SUDAH beberapa pagi sejak saya pulang dari Jakarta, saya melihat Mr. Rigen terlibat perdebatan yang sengit dengan istrinya, Mrs. Nansiyem. Mula-mula saya anggap itu sebagai perdebatan domestik yang saya tidak berhak untuk mencampurinya. Habis, perdebatan antara suami dan istri. Apa yang lebih preman dari itu, ‘kan ?
Setiap pukul enam pagi, waktu saya mulai membuka mata, sudah terdengar suara ribut di dapur antara suami-istri itu. Karena letak dapur terpisah oleh sekat-sekat tembok ruang makan, saya tidak pernah mendengar dengan jelas apa yang mereka perdebatkan. Hanya saya tahu perdebatan itu mendadak sontak berhenti pada waktu sang pangeran Beni Prakosa meneriakkan teriakan pertamanya di pagi hari mengabsen bapak dan ibunya kencang-kencang. Biasanya sesudah teriakan dahsyat begitu selalu disusul teriakan lain lagi. “Minta mimmiikk” atau “pipiiiisss”. Bila sang bedhes cilik sudah meneriakkan komandonya begitu, perdebatan itu jadi mak klakep berhenti. Dan mereka pun mulai terlibat dalam rutinitas pagi hari mereka.
Tetapi, waktu perdebatan pagi hari itu mulai memola menjadi ritual uthuk-uthuk in the morning, saya pun mulai ngunandika,
“Yakk, ini sudah tidak lucu lagi.”
Saya pun mulai memanggil Mr. Rigen ke kamar tidur saya. Untuk keluar dari kamar tidur sepagi itu, saya masih males. Maka ia pun saya suruh duduk di ujung tempat tidur saya.
“Gen, kamu itu kalau pagi uthuk-uthuk begini kok sudah ribut sama istrimu itu, gekyang kamu ributkan itu apa, sih ?”
Mr. Rigen keliatan kelincutan tersenyum kecut.
“Ah, tidak apa-apa kok, Pak. Biasa sarapan tukaran dengan istri.”
“Hushh, bertengkar ya bertengkar sama istri. Tapi kalau kau jadikan upacara pagi, saya keberatan banget, Mister.”
“Nggih sampun. Besok tidak lagi. Kula janji setop.”
Dan Mr. Rigen pun buru-buru keluar kamar tidur saya. Saya pun tidak menanyakan lebih lanjut tema perdebatan antara kedua suami-stri itu. Tetapi, waktu beberapa hari berikutnya perdebatan itu berlangsung lagi, saya pun mulai tidak sabaran.
“Geenn, sini !”
Mr. Rigen masuk kamar tidur saya dengan tubuh mengkeret.
“Kok, kamu ribut lagi ?”
“Begini lho, Pak. Si Nansiyem itu ‘kan sekarang sedang punya klangenan aneh.”
“Lha, klangenan ? Bojomu punya pacar, apa ?”
“Lho, mboten Pak. Klangenan yang berarti kesenangan.”
“Lha, apa itu ? Wong kesenangan saja kok ributnya berhari-hari. Tur kok mesti tiap pagi !”
“Begini lho, Pak. Nansiyem itu sekarang tiap jam lima pagi sudah kabur ke lapangan. Jingkrak-jingkrak olah raga diiringi mungsik.”
“Wee, elok tenan. Tapi ya nggak apa-apa to, Gen. Malah apik tur aksi.”
“Lha, nggih niku. Aksine niku yang saya keberatan. Mosok, wong anak ndeso saja lho, Pak. Sekarang, dia itu kalau pagi itu pakai selana panjang seporet. Baju kaos panjang seporet. Sepatu putih seporet.”
“Lha, terus maumu itu apa to, Gen. Wong pakai celana dan baju panjang seporetsaja kok nggak boleh, lho. Mbok biar !”
“Wah, Bapak. Itu nanti pasti merembet-rembet jadi pakai baju macem-macem.Gek saya harus bagaimana. Wong kalau mau olahraga, tiap hari nyuci, masak, momong anak ‘kan ya sudah olahraga to, Pak.”
Saya berusaha Mr. Rigen bahwa gejala Mrs. Nansiyem begitu gejala yang wajar-wajar saja. Tidak usah dirisaukan. Tetapi, sesungguhnya saya kepingin melihat sendiri fenomena baru itu. Saya dan Mr. Rigen sepakat untuk keesokan harinya, uthuk-uthuk in the morning, untuk pergi mengintip Mrs. Nansiyem di lapangan.
Dan esok harinya, tanpa sepengetahuan Mrs. Nansiyem, saya dan Mr. Rigen dengan mengendap-endap pergi ke lapangan. Untung pagi itu berkabut. Sosok orang-orang yang berjalan di jalan tidak begitu jelas. Dus, kami tidak usah khawatir ketahuan Mrs. Nansiyem.
Waktu kami sampai di lapangan, saya lihat ada kira-kira lima belas perempuan berderet siap untuk bersenam. Pemimpinnya sudah setengah tua, estewe, tetapi tubuhnya masihdempal. Kayaknya saya pernah melihatnya.
“Pemimpinnya itu siapa, Gen ?” Saya bertanya dengan berbisik.
“Lho, itu Yu Giman, koki Tuan Sepis dari mBelgi, gitu kok, Pak.”
“Wehh, iya lho. Kokinya Mr. Spies.”
Senam dimulai. Dan sang koki mBelgi pun memberi aba-aba.
“Kanca-kanca. Sumangga wiwit unjal ambegan.”
Dan mereka pun tarik nafas dalam-dalam.
“Sakmenika lunjak-lunjak nglemesaken suku.”
Dan diiringi musik flashdance yang sangat hot, mereka pun lunjak-lunjak dengan penuhgusto. Dengan panuh kekaguman dan ketakjuban, saya melihat para anggota P(ersatuan) B(abu) B(abu) itu lunjak-lunjak dengan indahnya. Pada perasaan dan bayangan saya, lenyap sudah sosok-sosok dari Pracimantoro, Jatisrono, Nglora, Tepus, Playen pada pagi yang setengah berkabut itu. Di depan saya adalah Meriam Bellina, Soraya Perucha, Lidya Kandau. Cuma ya ukuran vitalnya agak besaran sedikit dengan sana-sini tonjolan-tonjolan yang dempal.
Saya lirik Mr. Rigen di sebelah saya, eh … kok ya ikut manggut-manggut mengikuti irama flashdance itu. “Dapurmu … Gen, Gen.” kata saya dalam hati. Saya sendiri malah terharu melihat wanita-wanita itu terus mengolah tubuh mereka dengan grakan-gerakan yang indah dahsyat. Gek mereka bisa punya pikiran mengorganisasi begitu dari mana ? Dan musik flashdance dan sound system-nya itu, lho ! Apa ya kiriman dari Jennifer Beals sendiri ? Ah … past orang mBelgi itu.
Kami sampai di rumah lebih dahulu dari Mrs. Nansiyem. Beni Prakosa yang ditinggal sendiri di rumah nangis jemplang-jempling hingga memekakkan telinga orang satu blok. Mrs. Nansiyem datang dengan keringat dleweran. Kaget melihat kami duduk di lincakteras depan. Saya jadi tegang melihat Mrs. Nansiyem dengan wajah bertanya-tanya melihat suaminya yang sekarang juga berdiri mendapatkan dia. Wah, kalau mereka mulai dengan pertengkaran pagi mereka, cilaka saya ! Sebagai seorang bapak rakyat aku harus siap dengan kalimat-kalimat pembinaan yang penuh dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan. Tetapi, lho ? Saya melihat Mr. Rigen mendekati isrinya seperti Deddy Miswar menjelang kedatangan Lydia Kandau dalam film “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”. Dipegang tangan istrinya.
“Wah, jebule apik tenan senammu …. “
Mrs. Nansiyem tersipu-sipu, suaminya digaploki tangan dan bahunya.
“Ngenyek ya kamu. Ngenyek ya kamu.”
Mereka pun masuk diikuti Beni Prakosa. Damai pun turun di bumi pagi itu. Saya tidak tahu sampai kapan proyek senam pag itu akan berlangsung.
Yogyakarta, 19 Januari 1988
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda