrahim a.s. adalah teladan hebat soal ketaatan. Tuhan memerintahkannya untuk membunuh Ismail, anaknya. Adakah ayah yang tega melakukannya? Ada perang batin yang bergejolak di dalam hatinya. Menolak-menaati-membantah-patuh-melanggar-menuruti-mengabaikan-peduli-menunda-menyegerakan-melawan-mengikuti?
Pada akhirnya, karena kepasrahan anaknya, dan juga ketaatannya kepada Allah Swt. jualah yang lalu membulatkan tekad Nabi Ibrahim untuk mematuhi perintah-Nya. Ujian sangat berat tentang ketaatan itu berbuah sangat manis. Jauh lebih manis ketimbang biang gula sakarin. Dan kita pun sudah tahu bagaimana ending kisah ini. Happy.
Kita suka, dan sering menyebut diri kita hamba Tuhan. "Kabulkanlah doa hamba-Mu yang hina ini," itulah bunyi sepotong doa kita. Celakanya, sebagai hamba, kita jauh dari patuh karena kerap kali melanggar, membangkang, membantah, menentang, melawan, menyangkal, memungkiri perintah, dan larangan Tuhan Yang Maha Menyaksikan. Dilarang korupsi, kita korupsi. Dilarang menipu, kita menipu. Dilarang berdusta, kita berdusta. Dilarang minum minuman memabukkan, kita menenggaknya berbotol-botol. Disuruh sembahyang lima waktu, kita sering melalaikannya. Disuruh membantu orang susah, kita malah rajin menyengsarakannya.
Yang namanya hamba, mestinya hanya taat, patuh, nurut. Tugasnya hanya menghamba. Apa pun perintah tuannya, seorang hamba wajiblah mematuhinya. Tak ada keinginan lain selain itu. Apalagi hamba Allah. Hamba ini mulia. Tak ada sesuatu yang lebih mulia dari penghambaan, kata Abu 'Ali Al-Daqqaq. "Juga tidak ada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain daripada hamba," ujarnya.
Sufi wanita terkemuka, Rabi'ah Al-Adawiyah, memperjelas apa arti seorang hamba. Dia bertutur, "Aku adalah hamba-Nya, dan apa urusan seorang hamba dengan keinginan? Jika aku ingin, tapi Tuan-ku tidak ingin, ini adalah ketidaksetiaan." Untuk menjadi hamba Allah yang sejati, kata Rabi'ah, "engkau seharusnya hanya menginginkan apa yang diinginkan-Nya."
Keraton Yogjakarta Hadiningrat adalah tempat para abdi dalem mengabdi kepada sultannya. Mereka mengerjakan apa saja yang menjadi kewajiban mereka dengan patuh. Misalnya, membersihkan keris, dan pusaka keraton lainnya pada waktu-waktu tertentu, dengan ritual tertentu yang tidak sembarangan. Memandikan kebo bule (kerbau albino), yang dianggap keramat, dan mengaraknya keliling kota pada waktu khusus sesuai dengan petunjuk yang sudah diwariskan sejak dahulu. Mereka tidak mengeluh kendati hanya 'digaji' di bawah UMR (upah minimun regional). Bukan besarnya uang yang memotivasi orang-orang sederhana itu untuk tetap bekerja di sana. Mereka ingin mengabdi kepada Sinuhun yang sangat mereka hormati. Dalam batas-batas, dan kadar tertentu, mereka ini bagaikan para hamba. Tidak ada protes, apalagi demo riuh rendah dengan mengarak puluhan poster, dan speaker untuk menuntut hak. Tidak gampang untuk memahami mereka jika kita memakai ukuran 'standar' baku zaman sekarang. Mereka adalah abdi dalem.
Lain kali, kalau terbersit dalam hati untuk, atau sudah, melanggar aturan, mungkin kita perlu mengingat Nelson Piquet. Boleh-boleh saja kita merasa betul-betul jadi pembalap jempolan seperti dia, tetapi dalam hal kepatuhan. Meniru Nabi Ibrahim a.s.? Itu sih terlampau jauh. Tak mampulah. *
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda