“Aku di panggil muridku untuk menghadapi
pengganggu ketenangan tempatnya,” kata bayangan satunya berpakaian besar
ala warok Ponorogo.
“La sampean dulu meninggalnya kenapa kang?” tanya orang yang berpakaian warok.
“Aku menemukan lawan yang tangguh di, dan
dia melukai punggungku sampai sobek melintang, yang mengakibatkan
kematianku.” jawab orang yang berpakaian adat ala Madura sambil
menunjukkan luka menganga tanpa darah di punggungnya.
“La kamu matinya bagaimana di..? Bukannya kamu punya ilmu kebal senjata.?” tanya orang yang berpakaian warok,
“Ah, kang, ilmu kebalku ternyata ada yang
mampu menembusnya, lihat ini perutku…” orang yang berpakaian ala Madura
itu menyingkap pakaian penutup perutnya dan luka menganga menyobek
perutnya sehingga ususnya terburai.
“Ya udah lah kang, sekarang kita membereskan orang yang mengganggu murid kita.”
“Ya udah lah kang, sekarang kita membereskan orang yang mengganggu murid kita.”
“duar….!” suara letupan pecut hampir saja
merobek telingaku, pecut tambang yang sebelumnya mengikat kepala warok
wiro gubras, si Madura itu memanggil, tiba-tiba di lolos dari kepalanya
dan di hantamkan ke arahku yang sedang berdiri mengawang di atas meja,
untung aku terpeleset, sehingga lecutan cambuk tak mengenaiku tapi aku
terjengkang di lantai. Tanpa daya. Aryo lincang nama orang berpakaian
Madura itu melompat menebaskan cluritnya, aku benar-benar tak berdaya,
tubuh kaku dan tak bisa di gerakkan sama sekali. Aku sudah berusaha
menggerakkan tubuhku tapi rasanya tubuhku dan seperti terhipnotis. Aku
hanya bisa mendelikkan mata, ketika clurit Aryo lincang menderu ke arah
dadaku. Dan wuuut….! Begitu saja Aryo lincang terlempar seperti daun
yang di terbangkan angin. Dan bau harum tapi lembut kuhirup seperti
melepas kelumpuhanku, nampak orang berpakaian jubah putih
membelakangiku, orang tinggi besar, dengan surban pengikat kepala ala
Mesir, juga berwarna putih.
Singo gubras dan aryo lincang juga kedua
muridnya segera melompat dari jendela, saat mengetahui orang yang
datang. Dan segera lenyap ditelan kegelapan. Orang yang datang dan
membelakangiku itupun membalik tubuhnya, ketika aku tau itu siapa, aku
pun bersimpuh takzim, ya syaih Abdul qodir aljailani, ketiga kali ini
mendatangiku, dengan idzin Alloh menolongku, aku segera menyalaminya
tanpa berani menatap agung wajahnya,
“nah inilah ngger, maksudku, kenapa dulu
aku menyuruhmu untuk segera berbai’at torikohku…” katanya dengan penuh
perbawa yang sulit di ceritakan dengan kata-kata. Aku masih menyucup
tangannya ketika syaih telah pergi dari hadapanku.
Perlahan aku bangkit, dalam benakku
timbul semangat untuk lebih banyak melakukan amaliyah, agar aku tak
tertaklukkan oleh syaitan dan jin yang durjana. Aku pun segera melesat
pulang. Sampai di pesantren telah subuh, aku segera mengambil air wudhu
dan sholat subuh, habis sholat aku wirid wajib. Dan kemudian berangkat
tidur. Jam 11 siang pergi ke sungai mandi, setelah mandi aku kembali ke
pesantren, ada Macan dan pak Abdulloh tamu kyai. Aku segera menyalami,
pak Abdulloh bertanya “orang mana ni?” tanyanya singkat sambil tertawa.
“orang tuban pak.” jawabku juga singkat.
Kami pun ngobrol panjang lebar, karena ternyata kami adalah tetangga
desa, satu kecamatan. Sehingga seperti ketemu saudara. Setelah lama kami
ngobrol tiba-tiba pak Abdulloh berkata di tujukan pada Macan.
“can, ian ini di kawinkan sama adikku,
cocok gak can?” kata pak Abdulloh yang membuatku kaget. Aku kaget, bukan
apa-apa, terus terang walau aku tak pernah merasa rendah diri karena
kemelaratanku, tapi melihat pak Abdullah yang kaya raya, punya banyak
perusahaan, mobil mewah berderet-deret, masak menghendaki aku jadi
adiknya, ah aku bukan tipe orang yang matrialistis, aku tipe orang yang
bahagia dalam kemiskinan, susah dan suntuk kalau kaya, mimpi pun jadi
kaya tak pernah terbayang dalam benakku, karena bukan cita-citaku,
cita-citaku sepele, bahagia di jalan Alloh, ini di tawari kawin
milyarder, ah enggak lah…!
“wah cocok sekali pak,” kata Macan mengerling penuh arti.
“alah jangan bercanda ah, nanti jadi beneran.” kataku rikuh.
“bercanda gimana? Ini serius.” kata pak Abdulloh.
“wah saya belum berani kawin pak,”
“jangan-jangan kamu mandul, tak bermutu, gak berfungsi, ckakaka.” Macan ngakal.
“eh jangan kira…. paling kamu yang
lembek, harus di bantu pake lidi….” kataku jengkel emang Macan kalau
bercanda suka kelewatan, walau ku akui tak ada temanku sebaik Macan.
“gimana, mau enggak?” tanya pak Abdul mendesak.
“wah nanti dulu lah pak, aku pikir-pikir dulu, lagian pak Abdullah kan belum tau siapa aku?”
“halah jangan banyakan mikir, keburu
karatan.” Macan ngakak lagi. Setelah Macan dan pak Abdulloh pergi aku
pun mikir, ah mungkin Alloh lagi mencobaku, sejauh mana aku tahan oleh
godaan. Aku makin serius dalam wiridku, tak ada waktu tanpa wirid
sampai-sampai semua wirid yang di bebankan oleh kyai selesai semua.
Malam itu aku di panggil kyai menghadap,
“ada apa kyai?” kataku, setelah ada di depan kyai.
“ini ada yang nawari,” kata kyai sambil ketawa.
“nawari apa kyai?”
“nawari nikah, mas ian ikut saja, nanti
di lihat cocok apa enggak, kalau cocok, ya bagus, biar mas ian jadi
orang sini aja, biar dekat sama kyai.” lagi orang nawari nikah, aku jadi
berpikir apa aku ini sudah saatnya nikah? Ataukah ini cuma ujian dari
Alloh? Entahlah.
Malam itu pun aku ngikuti kyai naik mobil
kijang hidrolik meluncur ke tempat yang di tuju, ke sebuah pesantren
salafiyah, tak jauh amat dari pesantrenku, sekitar 10 kiloan, kami di
sambut oleh kyai pesantren bernama kyai Ghofur, orangnya sudah tua
sekali, jenggotnya putih sampai ke dada, wajahnya putih kemerahan penuh
wibawa. Pesantren yang ku datangi, lumayan banyak dan tempat pemondokan
dari bambu beratap daun alang-alang, dan yang lebih mengesankan
pesantren sama sekali tak berlistrik, karena di pesantren ini memang
tidak boleh memakai listrik, jadi penerangan memakai lampu minyak, aku,
kyai dan sopir segera di persilahkan.
Setelah duduk, Laila aulya gadis yang di
jodohkan denganku keluar, membawa makanan dan minuman, kyai mencolek
lenganku, “gimana cantik gak?” kata kyai dengan nada berbisik. Aku pun
tanpa sadar menatap gadis yang meletakkan minuman di depan. Mak deg! Aku
terpana melihat kilauan bintang gemintang di tengah telaga mata Laila.
Wah kecantikan yang sempurna, hidung ala artis India. Membuatku tak
sengaja mengelus pipi, karena membayangkan andai pipiku di cium olehnya
aku lebih takut hidungku akan terluka oleh lancip mancung hidungnya.
Bibir yang seperti di bentuk dengan kehati-hatian ranum dan seakan
menyimpan berbagai rasa buah, ah aku jadi ngelantur,
“udah jangan lama- lama memandangnya”
bisik kyai. Mak deg! Ketika mata Laila mengerling padaku, untung aku
duduk di atas kursi, kalau berdiri mungkin aku langsung terjengkang
pingsan, aku lelaki biasa, yang masih punya perasaan sebagaimana lelaki
pada umumnya, tapi aku juga Febrian lelaki kerdil dengan segudang
kekurangan, salah satu kekerdilanku adalah tak berani beristri terlampau
cantik, takut nanti rusak bila ku sentuh dengan tangan kasarku.
Laila bagiku terlampau cantik dan mahal,
ah aku ingin yang biasa, aku tak mau nanti terlalu jatuh cinta dan
mengenyampingkan Alloh, aku tak mau menduakan Alloh, lebih baik tak aku
terima, sebelum cinta ini terhunjam dalam menawan seumur hidupku.
Melupakan siapa aku, “cantik sekali, kyai.” bisikku.
“ya kalau begiu tak usah,” bisik kyai
seakan telah membaca galau hatiku. Dan terasa aku di bebaskan dari
himpitan gunung. Mak plong.
Kami pun ngobrol dengan kyai Ghofur
sampai larut malam, dan kembali pulang ke pesantren Pacung dengan
perasaan lega. Pagi baru saja beranjak, aku memasukkan baju dan
keperluan ke dalam tas punggung butut andalanku, untuk pergi ke Jakarta
mencari uang untuk keperluanku hidup di pesantren. Yah beginilah
hidupku, hidup di pesantren kalau uang ada, kalau uang habis, ya aku
harus nyari lagi, walau makan sudah di jatah kyai, tapi aku orang yang
tak suka terus-terusan jadi benalu, hidupku adalah aku yang harus
menjalani dan membiayai. Untung masih ada uang untuk ke Jakarta, ke
tempat temanku, Macan atau tempat temanku Karim di Cipinang Muara.
Setelah pamitan kepada kyai aku pun beranjak, baru seratus meteran
berjalan ada mobil di belakangku. Pak Jahru. Bos barang bekas, tamunya
kyai mengklaksonku.
Aku berhenti, dan mobil kijang warna biru berhenti di sampingku, kaca pintu terbuka,
“ayo naik…!” kata pak jahru, dengan tawa khasnya.
“mau kemana mas?” tanyanya setelah aku duduk di kursi jok.
“ke jakarta pak.” jawabku enteng.
“wah kalau begitu mas ian tak anter aja, Jakartanya mana?”
“ke Cipinang Muara pak.” Mobil pun jalan, lumayan ada nunutan, jadi gak usah keluar uang.
Pak jahru, adalah pengusaha sukses,
barang bekas, orangnya pendiam tak banyak bicara, menurut ceritanya dulu
dia orang miskin, sekolah aja mungkin sampai kelas 4 SD. Lalu merantau
ke Jakarta dan menjadi pemulung, suatu hari tengah ia memulung di
datangi pemilik pabrik besi untuk membersihkan besi bekas, nah disaat
yang hampir bersamaan datang juga orang minta di pulungkan besi, maka
pak Jahru pun tinggal mengoper. Itulah awal karir pemulungnya menanjak,
sekarang yang di pulungnya sudah alat berat kyak buldoser. Dalam
perjalanan sampai Jakarta aku tak banyak omong dengan pak Jahru, aku di
antar sampai ke Cipinang Muara, sebelumnya di ajak ke tempat pak Jahru
menginap semalam dan besoknya aku di antar ke kontrakan Karim, teman
sekolahku waktu di MI. Di tempat kontrakan kumpul teman-teman sedesaku.
Ada sengkle, renges, tro, klewer, ah memang nama panggilan semua, sampai
nama aslinya kami sudah lupa, dan nama-nama itu jadi simbol keakraban,
satu nasib sepenanggungan.
“wah kamu di sini juga nges.” tanyaku
ketika teman sepermainanku di kampung ini menyalamiku, renges, pemuda
seumuranku 24 tahun, hidung pesek habis, lubang hidung melebar, karena
sering di congkel-congkel pakai jari, untuk mengambil kotoran hidung,
kadang dia mencongkel hidung ngotot sambil berpegangan pada tiang, kayak
sesuatu yang teramat susah di ambil dan membutuhkan tenaga extra,
rambutnya panjang sebahu, wajahnya lebh mirip Kaka personel SLANK.
“iya yan, dah datang sebulan yang lalu, kamu ndiri kesini ngapain?”
“wah, aku mau nyari uang saku untuk di pondok.” kataku.
“eh ian, dah lama datangnya.” Karim masuk
kontrakan, langsung menyapaku, dia baru datang, kerjanya di kantor
miliknya pak Abdullah.
“baru aja rim.” jawabku.
“trus ada perlu apa?”
“biasa nyari tambahan modal untuk di pondok alias nyari kerjaan.”
“ialah besok aku cari’in kerjaan.”
Begitulah dialog-dialog ringan di antara
kami. Tapi setelah itu nyampai seminggu pun aku belum dapat kerjaan,
makan nebeng, ah jadi tambah susah.
“wah sudah ku carikan pekerjaan, tapi susah tak dapat-dapat tuh yan, gimana?” tanya karim pada suatu sore.
“wah gimana ya rim, la aku kalau balik ya lebih repot lagi,” jawabku prihatin.
“kenapa gak bikin lukisan sendiri aja ian?” sela renges.
“nanti tak bantu njualin deh.”
“wah kalau itu perlu modal nges…”
“biar aku yang modalin, kamu anggep beres aja, butuh berapa?” kata karim mantep.
“ya paling butuh 4 ratusan ribu,” kataku.
“ya udahlah besok beli barang
keperluanmu.” kata karem. Maka besoknya aku pun beli barang keperluan,
aku membuat lukisan kaca, yaitu lukisan kebalik. Melukis dari dalam,
jadi bisa di lihat dari luar. Kelihatan bagus, tiga hari ku selesaikan
lukisan besar, enam buah lukisan pemandangan. Setelah selesai di bingkai
aku dan renges mulai menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, dari gang
ke gang, banyak yang melihat lukisan, dan menawar tapi tak ada yang mau
beli setelah ku kasih tau harganya, satu lukisan ku tawarkan dengan
harga 2 ratus ribu. Untuk mengejar isi perut yang keroncongan.
“nges, perasaan kita muter-muter di jalan ini-ini aja ?” kataku pada renges sebagai penunjuk jalan.
“maksudmu kita bingung?” kata renges, seakan aku tak percaya atas kefasihannya menghafal jalan Jakarta.
“iya.” jawabku, dari pada muter-muter lagi. Karena perut belum keisi dan pegelnya kaki minta ampun.
“aku ini sudah hafal jalan di Jakarta, lebih hafal jalan dari pada mata pelajaran di sekolah.” kata nges sambil nepuk dada.
“hafal jalan aja bingung, apalagi tak hafal jalan.?” kataku jengkel.
“kamu itu yang bingung, karena lukisannya tak laku.” kata renges juga marah.
“udah gini aja, kita lihat tuh ada toko
Sarinah, nah mari kita jalan, apa balik ke toko Sarinah lagi apa
enggak?” kataku menengahi keributan kami, dan kami pun melanjutkan
perjalanan. Dan memang sesuai dengan apa yang aku bilang, kami kembali
ke toko Sarinah.
“heran, kenapa bisa bingung gini ya?” kata renges sambil duduk di regol.
“udah nges, mending kita cari masjid, ini
waktu dzuhur hampir habis.” kataku sambil lalu pergi nanya pada orang
arah masjid, dan kami pun ditunjukkan masjid yang jaraknya 300 meteran.
Kami pun segera pergi ke masjid dan menjalankan sholat dzuhur. Selesai
sholat kami memajang lukisan di depan masjid, yang kebetulan pertigaan
jalan yang ada pohon mahoni tua.
Tapi sampai jam menunjukkan jam setengah
lima, tak juga ada yang beli, walau banyak yang nawar, tapi sebatas
nawar, kalau harus pulang ke kontrakan dengan tanpa lukisan terjual sama
sekali, ah betapa jauhnya, kami berdua harus berjalan, belum lagi perut
yang lapar karena dari pagi kami belum makan. Ah kami lebih parah dari
pada tentara yang kalah perang, pulang memanggul senjata, setidaknya
mereka punya uang.
“gimana yan?” kata renges, wajahnya yang bertampang suntuk, makin suntuk aja.
“aku tak kuat, kalau gini, udah jauh,
perut lapar, bisa klenger beneran nih,” tambahnya, makin menambah beban
masalah aja keluhnya.
“ya mau gimana lagi nges, la emang tak laku,”
“satu aja di jual 50 ribu aja deh, buat naik angkot. Dan untuk beli nasi bungkus” katanya mengiba.
“ya udahlah nanti kalau ada yang nawar,
kasihkan aja,” kataku agak berat, karena kepikiran untuk mengembalikan
uangnya karim. Selang beberapa menit, ada sepeda motor menghampiri kami
dan menanyakan harga lukisan, e udah di kasih harga 50 ribu rugi harga
produksi, masih tak laku juga, maunya 30 ribu, ya jelas aku tak mau,
memangnya kacang garing, semurah itu, orang bermotor itupun pergi,
meninggalkan harapan kami yang tercabik-cabik.
“wah..! Udah yan aku tak kuat lagi,
mending sekarang pulang aja, daripada nanti kemalaman.” kata Renges,
kayak mau nangis, rupanya keuletan dan kesabarannya telah memasuki batas
toleransi.
“gini aja, biar aku wirid di dalam masjid
sebentar, siapa tau masih bisa laku, kita masih punya Alloh, aku akan
meminta supaya lukisan kita terjual” kataku masih sabar.
“ah Jakarta ini keras yan, tak ada Alloh, Allohan, disini itu siapa kuat maka jaya.” kata nges masgul.
“tapi ndak salah kan di coba?”
“ya udahlah sana, biar aku nunggu di sini, jangan lama-lama…!”
“setengah jam aja.” kataku sambil berjalan ke dalam masjid.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda