(Sumber: Herry Nurdi, “Fantashiru fiil Ardhi”, Sabili No. 13 TH. XVI 15 Januari 2009 / 18 Muharram 1430, hal 10-11
Saya teringat kisah jenaka penuh hikmah dari seorang yang bernama Bahlul. Dalam bahasa Arab, kata bahlul berarti bodoh atau dungu. Bagaimana mungkin seorang manusia mengambil kata dungu sebagai nama panggilannya? Pertanyaan itulah yang menggelitik sang raja.
Dengan penuh rasa ingin tahu, sang raja memanggil Bahlul untuk ditanyai. “Mengapa namamu Bahlul?”
“Memang saya Bahlul, baginda,” jawab Bahlul.
“Apakah tak ada orang lain yang lebih layak menyandang nama itu,” tanya raja lagi.
“Setahu hamba, tak ada yang layak lagi kecuali saya, baginda,” tegas Bahlul.
Terkesan dengan jawaban yang diberikan, sang raja memberikan hadiah. Sebuah tongkat dan sebuah pesan kepada Bahlul. “Jika suatu saat nanti, kau bertemu dengan orang yang lebih dungu dari dirimu, maka kau wajib menyerahkan tongkat ini padanya,” titah sang raja. Bahlul mengangguk.
Lama berpisah dengan sang raja, tiba-tiba Bahlul mendengar kabar baginda sakit keras dan diramalkan akan segera mangkat. Maka dengan susah payah Bahlul menemui sang raja. Tentu saja dengan membawa tongkat pemberian yang dibanggakannya.
“Wahai baginda, bagaimana kabarmu?”
“Aku akan pergi jauh, Bahlul. Jauh sekali, tak akan kembali,” jawab raja.
“Pergi jauh? Apakah baginda sudah menyiapkan bekal?” tanya Bahlul yang nampaknya tak mengerti isyarat kematian dari sang raja.
“Dalam perjalanan yang satu ini, wahai Bahlul, kau tak bisa membawa bekal,” kata sang raja.
Tiba-tiba Bahlul berdiri dengan sontak. Diraihnya tongkat yang sejak tadi bersandar. Dengan cepat tongkat itu diberikan pada sang raja. “Ternyata baginda lebih bodoh dari saya. Saya Bahlul, tapi saya mengerti setiap perjalanan selalu memerlukan bekal. Apalagi perjalanan jauh yang tak akan kembali!”
Mungkin Bahlul tak mengerti isyarat sang raja. Tapi sungguh, Bahlul benar belaka. Tak ada perjalanan yang tak memerlukan bekal. Sekalipun itu perjalanan menuju ajal. Dan sebaik-baiknya bekal dalam perjalanan yang satu ini adalah; ilmu, amal, kebaikan, dan kesempurnaan penghambaan.
“Tanda-tanda hati yang mendapat sinar Ilahi ialah mengingat kembali kehidupan akhirat, tidak terlalu mencintai kehidupan duniawi, mempersiapkan diri dengan bekal-bekal untuk menghadapi kematian.” (Ulama)
Saya teringat kisah jenaka penuh hikmah dari seorang yang bernama Bahlul. Dalam bahasa Arab, kata bahlul berarti bodoh atau dungu. Bagaimana mungkin seorang manusia mengambil kata dungu sebagai nama panggilannya? Pertanyaan itulah yang menggelitik sang raja.
Dengan penuh rasa ingin tahu, sang raja memanggil Bahlul untuk ditanyai. “Mengapa namamu Bahlul?”
“Memang saya Bahlul, baginda,” jawab Bahlul.
“Apakah tak ada orang lain yang lebih layak menyandang nama itu,” tanya raja lagi.
“Setahu hamba, tak ada yang layak lagi kecuali saya, baginda,” tegas Bahlul.
Terkesan dengan jawaban yang diberikan, sang raja memberikan hadiah. Sebuah tongkat dan sebuah pesan kepada Bahlul. “Jika suatu saat nanti, kau bertemu dengan orang yang lebih dungu dari dirimu, maka kau wajib menyerahkan tongkat ini padanya,” titah sang raja. Bahlul mengangguk.
Lama berpisah dengan sang raja, tiba-tiba Bahlul mendengar kabar baginda sakit keras dan diramalkan akan segera mangkat. Maka dengan susah payah Bahlul menemui sang raja. Tentu saja dengan membawa tongkat pemberian yang dibanggakannya.
“Wahai baginda, bagaimana kabarmu?”
“Aku akan pergi jauh, Bahlul. Jauh sekali, tak akan kembali,” jawab raja.
“Pergi jauh? Apakah baginda sudah menyiapkan bekal?” tanya Bahlul yang nampaknya tak mengerti isyarat kematian dari sang raja.
“Dalam perjalanan yang satu ini, wahai Bahlul, kau tak bisa membawa bekal,” kata sang raja.
Tiba-tiba Bahlul berdiri dengan sontak. Diraihnya tongkat yang sejak tadi bersandar. Dengan cepat tongkat itu diberikan pada sang raja. “Ternyata baginda lebih bodoh dari saya. Saya Bahlul, tapi saya mengerti setiap perjalanan selalu memerlukan bekal. Apalagi perjalanan jauh yang tak akan kembali!”
Mungkin Bahlul tak mengerti isyarat sang raja. Tapi sungguh, Bahlul benar belaka. Tak ada perjalanan yang tak memerlukan bekal. Sekalipun itu perjalanan menuju ajal. Dan sebaik-baiknya bekal dalam perjalanan yang satu ini adalah; ilmu, amal, kebaikan, dan kesempurnaan penghambaan.
“Tanda-tanda hati yang mendapat sinar Ilahi ialah mengingat kembali kehidupan akhirat, tidak terlalu mencintai kehidupan duniawi, mempersiapkan diri dengan bekal-bekal untuk menghadapi kematian.” (Ulama)
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda