Sebenarnya untuk menikah, pemuda
seumuranku dua puluh tiga tahun, menurutku juga belum matang, masih
banyak yang harus di gapai, sebenarnya alasan itu kubuat-buat sendiri,
kalau tak mau membohongi jawaban yang pas, jawabannya adalah aku takut
memberi nafkah, akan ku kasih makan apa nanti istriku? Kerjaan tetap tak
ada, kalau membanggakan sebagai pelukis ah tak cukuplah, rokok aja aku
kadang harus ngelinting dari puntung. Apa jadinya nanti istriku?
Pikiran seperti itu tentu timbul dan ada
sebelum aku menjalani laku nggembel, jadi pengemis dan orang gila untuk
melihat dengan ainul haq, bahwa segala rizqi segala mahluq yang bergerak
merayap di atas bumi ini adalah di dalam kekuasaan Tuhan. Kalau aku
sudah mengamalkan ilmu tawakal, tentu aku di tawari nikah he-eh aja.
Aku berjalan cepat karena sudah
ngantuknya mataku, jam di tanganku sudah menunjukkan jam sepuluh siang,
aku berhenti ketika mau menyeberang jalan raya, menunggu mobil yang
lewat sepi, tiba-tiba suara kecil merdu terdengar di belakangku.
“mas ian.,tunggu ..!” suara Juita berlari sambil membawa kresek hijau, menyusulku.
“ini mas, nanti untuk berbuka puasa.” “makasih banyak” seraya mengulurkan tangan untuk menerima.
“mas ian.,tunggu ..!” suara Juita berlari sambil membawa kresek hijau, menyusulku.
“ini mas, nanti untuk berbuka puasa.” “makasih banyak” seraya mengulurkan tangan untuk menerima.
Tapi gadis itu menariknya menjauhi
tanganku, “biar aku aja yang bawakan” kata Juwita, seraya berlari
mendahuluiku, menyeberang, aku pun mengikutinya dari belakang, kulihat
Juwita dari belakang, tak terasa aku menelan ludah, ah dasar setan,
sukanya menggoda manusia, tapi tak usah di goda setanpun, ini nyata
benar-benar gadis yang sempurna, lincah, periang, ah glek uhuk, wah
terlalu banyak ludah ku telan, jadi agak tersedak.
“mas ian, aku ingin melihat hasil
karyanya, boleh kan?” aku ngangguk aja, gimana mau nolak, senyum yang
merekah, gigi yang putih, lesung pipi, mata yang berpijaran, aduh
runtuhlah pertahanan, dadaku benar-benar di aduk seperti bergolaknya
lahar menggelegak, tapi tak punya jalan keluar dari tebing hatiku karena
takut dengan jurang dan tebing bayangan buatanku sendiri, Juwita
berjalan di sampingku.
Mungkin lima tahun yang lalu, aku ketemu
Juwita, sebelum aku jadi murid Kyai, ah pasti udah ku pacari, tapi kini
keadaannya lain, aku telah jadi murid Kyai, mungkin aku lebih senang
kalau orang-orang seperti Juwita tak ada di dekatku, karena teramat
susah melawan nafsu, teramat berat berperang dengan nafsu sendiri.
“mas ian maafkan Abah ya?, memang Abah
selalu begitu, kalau punya mau ceplas ceplos aja tanpa di pikir, maen
jodoh-jodoh aja, emangnya ini jaman apa?” kata gadis itu mbesengut.
“ah, tak papa kok.” mungkin Juwita sudah
punya pacar di sekolahnya sehingga tak mau di jodohkan, aku maklum akan
gadis sekarang, apalagi gadis secantik Juwita, aku cemburu? Ya enggak
lah, “tapi kalau memang benar mau milih” suara gadis itu terdengar manja
“mas ian pilih Juwita ya?!” pletar..! Seperti petasan di nyalakan di
telingaku, kaget nginggg, sebebas lepas benar gadis ini. Hampir aja
jantungku copot, untung setelah tarik napas kurasakan masih ada.
Untung Juwita tak lama, ada di tempat
kerjaku dan berkali-kali dia berdecak mengagumi lukisanku, aku senyum
nyengir aja, sampai saat mau pulang, gadis itu tiba-tiba memencet hidung
mancungku, “kamu memang hebaaat” katanya gemes, perbuatannya yang
mendadak itu sungguh mengagetkanku, tapi aku tak bisa menghindar. Ah
sudahlah, kulihat ia berlari -lari kecil meninggalkanku, aku segera
pergi tidur mengingat malam nanti aku harus kerja. Malamnya aku hanya
kuat kerja sampai jam setengah dua dini hari, karena siang kurang
istirahat, aku pun beranjak tidur, lampu ku matikan, tapi lampu
penerangan di luar masih bisa menerobos masuk lewat lubang angin. Belum
sampai lima menit aku tertidur, kurasakan tubuhku lengket di keramik tak
bisa di gerak kan dan dari pintu musholla nampak gadis-gadis berjalan,
sekarang ini mereka ada lima orang. Aku mencoba menggerakkan tubuh, tapi
sia-sia. Ah aku benar-benar tiada daya, tak mampu melawan apa-apa,
mereka memperkosaku habis-habisan, mereka ini apa? Aku tak mengerti,
jika aku menangis, kemudian mengatakan aku di perkosa , pasti jadi bahan
tertawaan. Maka besoknya aku pun memutuskan pulang ke pesantren, mau
meminta solusi kepada Kyai. Setelah pamit pada pak Kosasih aku pun
pulang.
Sampai di pesantren Kyai hanya tersenyum melihat aku yang loyo, “gak papa cuma jin-jin perempuan yang nakal” kata Kyai,
“tapi Kyai..”
“udah nanti ajak aja si Jauhari, sama si Majid, untuk menemani.” kata Kyai menghiburku.
Besoknya aku berangkat lagi ke tempat pak
Kosasih. Hari itu aku tak langsung kerja, jadi malamnya aku di suruh
istirahat dulu, setelah ngobrol dengan pak Kosasih sampai jam dua belas
malam, kami pun beranjak tidur berdampingan. Sekarang akan kulihat apa
reaksi perempuan itu. Tentu kejadian yang menimpaku tak ku ceritakan
pada ketiga temanku. Rupanya kami bertiga mengalami hal yang
berbeda-beda. Majid kakinya di angkat dan di putar-putar, sementara
Jauhari dijatuhi anak kecil kira-kira umur sembilan tahunan di duduki
dadanya dan di pukul sampai wajahnya pada lebam, wajahnya yang hitam
makin tambah hitam, sementara aku masih tetap di perkosa. Sebenarnya
kedua teman ku ini sudah takut, dan ngajak aku kembali kepondok, tapi
tanggung lukisanku tinggal sedikit, maka ku bujuk mereka untuk
menemaniku semalam lagi, karena pagi nya saling bercerita jadi kami tahu
kisah masing-masing “entar malem aku yang tidur di tempat kamu aja mas,
biar aku ngerasain bagaimana rasanya di perkosa, masak aku di bikin
lebam kayak gini.” Jauhari protes, dan ku iyakan aja. Maka setelah
kerja, kami pun berangkat tidur, dengan perasaan tegang. Sesuai
permintaan Jauhari aku pun menempati tempatnya Jauhari, dan Jauhari
menempati tempatku tidur, jam setengah empat kami semua bangun, kulihat
muka Jauhari makin jontor.
Wajahnya yang jelek makin jelek aja, dan
aku lemas sekali karena melayani lima wanita, pinggangku benar-benar
sakit, dengkul kayak tak ada olinya lagi, sementara Majid ngos-ngosan
karena semalaman kakinya di angkat-angkat dan di puter-puter. Tapi aku
mengajak mereka berdua untuk neruskan tidur aja karena waktu subuh masih
lama, saat itulah aku melihat dari pintu musholla masuk lima belas
wanita cantik, beraneka warna bajunya juga anak kecil bersisik ular, di
giring seorang kakek bongkok membawa cambuk, nampak kelimabelas wanita
dan anak kecil itu takut, tunduk. Ctar..! Suara cambuk di lecutkan, para
perempuan itu menjerit.
“ayo minta maaf, kalian telah mengganggu
para santri Kyai Lentik, cepat minta maaf.!” bentak kakek tua itu,
dengan takut-takut para perempuan itu minta maaf, kemudian mereka di
giring kakek itu, keluar musholla, aku segera terbangun. Besoknya
mencari tempat mandi. Di sumur dekat musholla, lalu ikut sholat shubuh
di musholla, dan ketika Kyai Mashuri mengajakku main kerumahnya aku
menolak dengan halus. Karena pekerjaan telah selesai maka aku dan
teman-temanku pun pamit pulang kepada pak Kosasih.
Aku di pesan kalau membutuhkan pekerjaan
harap sudi datang, karena masih banyak yang harus ku lukis. Saat
berpamitan inilah pak Kosasih bercerita tentang riwayat masa lalu-nya
rumah makan ini. Menurut kisahnya dulu sebelum menjadi rumah makan
tempat ini adalah jurang yang lumayan dalam, dan sering kali terjadi
kecelakaan, kadang rombongan pengantin satu mobil masuk jurang, semuanya
meninggal dalam kecelakaan, ada satu keluarga dalam mobil semua
meninggal dalam kecelakaan masuk jurang. Ada juga truk rombongan
kampanye masuk jurang, walau tak semua mati, tapi akhirnya dari orang
yang tak mati dalam kecelakaan inilah, di ketahui, bahwa setiap mobil
yang celaka sebetul nya jalannya tetap biasa saja, lurus, tapi entah
kenapa tiba-tiba mobil ada di awang-awang dan meluncur ke jurang.
Melihat banyaknya kecelakaan itu, pak
Kosasih pun membeli jurang dan tanah di sekitarnya, lalu di bangunlah
Rumah makan yang besar, dengan harapan termanfaatkannya tanah yang
kosong dan yang lebih penting tak ada lagi kecelakaan. Tapi harapan pak
Kosasih, hanya harapan saja, buktinya sampai sekarang kecelakaan di
daerah itu tetap saja terjadi. Entah berapa kali tembok pagar Rumah
makan itu di ganti, karena ambrol di sruduk mobil yang mengalami
kecelakaan. Juga para pelayan rumah makan itu tak ada yang kuat bertahan
lebih dari tiga bulan, ada saja masalahnya, karena takut, karena
kesurupan. Tapi rumah makan itu tetap berjalan dan ramai pengunjungnya.
Setelah pulang ke pesantren Pacung, aku
menyelesaikan puasa empatpuluh satu hari, dan setelah selesai, aku minta
ijin pada Kyai untuk pulang sebentar ke Tuban menengok kampung halaman,
Kyai pun mengijiniku, tanpa menunggu lama aku berangkat pulang, walau
telah hampir setahun aku mesantren di tempat Kyai, tapi aku masih tak
tau aku ini mendapatkan apa di pesantren. Sebab Kyai tak pernah mengajar
ku apa-apa. Puasa juga baru dua puluh satu hari, dan empat puluh satu
hari.
Sampai di desaku sendang rumahku adalah
lingkungan pesantren, ada sekitar tuju pesantren di sekitar rumahku,
kalau di hitung dalam satu desaku ada sepuluh pesantren. Semua
pengasuhnya masih ada hubungan saudara denganku, ada yang pamanku, ada
yang saudara sepupu ayahku. Maka desaku terkenal dengan desa santri. Dan
kehidupan masyarakatnya kebanyakan bertani. Ketika teman-temanku tau,
aku datang ke rumah semua pada datang berkunjung, ada yang dari teman
pesantren dekat rumah, tapi ada juga para gank kampung, maklum aku dulu
anak yang paling nakal di desaku, bagiku sebenarnya kenakalan remaja,
tapi bagi orang lain kenakalanku melampoi batas.
Aku ingat bersama teman-temanku mencuri
semangka berkarung-karung, dan penjaganya ku ikat dengan tambang. Ku
ingat menguras empang ikan orang yang ada di depan rumah orang sementara
yang punya rumah ku pantek semua pintunya hingga tak bisa keluar. Dulu
orang mending ngasih upeti kepadaku, daripada di habiskan anak buahku.
Siapa sih cewek cantik di desaku dan Desa-desa tetanggaku yang tak
pernah ku pacari.?, yah itulah masa lalu, tapi apa yang telah terjadi di
masa lalu memang tak bisa hilang dan akan tetap bagian dari lembaran
hidup kita.
Habis sholat magrib teman-temanku sudah pada pulang, Ibuku memanggil aku pun segera memenuhi panggilannya,
“ada apa bu?” ketika sampai di dekat ibuku yang memasukkan, buah-buahan ke tas plastik,
“ayo antarkan ibu ke rumah paman Mursid”
“kenapa dengan paman Mursid Bu?”
“paman Mursid sakit, sudah tiga bulan
makannya lewat jarum infus, dokter udah tak sanggup, makanya dua hari
yang lalu di bawa pulang’ aku cuma manggut-manggut dan mengerutkan
kening. Aku segera menuju Motor Jupiter, sebelumnya mengambil kunci
kontak yang tergantung di balik pintu kamarku.
Setelah menyalakan motor untuk memanaskan mesinnya aku kembali ke tempat ibuku duduk. “sakitnya sebenarnya sakit apa to bu?”
“awalnya ya tak tau lah nang.” panggilan
nang adalah panggilan orang Tuban kepada anak lelakinya, kalau masih
kecil di panggil cong, kalau dah gede di panggil nang.
“paman mursidmu itu di temukan pingsan di
pematang sawah dekat dam ratan. Sejak itu di temukan ya sampai sekarang
ini tak pernah sadar , kasihan pamanmu,juga istrinya bibi asiah, dia
sudah kemana aja untuk mencarikan obat suaminya tapi tak mendapatkan
hasil apa-apa.”
“apa dulu waktu di temukan tak ada tanda gigitan ular, bekne di gigit ular.” tanyaku heran.
“apa dulu waktu di temukan tak ada tanda gigitan ular, bekne di gigit ular.” tanyaku heran.
“tak ada , tak ada tanda sakit apa-apa itulah yang aneh”
“trus menurut pemeriksaan dokter sakit apa bu?”
“ah banyak kalau nurut dokter, ada
komplikasi, ah pokoknya banyak gitu sisi gak mudeng aku, mungkin juga
karangan dokter, nyatanya pamanmu tak sembuh.”
“kalau dukun gimana?”
“udah banyak dukun di datangkan, saratnya aneh-aneh, tapi semua percuma tak ada faedahnya, malah membuang buang uang saja.”
“udah banyak dukun di datangkan, saratnya aneh-aneh, tapi semua percuma tak ada faedahnya, malah membuang buang uang saja.”
“trus paman Muhsin udah nyoba? Kyai Kyai udah di mintai sareat?”
“udah semua, paman Muhsin juga tak Sanggup,”
“wah kalau gitu ya berat” kataku mengakhiri pertanyaan.
Ku bonceng Ibuku menuju rumah paman
Mursid, pelan-pelan aku jalankan motor, melewati jalanan paping blok, di
dunia ini yang paling ku sayangi dan ku hormati adalah ibuku, bukan
hanya karena hadis Nabi mengatakan derajat ibu lebih mulia daripada
Ayah. Tapi karena ibu adalah orang yang sayang dan paling pengertian
kepadaku, dulu saat aku masih nakal-nakalnya ibu ku tak pernah
menyalahkanku, tak pernah melarangku, malah kalau aku mau pergi nonton
konser musik, ibukulah yang memasangkan anting di telingaku, yang
menyisirkan rambut panjangku, soal cewek ibu selalu memesanku, punya
cewek banyak tak masalah, karena memang aku dulu punya pacar tak pernah
kurang dari sepuluh, tapi kata ibuku, jangan mencemarkan nama orang tua,
jangan sampai kau menghamili wanita, yang bukan istrimu, ibumu juga
wanita.
Ah ibu memang bijaksana.
Sampailah motorku di depan rumah paman Mursid.
Setelah mengucap salam, kami segera
masuk, nampak di dalam juga banyak orang, dengan para lelaki aku segera
bersalaman, ternyata juga banyak tukang suwuk(mungkin di tempat lain di
sebut dukun, tapi di daerahku di sebut tukang suwuk, red.) ada kang Nur.
Aku sebenarnya lebih mengenal orang ini adalah pelatih pencak silat,
aku ingat waktu kecil orang ini suka menunjukkan ketrampilannya,
berjalan di atas pedang, bergulingan di atas duri salak, makan pecahan
kaca dan melengkungkan besi menggunakan lehernya, di saat keramaian
tujubelasan Agustus.
Lalu yang ku salami yang kedua adalah
kang Widji, orang ini sering di mintai oleh pemuda desa ilmu-ilmu
pukulan, seperti lebur sekti, lembu sekilan dan lain-lain. Yang ku
salami ketiga adalah pamanku, adik sepupu dari ayahku, namanya Muhsin,
dia terkenal di daerahku sebagai orang yang menyembuhkan penyakit karena
kerasukan jin, kesurupan, serta suka memagar rumah, mengambil wesi aji,
yang lain adalah orang biasa. Aku juga menyalami Muhamad anak terbesar
dari pamanku Mursid. Setelah menyalami aku pun mencari tempat duduk yang
nyaman. Memang setelah melihat keadaan paman Mursit, sungguh orang
siapa saja melihat pasti akan kasihan karena memang keadaanya Sangat
memprihatinkan.
Wajahnya kelihatan tua, padahal umurnya
tak lebih dari limapuluh tahun tapi wajah paman mursid seperti ketarik
ke dalam, pipinya seperti masuk ke dalam, rongga matanya juga menjorok
ke dalam, sampai seperti kubangan hitam, lehernya mengecil, seakan akan
mengkeret. Semua tulang iganya menonjok keluar, kulihat wajah paman
Mursid seperti menahan penderitaan yang tak tertahan. Karena tubuh paman
Mursid tak berbaju mungkin syarat dari dukun, karena banyak kembang
aneka warna di sekitar tubuhnya, jadi aku bisa melihat perutnya. Oh ada
gumpalan dalam perut sebesar kepalan tangan, aku tak berani bertanya,
apa itu?
Tiba-tiba tubuh paman Mursid
mengejang-ngejang, semua orang ribut, bibi Asiah menangis karena melihat
suaminya seperti merasa sakit yang amat dasyat, para tukang suwuk pun
berupaya menolong dengan segala daya, ada yang mengeluarkan jurus , ada
yang meniup-niup, ada yang menyiprat-nyipratkan air, suasana tegang
sekali, dan aku tetap duduk di kursi, melihat dari jauh, oh nampak
olehku gumpalan di perut paman Mursid hidup dan bergerak kesana kemari,
paman Mursid melenguh-lenguh kakinya menjejak-jejak tapi tubuhnya tetap
di tempat. Ah ngeri aku. Namun usaha para tukang suwuk ini sama sekali
tak ada manfaatnya.
Bibi Asiah menangis menggerung -nggerung
melihat keadaan suaminya, juga Muhamad anak tertua paman Mursid juga
menangis di sebelah kiri paman Mursid. Tiba -tiba bibi Asiah
menghampiriku, dan mencengkeram lenganku,
“dek ian, ayolah bantu dek iyan huhuu…
jangan melihat saja… siapa tau ke sembuhannya di titipkan kepada dek
ian…,huhu..dek Ian kan dari banten pasti bisa mengobati…” aku kaget,
“aku?” seperti orang bego menunjuk hidung dengan jari telunjukku sendiri.
“aku tak bisa apa-apa, wong di Banten itu
tak di ajari apa-apa…” kataku jujur, tapi mana mau orang panik
mendengar. Aku main tarik -tarikan dengan bibi Asiah. Tiba-tiba kudengar
suara Ibuku di dekatku “cobalah nang… Tak ada salahnya di coba..” aku
tak pernah membantah ibuku maka aku pun maju ke tempat paman Mursid di
tidurkan, tubuhnya masih mengejang-ngejang
Sungguh aku tak tau, harus berbuat apa? Pura-pura mencak-mencak, ah kayaknya kurang bijak, di tempat orang sakit.
Ku ingat-ingat aku sering melihat Kyai mengobati orang, ah salah satu cara aja yang kupakai, setidaknya ada yang kulakukan.
Andai tak berhasilpun, aku tak akan di
salahkan, wong orang yang telah punya nama sebagai tukang suwuk aja, tak
berhasil apalagi aku yang bekas bocah ndugal.
Tanpa ragu aku melangkah maju, duduk di
samping kanan paman Mursid, sementara di sebelah kirinya paman Mursid
adalah anaknya yang bernama Muhamad.
Aku segera duduk bersila, Wirid yang
selama ini ku baca, satu per satu kubaca tiga kali dengan menahan napas,
segala cipta rasa kukerahkan, akal kukonsentrasikan, rasa getaran halus
berpendaran mengalir dari pusarku kearah tapak tanganku, kupikirkan
keluar dari tapak tanganku masuk ke tubuh paman Mursid membelitnya,
mengikatnya kemudian menarik keluar, kugenggam dalam tanganku, lalu
kubuang. Buk…! Suara gedebukan dari tubuh muhamad yang tadi ada di
samping kiri paman Mursid, tempat aku membuang apa yang kuambil, aku tak
menyangka akan berakibat seperti itu. sekarang pemuda itu terjengkang
kebelakang, kemudian berdiri dan tertawa-tawa, suaranya berat
menyeramkan,
“hua haha..keluarga ini akan ku habiskan, huahaha”
Aku tak memperdulikan Muhamad yang
kerasukan dan diurusi oleh para tukang suwuk, termasuk pamanku Muhsin,
ku salurkan energi lagi, menyalurkan energi? Ah lebih tepatnya aku
menghayal seakan-akan menyalurkan energi, hayalan tingkat tinggi.. Tubuh
paman Mursid sudah tidak kejang-kejang, gumpalan di perutnya juga sudah
tak ada, jangan dikira walau cuma ngayal menyalurkan energi, tapi huh
keringatku sebesar kacang polong, luber sampai bajuku basah, tanganku
yang kanan, ku arah kan ke atas dada berjarak sepuluh senti, tanpa
menyentuh kulit, yang kiri kuarahkan ke kepala juga tanpa menyentuh
kepala, terasa energi bergulung-gulung kearah kedua tanganku, perlahan
tapi pasti, kedua mata paman Mursid terbuka, lalu melihatqu. “oh dek
ian, terimakasih..” suaranya pelan tapi, efeknya semua orang yang ada di
situ menangis, bibi Asiah memelukku erat sekali, menangis nggugak
guguk, dia tumpahkan syukurnya yang tiada terkira, betapa selama ini ia
pontang-panting mencari obat untuk menyembuhkan Paman Mursid yang tak
pernah sadar selama tiga bulan, bahkan dokter juga telah tak sanggup, eh
tanpa kusentuh bisa begitu saja sembuh.
“kenapa tak dari kemaren-kemaren dek Ian,
dek ian, sudah habis air mataku…” kata bik Asiah, masih menangis, dia
melepaskan pelukannya, kemudian mencium pipi kiri kananku, lalu
bersimpuh di tepi ranjang suaminya, memegang erat tangan suaminya yang
lemah. Baru sekarang aku tau sebenarnya dalam tubuhku telah mengalir
ilmu pengobatan yang aku tak tau bagaimana dan dari mana ilmu itu ada
dalam diriku. Aku masih berfikir ketika tiba-tiba paman Muhsin menepuk
pundakku,
“itu bagai si Muhamad, semua orang kualahan!” ku lihat wajah pamanku itu kawatir.
“itu bagai si Muhamad, semua orang kualahan!” ku lihat wajah pamanku itu kawatir.
Memang Muhamad yang sedang kerasukan
benar-benar mengamuk, kursi meja pada patah, kang Wiji dan kang Nur yang
ahli beladiri, serta dua pemuda di mentalkan begitu saja, kang Nur coba
menerjang dengan menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh Muhamad,
tapi segala serangannya seperti mengenai batu, hingga jari-jarinya
terasa nyeri. Bahkan kakinya ketika menendang kena di tangkap Muhamad,
dan dia di putar bagaikan gasing, lalu tubuhnya di lempar, untung kang
Nur orangnya jago sehingga ketika menghantam tembok ia dahulukan
punggungnya, dan ketika mental kembali dia berputar miring dan jatuh di
tanah tangan dan kakinya menahan hempasan badannya. “hua haha ilmu kroco
macam itu di banggakan di depanku” kata Muhamad dengan suara dalam dan
berat.
Kang Wiji pun tak mau kalah, dia maju
menyerang dengan bogem yang telah dilambari aji lebur sekti, tangannya
yang besar berotot menderu, tapi plep! Pergelangan tangannya dapat di
tangkap Muhamad. Dan oleh Muhamad kepalan kang Wiji di adu dengan
bogemnya . Dugh! Kang Wiji menjerit, jari-jarinya seperti patah semua,
lalu tangan kang Wiji yang masih di genggaman Muhamad itu diangsurkan ke
mulutnya yang terbuka menganga, “sudah mateng huahaha..” tangan kang
Wiji digigit, aku sudah sampai di situ “hentikan!!” bentak ku tak sadar.
Muhamad kaget, tangan kang Wiji di lepaskan, yang segera di peganginya
dan wajahnya meringis-ringis, sementara Muhamad melihatku, dia
mundur-mundur. Takut, aku beranjak maju, dan Muhammad mundur-mundur.
Untung saja aku mempunyai daya hayal yang tinggi karena setelah ku
pelajari, ilmu dalam tubuhku ini perlu dibangkitkan dengan memerlukan
daya hayal yang tinggi, melihat Muhamad yang kerasukan mundur-mundur
takut padaku, bertambahlah keberanianku, tanganku terangkat dengan jari
telunjuk membuat coretan-coretan di udara kearah tubuh Muhamad, setelah
itu tapak tanganku terbuka, kubayangkan aku menyedot jin yang ada di
dalam tubuh Muhamad, dengan menggunakan telapak tanganku, hasilnya,
tubuh Muhamad lemas menggelosor ke bawah, pertanda jin telah keluar.
Saat yang menegangkan telah berlalu, Bibi
Asiah tak menangis lagi, dan Muhamad juga telah sadar, sementara tak
hentinya orang-orang memberikan ucapan selamat atas keberhasilan ku
mengobati. Para tukang suwuk memuji-muji ilmu yang ku miliki.
“mas Ian, benar-benar luar biasa, belum
pernah saya melihat ilmu sehebat itu, mengeluarkan jin dari seseorang
tanpa jurus-jurus” kata kang Nur.
“ah jangan di lebih-lebihkan, biasa saja.” jawabku yang memang belum tau pasti akan ilmu dalam tubuhku.
“benar sampean kang Nur” tandas paman
Muhsin, “aku saja kalau mengeluarkan jin harus pakai sarat atau jurus
tertentu, setidaknya harus pakai bacaan Ayat tertentu dari Alquran.”
kang Nur dan kang Wiji manggut-manggut. Kang wiji nampak memegangi
tangannya yang biru lebam.
“kenapa kang tangannya?”
“ini mas tadi, beradu jotos dengan Muhamad yang kerasukan.” jawab kang Wiji meringis menahan sakit.
“coba lihat.” tangan kang Wiji yang lebam segera di angsurkan kepadaku.
“saya akan coba obati, kalau sembuh ya
syukur, kalau tak sembuh ya sabar.” kataku, karena sekalian mau mencoba
ilmu yang ada di dalam tubuhku.
Kusuruh kang Wiji meletakkan tangannya
yang lebam membiru di atas tapak tangan kiriku yang terbuka, lalu tapak
tangan kananku ku taruh di atas tangan kang Wiji, berjarak sepuluh
sentian, kubayangkan tenaga mengalir dari pusarku hangat bergulung
berkumpul di tapak tanganku, menyerbu masuk ke tangan kang Wiji
mengangkut segala sakit derita, nyeri terangkat seperti udara hitam
berkumpul terangkat dan ku tangkap di tapak tanganku, kemudian kubuang.
“sudah..!” kataku, sambil melepaskan
penahanan napasku, semua mata yang memandang pun ikut bernapas lega,
yang saat aku mengobati kang Wiji semua menatap tegang.
“bagaimana kang rasanya?” tanyaku yang tak yakin akan ilmuku sendiri.
Kang wiji menggenggam lalu membentangkan jarinya, di lakukan berulang-ulang, “sudah enak, tak sakit lagi” katanya girang.
“ah yang benar kang?” kata kang Nur tak percaya.
“tadi apa yang kau rasakan, saat di obati?”
“seperti banyak semut yang masuk ke dalam
tubuhku, lalu seperti ada yang terbetot keluar dari tanganku, wah
makasih banyak mas Febri…!” kata kang wiji haru.
Malam itu aku benar-benar tak habis-habisnya di puji.
Besoknya jadi pembicaraan di setiap
mulut, sekaligus menambah keyakinanku akan ilmu pengobatan dari Kyai.
Dan di malam aku mengobati itu, dalam tidurku tiba-tiba aku mendengar
ledakan teramat keras membahana. Aku kaget dan terbangun. Betapa
terkejutku, karena kamarku penuh asap. Dan ternit kamarku jebol. Yang
lebih menakutkanku apa yang ku lihat. Kulihat tubuh yang teramat besar
dalam kamarku, aku beringsut mundur, melihat penampakan yang memiriskan
hati, tubuh yang tinggi besar sampai kepalanya tembus ke internitku,
padahal ternit dalam kamarku tingginya empat meter dari tanah.
“kau siapa?” tanyaku gemetar.
“ampun tuan, mohon saya di lepaskan dari
belenggu ini tuan..!” kata suara mahluk besar itu memelas, mengiba-iba.
Baru kuperhatikan tubuh mahluk besar itu terbelit-belit rantai yang
hampir membungkus tubuhnya.
“hei, siapa yang membelenggumu?” tanyaku keheranan.
“oh kenapa tuan lupa?, bukan-kah tuan
yang membelengguku? huhu, tolong tuan lepaskan saya, ampuni saya tuan
huhu” kata mahluk itu menangis.
“hus..,cengeng, masak begitu saja nangis…” aku mulai berani.
“tapi tuan, kalau belenggu ini tak di
lepas, saya akan sengsara seumur-umur, huhu… bagaimana kalau saya makan?
bagaimana saya buang air besar huhu, bagaimana aku pipis? Tak ada yang
memegangi, pasti kencingnya kemana-mana? huhu”
“nanti dulu, nanti dulu.., aku mau
melepaskanmu, tapi kau tunjukan dulu asalmu dan kenapa sampai di tubuh
paman Mursid, awas jangan bohong!!, udah jangan nangis..! Jadi jin
cengeng amat sih…” kataku agak jengkel juga karena jin itu nangis
hahahuhu.
“tuan, aku ini adalah jin penghuni Telogo Wungu, daerah Pati, aku sampai di tubuh Mursid karena aku di kirim orang.”
“di kirim lewat pos?, atau paket kilat?,”
“ya enggak lah, masak jin dikirim lewat
pos hu.hu..hu” lalu jin itu menceritakan tentang siapa yang mengirimkan
dan karena masalah apa. Aku pun melepaskan rantai yang membelit tubuh
jin, dengan menjulurkan tanganku, dan bilang lepas!, maka rantai yang
membelenggu jin itu pun hilang, entah kemana.
Setelah belenggunya tak ada, tiba-tiba
jin itu , menggelosor bersimpuh di depanku, aku kaget tapi ingin ketawa
juga, karena melihat ukuran jin itu duduk aku masih sepinggangnya, kalau
berdiri, yang membuat aku pengen ketawa karena wajahnya yang tak
menyeramkan dan lucu. Mata jin itu bulat besar, mengerjap-erjap,
kepalanya gundul, tapi bekas cukurannya kurang bersih, hidungnya
mbengol, dan bibirnya tebal sekali, seperti bibir keledai.
“hei kenapa kau belum pergi?” tanyaku heran.
“apakah tuan tak ingin menjadikanku pelayan?”
“ah pelayan apa? Aku tak biasa dilayani, aku biasa nyuci baju sendiri,”
“bukan itu maksudku tuan, tapi kalau tuan mau aku bisa mengambilkan nasi gandul dari Pati, enak lo tuan.”
“ah apa enaknya nasi gandul tak usah promosi, lagian aku tak punya kerjaan tetap, tak kan sanggup membayarmu, udah sana pergi!”
“baiklah tuan, kalau begitu aku mohon diri.”
“eh tunggu dulu, betulkan dulu ternitku yang kau jebolkan.”
“baik tuan.” lalu jin itu menjentikkan tangan dan ternitku kembali seperti semula.
Begitulah, setelah kejadian aku
menyembuhkan paman Mursid, aku makin dikenal dan tiap hari ada saja yang
datang dari anak yang rewel, orang sakit gigi, sakit kepala. Penyakit
dalam penyakit luar, semua datang minta diobati, juga aku sering di ajak
lek Muhsin untuk menolong orang yang kerasukan jin. Namun aku sudah
janji kepada Kyai bahwa aku hanya di rumah dua bulan, aku sudah kangen
pada Kyai dan kedamaian pondok lereng gunung putri. Apalagi setelah
mengalami suatu kejadian yang membuatku amat merasa betapa masih
dangkalnya ilmu yang kumiliki.
“yan…!” suara lek Muhsin memanggilku, ketika ku utak atik internet, melihat pesan di emailku.
“ada apa lek?”
“nanti sore temani aku ke Kalitidu Bojonegoro ya?”
“mau apa lek ? Mau nyambangi saudara apa?”
“ah biasa ada orang minta tolong,
keluarganya ada yang kesurupan” aku mantuk aja. Dan selepas Ashar, aku
dan lek Muhsin pun pergi ke Bojonegoro.
Perjalanan ke Kalitidu dari rumahku hanya
memakan waktu dua jam setengah, yaitu dari rumahku, naik angkot,
kemudian gantis Bus jurusan ke Bojonegoro, trus naik mobil ke Kalitidu
ini kalau lewat utara, sebenarnya melewati selatan lebih dekat, yaitu
dari rumahku ke Cepu, Bato’an lalu nyebrang sampai deh, cuma akan makan
waktu lebih lama, karena dari rumahku ke Cepu jarang ada kendaraan,
mungkin seharian menunggu belum tentu ada kendaraan.
Jadi untuk lebih gampang nya harus lewat
Bojonegoro, walau jalannya muter, tapi kendaraan slalu ada. Sampai di
rumah yang kami tuju, hari sudah sore tapi matahari masih enggan ke
peraduan, suasana amat sepi, kami mengucap salam, berulang kali, baru
muncul seorang lelaki setengah tua. Peci kain bundar bermotif
kotak-kotak kain sarung ada bertengger di kepalanya. Wajah lelaki itu
sedikit murung. Namun ketika berhadapan dengan lek Muhsin dia langsung
tersenyum.
“oh lek Muhsin, mari-mari, silahkan
dienak-enakkan dulu.” setelah menerima kami berdua dengan ramah maka
lelaki itu pergi ke dalam, menyuruh istrinya mengambilkan minuman, dan
makanan ala kadarnya.
Setelah itu kedua suami istri itu pun
mengobrol dengan kami, saat berkenalan denganku lelaki itu bernama pak
Soleh. Dan istrinya bernama Hamidah, karena istrinya adalah orang
sedesaku maka mengenal lek Muhsin, kemudian tau lek Muhsin biasa
menyembuhkan orang yang kerasukan jin, jadi lek Muhsin di panggil.
“awal-awalnya gimana to di, kok si Marjuki itu bisa berpenyakit seperti itu?” pak Soleh pun bercerita:
“benar ki kamu mau mesantren?” tanya pak Soleh suatu malam kepada Marjuki yang sedang makan.
“bener pake, aku sudah jenuh di rumah terus, tak ada perkembangan.” jawab Marjuki sambil mengunyah nasi di mulutnya.
“mondok itu berat lho, kalau kamu
mbangkong di rumah bapakmu ini tak ngapa-ngapain kamu, tapi kalau kamu
mbangkong tak mau subuhan, bisa di pecuti sama Kyainya, kalau kamu
melanggar peraturan pondok kamu akan di beri hukuman, apa kamu siap?
Tirakat di pondok?”
“pokoknya aku siap pake.”
“pokoknya aku siap pake.”
“lalu kamu mau mesantren di mana?”
“bagaimana kalau di Tegal rejo, Magelang, pake?”
“di mana saja tak masalah kalau memang kamu siap.”
Marjuki adalah anak tunggalnya pak Soleh,
sifatnya ceria dan rajin bekerja, kadang membantu orang tuanya disawah,
kadang juga bekerja di tempat orang lain, pekerjaan apa saja, Marjuki
siap melakukan asalkan halal, umur Marjuki telah menginjak sembilan
belas tahun. Akhir-akhir ini Marjuki merasa kesepian, sebab
teman-temannya yang selama ini menemaninya nyangkrok telah pergi semua,
mencari pengalaman hidup, ada yang mesantren ada juga yang pergi
merantau ke Jakarta, ada yang ke Malaysia, bahkan ada yang ke Saudi
Arabia, Marjuki bingung mau kemana. Tapi setelah berpikir, maka Marjuki
memutuskan mesantren saja, maka dia pun bercerita pada ibunya supaya
keinginannya di sampaikan pada Ayahnya. Dan terjadilah dialog malam itu,
sekarang dia telah pergi ke Magelang.
Setahun di pesantren, Marjuki pulang
keadaannya telah berubah, dulu dia periang dan giat bekerja, kini sering
kelihatan diam dan amat malas, bahkan dia suka pergi menyepi di
kuburan-kuburan, dan melakukan puasa yang aneh-aneh, bahkan kamarnya di
cat warna hitam. Pak soleh melihat hal yang seperti itu, mau menegur,
tapi takut Marjuki marah, karena tak jarang karena kesalahan sedikit
saja, Marjuki marah membanting piring.
Ternyata Marjuki, telah terseret mempelajari ilmu sesat, yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul.
Telah beberapa hari, Marjuki tak keluar
kamar, tidak makan, tidak melakukan aktifitas apa-apa, dari dalam
kamarnya bau menyan jawa. Tiap malam menyengat hidung, ibunya sangat
kawatir, maka setelah ada lima harian di kamar ibunya mengetuk pintu,
memintanya untuk makan karena takut terjadi apa-apa yang menimpa anak
semata wayangnya. Setelah lama mengetuk, terdengarlah lenguhan dari
kamar, dan pintu terbuka. Terkejutlah perempuan itu, melihat Marjuki
yang tak seperti anaknya.
Mata Marjuki semerah darah, di lingkar
matanya warna hitam angker, hidungnya mendengus-ndengus, dari mulutnya
keluar air liur yang membanjir.
“hmmm, siapa kau perempuan tua? Mengganggu saja.” suara Marjuki, berat mendirikan bulu roma. Sangar!
“nak ayo makan, nanti kamu sakit…” suara Ibu Marjuki, di antara rasa takut melihat keadaan anaknya.
“Jebleng, jebleng…apa sudah kau sediakan darah ayam dan darah kambing?”
“udah ibu masakkan sambal terong kesukaanmu.”
“sialan, memang aku apa? Di masakkan
suambel terong mati saja kau…” tiba-tiba tangan Marjuki bergerak cepat
menyambar leher ibunya dan mencekiknya. Untung ibunya masih sempat
teriak, sehingga teriakan itu di dengar pak Soleh yang sedang
membersihkan rumput di depan rumah, yang segera berhambur ke dalam
rumah, melihat istrinya dicekik anaknya, sampai kelihatan matanya mau
keluar, maka pak Soleh segera memukul tangan anaknya itu sehingga
cekikan lepas. Melihat ada yang memukul tangannya Marjuki pun
mengalihkan serangan ke leher pak Soleh, dengan mudahnya dia menangkap
leher pak Soleh dan mencekiknya, tubuh pak Soleh sampai terangkat dari
tanah. Dia mencoba melepaskan dengan segala daya, tapi tangan Marjuki
yang kerasukan itu teramat kuat sehingga pak Soleh hanya
menendang-nendangkan kakinya, nyawanya benar-benar telah di ujung
tanduk, sementara istrinya yang tadi dilepas oleh Marjuki, ngos-ngosan
di tanah, melihat suaminya dalam keadaan sekarat, segera mengambil kursi
kayu, dan mengemplangkan ke kepala Marjuki sekuatnya. Sampai kursi kayu
patah-patah. Dan untung cekikannya di lepaskan, sehingga pak Solehpun
menggelosor jatuh di tanah. Aneh, Marjuki sama sekali tidak berdarah,
malah tertawa bergelak-gelak, lalu mengamuk menghantam meja kursi sampai
semuanya hancur. Lalu dia berlari keluar rumah mengamuk di jalan,
segera gemparlah semua tetangga, orang yang lewat segera lari ketakutan,
lalu Marjuki meloncat ke atas genteng. Melempar-lemparkan genteng pada
orang yang lewat di jalan. Ibu Marjuki menangis melihat keadaan anaknya
seperti itu.
Para orang pintar telah di datangkan
untuk membujuk Marjuki turun dari genteng, tapi malah di sambitin pake
genteng, dia hanya mau turun kalau di beri minum darah ayam dan kambing.
Sudah dua hari Marjuki ada di atas genteng, dia mau turun kalau ada
darah ayam dan kambing di sediakan, dan setelah minum darah itu maka dia
meloncat lagi ke atas rumah, dan menyambitin orang yang lewat. Kelakuan
Marjuki yang menyambiti orang yang lewat dengan genteng rumahnya ini
benar-benar membuat panas hati, maka para pemuda kampung pun
bermusyawarah untuk menangkap Marjuki, dan nantinya akan di pasung,
setelah di pancing dengan darah, Marjuki pun turun, ketika sedang
menikmati darah yang di kasih obat bius itu, para pemuda pun bergerak
meringkusnya, yang mau meringkusnya dari belakang ada tiga orang itu
kecele, walau Marjuki tak melihat kebelakang, tapi dengan mudahnya dia
menjatuhkan diri dan berguling sehingga yang menubruknya dari belakang
hanya menangkap angin.
Pemuda dan orang desa pun melakukan
pengepungan, dari kiri kanan, depan belakang, dengan susah payah tuju
orang dapat memegang tangan kaki, namun semua dapat di sentak lepas, dan
banyak yang terpental di lemparkan oleh Marjuki yang kerasukan, yang
memang tenaganya berlipat-lipat, kembali tujuh orang berusaha mendekap
memiting kaki tangan Marjuki, namun kali ini para penduduk tak mau usaha
mereka sia-sia, maka segera berbagai macam tambang di jeratkan ke tubuh
Marjuki. Rupanya saat itu obat bius yang di campurkan darah pun mulai
bekerja. Kelihatan sebentar-sebentar, Marjuki melengut ngantuk siut,
lalu meronta lagi, begitu berulang kali, dan orang-orang tak mau
kecolongan tetap mendekapnya erat, sampai akhirnya Marjuki terbius.
Perjuangan yang melelahkan, Marjuki kelihatan tergolek di pelataran
rumah pak Soleh, semua orang yang meringkusnya semua mandi keringat,
bahkan ada yang luka berdarah dan salah urat. Orang-orang yang tidak
ikut meringkus Marjuki, telah membuatkan pasung dari kayu sebesar
sedekapan manusia, Marjuki pun di pasung. Tangannya masih di rantai,
para dukun paranormal di datangkan, para Kyai di mintai tolong, untuk
membantu penyembuhan, sawah lima petak pun telah terjual sebagai biaya
pengobatan, tapi kesembuhan tak kunjung datang. Sampai hampir setahun
Marjuki di pasung. Tapi penyakit gilanya makin parah saja.
Kami berdua di ajak melihat keadaan
Marjuki, ternyata pemuda itu di letakkan di ruangan terpisah di belakang
rumah dalam satu ruangan
Berdinding gedek, pintu di buka dan bau
busuk segera menampar hidung, bangunan berukuran lima meter persegi itu
gelap, karena tak ada jendela juga tak ada penerangan, penerangan hanya
dari lampu ublik yang di bawa pak Soleh, nampak lapat lapat seorang
pemuda dewasa tengah duduk terpasung, wajahnya mengerikan, matanya yang
hitam keatas, tapi yang putih mencorong merah menatap kami, wajah pemuda
itu tak bisa di bilang bersih lagi, wajahnya menghitam penuh daki,
rambutnya awut-awutan kribo panjang, bagian atas tubuh tak berpakaian
dan nampak bekas darah ayam dan kambing yang mengering menempel di
tubuhnya. Orang yang melihat keadaan Marjuki, pasti akan ngeri sekaligus
iba, siapakah orangnya yang mempunyai cita-cita menjadi orang gila.
Karena penerangan yang tak memadai, maka oleh pak Soleh kami di minta
mengobatinya besok hari saja, malam ini kami menginap, beristirahat.
“yan bagaimana menurutmu, gila kerasukannya Marjuki?” tanya paman Muhsin, ketika kami berdua telah rebahan dalam kamar.
“ya gilanya karena mempelajari ilmu,
tanpa dasar yang kuat, tarekat misalkan, juga karena mempelajari ilmu
tanpa guru pembimbing, sungguh berbahaya sekali, karena belajar ilmu
tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan, bagaimana menurut lek Muh
sendiri?” tanyaku balik.
“apa yang kamu katakan, tepat sekali,
tapi terus terang aku ragu akan bisa menyembuhkannya…” nampak lek Muhsin
mengerutkan keningnya.
“yah sebelum kita mencoba, kenapa harus
ragu lek? Itu sama saja dengan kita kalah satu langkah, kita hanya
berusaha, kesembuhan hanyalah di tangan Tuhan semata, jangan sampai kita
tertindih oleh keharusan, seakan akan sembuh dan sakit itu kuasa kita,
hidup dan mati kuasa kita, kita hanya berusaha saja…” dan kami pun tidur
tanpa beban.
Esoknya, kami berdua di antar pak Soleh
ke tempat Marjuki di pasung, jam di tanganku baru menunjukkan jam tuju
seperempat, matahari yang kuning keemasan memantulkan sinarnya yang
hangat, terasa hangat di tubuh yang baru mandi, membayangkan hal yang
seperti itu, betapa damai dunia, seakan di dunia ini tak ada kejadian
yang seperti di alami Marjuki.
Setelah masuk ke tempat Marjuki, uh jijik
sekali, rupanya bau yang menyengat di malam itu, adalah baunya kotoran
dan kencingnya Marjuki, juga bau bangkai tikus dan binatang-binatang
lain yang di makan mentah-mentah oleh Marjuki. Oh sungguh menggidikkan
bulu roma. Rupanya di tempat pemasungan, telah berjejal-jejal orang desa
yang ingin menonton, tua muda, prawan, janda, remaja, jejaka duda,
semua pada datang menonton, sampai kebun belakang rumah pak Soleh
bener-bener lebek, ah kyak ada tontonan dangdutan aja, atau bioskop
misbar, gerimis bubar, orang-orang itu ada yang mengintip dari gedek,
ada yang berdesakan di pintu masuk, dan ada yang dari luar pagar saja,
rupanya pengobatan Marjuki, tanpa di siarkan dengan mikropon keliling
kampung, telah terdengar dari telinga ke telinga.
Lek Muhsin mulai mengobati, sementara aku
mempersiapkan yang di perlukannya. Lek Muhsin memang sudah profesional,
segala macam cara mengobati orang kesurupan dia kuasai. Dari yang model
kejawen, ilmu tao, ilmu tenaga dalam, dan ilmu rukyah. Lek Muhsin mulai
mengobati dengan ilmu tao, bajunya di ganti jubah kuning, dan ada
simbol tao di punggungnya, semua mata menatap tegang ketika dia beraksi,
dengan uang logam cina kuno yang dengan cepat di bentuk pedang, dan
tangan kirinya memegang pedang dari kayu setigi, tubuh lek Muhsin mulai
berloncatan kesana kemari, membuat jurus mengelilingi Marjuki, tiba tiba
Marjuki yang sedari tadi diam, menatap kosong, serentak ramai, “ayo
….ayo menari.,bang roma menarinya kurang seru, kenapa tak pakai gitar…?”
semua yang ada di situ kontan ketawa, karena memang lek Muhsin adalah
penggemar Roma irama, jadi biasalah kalau dari potongan rambut, jenggot
dia upayakan mirip dengan Roma.
Tapi lek Muhsin ini tak terlalu, malah
ada tetanggaku yang mirip sekali, namanya Joni, Sangking ngidolain
banget sama Roma, bukan hanya rambut dan jenggotnya yang dibuat mirip
Roma tapi juga suaranya, pernah kulihat Joni lagi naik sepeda, ee ada
lagunya Roma di putar kenceng-kenceng, maka si Joni turun dari sepeda,
lalu sepedanya di sandarkan di pohon, ia nyamperin ke rumah yang lagi
muter lagu, bang numpang joged ya? Kata si Joni, tanpa nunggu jawaban si
Joni langsung joged, sampai lagu selesai, dan setelah lagu selesai, dia
pun permisi, tak lupa mengucapkan terima kasih, dengak dialek Roma.
Karena dengan jurus tao tidak ada
perubahan apa-apa, lek Muhsin pun segera mengubah pengobatan dengan
tenaga dalam dan ilmu kejawen, tapi juga tak menghasilkan apa-apa, malah
Marjuki bilang katanya permainan sandiwara lek Muhsin untuk
menghiburnya teramat membosankan, Marjuki minta di ganti lakon yang lain
saja, dan di sambut ketawa oleh penonton yang menyaksikan, karuan saja
membuat lek Muhsin malu bukan kepalang. Dan keringatnya mengalir deras
sampai lehernya basah, dan pakaiannya juga basah. Seperti orang yang
habis nyangkul di sawah, aku memahami perasaan lek Muhsin.
Kali ini lek Muhsin mengobati dengan
rukyah, membaca ayat-ayat Alquran, ayat satu di gabungkan dengan ayat
yang lain, tapi pengobatan rukyah ini rupanya juga tak begitu ada
hasilnya, Marjuki malah siat-siut mengantuk, ayat-ayat Alquran itu
seperti menina bobokannya, melihat gelagat yang tak baik ini, aku segera
ikut membantu, selurut wirid yang biasa ku baca, kubaca dalam hati tiga
kali, sambil menahan napas. Serasa hawa aneh mengalir bergeletaran dari
pusarku, kusalurkan ke tanganku kuarahkan ketubuh Marjuki, kubayangkan
tubuh jin yang ada di tubuh Marjuki terlingkupi dan berusaha ku sedot ke
tanganku, tiba-tiba tubuh Marjuki yang siat-siut ngantuk itu membuka
matanya, liar dan krimpying..!!, kretekkriet..!!, Marjuki berdiri tegak,
kayu yang dipakai memasungnya sebesar dekapan manusia itu berderak
membalik. “hah siapa yang mencoba menarikku keluar dari tubuh ini
hrrr..brr…bedebah, belom tau siapa aku?!”
“Aku iki panglimane Nyai Roro kidul, ayo
sopo pengen adu ilmu…huahaha…” aku grogi juga mendengar yang masuk
ketubuh Marjuki adalah anak buah ratu pantai selatan, keringatku pun
mulai keluar, aku segera meminta tikar kepada pak Soleh, sementara
keadaan semakin menegangkan. Sementara lek Muhsin rupanya juga takut,
dia mencengkeram lenganku.
“bagaimana ini yan?’
“tenang lek, aku akan berusaha…nanti
bantu wirid Basmalah sebanyak-banyaknya…” kataku, sambil melihat wajah
lek Muhsin yang ketakutan. Setelah pak Soleh datang membawa tikar.
Akupun menggelar tikar di tempat yang bersih, mengingat lawan yang
berat, aku pun berinisiatif membaca fatihah kepada Nabi dan silsilah
tarekat kodiriah nahsabandiah, sampai ke Kyaiku, Kyai Lentik.
Sementara Marjuki masih ketawa sesumbar.
Tiba-tiba salah seorang penonton, seorang setengah baya kesurupan, dan
maju kedepan kearah Marjuki yang masih tertawa bergelak.
Mendadak saja tertawa Marjuki berhenti,
aku masih membaca wirid, dengan khusuk, tak urung suara orang yang
kesurupan itu terdengar di telingaku. Suara itu suara Kyai.
Aku pun membuka mata, nampak orang yang kesurupan itu petentang petenteng, di depan Marjuki yang tertunduk, takut-takut.
“kau tau siapa aku?” suara Kyai berwibawa.
“ampunkan saya, saya tau tuan Kyai Lentik…” suara Marjuki dengan nada takut.
“lalu kalau kau tau siapa aku kenapa tak
cepat keluar, apa aku sendiri yang akan mencabutmu, dan menjadikanmu
debu..!!” suara Kyai membentak. Tiba-tiba tubuh Marjuki lemas. Dan
menggelosor ke tanah. Kyai yang ada di tubuh orang lain itu segera
mengusap tubuh Marjuki yang segera sadar. Dan memanggil ayah ibunya.
Sementara Kyai mendekatiku dan membisiki telingaku.
“kalau mau kembali kepondok, kalau sakit
biar sembuh dulu.” lalu orang desa yang kerasukan itu sadar. lelaki yang
sebelumnya di pinjam wadagnya oleh Kyai itu tak mengerti dengan apa
yang terjadi.
Hari itu Marjuki benar-benar telah sembuh, dan segera di mandikan, aku dan lek Muhsin pun mohon diri.
Setelah mengalami pengalaman di
Bojonegoro, aku pun memutuskan untuk kembali ke pesantren, setelah
selang dua hari di rumah aku pun memutuskan kembali kepesantren. Maka
aku mempersiapkan segala sesuatunya, karena besok siang aku pergi dengan
Bus malam jurusan kampung rambutan.
Tapi malam harinya tiba-tiba tubuhku
terserang demam teramat tinggi, batuk, kepala pening, dada ampeg, perut
seneb. Dan nafasku sesak sekali, sampai kalau aku menarik napas akan
terdengar suara ngiik, ngiik, suaranya seperti sempritan atau sumur
pompa.
Yang jelas aku merasa tersiksa dan seakan aku telah dekat kepada mati.
Bahkan ketika aku bangun dan mau keluar
kamar, tubuhku begitu saja terbanting kebelakang, dan tanganku yang
mencoba menahani tertindih punggungku sendiri, dan salah urat, makin
lengkaplah penderitaanku.
Aku ingat kata-kata Kyai waktu di
Bojonegoro, kalau aku sakit, keberangkatan ke pondok di tunda dulu.
Rupanya Kyai memperingatkanku. Dan kini, aku tergeletak begitu saja.
Tiada daya, Dokter di panggil untuk mengobatiku, aku di suntik dan di
beri obat yang banyak sekali macamnya, tapi tak membuatku sembuh.
Tanganku juga di bawa ke dukun pijat tapi, sama saja masih salah urat.
Aku belum pernah mengalami penyakit
separah ini, paling-paling biasanya pusing, atau sesak napas, karena
terlalu banyak cat yang ku hirup, karena melukis air brush, yah cat yang
partikelnya teramat kecil tetap saja masuk ke hidungku, dan melekat di
rongga hidung dan rongga mulutku, sehingga kalau meludah akan serwarna
dengan cat yang ku semprotkan, dan hidungku kaku karena terlalu banyak
cat yang menempel.
Tapi sekarang penyakit ini lain, kalau mau wudhu aja kakiku gemetaran, dan tangan harus berpegangan.
Ketika ibuku menangis di sampingku,”bu
jangan menangis….” kataku yang lemah tidur tak berdaya, “kalau Tuhan
memang telah memanggilku, nanti tolong pada Hanni, pintakan maaf, aku
tak bisa menikahinya…, katakan pada Diyah, supaya mencari lelaki yang
lebih baik dariku….” aku nyerocos tak karuan menyebut semua bekas
pacarku, yang telah ku kecewakan, seakan aku ini terlampau banyak dosa,
telah menyia-nyiakan banyak wanita, tak mensyukuri atas ketampananku,
tak mensyukuri kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan padaku.
Kalau Dokter di panggil berkali-kali tapi
tak ada perubahan pada penyakitku, semua makanan yang ku telan, ku
muntahkan kembali, lalu siapa lagi yang ku harap kan mengobatiku.
Kalau orang lain sakit, begitu mudahnya
aku memberi solusi, tapi ketika aku sendiri yang sakit, ah memang berat
kalau kita mengalami sendiri, seperti teman yang sakit gigi, lalu kita
melihat, ah sakit gigi gitu saja merengek-rengek, e, setelah kita yang
sakit gigi, maka kita mengaduh lebih dari teman kita.
Keadaanku makin kritis, aku sudah sering
mengigau, mataku membalik, tinggal kelihatan putihnya saja, ibuku tiap
hari menungguiku dengan sabar, mengompresku, tidur di sampingku, ku
dengar Ayahku marah-marah,
“ini karena sering bermain dengan jin,
jadi dapat balasannya, mungkin anaknya jin yang ia tawan atau bunuh,
telah membalasnya.” Yah begitulah ayahku, selalu menyalahkanku, seakan
aku berdiri salah, duduk juga salah, bahkan aku mungkin setahun ngomong
dengan Ayahku bisa di hitung dengan jari, tapi memang harus begitu satu
sisi ada yang selalu menyayangiku yaitu ibuku, juga ada yang selalu ada
yang menyalahkanku yaitu Ayahku, jadi aku ada kendali kadang melaju,
kadang juga berhenti, jadi tak manja. Walau ayahku selalu bersikap
seperti itu, aku tetap mencintainya, karena tak ada ayah yang ingin
anaknya sengsara, jadi maksud ayahku itu demi kebaikanku juga.
Malam telah larut, mungkin saat itu jam
dua dini hari, aku mendengar ada suara memanggilku, menyuruhku bangun,
dan kubuka mata, kulirik ibuku masih tidur miring di sebelahku. Ah lalu
siapa yang tadi membangunkanku.? Aku mau memejamkan mata lagi, terdengar
jelas di sampingku.
“iyan,..bangun ngger…!” karena suara itu
kudengar di samping kiriku, aku pun membuka mata, dan mencoba menengok
orang itu dengan leher yang sakit, ngilu.
Aku heran ada lelaki teramat tua duduk di
sampingku, tersenyum, dan senyumnya terasa mendamaikanku. Wajah lelaki
itu lembut seperti bayi, dan ada cahaya kuning tipis menyelimuti, sejuk
di pandang seperti matahari mau tenggelam. Juga memancarkan wibawa yang
menyilaukan, alis orang tua itu tebal melengkung indah, kedua matanya
bening lembut memandangku, seakan-akan menembus sampai dasar hatiku.
Hidungnya mancung, seperti hidung
orang-orang arab, kumis dan jenggotnya tebal memutih , namun terawat
rapi, ikat kepalanya seperti gambar di wali-wali songo. Berwarna putih
juga bajunya berwarna putih.
“siapakah tuan?” tanyaku.
“apakah tuan yang akan mencabut nyawaku? Baiklah aku sudah siap.” lalu ku pejamkan mata dan melafadkan dua kalimat sahadah.
“anak baik…,aku bukan malaikat yang akan
mencabut nyawamu…, Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat.” kata
lelaki itu lemah lembut.
“lalu siapakah tuan ini?” tanyaku, kembali membuka mata.
“ngger, aku Abdul kadir…”
Gemuruh rasa dadaku, takdim, takut,
cinta, rindu, semua teraduk dalam dadaku, bagaimana tidak, manusia yang
ku cintai ku kagumi akan amaliahnya, kuyakini akan karomahnya, selalu
kukirimi fatihah, karena bersyukur atas ilmunya, sekarang ada di
depanku, aku mencoba bangun tapi tak kuasa, tubuhku terlampau lemah.
“sudah ngger…, tak usah bangun, kau
sedang sakit, biar aku mencoba menyembuhkanmu,” tangan syaih di ulurkan
ke atas tubuhku, aku seperti merasakan hawa damai tiada tara, ku dengar
letupan kecil halus, dari dalam tubuhku, dan semua sakitku serasa hilang
tak tau entah kemana, tubuhku nikmat, ringan, dan seketika aku bersujut
mencium tangannya, menumpahkan cintaku, rinduku…,
“sudah ngger, sebaiknya engkau jangan
memberikan pertolongan di atas kemampuanmu, sempurnakanlah ilmumu, nanti
nabi Isa alaihi salam akan mengajarkan ilmu pengobatan padamu,
sebagaimana dia mengajarkan kepada Kyaimu.., aku pergi ngger.” terdengar
suara salam, dan tangan yang ku pegang telah hilang, meninggalkan bau
harum yang tiada tara.
Aku segera menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan menjalankan sholat dua rakaat, kemudian melakukan sujud syukur.
Ibuku terbangun, melihatku sedang sholat, setelah aku selesai, ia bertanya. “lho udah sembuh to nang?”
“Alhamdulillah sudah bu.”
“wah bau apa ini nang kok wangi sekali..?
Kamu makai minyak apa nang, kok baunya harum?” kata ibu sambil
hidungnya kembang kempis lucu.
“jangan-jangan, ah tak mungkin, dulu aku
juga mencium bau harum seperti ini waktu kakekmu meninggal, tapi kau
kulihat sehat, seperti tak sakit lagi?” wajahnya kawatir.
“ah ibu jangan berfikir yang aneh-aneh.”
Besoknya aku pun kembali ke pesantren, naik bus malam PAHALA KENCANA.
Ibuku sebenarnya tak mengijinkanku kembali dulu ke pesantren, tapi aku
memaksa, karena rinduku kepada Kyai. Sekarang aku telah berada dalam bis
yang melaju tak terlalu cepat, karena hujan mengguyur deras di setiap
perjalanan. Penumpang dalam bus tak terlalu banyak mungkin sekitar dua
belasan orang, karena bus ini nantinya mengambil penumpang di agen-agen
penjualan tiket di setiap perjalanan, aku duduk di tengah sebelah kiri
bus. Dan daripada melamun, aku selalu membaca wirid di setiap
perjalananku. Bus melaju kadang oleng kanan kiri, ketika rodanya masuk
ke jalan yang berlubang dan penuh genangan air hujan, sehingga air di
kubangan muncrat menyiram para pejalan kaki atau pengendara motor, pasti
terdengar jiancok!, atau jiamput!, sumpahan khas, ah mengapa tak
subhanallah. Entahlah…
Di daerah lasem bus berhenti di agen
penjualan tiket, para penjual makanan segera masuk menyerbu, takut
pembelinya kedahuluan penjual lain, kulihat pembeli tua melangkah pelan,
menawarkan dagangan, ku lihat makanan kesukaanku, yaitu jagung muda
yang di parut kemudian di uleg dengan bumbu di kasih telur lalu di
goreng, di makan dengan cabe huh enak sekali, di daerahku makanan itu
namanya pelas.
“berapa nek,?”
“tiga ribu nak.” ku keluarkan uang tiga ribuan, nenek itu menerimanya dengan jari gemetar.
“nenek sakit?” tanyaku. Perempuan itu
mengangguk. Ku keluarkan uang dua ratusan ribu, lalu ku jejalkan di
telapak tangannya, mungkin uangku ini lebih berguna di tangan nenek ini
daripada di tanganku, ini adalah uang gajiku melukis di rumah makan.
Lumayanlah dua minggu aku mendapat tiga jutaan. Nenek itu terkejut.
Tapi aku segera berkata, ”sudahlah nek,
tak usah terima kasih, sekarang nenek tak usah kerja, nenek pulang, dan
uang itu untuk membeli obat, sana nenek turun, terus pulang.” nenek itu
menuruti kata-kataku kemudian dia turun, sampai di bawah kulihat dia
melihat uang yang kuberikan. Lalu menatapku dari bawah dan air matanya
berkaca-kaca. Kulihat dia mengangkat kedua tangannya berdoa. Sementara
aku mulai menikmati apa yang kubeli.
Beberapa penumpang naik, dan juga dua
penumpang pasangan setengah tua, ku perkirakan umurnya lima puluh
tahunan, setelah mencari-cari nomer kursi ternyata yang lelaki duduknya
di sebelahku, sementara yang perempuan di kursi dua kursi deretan
sebelah kanan arah depan kursiku.
Bus pun melaju, jam butut di tanganku telah menunjukkan pukul setengah lima sore.
Tiba-tiba perempuan istri lelaki di
sampingku, bangkit dari kursi dan berjalan ketempat aku duduk. “nak bisa
enggak kita gantian tempat duduk, biar saya duduk di sebelah suami
saya, dan anak duduk di kursi saya.”
“oh nggak papa bu, silahkan…silahkan.” kataku segera memberesi tas dan barangku. Untuk pindah tempat duduk.
Aku segera pindah tempat duduk yang di
tempati, perempuan tua itu. Oh rupanya di situ ada penumpangnya, seorang
gadis berjilbab, cantik? Entah aku belum melihat wajahnya, aku mengucap
permisi lalu duduk, menempatkan tasku, di tempat yang aman.
Nah, saat mengucap permisi itulah gadis
itu menengokku dan mempersilahkanku, kulihat wajahnya terkejut
melihatku, tapi aku duduk saja.
Terus terang aku orangnya tertutup, walau
ada gadis di sampingku cantiknya sundul langit, aku tak akan bertanya,
juga tak akan mengganggu. Kecuali di tanya. Walau dalam hati
dag-dig-dug, tak karuan, yah namanya tetap juga manusia, ketertarikan
lelaki pada wanita, wajar saja, tapi aku bukan tipe lelaki yang
petentang-petenteng membawa pedang asmara, lalu kalau ketemu gadis ayu,
menusukkan pedang ke dadanya, dan memberikan serangan rayuan yang
berbunga-bunga, ah aku hanya pemuda dingin, kadang aku sendiri merasa
kedinginan, tapi mungkin karena rambutku panjang anting ada di telinga,
jadi orang lebih mengira aku ini anak nakal. Untuk beberapa saat kami
terdiam, sampai gadis itu bertanya padaku.
“mau ke mana mas?” pertanyaan yang wajar,
tak wajar kalau dia bertanya mau makan apa mas? Sebab ini dalam bus
bukan dalam warung.
“mau ke Jakarta.” jawabku juga wajar,
kalau ku jawab ke Surabaya, tentu aku makin jauh, sebab bis ini menuju
ke barat. Kulihat gadis itu, ah pasti waktu mau bertanya padaku tadi dia
berusaha mati-matian membasahi bibirnya. Sebab kulihat bibirnya basah
sekali, seperti di kasih madu. Rasanya pasti….ah setan, menggoda saja.
“mbak sendiri mau kemana?” tanyaku sambil melihat hidung mungilnya yang seperti cabe merah besar.
“sama mau ke Jakarta…”
“oo, kalau begitu bisa sama-sama dong….!” kataku, ah kenapa dialognya tak bermutu begini, tapi di teruskan juga.
“boleh kenalan mas? Nama saya Rosalia..”
cewek itu mengulurkan jemarinya yang lentik halus. Oh Tuhan maafkan aku,
sebenarnya aku tak boleh menyentuh tangan nya, tapi kalau aku tak
menyentuhnya, aku rugi nantinya.
“iyan..,febrian.”
“ah tak salah dugaanku, pasti
emas…orangnya., bener-bener tak nyangka.” tiba-tiba gadis ini girang
bukan main, dan tanganku, di tariknya di tempel ke pipinya yang putih
kemerahan., aku buru-buru menarik tanganku, takutnya di gigit.
“ah mbak pasti salah orang.” kataku takut, jangan-jangan maniak sex, wah kalau di perkosa, aku bisa tak perjaka lagi.
“tak mungkin salah, aku begitu lama
menyanjungmu, begitu merindumu, memujamu,tak akan pernah salah mengenali
dirimu…” dia mengatakan bersemangat sampai air liurnya muncrat
kemana-mana, apa mungkin dia ngiler ya ngelihat aku?
“dulu aku berpikir apakah engkau itu
benar-benar nyata? Ternyata engkau benar-benar nyata.” tangannya yang
halus membelai pundakku. Ah sial aku jadi merinding, mengapa jadi
serumit ini.
“bener mbak ini salah orang, nanti mbak menyesal..!”
“bagaimana aku akan salah orang, fotomu
aja selalu ku bawa.” katanya sambil membuka tasnya dan mengeluarkan
sebuah majalah, dan kliping tulisan dan fotoku.
Aduh…aduh…rupanya ini penggemarku, yang
begitu memujaku, memang dulu aku aktif menulis di berbagai majalah. Tapi
itu sudah lama aku fakum, kenapa penggemarnya masih ada? Kulihat foto
yang di tunjukkanku, dari pertama aku menulis di majalah jawa penyebar
semangat, sampai majalah Anita, dan majalah Alkisah. Ah benar-benar deh
aku tak nyangka akan ada yang mengidolakan aku.
“benar kan ini mas ian…?” tanyanya,
matanya yang seperti artis jeklin itu menyelidik. Dan aku mengangguk.
Aku tak kuasa ketika lenganku tiba-tiba di rengkuh dalam pelukannya.
“mas, aku telah mencoba menjadi gadis
idamanmu, aku yang sebelumnya tak berjilbab, sekarang telah berjilbab,
lihatlah mas. Apakah aku kelihatan cantik, aku siap menjadi pacarmu
bahkan istrimu.” wah aku bertemu dengan penggemar yang tak bisa
membedakan dunia fiksi dan dunia nyata, ah aku harus bisa lepas dan
melepaskan dia dari dunia hayalnya. Ah semakin sulit aja.
“mas em…aku boleh ya minta ciumnya…” wah
semakin ngawur aja, kalau aku tinggalkan gadis ini, ah betapa tak
bertanggung jawabnya aku atas cerita fiktif yang ku buat. Aku berusaha
menenangkan diri.
“eh gini ya dek Rosa, soal cium itu nanti
mudah dech. Waktu kita kan masih panjang, jadi baiknya kita ngobrol
dulu, jadi pasangan kan harus mengenal lebih jauh calon pasangannya.?”
kataku mencoba setenang mungkin.
“dek Ros, asli orang Jakarta ya?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan, sambil mencari akal untuk keluar dari krisis
multidimensi, ah di besar-besarkan aja.
“Iya mas, aku dari Cipinang muara.”
katanya kemudian menggelayut, merebahkan kepalanya di pundakku, ah bisa
gawat nih, suara dadaku makin bergeladukan saja.
“Trus tadinya dek Ros ini dari mana?” tanyaku mencoba mengusir keinginan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“ih mas Ian ini, kayak tak tau saja, kan
dalam novel itu wanita pujaan mas, mondok di pesantren, jadi saya ya
jelas dari pondok pesantren, dari nama pondok, desanya, kotanya dah aku
cocokin semua, aku akan menjadi gadis yang mas Ian inginkan” wah sudah
sejauh itu? Waduh makin kacau aja. Ruwet….,ruwet…., walau bus ini ber
A.C. keringat tak urung membasai punggungku. A.C dalam bus hanya
mengeringkan keringat yang ada di wajahku. Tapi tak mengeringkan
keringat di dalam bajuku.
Sementara gadis di sampingku yang masih
memeluk tangan kananku dan kepalanya rebah di pundakku, tertidur. Ah aku
mungkin tak bisa menyelesaikan masalah ini, biarlah aku berserah, pada
penyelesaian Tuhan. Maka akupun membaca wirid dan mencoba tidur.
Aku berharap setelah tidur gadis ini tak
ada, atau masalah ini hanya mimpi saja, bagiku terlampau sulit untuk
mencari jalan keluarnya. Aku benar-benar tak menyangka hanya karena
cerita fiktif, bisa menimbulkan masalah sebegini peliknya.
Setelah wirid dan hatiku tenang maka akupun tertidur.
Malam mulai merambat, dan gadis di
sampingku masih lelap dalam tidurnya, lagu Setasiun balapan mengalun
dari speaker mendayu-mendayu, di susul lagu sri minggat, lagu jawa itu
kadang membuatku sedikit tertawa, tapi aku segera memejamkan mata lagi.
Ingin sedapat mungkin berlari dari kenyataan ini, sampai besok saja
sampai aku terlepas dari gadis di sampingku ini.
Ah kenapa begitu susahnya, dadaku terasa
sesak akan himpitan, aku segera memenuhi illalloh.. .,ku ulang ulang
untuk mencari pegangan atas kegelapan yang mulai membutakan mata hati,
ya Alloh lindungi aku dari kenistaan nafsu, dan segala macam tipu
dayanya.
Aku telah tertidur lagi dengan lelap. Sampai kurasakan ada tangan menepuk pundak kiriku.
Tepukan itu kurasakan keras, jadi tak mungkin aku bermimpi.
Aku tengak tengok, semua penumpang
tertidur, lalu siapa yang menepuk pundakku? Ku menengok ke kanan kiri
ingin tau Bus ini sampai di mana, dan betapa terkejut nya aku ketika
kulihat ke sebelah kiri Bus.
Bus ini sedang membelok kekiri, dan di
sebelah kiri ada warung tepi jalan yang kayu gentengnya menjorok ke
jalan, sehingga kalau bus terus membelok tak di ragukan lagi kaca
kirinya akan menghantam kayu warung itu.
“stooop..!” aku menjerit sekencangnya.
Sampai gadis di sampingku melonjak kaket bukan alang kepalang. Tapi
rupanya supir bus tak memperdulikanku, mungkin mengira aku sedang
mengigau. Dan tak bisa di elakkan lagi.
“duar,,kratakkkreek…tar..tar..!” suara
kaca bus sebelah kiri pecah berhamburan. Jerit penumpang ramai, juga
jerit mengaduh dari penumpang yang terkena pecahan kaca
“Stoop!!!” suara ku keraskan untuk
mengalahkan ribut suara panik penumpang, karena aku takut sopir bus akan
memundurkan busnya, tapi kekawatiranku langsung terjawab, mungkin
karena paniknya sopir, bus pun dimundurkan ke belakang
“dar.,tarrk…kkrrk…!!” kembali terdengar, kaca bus yang tadi menghantam
kayu pojok warung dan kayu yang masuk kedalam bus begitu saja menyapu
kaca yang tersisa dan masih menempel karena scotlet bening melapisi
kaca.
Terdengar lagi jerit penumpang. Sekarang semua orang meminta bus berhenti.
Para penumpang berebut turun, kulihat
tiga kotak kaca bobol pecah tak karuan, banyak orang terluka wajahnya
karena terkena pecahan kaca, termasuk suami istri yang sekarang
menempati kursi yang tadinya kududuki, dan mereka berdua lukanya paling
parah, sehingga harus di bawa kerumah sakit.
Seandainya aku yang masih duduk di situ,
apa jadinya aku? Tuhan mempunyai rencana tuk menyelamatkanku, aku tak
membayangkan bagaimana seandainya aku ngotot tak mau pindah tempat
duduk, walau aku mendapatkan cobaan gadis yang duduk disampingku. Ah
mana gadis tadi? Aku tak melihatnya, ah kenapa aku harus mencarinya?
Bukankah dari rumah awalnya juga berangkat sendiri-sendiri, aku
membetulkan letak tas punggungku, ketika dua bus cadangan datang tuk
menampung penumpang, aku segera masuk ke dalam satu bus, dan mencari
kursi yang masih kosong, karena bus ini telah terisi penumpang.
Bus yang ku tumpangi pun melaju lagi,
para penumpang ramai membicarakan kecelakaan yang terjadi. Jam tangan
bututku ku lirik, menunjukkan jam sepuluh seperempat. Aku menyandarkan
tubuh di kursi dan menempatkan badan senyaman mungkin lalu biasa memulai
wiridku. Ah rupanya kecelakaan tadi jawaban atas doaku agar aku selamat
dari gadis yang mati-matian mengidolakanku. Entahlah?
Aku pun tertidur, sampai bus berhenti di Rumah makan. Aku segera turun menyusul penumpang yang lain.
Ku baca tulisan di rumah makan itu NIKKI Subang, kiranya telah sampai di Subang.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda