Waktu untuk
kesekian kali video clip Denpasar Moon ditayangkan di teve, dengan Maribeth
menyanyi dengan kewes-nya di srempeti penari...penari
legong Bali, tiba tiba sang bedhes Beni
Prakosa diikuti oleh bedhes· cilik Tolo-Tolo bekoar, "Denpasar muun, nano, nano, nano, naa-a-noo ...."
Bapaknya, dirjen saya yang selalu pales kalau menyanyi, yang sedang sulak-sulak
meja dan kursi tertawa melihat anak-anaknya menyanyi_lagu modern.
"Hayo,
Pak, Denpasar itu di mana? lbu kota mana?" Bapaknya tertawa sembari
menyulak gundul anaknya.
"Dapurmu,
Le, Le. Kayak kamu tahu saja. Di mana hayo?" "He he-he. Bapak kayak
wayang Arjuna. Ditanyai membalas tanya. Hue! Denpasar itu, Pak, di Bali. lbu
kota Bali juga."
"Yo,
wis. Pinter kamu. Tapi,
matematika harus pinter juga lho, ya?"
Beni dan Tolo-Tolo pada berlari ke dalam, mungkin
menagih janji nyamikan ibu
mereka di dapur. Denpasar muun, nano, nano,_ nano, nanoo .... Di kursi
singgasanaku yang bergoyang-goyang
saya tiba-tiba menyaksikan
pemandangan waktu yang berseliweran sembari bertabrakan. Presis seperti video clip Denpasar Moon
itu. Dan bukan hanya antara legong-legong dengan Maribeth yang cantik
masa...kini itu. Saya juga menyaksikan bukit-bukit tandus Pracimantara, Rigen
kecil. Jadi, belum jadi mister) dada mengliga, berlari-lari mengejar kambing-kambing gembalaannya. Rigen
besar yang pada pesta tamat sekolah menembang panembrama
dan standen.
Rigen yang
lebih dewasa ngenger
ke sana kemari -
untuk mengembangkan kariernya
sebagai seorang birokrat rumah tangga hingga akhirnya mencapai puncak
kariernya sebagai seorang dirjen,
seorang birokrat terpercaya di
nDalem Kea gengan. Perjalanannya. yang
jauh berkelok-kelok itu ditebas di tengah
jalan oleh jalan pintas bedhes-bedhes-nya, Beni dan Tolo-Tolo, waktu
mereka beranjak besar. Seketika
jalan-jalan itu menjadi pendek,
ruwet, kadang-kadang juga
rancu tidak me-mudeng-kan. Generasi
ketiga Pracimantara ini tahu-tahu tidak
tahu lagi menembang panembrama
dan ikut standen. Tahu-tahu mereka sekarang
rengeng-rengeng Denpasar Moon. Waktu mereka datang lagi meng-glibet di antara mebel-mebel yang sedang
disulaki bapaknya, tiba-tiba Beni
menyeionong bertanya.
"Eh, Pak
Ageng, Pak Ageng. Denpasar itu bagus, ya?"
"Ya,
bagus."
"Kalo
Bali? Di mana itu?"
"Lho,
katanya sudah tahu. Ya bagus. Bali itu pulau di sebelah timur Jawa."
"Pulau itu
apa, Pak."
Saya baru sadar
menjelaskan pulau itu apa rada susah juga. Dan eh Beni itu rak sudah kelas
empat kok belum tahu pulau itu apa.
"Pulau itu
gundukan tanah yang besar yang dikelilingi laut."
Beni berpikir
tidak yakin dapat membayangkan gundukan tanah
yang besar itu. Saya pun begitu pula, tidak yakin apakah penjelasan saya itu
make sense apa tidak. Rupanya untuk mengatasi tidak mudeng-nya itu, Beni pun
mulai rengeng rengeng. Denpasar Moon
lagi. Dan langsung diikufi adiknya. Denpasar
muun, nano, nano, nano, nanooo ..
. . Bapaknya yang sudah selesai sulak-sulak rupanya jadi keki juga mendengar
potongan lagu itu. Mungkin karena dia
tidak dapat ikut rengeng-rengeng anaknya.
"Heisy,
mbok diem, to, ya. Dari tadi kok lagu Denpasar saja.
Tutug saja tidak,
ngerti saja tidak."
"Bapak kok
bolehnya keki. Padunya tidak dapat to ....."
Dan dua orang
kecil itu mulai lagi dengan Denpasar muun, nano, nano ....
"Hayo ora
diem! Tak pukul sulak, lho!
Sok aksi
nyanyi Londo."
Anak-anak pada lari ke dalam. Tapi terus juga menyanyi Denpasar
muun, nano....
"Enggak,
Mister! Kok kamu bolehnya sewot sama
anak anakmu. Wong mandak
rengeng-rengeng Denpasar muun saja lho!"
"Woo,
Bapak yang tidak
punya anak kecil. Itu kalau dibiarkan mendadra,
menjadi-jadi, Pak'
"Mendadra bagaimana?"
"Lho, itu
rak lagu asing to, Pak. Merusak, Pak, merusak." "Waduh."
"Lho, lha,
enggih. Wong mandak lagu Londo sama nona yang edang-edong disrempeti legong-legong mBali saja, lho. Bagusnya di
mana.- Lagi pula merusak cita-rasa anak-anak Indonesia.".
"Waduh."
"Lho, kok
waduh terus to, Pak. Niki srius, Pak. Sri-us! Coba anak-anak jaman sekarang tidak bisa nembang lagunya
sendiri. Lagu dolanan kalau padang bulan pada enggak bisa. Paling lagu
Gethuk asale saka tela .... Itu juga
lagu edang-edong lagi."
"Sori,
Gen. Waduh lagi!"
"Bapak
tidak srius sama pendidikan anak Jawa. Katanya propesor. Kok ...."
"He-he ...he,
Geen, Gen. Memangnya kalo padang mbulan masih kamu ajak kejar-kejaran,
tembang-tembangan di latar apa? Enggak,
'kan? Paling kamu ajak duduk-duduk di
teras nunggu lewatnya wedang ronde
dan bakso.
Hayo! Ya,
to?"· Mister Rigen meringis merasa saya touche!.
Tiba-tiba
anak-anak itu pada lari-lari ke dalam
langsung memutar-mutar knop teve. Mereka serempak berteriak.
"Waah,
Satria Baja Hitamnya sudah habis! Bapak tidak beri tahu sih. Bapaak!'
Mereka pun lari
keluar lagi mengeluarkan suara sepeda motor dikebut.
"To,
pripun, Pak. Satria Baja Hitam Rumangsa-nya mereka itu apa dan siapa?"
"Ya
Satria Baja Hitam, gitu."
"Lha, itu
yang saya tidak cocok. Tidak kepribadian Indonesia. Di mana Pancasila? Di
mana?"
"He-he-he
gundulmu Geen, Gen. Ya sudah, tivinya
kita jual saja, ya?. ''
"Ampun,
Pak. Jangan! Kalau malam Selasa ketopraknya bagus-bagus, jeee."
Saya
lantas mengantuk, mau menggeletak di
kamar sebentar. Dari dalam kamar
saya masih mendengar Satria
Baja Hitam meraung-raungkan sepeda motornya .. ..
1 Februari 1994
By : Umar Kayam
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda