Pada suatu sore, waktu saya baru pulang dari kerja, Mr. Rigen menyambutku dengan tergopoh-gopoh. Tetapi, ketergopohannya itu tampak mengandung msiteri. Matanya sebentar-sebentar melihat ke kamar tamu. Suaranya pun direndahkan.
“Wonten tamu. Nyentrik. Sekarang lagi istirahat di kamar itu.”
“Tamu nyentrik ?”
“Ya,” suaranya sangat direndahkan.
“Kamu itu ngapa ? Lapor ada tamu saja kok bisik-bisik begitu.”
“Habis, tamunya ngancam akan marah kalau tidurnya diganggu. Wah, tamunya nyentrik saestu lho, Pak. Rambutnya putih semua tapi gondrong sampai pundak. Kumis caplang, jenggot lancip. Putih semua.”
“Yakk, kamu itu sama saja dengan bilang aku ini nyentrik. Kan itu ciri-ciri saya semua, Gen.”
“mBoten, mboten. Sing niki sudah sepuh betul, tapi masih mbois. Tua tapi mbois. Bapak ya mbois, tapi kan belum terlalu sepuh.”
“Huss ! Terus nyentriknya di mana ? Rambut gondrong, kumis caplang saja kok nyentrik, mbois … “
“Lho, penampilan dan sikapnya itu to, Pak. Datang-datang langsung salam keras-keras. Rahayu, rahayu, waras, waras. Lha, kan bengong saya, Pak. Terus bajunya itu hem dikeluarkan, kedodoran, ditulisi Ki Urip Prasodjo. Katanya beliau itu masih pakdhe Bapak. Langsung mundhut dhahar. Karena melihat lauknya cuma oseng-oseng kacang, tempe sama sayur asem, beliau mundhut diceplokkan telur dua biji. Habis dhahar mundhut kopi susu. Terus sekarang tidur di kamar, minta jangan diganggu.”
Saya tersenyum. Tahu betul kalau tamu nyentrik itu Pakdhe Sosro, yang rupanya sekarang sudah mandeg, memaklumkan diri sebagai Ki Urip Prasodjo. Pakdhe Sosro nama lengkapnya Sosrokoesoemo. Memang masih pakdhe dengan saya. Cuma pakdhe yang jauh. Menurut para sesepuh, abu beliau masih lebih tua dari ayah saya. Maka dari itu ayah selalu memanggilnya dengan mas, dan beliau, mungkin karena masih berdarah biru, memanggil ayah saya lengkap dengan ‘dimas’. Waktu kami masih tinggal sekota, ayah dan pakdhe Sosro agak akrab juga. Main catur, ngobrol politik dan sastra Jawa.
Jarak usia mereka agak jauh sesungguhnya. Ayah mungkin lebih tua sepuluh tahun dari Pakdhe, tapi toh mereka kelihatan rukun, cocok dan saling meladeni. Tetapi, kemudian Pakdhe dipindah ke Jakarta. Dan tidak berapa lama kemudian tahu-tahu dia sudah menjadi aktivis satu parpol yang aneh sekali. Partai Mataram yang sekaligus kekiri-kirian dan konservatif-tradisional. Kekiri-kirian karena program politiknya (waktu itu) mau menasionalisir semua perusahaan asing dan pribuni, membagi rata semua tanah, dan kendali ekonomi dipusatkan di tangan pemerintah. Tetapi, bersama dengan itu juga menghendaki agar kebudayaan adi luhung Tanah Jawa tidak hanya harus dipertahankan, akan tetapi juga harus menjadi model bagi semua kebudayaan daerah. Opo ora hebat ? Kalau tidak salah, partai itu tidak mendapat satu kursi pun pada Pemilu 1955. Tetapi, Pakdhe ternyata survive dengan cukup baik. Meskipun partainya tidak menang, beliau justru dapat masuk ke dalam salah satu partai pemenang. Rupanya ditarik oleh seorang sahabatnya. Waktu zaman Demokrasi Terpimpin, Pakdhe juga semangkinjaya. Orang Jawa bilang semangkin kagem. Beliau aktif di partai dan di perusahaan impor-ekspor satu lembaga, yang bila Partai Mataram menang, harus dinasionalisir semua. Kadang-kadang sekali beliau singgah di kota kami dengan mobil Mercedes merah darah. Membawa oleh-oleh banyak buat seisi rumah, main catur sebentar dengan ayah dan memberi briefing tentang politik kepada kami semua. Tentang kaum reaksioner yang jelas bekerja sama dengan agen-agen nekolim, hebatnya garis Pyongyang-Peking-Hanoi –Jakarta dan konfrontasi dengan Malaysia. Pakdhe memang seorang politikus ulung, micara kalau menjelaskan dan sangat menyakinkan pula. Kami semua selalu berdecak kagum mendengarkan omongannya. Bajunya selalu hem putih lengan panjang, merk Arrow dan berdasi. Celana wool abu-abu cap kambing bikinan Inggris. Berpeci karena rupanya kepalanya semangkin membotak.
“Kalian jangan sinis melihat penampilanku begini. Ini cuma bungkus luar yang perlu untuk efektifnya pekerjaanku. Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno selalu suka politisi yang berpakaian rapi. Dan pengusaha-pengusaha relasi Pakdhe juga lebih percaya kepada rekan yang berpakaian begini. Percayalah, di dalam hati Pakdhe yang setia kepada Partai Mataram. Prasodjo yang pro kawulo cilik …”
Begitulah beliau menjelaskan kepada kami semua. Kami pun hanya bisa manggut-manggut saja.
Waktu roda sejarah sekali lagi menggelinding, rupanya Pakdhe sudah habis peruntungannya. Beliau terseret dalam kasus deferred paymentdan bersama itu ikut tenggelam pula namanya tidak pernah disebut-sebut media massa lagi. Sampai beberapa waktu yang lalu istri saya menelepon bahwa Pakdhe begitu saja muncul, berganti nama dengan mengadakan perjalanan mistik ke seantero Pulau Jawa.
“Siap-siap saja menerima beliau,” pesan istri saya. Saya tidak tahu apakah itu pesan ataukah peringatan …
Pintu kamar depan dibuka. Dan berdirilah Pakdhe Sosro alias Ki Urip Prasodjo di depanku. Dalam usianya yang 65 tahun itu beliau memang tanpak ramping, mbois.
“Apa kabar, Liek ? Kaget ya kamu ketemu Pakdhe ?” kami bersalaman.
“Ya, agak kaget, Pakdhe. Habis penampilannya sekarang jadi lain betul. Juga sudah lama sekali tidak pernah ketemu.”
“Wah, Pakdhe ini sudah lama sekali mau nengok kalian. Waktu bapakmu seda, Pakdhe juga dengar. Cuma, ya begitulah, Liek, pekerjaan Pakdhe sekarang mobil terus.”
“Mobil bagaimana, Pakdhe ?”
Lantas beliau bercerita bagaimana beliau sekarang sudah berganti tugas. Atau dengan bahasa beliau “berganti misi”. Menurut beliau pergantian misi itu dimulai ketika beliau masih berada dalam tahanan. Pada suatu malam antara terjaga dan mimpi beliau rasanya mendapatwangsit, agar menjalani hidup prasojo, sederhana, seadanya. Dan berganti nama menjadi ‘Urip Prasodjo’.
“Pakdhe langsung terjaga, Liek. Dan langsung ngucap ngalkamdulillah, karena merasa mendapat pepadang dari Sing Kuwasa. Eh, tidak lama kemudian Pakdhe dibebaskan, tidak dituntut apa-apa. Di rumah Pakdhe lantas mengumpulkan semua, Ibumu, Mas-mas danmBakyu-mu. Saya beritahu kalau Pakdhe sudah banting setir. Empat rumah Pakdhe, buat Mas-mas dan mBakyu-mu. Lha, pokoknya semua dapat tinggalan dan pesangon lebih dari cukup. Pakdhe memberi tahu mereka bahwa Pakdhe sudah bertekad mandeg panditamau nyebar ngelmu urip prasojo. Maka itu nanamku sekarang Ki Urip Prasodjo.”
“Wah, elok betul, Pakdhe. Lantas yang mobil itu tadi bagaimana ceritanya ?”
“Tunggu dak nyedot cerutu dulu.”
Dikeluarkannya dari kantong bajunya yang besar itu dua batang cerutu Ritmeester, satu bungkus Marlboro dan satu bungkus Kent. Dibukanya cerutu itu, lantas sesudah dibakar disedotnya dalam-dalam. Kelihatan mat, nikmat betul. Dan bau cerutu Ritmeester yang sudah lama tidak saya sedot itu memang terasa harum dan canggih betul, lho.
“Nah, misi itu misi ngemban dhawuh-nya beberapa priyagung yang ngetop betul di atas sana, Liek. Sambil nyebar ngelmu sikap hidupprasojo, juga mengunjungi beberapa tempat angker dan suci di Tanah Jawa untuk ngalap berkah buat para priyagung itu ….. “
Kemudian dibisikkannya nama-nama top kepada saya. Astaga, seruku. Ki Urip Prasodjo manggut-manggut. Aku mau mengejar terus nama-nama lain. Eh, keburu terganggu datangnya Sebuah sedan BMW seri 3 yang membawa Pakdhe pergi. Sambil menutup pintu BMW yang tak bersuara itu beliau berteriak,
“Sori, Liek. Aku harus misi ke Gunung Lawu. Kapan-kapan dak critani … “
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda