Dalam dunia ini antara kebaikan dan
keburukan itu saling ingin menguasai, kebaikan punya tentara, keburukan
juga punya tentara, dan nafsu itu telah di tanamkan oleh Alloh di hati
manusia, jadi sejak kecil manusia itu lebih mudah di seret oleh
keinginan nafsunya, dan di tawan sekian lama, lalu kecendrungan nafsu
senang kenikmatan, nama besar, pujian, itu telah menguasai, dan menyatu
sehingga antara kebenaran dan kejahatan itu sudah sulit di bedakan,
cenderung apa yang tidak menyenangkan nafsu maka di anggap suatu
keburukan, sekalipun itu dari Alloh, sekian waktu hal itu menjadi
keseharian dan membatu mengeraskan hati, maka ketika kebenaran datang,
hati lebih suka dan lebih condong pada kejahiliahan, karena kebenaran
itu sama sekali tak menguntungkan nafsunya.
Sah-sah saja manusia itu tak mau keluar
dari nafsunya, dengan segala nikmat penjajahannya, dan boleh-boleh saja
manusia itu mempertahankan kesalahan jalannya, tapi maut akhirnya juga
datang, malaikat maut itu tak mau di sogok, di bayar sekalipun uang
dunia di kumpulkan selama ini di berikan, malaikat maut tetap akan
mencabut nyawanya, dan malaikat maut ternyata anti sogok, dan jika
setelah mati lalu menerima siksa, itu bukan salah siapa-siapa, apalagi
salah Alloh, Alloh itu tak mendzolimi hambanya, jika di taqdir buruk,
Alloh telah menunjukkan cara benar berdo’a, agar ikatan taqdir buruk itu
di urai ikatannya, dan di rubah menjadi baik, tapi itulah manusia, jika
sudah meninggal dan di tunjukkan pada kenyataan akan siksa lalu baru
menyesal, masa yang lewat itu tak akan bisa di beli, jika berbuat baik
dan beramal baik menunggu nanti-nanti, maka kerugian itu pasti datang,
maut itu pasti datang.
Sekian lama di Pekalongan, hidup dan
menjadi warganya, aku tak pernah menunjukkan bahwa aku ini orang apa,
aliran apa, sehingga banyak orang yang meminta do’a atas penyakitnya,
lalu sembuh, malah aku di anggap dukun, padahal dukun itu sangat di
laknat Nabi, yang paling getol memusuhiku adalah kyai Askan, aku di
gembar gemborkan dukun, tukang bakar menyan, padahal ndak pernah bakar
menyan, tukang jual air yang di tiup, dan minta bayaran, padahal
seringnya kalau ada yang minta air do’a malah aku yang harus
mengeluarkan air mineral dan cuma dapat ucapan terima kasih, tapi aku
yakin, seyakin-yakinnya kalau Alloh itu tau hati siapa saja yang ikhlas,
dan hati siapa saja yang ngaco.
Dan selama sepuluh tahun pun aku tak
pernah punya murid di Pekalongan, muridku pertama di Pekalongan bernama
Nanang, aku juga tak kenal dengan Nanang, walau dia tetanggaku, karena
memang di samping aku orangnya tak pernah nongkrong dengan tetangga,
juga Nanang itu bukan asli tetanggaku tapi orang yang nikah dengan
tetanggaku, perkenalanku dengan Nanang, hanya kebetulan dalam tahlilan
bareng. Seperti biasa bila di undang tahlilan bareng, aku akan memilih
berangkat belakangan, karena biasanya kalau berangkat depan dan duduk di
dalam ruangan, maka aku akan di minta memimpin tahlil, dan itu pasti
akan membuat kyai Askan marah, dan menganggapku merebut jatahnya, ya
terpaksa aku memilih berangkat belakangan, dan biasanya akan bertempat
di luar, la aku sendiri juga sebenarnya tak ingin di minta memimpin
tahlil, bukan apa-apa, soalnya aku tak hapal tahlil. hahaha…Bodoh ya
diriku, memang aku bukan orang pinter, sampai tahlil saja ndak hapal,
biasanya kalau di minta memimpin aku baca yang ingat ingat saja, dan
kalau tidak di suruh memimpin ya aku malah senang.
“Mas ini orang toreqoh ya..?” tanya Nanang yang duduk di sampingku.
“Iya…kenapa?” tanyaku.
“Saya juga ingin belajar thoreqoh, boleh
tidak mas saya menjadi muridnya?” tanyanya lagi, karena tahlilan belum
di mulai, menunggu tamu undangan lain datang.
“hehehe, thoreqoh itu berat
pengamalannya, lebih baik jangan, apalagi jika masih mengutamakan
dunia.” kataku. “Dan menjadi muridku itu berat, makanya aku sendiri tak
mengangkat seseorang menjadi muridku, karena aku tak yakin kalau orang
sini ada yang mampu, lebih baik ku amalkan sendiri.”
“Walau berat, saya siap mas mengamalkan, ” jawabnya.
“Pikirkan dulu masak-masak, renungkan,
dan kalau perlu meminta ijin istri, sebab bukan hanya menjadi muridku
itu cuma menjalankan amalan dariku, tapi juga harus mau ku perintah
apapun yang tidak melanggar syari’at agama.” jelasku.
“Baik nanti saya akan minta ijin istriku.”
“Ya baiknya begitu.” kataku dan tahlil pun telah di mulai.
Besok malamnya Nanang sudah datang ke rumah.
“Saya siap mas menjadi muridnya, ” kata Nanang setelah duduk di depanku.
“Aku di Pekalongan sini sudah sepuluh
tahun, tapi belum pernah sekalipun mengangkat murid, dulu di pesantren
muridku ratusan, sekarang di internet juga ratusan, tapi di Pekalongan
sini, kau baru yang pertama, kenapa selama sepuluh tahun aku tidak
mengangkat murid di Pekalongan, bahkan orang jarang tau aku ini manusia
sebenarnya bagaimana, karena memang aku ini tak yakin orang Pekalongan
itu mampu menjadi muridku, bukan aku merendahkan orang Pekalongan, tapi
sebab selama aku di pekalongan ini yang ku temui hanya orang yang
kejar-kejaran sama duniawi, jadi aku belum pernah melihat orang yang
benar-benar tak hatinya di penuhi dengan bayangan dunia, menjadi muridku
itu berat, bukan berarti aku melarang orang tak mengejar dunia, kaya
itu boleh, punya pesawat juga boleh, la haji saja butuh biaya, tapi
jangan kekayaan itu menutupi diri dengan Alloh, benar kamu siap menjadi
muridku, lahir bathin?”
“Siap mas, saya siap lahir batin.” jawab Nanang mantap.
“Masih ada waktu untuk mundur, jika
memang tak siap, aku akan memberi tenggang masa tiga bulan, jika tak
kuat, maka silahkan mengundurkan diri, sebab menjadi murid thoreqoh itu
harus siap di perintah guru, tawadhu’ pada guru, bukan soal siapa
gurunya, bukan karena aku mulia atau ingin di mulyakan, kalau guru
thoreqoh kok pengen di mulyakan manusia, maka do’anya tak akan di ijabah
oleh Alloh, dan tinggalkan guru palsu seperti itu. Nah, murid itu punya
keharusan tawadhu’ dan mengikuti taat kepada guru adalah demi murid itu
sendiri, karena ilmu yang di titipkan Alloh kepada guru, akan mengalir
kepada murid, jika hati murid terbuka, dan guru senang, seperti aliran
air yang terbuka, dan murid menerima alirannya, karena menyenangkan
guru, saya dulu juga begitu, dan hanya butuh waktu sebulan untuk
menimba, jika murid tak taat kepada guru, maka di butuhkan waktu seratus
tahun juga belum tentu ilmu guru akan mengalir pada murid, karena
pintu-pintu ilmu tak di buka oleh Alloh. Sebab tidak adanya keta’atan
dan ketawadhu’an murid kepada guru, jadi yang memberikan ilmu itu bukan
guru, tapi Alloh, tapi lewat seorang guru, ilmu thoreqoh itu berhubungan
dengan hati dan seluk beluknya, seorang sekalipun tak menjalankan
amalan puasa, dzikir, tapi amat ta’at pada guru, maka ilmu juga di
tuangkan oleh Alloh, kepada murid itu, jadi keta’atan murid pada guru
itu mutlak di butuhkan. Tau Imam Ghozali, Imam Ghozali itu mempunyai
adik, yang tak mau sholat berjama’ah menjadi makmumnya, ya Imam Ghozali
malu, karena dia seorang imam besar, kok adiknya sendiri tak mau menjadi
makmumnya, lalu Imam Ghozali meminta ibunya supaya membujuk adiknya
agar mau menjadi makmumnya, maka ibunya pun membujuk adiknya, dan
adiknya pun mau menjadi makmumnya, tapi di tengah sholat adiknya malah
mufaroqoh memisahkan diri dari sholat berjama’ah, ya jelas makin membuat
Imam Ghozali makin malu, lalu menanyakan kepada adiknya kenapa kok
mufaroqoh, adiknya menjawab karena di hati Imam Ghozali di penuhi nanah
dan darah, tak ada sama sekali cahaya ilahiyah, Imam Ghozali kaget, kok
adiknya bisa tau soal hati, dia bertanya kepada adiknya, ilmu seperti
itu belajar kepada kyai siapa? Di jawab adiknya ilmu itu belajar dari
kyai kampung, maka Imam Ghozali pun ingin berguru kepada kyai kampung
itu, sampai di tempat kyai kampung itu dia mengutarakan maksudnya
berguru, tapi sama kyai kampung itu di tegaskan kalau Imam Ghozali tak
akan kuat berguru kepadanya, tapi Imam Ghozali ngotot dan mengatakan
kuat apapun syaratnya. Kyai kampung mengatakan syaratnya tak banyak,
hanya satu taat dan tunduk kepada perintah guru, sami’na wa ato’na,
mendengar dan menta’ati, Imam Ghozali menyatakan sanggup dan siap
menerima perintah. Lalu kyai kampung itu memerintah pada Imam Ghozali
untuk menyapu jalan, Imam Ghozali pun siap, dan mengambil sapu, kata
imam kampung, siapa yang menyuruhmu menyapu jalan dengan sapu, aku
meyuruhmu menyapu jalan dengan jubah kebesaranmu, Imam Ghozali karena
keinginan kuatnya menjadi murid, dia melepas jubah kebesarannya lalu
menyapu jalan dengan jubahnya, menghilangkan kehormatannya dan ego nya
sebagai seorang imam, lalu menyapu jalanan dan membersihkannya, dengan
jubahnya, baru berjalan beberapa meter, sudah cukup, kata kyai kampung,
kamu sudah cukup menjadi muridku, dan menyerap semua ilmuku, sekarang
kamu pulang, maka Imam Ghozali pulang dan kemudian menemukan
rahasia-rahasia hati dan mengarang kitab ihya’.Itu kisah Imam Ghozali,
tak beda dengan kisah Nabi Khaidir dan Nabi Musa.Jadi keta’atan murid
kepada guru itu mutlak dan syarat utama di butuhkan seorang murid kepada
guru, sekalipun dalam lahirnya kedudukan murid anak presiden atau
kaisar dan seorang gurunya seorang pengemis yang rumah saja tak punya,
maka jika ilmu ingin di dapat harus ta’at pada guru, jika tidak taat
maka jangan harap seribu tahun akan mendapat ilmu, sebab Alloh menutup
sumber-sumber ilmu itu, la ilma lana illa ma alamtana, jadi semua ilmu
ilahiyah itu dari Alloh, seorang guru di ta’ati itu bukan jasad
lahirnya, tapi karena seorang guru menjadi guru thoreqoh itu di angkat
oleh Alloh, di pilih dan karena seorang guru itu seperti orang yang
pernah melewati jalan, dan seorang murid akan melewati jalan yang sama,
dan guru yang pernah melewati jalan itu lalu memberi petunjuk, agar
murid tak salah jalan. nah aku sudah menjelaskan panjang lebar, jika
siap menjadi murid, apa kamu siap ta’at?” tanyaku.
“ya saya ta’at.” jawab Nanang.
Lalu aku memberikan Nanang amalan dan menjelaskan cara pengamalannya.
Beberapa hari Nanang menjalankan puasa, dia datang ke rumahku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Anu mas saya ingin cerita, pertama
menjalankan puasa, saya pas jalan sama anak saya pakai motor, lalu di
jalan pas berhenti untuk beli sesuatu, ada seseorang berjenggot panjang,
mendekatiku dan mengatakan, “wahai kekasih kecil, taatlah pada
gurumu.”, dia menepuk-nepuk pundakku, aku diam saja dan heran, orangnya
kurus dan jenggotnya putih sedada panjangnya, lalu pas saya di jalan ada
seorang gembel yang sepertinya gila, dia mendekatiku, dan mengatakan,
ya habibi, kau seperti bambu kecil yang masih kecil, taatlah pada
gurumu, kau akan menjadi bambu besar yang banyak manfaatnya.” cerita
Nanang. “Itu siapa mas?”
“Itu para wali Alloh yang menyamar, sudah tak usah di hiraukan, lanjutkan saja amaliahmu dengan ikhlas.” kataku.
___________________________
Beberapa hari Nanang datang lagi,”Maaf
mas, saya kan punya saudara, saudaraku itu orang yang mengobati orang
dengan bantuan jin, biasanya dia mengobati orang harus makan menyan atau
kembang, kemaren kan saya main ke rumahnya, kok dia kepanasan kalau aku
mendekat, malah sekarang saya tidak boleh ke rumahnya karena dia
kepanasan, itu kenapa?”
“Ya jelas kepanasan, antara ilmu dari syaitan sama ilmu dari Alloh kan bersebrangan.”
“Jadi itu tak apa-apa?”
“Tak apa-apa, lanjutkan saja menjalankan
amaliyah, oh ya, besok aku di mintai bantuan mengecat masjid, kamu ikut,
aku mengecatnya setelah sholat isya, sampai jam sebelum sholat subuh.”
“Iya mas saya siap.”
Malamnya aku dan Nanang selepas isya’
mengecat masjid dengan kompresor, sampai waktu mendekati subuh,
berhari-hari ku jalani, sambil melatih keikhlasannya Nanang. Sementara
orang-orang melihat kami seakan kami orang gajian.
“Nang, kamu harus ikhlas, lepas, los,
walau ndak ada yang bayar, walau tak ada yang bantu, malah lebih baik,
sebab kita borong kita sendiri pahalanya, selama masjid ini berdiri, dan
di pakai sholat, kita akan selalu mendapat bagian tersendiri.” jelasku.
“Iya mas… saya ikut saja apa kata mas.”
jawab Nanang. “Tapi saya kalau jam 12 malam tidur sebentar ya mas,
soalnya besok kerja di sekolah jadi ngantuk.”
“ooo kamu itu kerjanya di sekolah to?” tanyaku sambil naik turun seteger.
“Iya mas.”
“Kerja jadi guru?”
“Bukan mas, saya cuma TU.”
“TU, wah muridku hanya seorang TU, sudah nanti kamu jadi PENASEHAT SEKOLAH saja.” kataku.
“hahaha… ya ndak level to mas, wong saya sekolah saja cuma sampai tsanawiyah, tak mungkin itu,”
“Lhoh kamu ndak percaya?”
“heheheh…” Nanang cuma ketawa.
“Begini saja, kamu pegang ucapanku,
setengah tahun lagi kamu jadi penasehat sekolah, kalau tak jadi
penasehat sekolah, sudah kamu anggap saja aku ini orang yang cuma asbun
alias asal bunyi, tak bisa di pegang ucapannya.”
“Tapi rasanya tak mungkin, “
“La kalau Alloh menghendaki terjadi memangnya siapa yang bisa menolak?” kataku meyakinkan.
“Oh ya mungkin di sekolahmu, sekolah mana itu?”
“Sekolah SMP Islam,”
“Ya di sekolah SMP Islam itu akan banyak kerasukan.”
“Apa benar?”
“Iya benar, nah ini ku kasih tau cara membereskan kerasukan itu.”
“Bagaimana mas caranya?”
“Ini ikuti kata-kataku…..( rahasian )…., sudah paham?”
Aku mengulang beberapa kali kata, agar Nanang hafal apa yang ku ajarkan.
“Lalu ngambilnya bagaimana?”
“Ya kayak ngambil barang saja, di ambil lalu di buang, nanti langsung sadar.” jelasku.
“Cuma begitu?, Kok kalau di tv pakai jurus segala?” tanya Nanang.
“Ah itu akting”
Besoknya Nanang ke rumahku lagi.
“Benar kata mas, di sekolah ada kerasukan
masal, dan semua orang berusaha mengobati dan menyembuhkan, tapi tak
ada yang bisa, kok aku lakukan yang mas ajarkan langsung mudah saja
bisa, ternyata gampang sekali, dan hanya aku yang bisa mengeluarkan
jinnya, wah jadi deg-degan rasanya tak percaya.” cerita Nanang.
“ya sekalipun kamu tak percaya kan telah terjadi.” kataku.
“Aku sampai berpikiran, wah saya di tes ilmuku sama mas.” kata Nanang.
“Sebenarnya secara teori, ngapa juga aku ngetes kamu lewat jin segala.”
“Tapi mas, guru yang lain, malah ada yang
berpendapat, kalau aku memakai ilmu jin, soalnya tak ada yang sanggup
mengeluarkan kecuali aku sendiri, jadi aku di kira memakai jin,
bagaimana ini mas?”
“Ya biarkan saja, yang penting kamu kan tidak melakukan, sudah lakukan saja penolongan.”
“Iya mas, saya siap.”
“Saya juga heran, padahal di tempat saya
kan banyak guru yang mempunyai kelebihan, kayak guru silat juga ada,
muridnya habib lutfi juga ada tapi kok ndak bisa mengeluarkan jin yang
merasuk ya?”
“Jangan sombong, baru bisa seperti itu
sudah sombong, manusia itu tak ada kekuatan sama sekali, kecuali Alloh
mengijinkan dan menganugerahi punya kekuatan.”
“Maaf mas, saya hanya merasa aneh saja.”
“Sudah lakukan saja petunjuk yang ku berikan, dan kerasukan itu akan masih berlanjut.”
“Siap mas…”
Begitulah Nanang kemudian perlahan tapi
pasti kemudian menjadi kepercayaan sekolah, dia mulai tidak di perintah
apa-apa, hanya menjaga sekolah kalau ada apa-apa.
Setengah tahun sudah berlalu, dan Nanang menghadap kepadaku.
“Saya sudah di angkat menjadi penasehat sekolah mas, terimakasih atas do’anya.”
“hehehe… bagaimana sekarang percaya?”
“Ya saya percaya mas.”
“Semua guru ingin mengikuti pengajian di majlis, boleh tidak.”
“Nanti saja, kalau aku bilang boleh, baru boleh kesini.”
“Semua kalau ingin sowan kesini boleh?”
“Jangan, nanti saja, aku masih menjalankan amalan, tak mau repot di sibukkan tamu.”
“Baik mas..”
Jika seseorang itu telah di anugerahi
oleh Alloh, suatu anugerah maka orang lain tak akan bisa memiliki
anugerah itu, dan Alloh amat tau siapa-siapa yang pantas menerima
anugerah, ingat apapun yang di luar kebiasaan, atau khorikul adat, yang
berupa kelebihan dan kebisaan tertentu, bisa saja itu bukan dari Alloh.
Yang dari Alloh itu bisa saja Mu’jizat
yang di berikan kepada Nabi, dan Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW,
dan ada yang di berikan kepada wali, namanya karomah, lalu di berikan
kepada orang yang bertaqwa, di namakan ma’unah, atau pertolongan Alloh,
ada juga istidroj atau pengelulu, kelebihan yang di berikan kepada orang
yang suka maksiat, masih ada lagi, ada wali Alloh, ada wali syaitan,
wali Alloh adalah orang yang punya karomah, dan orangnya juga tekun
menjalankan laku ibadah, dan wali syaiton adalah orang yang mengajak
pada kesesatan, tapi mempunyai kelebihan yang di luar nalar.
Ada juga ilmu dan kelebihan seseorang karena menjalankan ilmu hikmah, kesaktian, atau ilmu karuhun, atau kejawen.
Setiap amalan dan ilmu itu pasti ada efek baik, tapi juga ada efek buruk, termasuk kejawen. dan ilmu yang ada unsur khodamnya.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda