PERKAWINAN yang
harmonis itu konon tidak usah
berarti mesti nir-cekcok,
nir- besungutan, nir-bekot-bekotan,
bahkan nir-jothakan. Tidak,
Justru yang saya deretkan dengan nir-nir
tadi itu unsur penting dalam
harmoni! perkawinan, kata para resi dan
begawan. Memang paradoksal
kelihatannya. Wong harmoni kok
tidak boleh tidak mengandung anasir perpecahan. Bahkan katanya yang dikira
unsur perpecahan itu suatu syarat mutlak.
Mutlak. Tanpa yang waton sulaya itu katanya perkawinan akan semangkin
hambar, semangkin datar. Ora
lucu.. Oranges. Kata sang resi lagi, sehabis cekcok atau purik perkawinan itu
jadi semangkin rukun, seimbang. Karena
sesudah damai turun
di bumi, ibarat bumi sehabis
diguyur air hujan, suasana jadi adem dan tenteram. Sang suami dan sang istri
senyumnya akan semangkin renyah.
We-eh. Kalau saya lihat perkawinan Mister Rigen dan Ms. Nansiyem itu
boleh dikatakan harmonis juga.
Memang tidak terlalu banyak mengandung unsur-unsur sulaya itu, tapi
toh betul juga sehabis gesrekan itu eh jadi semangkin rukun.
Misalnya,
peristiwa Ms. Nansiyem setiap pagi menghilang karena ikut senam
pagi, kemudian waktu uang Ms. Nansiyem katut
kas PBB dan PJJ tempo hari. Ning sesudah itu teratasi
eh rukunnya dua suamiistri itu
seperti Kamajaya dan Ratih tenan.
Bolehnya ngendon di kamar
belakang semangkin lama.
Bolehnya menyuruh anak-anaknya
main-main di luar diperlama ....
"Gen, Aku kok
sudah lama nggak
lihat istrimu ikut
reriungan di sini. Lagi sakit apa?"
"Ah,.tidak
kok, Pak. Ya lagi wegah saja."
"Wegah?
Ngobrol sama kita itu wegah? Nonton ketoprak
di tivi juga wegah?'
"Ya tidak
to, Pak. Mosok ngobrol sama Bapak wegah Mister Rigen
kelihatan alot mau
menjawab pertanyaan saya.
"Ada apa sih antara kalian berdua? Pasti baru
besungutan ya kalian?"
"Ah,
mboten kok, Pak."
"Mbel,
bohong. Wong buktinya masakan kalian
pada anyep semua akhir-akhir ini. Cucian
kalian juga tidak bersih
dan harum. Hayo!"
Mister Rigen
meringis. Meringisnya orang kena touche!
''Ayo! Binimu
panggil masuk sini. Aku tidak mau stafku pada bentrok. Itu mengganggu kestabilan. Kalau mendadra
bisa disusupi agen subversi. Bisa ditunggangi
pihak ketiga atau keempat kelima dan embuh. Ayo panggil"
Saya kaget dan
kagum sendiri mendengar suara saya yang penuh
dengan wibawa. Dalam keadaan kritis memang
state manship, kenegarawanan, saya otomatis akan muncul ke permukaan. Maka, beware ....
Ms. Nansiyem
pun masuk diikuti
precil-precilnya yang nampak sudah
siap mau tidur.
Seperti biasa, wanita
dari Jatisrono itu, duduk tunduk
kemalu-maluan seliap kali harus duduk di hadapan saya.
"Duduk
Yem. Ada apa, ada apa antara kalian
berdua? Mbok orang ber-bojo-an yang
rukun. Suamimu main
setongkling apa? Wis, matura yang bares. Jangan takut, yang terus terang
saja, ya?':
Ms. Nansiyem
setengah mendongakkan kepalanya. Mulutnya kecemat-kecemut mencoba menyunggingkan senyum. Mungkin senyum
begitu yang bertahun-tahun lalu pernah menggugurkan
pertahanan Mister Rigen. Mungkin itu yang oleh anak muda sekarang yang disebut senyum imut-imut.
"Begini
lho, Pak . . .."
"Wis matur
saja, Bu. Bilang terus terang sama Bapak." Kemudian saya melihat Ms. Nansiyem mengumpulkan kekuatannya.
"Begini lho,
pak..."
"Lho, kok begini·melulu!
Matur, matur, Bu ...."
"Iyo, iyo.
Begini lho, Pak. Saya itu rak anyel, jengkel sama bapaknya thole-thole itu.
Uang tabungan saya itu diobral sama teman-temannya. Terutama·sama babu-babu
yang pedukpeduk dan menor-menor
itu."
"Lho, lho,
Bu. Jangan belum-belum prikik dan
propakasi lho, Bu."
"Ya
biarin. Wis ben, to. Nyatanya begitu."
"Ora, Yem.
Uangmu diobral itu artinya apa? Lakimu nyebar duit sama kolega-kolegamu
pembantu atau bagaimana?"
"Ya, bukan
nyebar begitu, Pak. Itu paribasan-nya. Mulanya si Ginah pembantu Prop. Lemahamba itu datang, sambat sama Mas
Rigen butuh uang buat nyicilkan Dagangan kain ke Praci.
Terus begitu
saja dia kasih dari tabungan kita. Padahal kita kan butuh uang sendiri buat
jaga-jaga kalau kas kita inplasi."
"lnplasi.
Wong begini lho,- Pak. Saya itu rak kedatangan Ginah itu membawa surat dari
Prop. Lemahamba yang isinya supaya
saya bisa nulung, Ginah itu
membawa koleha dari Praci. Lha, Prop. Lemahamba itu rak
bukan orang lain to, Pak. Sahabat Bapak, Prop., penting, kondang kaloka sak indenging bawana. Apa saya uwong
cilik terima surat dari beliau itu tidak gemetar dan
nggregeli to, Pak. Langsung saja saya perintah ibune anak anak itu. Wis,
bune, keluarkan uang itu."
"Dan itu
tidak berhenti di situ saja.
Mbakyu-mbakyu lain, semua peduk dan
kemayu, habis itu gantian
berdatangan. Semua pakai surat dari bos-bosnya sendiri-sendiri. Dan
semua dituruti Mas Rigen. Kayak uangnya itu uangnya sendiri. Uang itu rak uang
kita to, Pak. Tabungan bersama. Bahkan sesungguhnya juga uang anak-anak. Wong itu juga untuk
jaga-jaga keperluan mereka."
"Lha, pripun,.
Pak. Semua mbakyu-mbakyu itu, tidak semuanya peduk dan menor lho, Paak
...."
"Ning Yu
Ginah dan Yu Dadap itu rak menor dan peduk
dan ndengguk, susunya ...."
Saya kaget
bukan kepalang mendengar
terkaman Ms. Nansiyem.
Perempuan tan kena dikira ....
"Heisy,
heisy, setop dulu. Setop!"
Dua orang itu
lantas diam. Kelihatan malu.
"Enggak,
Yem, Gen. Surat-surat sakti yang kalian terima itu dari siapa saja."
"Ya
semuanya dari koleha-koleha Bapak itu.
Prop-prop semua itu ...."
Mati aku,
pikirku. Mosok prop-prop itu tega bikin kucemnya, bikin redupnya, cahaya,
wibawa dan aura kadewatan Jonggring Nggajah Mada dengan berlomba kirim surat
sakti? Dan itu kredit buat apa? Buat kutang, buat baju bayi, buat kain
Pekalongan, buat kebaya, hem Korpri, buat kosmetik Viva. Mati aku.
Ms. Nansiyem
kemudian menunjukkan daftar kredit macet koleha-kolehanya yang peduk dan menor itu. Wah, ada kalau tujuh
saja. Dan semuanya pakai surat sakti.
Yang saya tidak habis pikir, idola saya Prof. Dr. Lemahamba Ph.D., M.A., M.sC.,
Drs., SMA, SMP, SD cijfer twee van Ngrambe, yang mobilnya BMW hijau muda
metallic, itu kok ya
sempat-sempatnya, tega-teganya, tulis
surat sakti kepada bank batur-batur saya. Apa dunia sudah mulai menjomplang?
"Wis,
sana. Saya sudah tahu persoalannya. Saya yang akan bantu atasi.
Ning kamu berdua
harus rukun kembali. Dan Rigen kainu harus tidak takut
lagi sama surat sakti dari mana itu datang. Janji?"
Dua staf itu dengan
diiringi precil-precil yang
tidak juga ngeh persolan
bapak-ibunya” pada bergerak ke dalam.
"Janji ya,
Gen. Tidak takut lagi?"
"Ing-ing-inggih
janji ...." ·
Saya ngunandika
: apa ya berani betul dia nolak surat sakti. Apa ya berani betul saya menolak
surat sakti kalau satu waktu saya menerima.
Radio
tetangga mengeluarkan suara : tanah airku
Indonesia, negeri elok amat kucinta ....
Eh, RRI sudah selesai.
15 Februari 1994
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda