“eh, eh apa apaan ini?” aku berusaha mengangkat lengan Anggraini, tapi gadis itu menangis sesenggukan.
“hu hu, mas ian, kalau tak ada mas iyan
apalah, jadinya aku..hu.. aku pasti tak sanggup membalas budi, dan
pertolongan mas ian..hu.. aku siap mengabdikan diriku ..hu..”
“Sudah-sudah ayo berdiri, tak baik di
lihat orang, ayo berdiri.” kataku sambil menyalurkan tenaga prana lewat
lengannya supaya dia tenang. Perlahan gadis itu berdiri, dan tegak di
depanku.
“Jadi mas ian mau menerima pengabdianku?”
Aku yang tak mengerti, manggut aja. Dari pada masalah yang tak ada
ujung pangkalnya berkepanjangan. Setelah aku manggut, gadis itu wajahnya
kelihatan ceria, dan mengusap air matanya kemudian melangkah ke dalam.
Beberapa detik kemudian Bu Lurah keluar
dan mempersilahkan kami menikmati hidangan. Mujahidi kulihat mulutnya
telah penuh makanan, bakwan, mendoan, tahu goreng, uh cabe yang di
piring yang udah aku incer udah ludes. Mujahidi, enak aja mulutnya
manyun kesana kemari, mengunyah makanan yang penuh di mulutnya sambil
omong, “hm…, semaleman bertarung, laper mas.., hm hm enak..” lalu
setelah makan dia mengeluarkan sebatang Djisamsoe yang udah gepeng dan
melengkung. Kemudian menyalakannya, asap mengepul dari bibirnya yang
hitam kayak habis ditonjok orang, juga asap keluar dari lubang hidungnya
yang lebar karena sering di korek-korek di cari kotoran upilnya. Aku
makin jengkel aja melihat tingkah Mujahidi, tanpa memandang sebelahnya
yang jakunnya naik turun. Sebenarnya aku ngiler pada rokok yang
diisepnya, tapi aku tak mau merengek-rengek, minta satu dua isepan,
walau kalau di kasih, aku gak bakal menolak.
Karena melihat Mujahidi, kelihatannya
rokoknya tak akan di bagi, aku segera pamitan kepada Bu Lurah untuk
pergi ke musholla, sekalian nunggu waktu sholat duhur, sambil selonjoran
karena semalaman belom tidur, aku langsung tidur, jam menunjukkan jam
sepuluh lewat lima menit.
Wah kalau ingat jam jelek yang selalu
melingkar di tanganku ini, heran juga, yah walau jam tangan bermerek
Casio ini menurut aku jelek, tapi awet banget, juga tahan air, aku malah
ngira jam ini tak pakai batre untuk menopang jalan angkanya. Soalnya
sampai tiga tahun kgak mati-mati, padahal semenjak ku beli, belum pernah
aku melepasnya. Mandi, tidur, kemana aja jam ini ku bawa. Sampai
bentuknya buduk banget. Kaca mikanya jaret-jaret kesana sini. Penunjuk
waktunya yang cuma angka-angka itu memudahkanku.
Apalagi kalau ingat waktu mendapatkannya,
saat itu aku dari Serang Banten mau pulang ke Tuban nyampai terminal
Pulo Gadung. Setelah membeli tiket Bus malam jurusan Senori Tuban. Aku
segera mencari tempat duduk, karena terlambat dikit aja aku pasti tak
akan dapat kursi, karena siapa cepat dapat. Untung aku masih kebagian
kursi di tengah, walau pun Bus yang ku tumpangi jauh dari nyaman, aku
berusaha menyamankan diri, Bus masih menunggu penumpang penuh dan
menunggu jam keberangkatan.
Para pedagang asongan berseliweran,
sehingga menambah keadaan makin ribut. Tak jarang para pedagang itu
menawarkan dagangannya di sertai paksaan. Terdengar seorang pedagang jam
tangan menawarkan dagangannya, sampai di depanku dia menawarkan
dagangannya kepadaku, tapi aku menggeleng.
“Di lihat dulu mas, ngelihat kgak bayar
kok.” kata pemuda penjual jamnya. Aku pun melihat, walau aku tak tau
tentang jam tangan, tapi menurutku semua jam tangan yang di jualnya tak
bagus. Maka ketika dia menawarkan kepadaku untuk membeli satu, aku
menolak, lagian aku tak punya uang. Tapi dia maksa malah memakaikan jam
tangannya ke pergelangan tanganku.
“Ayolah mas di bayar, cuma limapuluh ribu
aja kok.” aku mau melepaskan jam tangan dari pergelangan tanganku, tapi
pemuda itu menahan.
“Ayo di bayar,”
“Maaf, aku tak mau dan tak ingin punya jam tangan.” kataku, “Kamu jangan maksa.”
“Eh kamu udah ngelihat-lihat udah make
jam tanganku tapi kgak mau bayar, kamu ngajak berantem?!” nadanya
menantang. Sementara bus sudah jalan.
“Heh yang makekan kamu, kamu jangan memutar kata-kata ya, aku bilang aku tak punya uang.” aku juga mulai emosi.
Dia tersenyum mengejek, “heh, oke aku akan ambil semua uang di sakumu, sebagai pengganti jam tanganku.”
Aku diam saja ketika dia merogoh uang di
sakuku, karena memang aku tak punya uang. Sementara kondektur telah
menyuruhnya turun. Dia tak menemukan apa-apa kecuali uang lima ribuan.
“ah kere…!” katanya sambil bergegas
turun, karena kondektur yang sudah membentaknya turun. Dan jam tangan
ini sampai sekarang ada di tanganku. Aku berharap pemuda penjual jam itu
insaf dan melakukan jual beli dengan wajar, dan aku juga berharap, jam
tangan ini setiap ku pakai beribadah maka pemuda itu mendapatkan pahala.
Dalam tidur aku merasa ada banyak orang
yang duduk berbisik-bisik di bawah kakiku. Aku pun membuka mata dan
mengangkat sedikit kepala untuk meyakinkan prasangkaku. Ternyata benar,
banyak sekali pemuda kampung Pasir Seketi. Dan yang aku kenal namanya
ada yang namanya Jejen, Maman, Nono, Safi, Imam dan banyak lagi yang aku
tak tau namanya, aku segera bangkit duduk.
“Eh apa sudah saatnya sholat?” tanyaku karena menyangka, pemuda-pemuda ini mau sholat.
“Belum.” jawab mereka serempak.
“Lho, lalu kenapa kalian duduk di sini?”
tanyaku heran, sambil membetulkan rambut panjangku yang ikatannya
kendor, sehingga yang rambut pendek lepas, agak membuatku risih, kulihat
Mujahidi tidur mendengkur di sebelah kananku, sekali waktu mulutnya
berkriutan, mungkin makan emping atau daging yang agak liat kulihat
semua pemuda saling memberi isyarat, untuk mewakili bicara. Akhirnya
yang bicara pemuda bernama Jejen.
“Jadi, anu…,” pemuda itu rikuh, sehingga
dia susah mengeluarkan kata-kata. Jejen, pemuda ini ku taksir umurnya
duapuluh dua tahun, tubuhnya kecil, tapi berotot karena biasa kerja di
kebun. Wajahnya juga kecil tapi kelihatan tua. Jejen pernah ke tempat
Kyai, tapi di sentil Kyai, supaya jangan sering nonton video porno, lalu
malu sekali, sehingga tak berani datang lagi.
“Anu mas Ian, maaf kalau kami mengganggu
tidur mas Ian, kami semua pemuda desa meminta dengan sangat supaya mas
Ian bersedia membimbing kami, menjadi guru silat di desa Pasir Seketi
ini.” seperti telah melepaskan beban di dadanya, Jejen menarik napas
lega. Aku tak terkejut, biasa saja, sementara kulihat para pemuda yang
kebanyakan umurnya di atasku itu, tegang menanti jawabanku.
“Aku mau-mau saja menjadi guru kalian, tapi apakah kalian sanggup untuk menjadi muridku?”
“Sanggup…!” terdengar suara serentak.
“Kami sanggup di suruh apa saja,” kata
Jejen menambahi. Karena waktu itu sudah masuk waktu sholat maka aku
mengajak mereka semua sholat berjamaah. Setelah selesai menjalankan
sholat, para pemuda itu duduk melingkariku, mungkin semua sekitar
tigapuluh orang.
“Saudaraku semuanya,” aku membuka pembicaraan.
“Perlu kalian ketahui, ilmu yang akan ku
turunkan kepada kalian ini, di namakan ilmu laduni, dasar amalannya
adalah wirid. Sementara kalian harus menjalani puasa, untuk memiliki
ilmu ini, kalian harus membeli ilmu ini dengan puasa, semakin banyak
kalian puasa, maka akan semakin banyak ilmu yang kalian dapat….” aku
menjelaskan panjang lebar tentang ilmu laduni, dan setiap pertanyaan aku
jawab sampai mereka puas.
Setelah memberikan wirid yang harus jadi
amalan, aku segera pamit meninggalkan pemuda-pemuda desa itu, karena Pak
Lurah telah datang memanggil untuk mengajakku makan. Kami makan dengan
lahap, Mujahidi sampai nambah tiga piring, selesai makan kami duduk di
beranda depan, sambil menikmati rokok Djisamsoe, Pak Lurah membuka
pembicaraan.
“Ah si Sanusi, kenapa dia bisa melakukan perbuatan sekeji itu?” tanpa tau arah pembicarannya aku menjawab,
“Yah itulah pak, nafsu kalau sudah
mengalahkan akal budi, manusia lupa diri, dan perbuatan kejipun di
lakukan.” lalu Pak Lurah menceritakan. Sanusi sebenarnya masih ada
hubungan saudara dengan Pak Lurah, meskipun jauh.
Sanusi muda adalah orang yang suka ilmu
debus dan kanuragan. Dia suka mengembara mencari guru. Bertahun-tahun
Sanusi mengembara sampai akhirnya dia pulang dengan berbagai ilmu
kesaktian. Dia menunjukkan ilmu kesaktiannya pada pemuda-pemuda sehingga
para pemuda desa merasa takut padanya. Sanusi sering memperlihatkan
ilmu kebalnya, sehingga para pemuda tertarik untuk belajar ilmu silat
kepadanya, maka Sanusi pun menjadi guru silat. Tapi karena belajar silat
di tempat Sanusi di pungut iuran yang tinggi, maka banyak pemuda yang
mengundurkan diri, karena tak mampu membayar. Akhirnya perkumpulan
silatnya pun berhenti.
Ketika terjadi pemilihan lurah, Sanusi
pun mencalonkan diri, dan lawannya adalah Pak Lurah yang sekarang, tapi
ternyata Sanusi yang kalah dan Pak Lurah pun menduduki jabatan lurah.
Tak ada apa-apa setelah itu, tapi suatu hari Sanusi yang telah di angkat
jadi carik, datang ke rumah Pak Lurah untuk melamar Anggraini, tentu
saja di tolak walau secara halus, karena Sanusi umurnya lebih tua dari
pada Pak Lurah, yang pantasnya menjadi ayah Anggraini. Juga Sanusi
adalah seorang duda, cerai dengan istrinya, sering cekcok dan kalau
sudah cekcok istrinya sering dipukul.
Pak Lurah menghela napas berat, “Tak menyangka, Sanusi yang pendiam mampu melakukan kekejian seperti itu.”
Aku hanya manggut-manggut, lalu mau
pamitan pulang ke pondok Pacung. Tapi Pak Lurah mencegah, kemudian
mengajakku ke dalam, katanya ingin bicara empat mata, dan kami berdua
masuk meninggalkan Mujahidi yang masih duduk mengebulkan rokok dji
samsoe. Sampai di dalam kami segera duduk di sofa, sebentar kemudian Bu
Lurah pun menyusul ikut duduk. Aku bertanya-tanya dalam hati sebenarnya
ada apa? Keheningan sebentar terasa karena Pak Lurah tak segera bicara,
nampak Bu Lurah menjawil suaminya, seakan memberi isyarat supaya lekas
bicara.
“Anu…nakmas Ian, apakah nak mas tidak berkeinginan untuk menjadi orang desa Pasir seketi?”
“Apa maksud Pak Lurah?” tanyaku, seperti orang bodoh.
“Maksud kami, kami ingin menjodohkan
Anggraini, dengan nak Ian.” walau aku telah menyangka sebelumnya,
secuek-cueknya aku, tetap terkejud juga. Bagaimana tidak, menikah adalah
kehidupan suami istri yang berwatak berlainan, kalau bisa sekali untuk
seumur hidup, jadi tak bisa asal comot, tanpa memikirkan resikonya,
tidak asal pilih kayak memilih jajanan pasar. Atau kalau tidak akan
menyesal selamanya.
“Menurut saya, Anggraini itu gadis yang cantik, setiap pemuda yang melihatnya pasti akan tertarik, termasuk saya.”
“Kalau begitu tunggu apa lagi?” tanya Pak Lurah bersemangat.
“Tapi Pak Lurah, saya ini masih terlalu
muda untuk memikirkan pernikahan, saya masih ingin menuntut ilmu.”
kataku dengan nada rendah karena takut kata-kataku menyinggung.
“Ah pondok Pacung kan dekat dari sini nak
mas? Kalau mau mengaji nakmas kan bisa berangkat dari sini kalau sudah
jadi istrinya Anggraini,” suara Pak Lurah nyerocos suaranya seperti
mengemplangku dari kanan kiri.
Bu Lurah pun menambahi, “Iya nak jadilah
mantu kami, kami sudah sediakan semua, dari rumah, kebun, pokoknya nak
mas tinggal menjalani.”
“Bu, pak, sekali lagi saya tidak menolak,
tapi untuk saat ini saya benar-benar belum berani menikah, nanti saja
kalau Anggraini memang jodoh saya, pasti saya akan menjadikan dia istri
saya.” kataku panjang lebar tapi masih dengan nada sehalus mungkin,
karena takut menyinggung.
Setelah membujukku sekian lama tak
berhasil, Pak Lurah dan istrinya pun menyerah juga. Wajah mereka
tertunduk mengguratkan kekecewaan. Sementara dari dalam kamar Anggraini,
terdengar suara tangis gadis itu. Tapi memang itulah hidup, kadang kita
harus berani mengambil keputusan awal, terluka pun tak terlalu dalam,
dari pada akar telah dalam tertanam lalu baru kita cabut pasti luka akan
teramat dalam dan susah disembuhkan.
Setelah kurasa cukup aku pun mohon diri,
tapi Pak Lurah memaksa mengantar dengan mobil kijangnya. Diluar banyak
sekali pemuda kampung mau mengantar kepergianku, bergantian menyalamiku.
Dan beraneka macam pemberian kuterima, aku tak menolak sampai mobil Pak
Lurah tak muat lagi. Akhirnya aku dan Mujahidi pergi meninggalkan desa
Pasir Seketi. Kulihat mata-mata berlinang dan melambaikan tangan.
Orang-orang desa yang baik, gumamku. Setengah jam kemudian aku tiba di
pesantren Pacung. Suasana pesantren sangat sepi, tak ada mobil tamu di
tempat parkir, ku lihat Kholil berlari-lari kecil mendekatiku.
“Kenapa sepi sekali lel?” tanyaku setelah Kholil ada di depanku.
“Kyai lagi sakit.” jawabnya dengan mimik muka serius. Ku suruh Kholil menurunkan barang-barang yang ada di mobil.
“Sakit apa?”
“Kena santet, dan muntah darah.” aku tak
begitu kaget, karena memang sudah tak terhitung lagi, Kyai terkena
santet yang di kirim seseorang, karena Kyai menolong orang yang di
santet, jadi Kyai jadi sasaran.
“Parah?” tanyaku menyelidik.
“Sekarang ini parah mas, soalnya tubuh
Kyai sampai memerah, dan mengeluh kepanasan.” karena penjelasan Kholil
itu, aku segera bergegas ke tempat Kyai berada setelah ditunjukkan
Kholil.
Bergegas aku melangkah masuk rumah Kyai,
suasana hening, nampak Kyai duduk memejamkan mata, sementara semua
santri duduk melingkar, tangan mereka tak henti memutar tasbih di
tangan, sedang Kyai duduk kedua tangannya di pangkuan, baju putihnya
yang di dada belepotan darah muntahannya sendiri, sementara di depannya
nampak bak plastik juga banyak darah di dalamnya.
“Kau mas iyan sudah datang,” kata Kyai datar, masih dengan mata terpejam.
“Sini duduk di sampingku.” Aku segera
beranjak melangkah dan duduk bersila di samping kanan Kyai, dari dekat
memang benar kata kholil semua tubuh Kyai memerah di dalam, setelah aku
duduk tangan kiri Kyai memegang pergelangan tangan kananku, uh panas
sekali, lalu tanganku di angkat ke arah pahanya.
“Baca haukolah tiga kali, tahan napas.”
kata Kyai masih dengan mata terpejam, suaranya datar namun tenang, aku
pun segera membaca lahaulawalaquata illa billa hil aliyil adhim dalam
hati tanpa napas, terasa ada aliran hawa sakti teramat dingin dari
pusarku, mengalir bergulung-gulung di barengi sentakan-sentakan seperti
setrum listrik, ke arah tanganku yang ada di pangkuan Kyai, sehingga
kurasakan dengan pasti, aliran itu masuk ke tubuh Kyai, dan kurasakan
perlahan tubuh Kyai mulai tak panas lagi, tiba-tiba Kyai, terbatuk-batuk
dua kali lalu memuntahkan darah, ke bak plastik, nampak darah yang ada
di bak plastik itu sebentar bergolak, lalu diam, dan ada sesuatu yang
bergerak-gerak, ternyata tiga kelabang sebesar ibu jari tangan, dan
seekor kala jengking sebesar ibu jari kaki, yang warnanya hitam
kebiru-biruan. Kyai segera memutar jari telunjuknya di atas bak plastik,
maka aneh kelabang dan kala jengking itu berjalan-jalan mengitari bak
plastik itu tanpa bisa keluar. Terpagar gaib.
“ah Kyai kenapa, serangan santetnya tak di tolak aja?” kataku kawatir.
“mas, kalau tak merasakan
bagaimana sakitnya kena santet, lalu gimana aku akan kasihan pada orang
yang di santet, orang kalau tak pernah lapar, tak akan kasihan pada
orang yang kelaparan, bagaimana orang yang perutnya selalu di isi dengan
makanan-makanan enak bisa kasihan dengan orang yang kelaparan,
salah-salah dia menyangka, kalau kata-kata yang namanya lapar itu tidak
ada, karena telah buntu akal pikirannya dengan kekenyangan, juga sama
dengan santet, selalu banyak orang bilang tak ada, karena telah mampet
pikiran oleh rasa sok modern. Lalu siapa nanti yang akan menolong orang
yang terkena sihir jahat seseorang yang bernama santet.” Kyai
berkata panjang lebar, sambil membersihkan darah di sekitar bibirnya,
kemudian melepas pakaian putihnya lalu memberikan pada santri untuk di
cuci.
“Bagaimana tugasnya selesai?”
“Alhamdulillah Kyai, semua karena bantuan Kyai.”
“oh rupanya ada Pak Lurah juga…, sampai tak memperhatikan.” kata Kyai dengan senyum ramah.
Pak Lurah yang sedari tadi bengong
menyaksikan, segala yang terjadi, langsung kaget, lalu tergopoh-gopoh
menunduk-nunduk berjalan menghampiri Kyai, dan bersalaman dengan Kyai.
Sementara aku sendiri pamit ke kamar, dalam hatiku, tak habis-habis
mengagumi Kyai, Kyai yang masih begitu muda, dan ilmunya tak bisa
diukur, tak pernah sombong tak membeda-bedakan segala macam tetek bengek
jabatan, mau menteri mau presiden, jendral, jangan harap melihat Kyai
menghormat, apalagi menjilat-jilat seperti para Kyai jaman sekarang.
Kyai yang tak membedakan antara dirinya
dengan santri, tidur dan makan bareng santri, Kyai yang waskita tau
semua keadaan orang di depannya, dari hari apa, tanggal berapa, dan
dimana orang itu lahir, lalu siapa bapak ibunya? Tahu semua apa yang di
lakukan dari semenjak orang itu lahir sampai duduk di depan Kyai, tapi
Kyai tak pernah mengaku Kyai. Bahkan sepengetahuanku, Kyai tak pernah
mengaku Kyai, panggilan Kyai adalah dari orang-orang yang datang, dan
setahuku juga Kyai tak pernah menjadi imam masjid, bahkan sholat di
masjid kampung aja jarang, aku pernah satu hari jum’ah, aku di minta
memijit kaki Kyai, lalu kata Kyai, nanti aja jum’atan bareng saya, aku
pun memijat Kyai sambil duduk, tak terasa aku tertidur.
Aku benar-benar pulas tidur sambil
tanganku masih memegang kaki Kyai, dan kaget karena mendengar suara
adzan keras seperti di tempel di telingaku, kontan aku bangun,
mengejap-kejapkan mata, melihat kanan kiri, betapa terkejutnya aku,
karena aku ada di dalam suatu masjid, dan banyak orang di sekitarku, ada
yang berdiri, ada yang sedang sholat, dan ada yang menatapku aneh.
Karena aku tidur sambil memegang kaki Kyaiku, membelakangi kiblat.
Ah malunya aku, “mas ian wudhu dulu…”
kata Kyai karena melihat kebingunganku, aku segera beranjak, masih tak
habis mengerti, lalu pergi ke tempat wudhu, di tempat wudhu aku mencoba
mendekati seseorang yang sama-sama mau wudhu.
“Paman, ini desa namanya desa apa, daerah mana?” lelaki setengah baya itu memandang heran kearahku.
“Adik ini bukan orang sini ya?” tanyanya menyelidik.
“Bukan pak.”
“Oo, ini desa Kalianyar Kuningan dek.”
“Makasih pak.”
“Sama-sama dek.”
Aku tak habis pikir, kenapa bisa sampai
di Kuningan. Aku segera wudhu. Dan kembali ke tempat di mana Kyai duduk.
Aku selama sholat jum’at masih tak habis pikir dengan yang kualami,
benar-benar tak masuk akal, bagaimana bisa terjadi, ini jelas-jelas
bukan mimpi, kalau dulu aku di ajak ke kampung dayak oleh Kyai tapi
dalam mimpi, walau akhirnya aku tau itu adalah nyata, sekarang ini bukan
lagi mimpi, semua nyata adanya, wajar sewajar-wajarnya. Selama sholat
sampai selesai aku tak berani meninggalkan Kyai, takut kalau di tinggal
bagaimana aku pulang nanti, sampai sholat jum’at selesai dan semua orang
pergi, aku duduk menyanding Kyai.
“Ini namanya ilmu rogo sukmo, tingkat
menengah, tingkat di atasnya lagi bisa melipat bumi, sehingga bisa
sholat di Makkah, diatasnya lagi bisa menjadikan diri menjadi banyak
sesuai kehendak hati, sehingga bisa sholat di berbagai tempat, dan
tingkatan paling rendah yaitu melepas sukma, meninggalkan raga. Pejamkan
matamu mas.” aku segera memejamkan mata, beberapa detik kemudian,
terdengar lagi suara Kyai, “Sudah. Buka mata.” aku pun membuka mata dan
aku heran karena telah kembali di rumah Kyai.
“Bisakah saya mempelajari ilmu itu Kyai?”
“Semua orang bisa mempelajarinya, harus menjalankan puasa dan laku yang berat, sebenarnya ilmu Alloh itu teramat banyak, jikalau
semua air di buat tinta, semua pohon di buat pena, umur kita panjang
dari masa nabi Adam di ciptakan, sampai sekarang, lalu setiap waktu kita
menulis ilmu Allah, kemudian mempelajari, dan mengamalkan, niscaya ilmu
itu tak akan habis, walau umur kita berlipat lipat lagi, orang Islam
saja kalau mau sungguh-sungguh ilmu Alloh, maka sebetulnya tak perlu
merasa takut kelaparan, dan tak akan pernah merasa sedih, tak
membutuhkan pesawat. Tapi karena telah terjajah oleh kepentingan dan
tersihir oleh nikmat dunia, jadi ilmu Alloh tak di perdulikan lagi, iman
cuma di ucapkan di lisan tak melewati tenggorokan, jangankan
mendapatkan ainul haq, mata telanjang aja menjadi buta.” aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan Kyai, saat mengalami itu aku masih menjalankan puasa empat puluh satu hari.
Memang ilmu dari Kyai ini aneh, jadi tak
pernah di ajari, tak pernah ada pengajaran kanuragan, tak pernah ada
pengajaran pengobatan, tak pernah ada pengajaran apapun, hanya ada
pengamalan, amalan-amalan untuk menjernihkan hati, dan mendekatkan diri
pada Allah dengan segala laku, tanpa mengharap balasan dari Alloh,
bahkan tanpa menganggap amalan itu ibadah. Di biarkan mengalir begitu
saja. Wajar seperti air sungai yang mengalir melewati celah-celah batu
kadang membentur karang menikung membalik berpencar berkumpul untuk
menuju muara laut makrifat, hikmah, dan kesempurnaan, di antara para
santri mungkin aku yang paling getol puasa, aku ingat waktu puasa
pertama kujalani dua puluh hari, karena mondok sambil kerja, jadi aku
bekerja di Jakarta. Untuk makanku di pondok. Ada tawaran kerja melukis
airbrush. Di Cipinang indah. Aku pun berangkat ke Jakarta, dan mencari
rumah kontrakan.
Kesana sini aku mencari kontrakan, tapi
kebanyakan, harganya di atas isi kantongku, padahal aku harus ngirit,
seharian aku jalan, naik angkot, tanya sana sini, sampailah aku di
daerah Duren Sawit, Jatinegara, karena lewat petunjuk orang ada rumah
kontrakan yang murah, tapi hati-hati mas, pada kgak krasan, banyak
hantunya. Kata ibu-ibu yang ngasih tau sambil wajahnya dibuat mimik
ngeri. Akupun segera menemui pemilik kontrakan, lalu aku diajak ke rumah
yang mau ku tempati. Rumahnya cukup besar, bertingkat di belakang, ada
kamar mandi, wc, dan tiga kamar serta ruang tamu, cuma sayang tak di
urus, jadi amat berdebu.
“Kalau mau nempati di tempati aja mas, kagak usah bayar, gratis.” kata pemuda sepantaranku, anak yang punya kontrakan.
“Lho kok bisa gitu.”
“Yah selama ini kami repot, karena setiap
yang ngontrak di sini selalu tak krasan, ya alasannya ada hantunyalah,
ada setannya, kemudian uang kontrakan di minta lagi, ya kami yang repot,
karena uangnya terlanjur kepakai.”
“Apa emang bener ada hantunya?” tanyaku sambil jalan melihat kamar-kamar.
“Wah kalau saya kgak percaya hal kayak
gituan mas, cuma takut kalau bener ada trus saya di cekik.” aku heran
dengan penjelasan pemuda ini, wong tak percaya tapi kok ya takut.
Akhirnya aku menyetujui rizqi emang tak
kemana, kalau udah di Cap untuk kita, ya untuk kita, aku pun menempati
rumah itu gratis, padahal kalau ngontrak rumah segede ini paling enggak
empat ratus ribuan per bulan, wah kalau di suruh nempati gratis kayak
gini ya jelas enak lah. Aku segera bekerja membersihkan rumah, menguras
bak mandi, mengepel, untung juga di ruang tamu ada televisinya , wah
bener-bener bisa kerasan. Tapi aku cuma mau nyari tempat tinggal sampai
kerjaan di Cipinang Indah selesai. Besoknya aku mulai kerja membut motif
granit di tembok dan tiang rumah, juga membuat lukisan-lukisan di titik
tertentu sesuai permintaan, juga aku puasa di siang hari dan wirid di
malam hari, wiridnya tak terlalu banyak macamnya, walau hitungannya
mencapai puluhan ribu. Karena sambil kerja waktu tak terasa berlalu.
Tak terasa duapuluh hari telah berlalu,
ini adalah puasa hari ke dua puluh satu, dari ilmu yang di ajarkan Kyai
ini hanya lah puasa dasar, setelah ini aku puasa empat puluh satu hari,
lalu setelah selesai aku puasa tiga bulan, kemudian tuju bulan, kemudian
sembilan bulan satu tahun setengah, tiga tahun, lima tahun, tuju tahun,
semua harus di lakukan berturut, artinya misal mau puasa empat puluh
satu hari, selama empat puluh satu hari harus puasa, nah kalau sudah
selesai, baru berhenti, mau satu atau dua tahun lagi baru puasa yang
tiga bulan terserah.
Selama aku menempati rumah kontrakan ini
adem ayem aja, tak terjadi apa-apa, aku lebih memilih menempati kamar
atas tepat di atas kamar mandi karena lebih dekat ke kamar mandi, walau
kadang aku ketiduran di ruang tamu, karena keasyikan nonton tivi.
Malam ini wirid terakhirku, setelah
sholat isya, aku duduk bersila, tasbih di tangan kananku, dan counter di
tangan kiriku. Dudukku ku buat sesantai mungkin, karena wirid ini baru
bisa kuselesaikan dalam tiga jam. Napas kutarik panjang dan kusimpan di
perut, berbarengan terus aku membaca aurad setelah perutku penuh, dan
aku tak kuat menahan napas, napas perlahan lahan kukeluarkan, sangat
perlahan, sampai aku tak mendengar desah tarikan nafasku. Mulutku
tertutup rapat, dan mataku terpejam, sementara hati ku terus membaca
wirid tanpa henti. Setelah napas kukeluarkan semua, diam sejenak, aku
mengulang pernapasan seperti awal, begitu terus sampai wirid selesai,
dalam mata batinku aku melihat gelap yang pekat, semua gelap tak
berujung tak berpangkal, lalu di jauh sekali ku lihat setitik cahaya,
aku seperti meluncur kearah cahaya itu, dan masuk ke dalamnya, semua
serba cahaya putih menyilaukan mata hatiku silau lalu ada cahaya merah,
hijau, kuning , biru, dan banyak lagi berpendaran, lalu aku terseret
dalam satu cahaya melesat berputar, sampailah aku di satu ruang yang
terang tapi lembut, damai, aku tak tau ruang apa itu, kurasakan, dari
pusarku mengalir hawa dingin yang sedang, mendamaikan mengalir kesemua
tubuhku, kadang alirannya ku arahkan ke bagian tubuhku yang pegal-pegal,
seketika hilang rasa pegalku.
Tiba-tiba angin keras menerpa di
sekitarku, aku tetap duduk tenang, angin semakin keras, sampai pakaianku
berkibar-kibar, sekejap konsentrasiku buyar, karena sejenak aku
berpikir, bagaimana mungkin ada angin yang keras masuk sedang jendela
dan pintu terkunci. Tapi aku cepat berkonsentrasi lagi, dan sampai wirid
selesai tak terjadi apa-apa, setelah melipat sajadah akupun pergi ke
ruang tamu dan nonton tivi sambil tiduran di sofa. Tak terasa aku telah
lelap, kira-kira jam tiga malam terdengar ledakan di atas genteng,
suaranya keras, sampai aku yang lagi tidur terjaga, ah mimpi pikirku.
“Duar..!,duar…!” terdengar ledakan keras di atas genteng, suaranya
seperti petasan, atau seperti suara pespa yang di starter lalu meledak
dan copot kenal potnya, aku sempat terbangun karena ada percikan api di
atasku, ku kira konsleting listrik, tapi kenapa lampu kamar sebelah tak
mati? Memang lampu di ruang tamu tempat aku tidur di sofa, ku matikan,
tapi bias cahaya dari kamar sebelah masih, bisa membantu mataku
mengenali setiap benda di ruang tamu ini, ah perduli amat, besok aku
kerja maka malam ini aku harus beristirahat cukup.
Aku segera membetulkan letak tubuhku agar
nyaman, dan segera memejamkan mataku, tapi baru beberapa menit aku
memejamkan mata, kudengar suara dekat di telingaku, walau kata-katanya
tak jelas tapi benar-benar membuatku kaget, aku pun membuka mata, uh!
Betapa terkejutnya aku, tepat tiga jengkal dari wajahku, seraut wajah
yang menyeramkan melihatku, wajah orang tua jelek sekali, wajahnya
keriputan penuh bisul menggelambir di sana sini, kepalanya botak, dan
rambutnya hanya tumbuh di belakang kepala. Wah celaka kalau ini orang
gila yang masuk ke kontrakanku, melihatku membuka mata dan bangkit,
orang tua itu mundur.
“Hei siapa kau? orang edan dari mana?!”
tanyaku membentak, orang itu mundur dan mengoceh dengan bahasa yang tak
ku mengerti. Tanganku terkepal maju mau melayangkan bogem ke wajah orang
itu, ku lihat wajahnya ketakutan dan mundur-mundur, aku segera berlari
melayangkan pukulan ke orang itu.
Namun dengan cepat tanpa ku sangka-sangka
orang itu melompat kearah tembok, dan hilang dalam tembok. Aku
melangkah maju ketembok di mana orang itu hilang, ku raba tembok semen,
ku getok-getok dengan jari, keras, bagaimana mungkin orang tua itu bisa
nembus tembok, apa mungkin jin , setan, siluman? Tapi kenapa kalau
memang jin atau sebangsanya kok malah takut kepadaku, padahal kalau
melihat mukanya jelek banget, mestinya aku yang takut sama dia, bukannya
dia yang takut kepada wajah kerenku. Aku kembali ke sofa, membaringkan
diri, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 3 dini hari, aku sudah tak
bisa tidur lagi, mataku sekali waktu melihat tembok di mana orang tua
jelek itu hilang.
Kisahku ini ku ceritakan kepada Kyai,
tapi Kyai hanya ketawa, dan mengatakan kalau menjalani puasa tingkat
pertama memang akan bersentuhan dengan dunia gaib, jadi tak masalah. Di
puasa yang keempat puluh satu aku juga mendapatkan tawaran melukis di
sebuah rumah makan besar di daerah lintas jalan raya Serang-Pandeglang,
rumah makan itu besar sekali, panjangnya aja sampai hampir mencapai
seratusan meter, di bawah rumah makan itu ada pemancingan, pemilik rumah
makan itu memintaku melukisi semua rumah makannya, tapi aku menolak
karena mungkin setahun bekerja juga tak akan selesai, padahal aku
bekerja hanya untuk sekedar buat makan di pondok, beli sabun dan pasta
gigi, apalagi aku orangnya cepat bosan, dan melukis juga kalau lagi mud
ya seneng tapi kalau lagi males, ya males.
Jadi ku katakan aja kalau aku nanti mau
melukis pasti akan datang, tapi kalau lagi tak mau aku pun pulang ke
pondok, dan oleh pemilik rumah makan itu pun di setujui. Aku tinggal di
musholla yang ada di tengah-tengah rumah makan itu, sebenarnya aku di
minta untuk tinggal di rumah pemilik rumah makan itu, tapi aku lebih
memilih tinggal di musholla.
Rumah makan itu kalau siang penuh dengan
pengunjung, jadi aku memutuskan melukis di malam hari agar tidak
mengganggu pengunjung rumah makan, juga konsentrasiku saat melukis tidak
terganggu, dan saat itu aku di minta melukis pakai kuas, jadi tidak
lukisan airbrush, sehingga tak perlu terdengar suara ribut mesin
compresor. Aku mulai kerja jam sembilan malam, yaitu setelah rumah makan
tutup, dan pelayan telah membereskan semua. Di hening malam tanganku
segera menuangkan bongkahan beku imajinasi, mencoret sana sini,
mengambil satu demi satu gambaran pikiranku, menuang dalam bentuk warna
yang lebih nyata, untuk di nikmati siapa saja. Seperti menyeret orang ke
dunia hayalku, tanpa batas tanpa tepi.
Malam bekerja dan siang puasa, Sangat
nikmat sekali, dan wirid ku lakukan di siang hari, wirid masih tahapan
ringan, kalau di banding tahapan puasa di atasnya, walau menurut orang
yang tak pernah menjalankan wirid, wirid adalah berat. Tapi di banding
puasa yang tuju bulan, di samping wirid aku harus menghatamkan Alquran
selama seminggu, apalagi yang puasa sembilan bulan, di samping wirid aku
harus menghatamkan Alquran selama satu hari, yaitu dari matahari
terbit, sampai matahari tenggelam, pertama aku membayangkan bahwa itu
tak kan mungkin, tapi setelah Kyai menjelaskan tentang ilmu melipat
waktu, dan aku mengalami sendiri, ternyata itu hal biasa, imam syafii
aja menghatam Alquran sehari tuju kali .
Sudah tuju hari aku bekerja di rumah
makan ini, pak Kosasih pemilik rumah makan ini, seorang DPR, MPR,
Cilegon, orangnya supel, ulet dan pandai bergaul, kadang pak Kosasih ini
memintaku berhenti bekerja dan mengajak ngobrol tentang agama.
“Mas Ian, sini-sini ngaso dulu, kita
ngobrol.” katanya sambil duduk di kursi, memangilku, aku pun meletakkan
kuas besar yang kupakai membuat lukisan rumput. Dan aku menghampirinya.
“Duduk dulu.” katanya lagi. “Wah mas Ian ini hebat, jadi pelukis juga seorang santri.”
“ah biasa aja pak.”
“ah ya enggak biasa lah, apa ada di
Indonesia ini, atau mungkin di dunia satu sisi, sementara sisi yang lain
adalah seorang calon Kyai, tentu sebagai santri ini mas ian ilmu
agamanya pinter?”
“wah bapak ini, karena saya tak tau ilmu
agama inilah saya mondok pak, kalau saya udah pinter mungkin saya jadi
tukang ceramah, kalau pekerjaan melukis, ya karena orang tua saya tak
kaya, jadi kalau saya mau mesantren harus cari makan sendiri, bisanya
nglukis, jadilah kerjaan ngelukis di jalani.”
“ck..ck..hebat, hebat, memang jadi pemuda itu harus mandiri, tak hanya menjagakan orang tua.”
“wah kalau saya karena kepaksa aja.”
“wah udah hebat masih bisa membawa diri.”
“ah jangan terlalu di lebih-lebihkan lah pak, nanti saya gede kepala.”
“ngomong- ngomong apa nurut mas ian tentang sholat?”
“Sama dengan yang ada di Alquran dan
hadis, solat itu tiang agama, siapa yang mendirikan sholat maka
menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan sholat merobohkan agama,
karena sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Seperti obat yang
menyembuhkan penyakit, tentu efek sembuh di sini bukan saat
mengkonsumsi obat itu, tapi setelah mengkonsumsi obat itu, begitu juga
pada sholat, dikatakan bisa mencegah perbuatan keji tentu adalah setelah
orang menjalankan sholat. Kalau sudah sholat ternyata masih korupsi,
masih ngomong jelek, masih iri, dengki, sombong dan segala macam
perbuatan buruk di lakukan, ya di yakini aja sholatnya tak bener. Sholat
itu ada syarat, rukunnya, luar dalam harus di penuhi. Seperti orang
mandi aja, harus ada kamar mandi, ada air ada sabun, semua semakin baik,
akan semakin bagus hasilnya, walau cuma mandi, kalau bisa ada kamar
mandi yang baik, tidak mandi di tengah lapangan, ada sabun yang baik,
bukannya pakai lumpur, airnya juga harus bagus, air yang keruh penuh
kuman, atau air got tentu setelah mandi bukannya bersih tapi akan malah
kotor, begitu juga mandi tak bisa di bolak balik, habis diguyur air pake
sabun di guyur air lagi, kalau sabun kita pakai belakangan, lalu pake
baju, tentu di ketawain orang. Jadi tak bisa seenaknya sendiri, juga ada
syarat dalam niat mandi itu mau mejeng atau mau agar bersih, agar
sehat. Dan orang yang mandinya bener tidaknya tentu di lihat setelah
orang itu keluar dari kamar mandi, kalau coreng moreng tentu mandinya
tak bener, tapi kalau baunya wangi, bersih tentu mandinya benar.”
“Lalu menurut mas ian gimana kalau ada orang mengatakan, sholat itu yang penting hatinya, lalu orang itu tak mau sholat.”
“Kata-kata orang itu benar tapi dia tak
mau sholat itu yang tak benar. Maksud saya kata-kata orang itu benar,
kebenarannya sebatas kata-kata, seperti orang mengatakan motor itu yang
penting mesinnya, tentu kata itu benar, karena mesin bagus lari motor
jadi kenceng, tapi apa yang sudah nempel di motor itu semua tentu
penting, tanpa roda motor tak bisa kemana, roda ada unsur pelek, ger,
jeruji, rantai, ban dalem ban luar, semua penting, satu aja tak ada
motor tak akan kemana, kecuali di tuntun, gitu juga sholat, satu aja
rukun tak ada maka sholat itu walau masih di anggap sholat tapi tak sah,
jangankan dapat pahala, sholat di angkat ke langit aja kgak. Seperti
motor tak bisa kemana-mana, sekalipun mesin motor bagus, tapi tak ada
roda, tak ada rem, tak ada onderdil yang lain, orang tak akan mau
menyebut mesin motor itu adalah motor.”
Begitulah pak Kosasih, hampir tiap hari
mengajak dialog tentang agama, dan aku selalu berusaha untuk
menanggapinya dengan memberi contoh yang bisa dinalar dengan rasio masuk
dalam logika, sampai-sampai orang itu menganggapku sebagai adiknya
sendiri, dan mau menghadiahiku rumah tingkat di belakang rumahnya
harapannya agar aku bisa di ajaknya selalu membahas agama. Tapi walau
aku miskin tapi aku tak mau hidup terjerat budi, seperti kata Kyaiku,
yang selalu terngiang sampai kini saat itu aku mau bekerja di rumah
orang yang masih ada hubungan saudara dengan Kyai, aku bertanya, apakah
harus minta bayaran pada saudara Kyai itu.
“Mas ian ini gimana, kalau kerja itu tak
ada yang ikhlas, lha kalau beramal itu harus ikhlas. Semua ada tempat
dan bagiannya masing-masing. Kalau mas ian kerja ya harus minta gaji,
nabi sendiri mengatakan: bayarlah gaji pegawaimu sebelum kering
keringatnya, kalau amal kan banyak caranya ada sedekah dan lainnya. Jadi
jangan di campur-campur.”
Malam itu aku sendirian melukis, jam
menunjukkan jam dua dini hari, keheningan malam terasa mencekam betul
malam ini, udara dingin menusuk tulang, kopi jahe telah habis ku
tenggak, entah rokok Djarum yang keberapa ini ku nyalakan di mulutku,
untuk mengusir sepi dalam kesendirianku, dari jauh ku dengar gonggong
anjing bersahutan meremangkan bulu kudukku, aku masih mencoba menyatukan
serpihan-serpihan imajinasiku, dan menorehkan kuas di tembok.
Tiba-tiba deretan kursi bambu di
belakang, berjarak tiga meter berderit, seperti ada orang yang
menduduki, aku menengok tiada siapa-siapa, aku melanjutkan melukis lagi,
mengusir pikiran-pikiran takut yang mulai membuyarkan konsentrasiku.
Tapi tak sampai lima menit, ku dengar ketukan-ketukan jari di meja
bambu, aku masih tetap melukis, sambil menyatukan konsentrasiku ke
telinga dan setelah yakin dengan yang ku dengar, aku cepat menoleh
kearah suara. Tiada siapa-siapa, suara ketukan di mejapun berhenti,
mungkin kalau bukan orang yang di gembleng berulang kali telah tidur di
kuburan, tentu aku akan lari lingkang pukang. Tapi ini bukannya
membuatku takut tapi, aku jengkel bukan main, karena konsentrasiku di
ganggu. Aku melanjutkan melukis lagi, setelah sebelumnya aku mengambil
rokok Djarum ku oles-olesi dengan ketek kopi dan kunyalakan, namun belum
sampai lima menit terdengar lagi suara ketukan jari di meja, kali ini
dengan nada musik tertentu, aku masih terus melukis, sampai dengan saat
tepat aku membalikkan badan dan mengira tempat yang tadi di ketuk-ketuk,
aku menghampiri dan duduk di kursi depan, dan berpura-pura melihatnya,
ku pelototi dia, yah aku yang ilmuku masih dangkal tentu tak melihatnya,
dan aku benar-benar kecele. Karena tiba-tiba jendela rumah makan
bergoyang-bergoyang, sialan dia telah berpindah, aku segera ke jendela,
sampai di jendela aku berhenti, tapi tiba-tiba pintu gerbang besi di
depan bergombrengan seperti di tendang orang, aku berlari ke pintu
gerbang, tapi tetap tak ada siapa-siapa. Ah perduli amat, aku memutuskan
untuk berhenti melukis dan melangkah ke musholla untuk berangkat tidur.
Baru saja aku tidur, aku kaget membuka
mata, dan nampak dari pintu musholla berjalan melenggang gadis cantik
sekali, bibir tipisnya merah merekah, ada lesung pipi ketika tersenyum,
matanya bening penuh kerlingan dan pakaian dan kerudung yang di pakai
dari sutra tipis berwarna biru, sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas.
Ah aku mau bergerak tapi tubuhku benar-benar kaku. Tak bisa di gerakkan
sama sekali, seperti di lem dengan ubin keramik, ah aku benar-benar tak
bisa berbuat apa-apa ketika perempuan cantik itu duduk di sampingku,
tangannya mulai memelukku, kemudian bibirnya yang lembut mencumbuku, ah
aku tak berdaya, di cumbuinya dan tak bisa ku tolak, maka terjadilah…..
Bangun pagi semua tubuhku rasanya ngilu.
Seperti orang yang habis bekerja berat, tak ada perempuan di sampingku.
Aku mungkin bermimpi. Untung siang hari aku tak kerja, sehingga aku
dapat beristirahat tidur seharian, kalau mimpi hadas besar kayak gini
ini yang repot waktu bangun tidur dan mau mandi sebelum sholat subuh,
soalnya tak ada air, aku jadi pontang panting nyari air di
kampung-kampung, sampai ku temukan sumur dekat musholla jaraknya dari
tempatku kerja mungkin ada sekitar dua ratusan meter, ah tak apalah, aku
langsung gebyuran mandi junub. Dan sholat subuhnya ikut berjamaah di
mushola, aku masih duduk wirid memutar tasbih, setelah menjalankan
sholat subuh,
“Assalamu alaikum,” ku dengar suara salam
di sampingku, aku segera menjawab salam dan menengok ternyata orang tua
yang tadi menjadi imam mushola.
“Mari nak main ke rumah bapak…” suara
orang itu halus sekali. Sambil menjabat tanganku. Aku tak bisa menolak,
tanpa kata mengikutinya dari belakang. Seperti kerbau di cocok
hidungnya, setelah melewati sekitar lima rumah kami pun sampai di rumah
lelaki tua itu, ku taksir umurnya sekitar enampuluhan wajahnya bersih,
tenang, tak ada kumis dan jenggot, gurat di wajahnya tak menunjukkan
ketuaan karena tertutup kegemukan, tubuhnya gemuk tapi gemuknya sedang
tak berlebihan. Rupanya orang tua ini, adalah pengasuh pondok pesantren.
Itu ku ketahui, setelah menyaksikan betapa banyak bangunan kamar-kamar
santri berderet-deret, dan beberapa santri sedang beraktifitas. Setelah
masuk rumah akupun segera di suruh duduk di kursi, sementara orang tua
itu masuk ke dalam rumah, kemudian duduk berhadapan denganku.
“Kalau boleh tau anak ini dari mana?”
“Dari Tuban Jawa Timur pak.” jawabku singkat.
“Kok saya tak pernah melihat anak ini, tinggalnya di mana ya?”
“Saya bekerja di rumah makan itu pak, lagi membuat lukisan.”
“oo, begitu rupanya, oh ya kok kita belum
kenalan, nama saya Mashuri, orang sering memanggil Kyai Mashuri.”
lelaki itu mengulurkan tangannya, dan segera saya jabat, “Febrian.”
jawabku singkat, karena mataku ngantuk sekali.
“Anak ian ini dari pesantren ya?”
“Benar pak, saya dari pesantren Pacung.”
“wah pantes muridnya Kyai Lentik, pantas saya lihat beda.”
“oh Bapak juga kenal dengan Kyai saya?”
“ah siapa di Banten ini yang tak kenal dengan guru nak mas?”
Pembicaraan kami terhenti, dari pintu
muncul dua gadis membawa dua baki makanan dan minuman, kemudian di taruh
di atas meja, ketika dua gadis itu mau kembali ke dalam, Kyai Mashuri
segera mencegahnya dan menyuruh duduk di kursi, malah gadis yang satunya
di minta memanggil gadis yang satunya lagi, sehingga di depanku kini
ada tiga gadis cantik. Aku yang tak mengerti akan maksud Kyai Mashuri,
duduk cuek-cuek aja.
“Mari nak ian, sambil di cicipi makanannya…”
“Makasih pak, saya lagi libur.”
“ah udah saya duga memang murid Kyai Lentik orang gemblengan.” Kata Kyai Mashuri memuji.
“Ini lho nak ian anak -anak saya,
sebenarnya ada lima orang tapi yang dua lelaki, yang ini.” telunjuk Kyai
Mashuri menuding ke gadis cantik yang ada di sampingnya.
Gadis cantik berkulit seputih susu, ku
taksir umurnya sembilan belasan tahun, wajahnya imut-imut terlihat
lesung pipi ketika tersenyum, bibirnya mungil, hidungnya mancung kecil
matanya agak sipit seperti mata orang cina, alisnya kecil melengkung,
wah kalau di bedaki di kasih pemerah bibir mungkin akan seperti boneka.
“Namanya Juwita, dia baru kelas tiga SMA, dia anakku yang paling bungsu. Lalu yang sebelahnya,”
Kyai Mashuri menuding gadis di sebelah
Juwita, gadis ini bertulang besar, namun tubuhnya langsing wajahnya tipe
keibuan, dan manis sekali dengan kulit agak sawo matang, bibir tipis
dan ada tumbuh kumis halus di bawah hidungnya yang mungil matanya
memandang sayu, alisnya tebal melengkung indah.
“Dia bernama Anisa, dia kuliah tingkat
pertama, dan yang itu anak perempuan saya paling tua.” Kyai mashuri
menuding gadis yang tadi terakhir keluar.
Nampak gadis yang mungkin telah berusia
matang, wajahnya sederhana penuh kedewasaan mungkin umurnya lebih tua
dariku, postur tubuhnya tinggi semampai, dengan wajah bulat telor,
bibirnya merekah, merah walau tanpa lipstik, janggutnya lancip dengan
hidung yang tak terlalu mancung, tapi menambah pas akan kecantikannya.
“Dia namanya Aliya, nah nak Ian sudah tau
akan anak-anak saya, menurut orang Banten kuno, orang Jawa itu rajanya,
dan orang Banten itu ratunya, maksudnya alangkah baiknya kalau orang
Jawa jadi suaminya dan orang Banten jadi istrinya, makanya saya
memperkenalkan anak saya, maksud saya ingin menjodohkan anak saya dengan
nak Ian.”
Saya yang siat-siut ngantuk karena
semalam di kerjai jin wanita, kontan kaget salah tingkah, serba salah,
tak karuan, pokoknya tak mengerti, harus apa dan bagaimana. Bahkan
seluruh tubuh yang tadinya gatel, sekarang semua gatel, rambutku rasanya
awut-awutan, pokoknya rasanya semua tak pas, sebenarnya kalau di pikir
aku ini termasuk orang yang beruntung, bahkan mungkin terlalu
beruntungnya jadinya malah kelihatannya sial, bayangkan saja kalau di
depan di jejer bidadari-bidadari, kemudian di tawarkan lagi untuk
memilih, bisa melihat bebas aja sambil ngiler clegak-cleguk aja
sebenarnya sudah untung apalagi malah di suruh milih salah satu, ijenku
belum sampai situ.
“Nak ian bisa memilih salah satu dari
ketiga putri saya ini, tak usah buru-buru, di pertimbangkan masak-masak,
di istiharohi saya ini kalau melepaskan anak menjadi istri murid dari
Kyai Lentik, sudah yakin dan tak ada keraguan, lagian menurut saya ilmu
yang nak rian terima akan sangat bermanfaat di pesantren saya ini.” kata
Kyai Mashuri panjang lebar, sebenarnya kata sederhana andai aku bukan
pemainnya, tapi karena kata itu di tujukan padaku, maka seperti serangan
petinju kepada lawan mainnya.
“ah ,..kuk ..ut..ut” ah kenapa mulut jadi
kayak habis di suntik obat mati rasa kayak gini. Kelu, tenggorokan
kering, keringet membanjir lagi, ah kenapa juga perut jadi mules.
Melihat kegugupanku, Kyai Mashuri segera
bicara, “Tak usah memberi jawaban sekarang, jadi di pertimbangkan
masak-masak dulu.” wah seperti terkena udara ruangan yang berAC dan baru
dari terik yang menyengat, keringatku pun perlahan mulai kering, kami
pun membicarakan hal yang lain.
Setelah kurasa cukup, aku memutuskan
untuk mohon diri dengan alasan takut di cari-cari oleh pak Kosasih,
setelah keluar dari rumah Kyai Mashuri terasa plong.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda