Malamnya aku nyantai saja, seperti biasa
dzikir setelah jam 12 malam, biasanya sampai subuh, tapi baru saja
setengah jam aku duduk dzikir, serasa udara di kamarku tak enak, dan
serasa hawa murniku menerobos keluar lewat punggung, aku coba menyetop,
tapi serasa seperti punggung bagian atas berlubang, dan hawa murni terus
saja merembes keluar, seperti udara dingin, wah ada apa ini, kalau
kayak gini aku bisa lemas kehabisan hawa murni, ku coba menahan dengan
dzikir dan konsentrasi, tapi tetap saja tubuhku lemas, dan makin lemas,
dan rasanya terserang kantuk yang dasyat, seperti aku di sirep, berulang
kali sampai tanpa sadar duduk tertidur, padahal aku bukan orang yang
seperti itu, tapi rasa kantuk benar-benar tak bisa kutahan, kadang
tasbih yang ku pegang telah jatuh, atau kepalaku sudah menekuk hampir
menyentuh lantai, lalu sadar, dan ku kibas-kibaskan kepala, agar rasa
kantuk terusir, tapi tetap saja aku mengantuk, ah ini tak beres, aku
coba baca dzikir penolak serangan, karena aku merasa ada serangan yang
di arahkan kepadaku.
Lalu ku tahan nafas, dan ku pukul lantai, sebentar serangan buyar, dan mataku seperti seketika terbuka, dan rasa kantuk hilang.
Tapi itu hanya sementara, serangan yang
ku buyarkan seperti asap yang berputar lalu bertaut kembali, aku
tertekan kembali. Dan tiba-tiba seperti ada gumpalan asap hitam melesat
masuk ke tubuhku, aku terjengkang, dan muntah, memuntahkan isi perutku.
Aku berusaha menahan muntahan yang
tersisa, dan lari ke kamar mandi, dan semua isi perut ku muntahkan,
sampai perut rasanya ngilu dan nyeri, badanku rasanya seperti di lolosi,
gemetar, dan rasa tak karuan, baru sekarang aku terkena santet dengan
telak, sebenarnya aku yang terlalu menganggap ringan permasalahan,
padahal aku sudah di tunjukkan dalam mimpi musuhku kali ini bukan orang
sembarangan, yang melakukan lelaku memakan bayi yang di gugurkan, tapi
aku menganggap angin lalu, sehingga aku terhantam, ini juga karena
kecerobohanku.
Tiba-tiba ku rasakan di seluruh tubuh
clekat-clekit, kayak ribuan jarum menyerang tubuhku, benar apa yang di
katakan Sohib, aku tak mau minta tolong pada siapapun, aku harus
bersandar pada Alloh, iman itu harus di uji, keteguhan harus di
buktikan, tawakal itu bukan cuma bicara.
Ribuan jarum yang ku rasakan merajam tak ku perduli, aku melangkah berpegangan tembok, dan kembali ke kamar.
Aku kembali ke kamar pelan-pelan,
takutnya membangunkan istriku, dan perlahan meletakkan diri di kasur, ku
tata nafas, semua persendian rasanya seperti lepas, aku tak boleh
menyerah, aku bersandar pada Alloh, kalau pada syaitan kalah, mau ku
kemanakan imanku, keyakinanku? Aku turun di keramik, tidur, tangan ku
tempelkan pada keramik, segala pikiran ku konsentrasikan, lalu ku sedot
tenaga inti bumi….., dari keramik ku rasakan tenaga prana mengalir,
memasuki tubuhku seperti menambal karet yang berlubang, mengalir
menjejali dan menjejali, terus aku konsentrasi, serasa tubuhku mulai
enak dan menebal, seperti ku rasakan mengeras setiap urat-urat dan
kulitku kaku seperti bumi yang mengering.
Setelah ku rasa cukup aku bangkit, dan
duduk bersila, menyatukan segenap daya kepasrahan, pada pemilik segala
kekuatan. Ku konsentrasikan total seluruh dzikir, terus konsentrasi,
sampai tak bergerak beberapa jam, lalu ku rasakan seluruh kekuatan telah
melingkupi diriku, seperti kekuatan atom.
Ku lontarkan kekuatan yang mengeram,
mengembalikan semua santet yang di kirimkan padaku kembali pada
pengirimnya, dengan mengucap takbir yang mengendap seperti endapan
kekuatan memecah berhamburan, ja’al haq, wazahaqol batil, datang
kebenaran pasti kemungkaran akan musnah, sebab kebatilan itu pasti
musnah.
Aku tak tau yang terjadi selanjutnya, yang penting aku tak merasakan lagi santet yang mencoba menyerangku.
Segala anasir jahat semua musnah, musnah tanpa bekas.
“Hallo…!” suara Sohib menghubungi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kok tetanggaku banyak yang mati ya…?” tanya Sohib.
“Ya kalau sudah sampai kontraknya habis di dunia, ya pasti mati.” kataku bercanda.
“Ini yang mati, orang yang suka menyantetku kok..” kata Sohib.
“La emang kalau suka menyantetmu gak boleh mati? Ya kalau sudah pada waktunya ya tetep akan mati.” jawabku.
“Ya yang aneh kok yang mati yang pada menyantetku, apa tak aneh?”
“Ya tak aneh, la ndak nyantet kamu,
rombongan seBus bisa mati kok kalau kecelakaan nyemplung jurang, itu
tandanya kadang orang mati juga bisa rombongan. heheheh…” aku berteori
ngawur sambil ngetawai Sohib.
“Eh pengen ketemu Kyai gak?” tanya Sohib.
“Aku ndak tau sekarang Kyai di mana, ya
jelas pengen ketemu, aku kan juga muridnya, emang kamu saja,
mentang-mentang kamu sudah punya majlis, dan sudah punya murid dan
jama’ah banyak, dan aku belum punya.”
“Ayo kalau pengen ketemu, nanti bareng ke Jakarta.” kata Sohib.
“Emang Kyai di Jakarta?”
“Iya.”
“Di mana?”
“Di bengkel Macan.” jawab Sohib.
“Ya aku entar malam berangkat.” kataku.
Aku segera menyiapkan tas, rasa rinduku pada Kyai tak tertahan, aku ijin pada istri malam itu berangkat.
Ini di tahun 2010 dan cerita masih berlanjut 2012 masih panjang.
Jam sembilan malam aku berangkat ke
Ponolawen, perempatan biasa kalau mau ke Jakarta, tapi bus yang
berkarcis sudah pada berangkat. Ah terpaksa harus menyetop bus dari arah
Semarang, biasanya kadang apes dapat bus yang sudah sesak penumpang,
atau dapat bus yang jelek, suka mogok di jalan dan tak layak jalan, ya
Indonesia seperti itu memang kenyataannya.
Jakarta-Pekalongan harga tiket biasanya
45 ribu, ada bus berhenti, dan menawarkan arah Jakarta, sebenarnya
enakan kalau aku turun terminal Kampung Rambutan, tapi karena adanya
terminal Kalideres juga tak apa-apa, memang kalau ke tempat Macan di
Bambu Apus enakan ke terminal Kampung Rambutan, tapi tak apa-apalah
daridapa nanti makin malam malah tak mendapat bus.
Aku dapat tempat duduk di tengah, semua
kursi banyak yang kosong, dan bus lumayan jelek banget, tak ber AC,
suaranya berisik, karena kacanya sudah banyak yang lepas, jadi
membayangkan kalau seandainya orang Indonesia itu punya jiwa bisnis
seperti di luar negeri, pelayanan konsumen itu di utamakan, untuk
mendapatkan pelanggan, tapi jiwa orang yang santun telak membalik,
seperti nasi kuning yang di balik dari tumplek di tanah, semuanya
kembali ke HATI, orang komunis saja bisa baik hati, kalau hatinya baik,
dan orang Islam sekalipun akan jahat kalau hatinya nifak atau munafik.
Sebenarnya untuk berbudi pekerti yang
baik itu manusia tak perduli Islam atau bukan Islam, asal dia mengukur
dengan dirinya sendiri, maka pasti berahlak baik, jika suatu perbuatan
tingkah laku, jika akan sakit dirinya di begitukan orang lain, maka
pasti orang lain juga sama akan sakit jika di begitukan, maka tak mau
melakukan itu pada orang lain, maka pasti orang akan menjadi baik budi
pekertinya.
Karena semua manusia itu sama porsinya, dalam rasa sakit dan kecewanya.
Jika kita itu di gigit orang lain, merasa
sakit, maka orang lain juga akan sakit jika kita gigit, maka jangan di
lakukan pada orang lain, kalau kita di tipu orang lain, tak mau, maka
jangan menipu orang lain.
Kalau menggigit mau, di gigit tak mau, ya tak beda kita dengan anjing.
Kalau memakan mau dan di makan tak mau, sama dengan Harimau.
Manusia itu juga mudah di tebak, selalu
suka menutupi kekurangan, dengan menunjukkan apa yang dia dalam
kekurangan itu, orang yang keringetnya bau, akan suka memakai pewangi
berlebih, orang yang pendek akan suka memakai sepatu berhak tinggi,
orang yang minim bahasa arabnya akan suka bicara memakai istilah banyak
bahasa arab, orang yang ilmunya cetek, setiap bicara akan
mengait-ngaitkan dengan ilmu sare’at, orang yang kepahamannya dangkal
akan suka manggut-manggut dan suka tertawa bila teman bicaranya tertawa.
Orang miskin akan bergaya sok kaya.
Sebab orang yang tinggi itu tak akan
menunjukkan ketinggian tubuhnya, orang yang paham bahasa Arab itu tak
perlu menunjukkan kepahamannya, orang yang pinter agama, tak usah bicara
juga orang akan tau dari perbuatan wira’inya menjaga dari melanggar
hukum agama.
Jadi gampang sebenarnya mengetahui karakter kekurangan seseorang itu di bidang apa.
Kondektur menghampiriku, ku berikan uang 45 ribu.
“Kurang mas…” kata kondektur itu.
“La berapa?” tanyaku.
“75 ribu.” jawabnya.
“Lho apa sesuai dengan nilai kerusakannya?”
“Kerusakan apa mas..?” tanya kondektur.
“ah tak apa-apa.” kataku lalu memberikan uang 30 ribu.
Kondektur berlalu, dan aku mengukur, jika terjadi tabrakan aku juga bertempat di tengah, tak apa-apa, pikirku.
Lalu menyandarkan tubuh ke sandaran
kursi, dan memilih tidur. Sampai di tol Cikampek, aku terbangun seperti
ada yang membangunkan, lalu aku duduk agak merendahkan kepala, dan
“DAAARRR..!, DAARRR..!” suara tabrakan bus, dengan truk di depan, jadi
bus menabrak belakang truk, benturan keras sampai 5 kali, kaca depan
semua habis, berhamburan, ku dengar kaca beterbangan di atas kepalaku.
Kurasa uang 30 ribuku tak akan cukup
menutupi kerusakan bus, dan kondektur yang menarik uang padaku yang
terjepit, tak tau bagaimana kakinya.
Aku sih tak apa-apa jika di tipu atau di
dzolimi, Alloh itu maha melihat, maha cepat azabnya. Sekian waktu
menjalani proses perjalanan kok masih belum bisa membuatku legowo jika
di pukul orang, maka aku harus kembali jadi orang gila yang harus
mengelilingi tanah Jawa.
Jadi ingat, aku di rumah jualan bensin
eceran, ada orang beli bensin, aku menuang, dan ada setetes dua tetes
yang jatuh, pembeli bilang, “Ya aku rugi mas kalau bensinnya di teteskan
gitu.” katanya.
“Ya ndak papa aku ganti.” jawabku, lalu
mengambil bensin seliter dan ku tuang, sebagai ganti setetes dua tetes
yang dia keluhkan.
Anehnya tiga hari orang itu sudah tak
bawa mobil, katanya mobilnya hilang ketika di parkir. Ya kalau dia tau
mobilnya akan di tukar dengan seliter bensin, pasti dia akan menolak
mati-matian waktu ku beri seliter bensin.
Semua penumpang turun, dan sopir sama
kondektur yang terjepit menjerit-jerit, aku tak bisa berbuat apa-apa,
apalagi aku kalau melihat darah suka mau pingsan.
Mobil derek jalan tol datang, dan bagian
depan bus di tarik baru kondektur bisa di keluarkan, dan keluar dari bus
dalam keadaan di papah, kaki satunya tak tau patah apa tidak, aku hanya
melihat dari jauh saja.
Lalu penumpang di suruh naik bus lagi, dan bus jalan dengan di derek mobil derek.
Kami di turunkan di pintu tol, enaknya pas ada bus jurusan Kampung Rambutan, aku segera naik.
Sampai di Kampung Rambutan langsung naik
angkot ke arah Ciracas, dan sampai di Ciracas di jemput santri ke Bambu
Apus, kata murid-murid internetku yang tinggal di dekat situ mau datang
menemuiku, ada Budi, Joe, Asenk, dan entah siapa lagi, aku lupa namanya.
Sampai di Bengkel, Kyai memanggilku ke
kamar pribadinya, dan aku di ajak makan, di beri nasehat dan di ajak
makan, juga di talkin, sejak sepuluh tahun, aku sudah di bai’at lama,
tapi sesudah sepuluh tahun baru di talkin.
Aku itu murid mau di apakan atau di
gimanakan Kyaiku, maka aku tak pernah sekalipun mempermasalahkannya, dan
tak pernah memikirkan, tak mengejar apa-apa, dan menjalani saja apa
yang ada, tak pernah meminta ilmu ini atau itu, dan tak pernah meminta
amalan ini atau itu, apapun yang di berikan Kyaiku, akan aku jalankan
berulang kali, tak pernah bosan, bukan orang yang suka meminta amalan
baru dan amalan lama di lupakan.
Sebab menurutku ilmu itu bernialai kalau kita benar-benar menguasai, mengistiqomahkan.
“Mas ian buka toreqoh ya..!” kata Kyai.
“Siap kyai, saya siapkan majlisnya dulu.” kataku.
Kyai banyak memberikan petuah yang
bersifat isyarat, dan aku selalu tak mau menerjemahkan apa yang kyai
katakan padaku dengan seketika, ku biarkan saja mengendap di pikiran dan
hatiku, ku simpan dan biar jika saatnya aku akan mengerti sendiri,
bukan menerjemahkan dengan akal dan akal-akalan.
Iman di pandang dari sudut ma’rifat itu bisa di peroleh dari dua jalan, yaitu jalan pikiran dan jalan hati.
Jalan pikiran kita, di pakai
menerjemahkan apa yang terbaca indera, seperti orang melihat gumpalan
kecil lalu pikiran membacanya dan mengatakan penerjemahan apa yang
tertangkap oleh indera mata, dan mengatakan itu garam, lalu tangan
meraba, dan lidah menjilat sebagai penguat apa yang di terjemahkan akal,
ternyata asin.
Tapi siapa yang tau warna asin, tak ada
yang bisa menjelaskan, asin warnanya bagaimana, dan ekpresi orang
berbeda-beda jika merasakan warna asin. Orang berekpresi merem ketika
merasakan rasa asin, tak bisa orang lain mengatakan ekpresi itu salah,
sebab itu hak setiap manusia. Yang jelas yang di butuhkan oleh manusia
itu bentuk putihnya garam, atau rasa asin untuk membuat asin makanan,
yang di butuhkan adalah rasa asin, bukan bentuk butiran garam, buktinya
bukan bentuk garam yang di makan manusia, tapi rasa asin yang sudah tak
ada bentuknya garam, karena sudah menyatu dengan makanan.
Tapi keringat juga kan asin, apa ada mau orang makanannya kurang asin, lalu di tetesi keringat biar asin?
Pasti tak akan ada yang mau. Berarti
sekalipun asin, maka yang di butuhkan manusia itu bukan asal asin saja,
tapi penerjemahan indra di yakini kalau yang di campur makanan itu
benar-benar asli garam, bentuk sare’atnya garam, yang di keringkan dari
air laut, dan mengkristal, berbentuk garam. Tak ada hakikatnya semua
alam ini, sebab hakikatnya alam ciptaan ini adalah menunjukkan
hakikatnya Alloh.
Seperti pabrik mobil menunjukkan hakikatnya perusahaan mobil.
Garam itu asin, tapi asin belum tentu
garam, jadi sifat asin bukan hakikatnya garam. Tapi menjadi sifat,
seperti batu itu keras, ager-ager itu lembek.
Jadi akal itu bisa menguraikan apa yang
di tangkap indra, dan penerjemahan akal orang yang berilmu itu akan
menguraikan dan menterjemahkan apa yang asalnya cuma sifat menjadi zat,
atau di setiap ada zat atau jisim, badan kasar ada badan halus, atau
inti, dan di balik inti ada intisari, dan di balik intisari ada
saripati.
Di umpamakan ada seekor semut yang
melihat seseorang memilih-milih jeruk, si semut bertanya-tanya apa yang
di lakukan orang tersebut, lalu si semut tau setelah orang itu memilih
jeruk yang mateng, ooo ternyata mau membeli jeruk yang berwarna kuning.
Jadi di pilih yang berkulit kuning, semut menyangka bahwa orang tersebut
mau memanfaatkan kulit jeruk, buktinya kulit jeruk sangat menentukan
jatuhnya pilihan orang tersebut. Lalu jeruk di kupas, si semut heran
karena kulit yang susah-susah di pilih warnanya itu ternyata hanya di
buang ke tempat sampah, dan isinya di ambil, semut mengira, kalau
ternyata yang mau di manfaatkan itu daging buahnya.
Tapi lagi-lagi semut heran, dengan sebab
daging buah itu ternyata di peras airnya, ampasnya di buang. Dan airnya
di taruh di gelas, baru si semut paham kalau yang di ambil manfaat
ternyata airnya, tapi semut lagi-lagi heran, sebab air jeruk itu di
minum orang itu, dan semut mengikuti ke dalam tubuh, di mana vitamin C
di ambil dari air jeruk itu dan di manfaatkan tubuh, sementara yang tak
berguna di buang bersama keringat dan kotoran.
Jadi proses panjang, dari intisari yang
terdapat pada sebuah jeruk, hanya di ambil tubuh bagian terkecilnya, dan
mampunya akal itu hanya menguraikan yang terlihat, dan bisa di akal
oleh ketajaman akal. Sehingga kejadian itu di ketahui telah di rancang
sedemikian rupa.
Dalam setiap kejadian dan posisi suatu benda itu tak lepas dari kehendak yang mengatur, dan ketentuan yang tertanam.
Atau sering di sebut qudroh irodah. Dan
qudroh irodah atau qodo’ qodar itu harus kita imani keberadaannya,
seperti kita imani adanya Alloh dan malaikat.
Tapi itu semua tak terlihat, siapa orang yang tau taqdirnya? Maka tak ada yang tau, sebab tak terlihat atau di sebut gaib.
Untuk mengimani hal yang gaib manusia
perlu membuka mata hatinya, yang kasar itu bisa di lihat dengan mata dan
yang gaib itu bisa di lihat dengan mata hati.
Daging jeruk itu bukan gaib, karena jika di kelupas kulitnya maka itu bisa di lihat dengan mata telanjang.
Yang gaib itu, apa yang tak bisa di
uraikan dengan jisim atau dalam bentuk zat padat, kecuali dengan
pentakbiran, atau pemisalan, karena tak bisanya akal menerjemahkan
kecuali membuat perumpamaan.
Seperti ketika Nabi di tunjukkan tentang
bumi dalam keutuhan sifat, maka bumi itu seperti nenek tua yang jompo,
sakit-sakitan dan memakai bedak yang tebal, juga perhiasan yang
berlebihan.
Penggambaran itu akan mewakili suatu
keadaan, karena tidak ada bentuk untuk menjelaskannya, kecuali membuat
permisalan untuk menjelaskannya.
Jika gaib itu bisa di ceritakan dengan
menunjukan zatnya, maka tidak gaib namanya. Makanya penceritaannya itu
memakai perumpamaan, atau kata-kata penyerupaan.
Dan akal harus di bendung di tutup dari
menerjemahkan dengan logika akal, jika di logikakan akal, akal pikiran
akan terjebak dengan keraguan dan kemandekan pada batas logikanya akal,
maka yang gaib itu hanya bisa di uraikan oleh yang gaib, yaitu ruh, alam
hati dan mata hati.
Sebagaimana mata dzahir kita yang tak
bisa melihat, karena kemasukan benda, maka mata hati juga akan tak bisa
melihat jika di masuki berbagai kepentingan, dan keinginan, seperti
semut yang melihat keinginan orang memilih jeruk dia berprasangka
keinginan seseorang itu memilih warna jeruk itulah yang menjadi tujuan
utama dari proses pencarian, karena keterperangkapannya akal, menilai
mendahulukan logika.
Dan logika itu selalu mencari yang dekat
dalam penilaian dan yang termudah di lakukan. Itu sifat akal, selalu
mencari solusi termudah untuk menyelesaikan masalah.
Sedang yang gaib itu perlu kejernihan
hati untuk membaca. Sehingga yang benar tak asal di baca dengan
akal-akalan, tapi dengan pemahaman. Seperti seorang perempuan yang
memoleskan lipstik di bibir, kenapa tidak di telinga, juga kenapa
warnanya merah, tidak coklat atau hijau, tujuan perempuan itu tak akan
terlihat di saat memoleskan lipstik di bibir, padahal tujuan atau
kehendak itu terjadi sebelum kejadian.
Murid yang lain selalu menerjemahkan
dengan pikiran masing-masing, apa yang di sampaikan Kyaiku, atau
anak-anak sering menyebutnya siloka, aku sendiri tak berani
menerjemahkan apa yang di sampaikan Kyai, dan menunggu Alloh memberi
ilham kepahaman padaku, dan aku akan menerima kepahaman itu dengan
kejernihan mata batin, sejernih aku mampu menjernihkan, karena aku
sendiri yang masih bergelimang dosa dan keinginan.
Sepulang dari Jakarta, aku merancang
pembangunan majlis dari dana yang ada, ku jualkan tiga sapi dan uang
tabungan, maka terbangunlah majlis sederhana, sampai saat ini yang di
tempati dzikir.
——————————————-
Setelah hari raya idhul fitri, seperti orang lain, aku juga mudik, tapi menunggu tamuku di Pekalongan sepi,
Setelah sepi baru aku, istri dan anakku ke Jawa Timur.
Biasa kalau di Jawa Timur, langsung
biasanya akan banyak orang yang datang ke rumahku ada yang minta amalan,
atau minta di obati penyakitnya.
Di Tuban sendiri, karena pernah ada
kebakaran, sebelum kebakaran terjadi masa sebulan sebelumnya aku
memperingatkan yang punya rumah, agar hati-hati akan terjadi kebakaran
sebulan lagi, hati-hati dengan api.
Tapi takdir Alloh terjadi juga, dan
terjadi kebakaran, walau hanya dua rumah yang terbakar dan api bisa di
padamkan, setelah kejadian itu setiap aku ke Jawa Timur, akan banyak
orang datang minta amalan atau di obati penyakitnya.
Juga hari itu, aku belum sampai rumah, orang-orang sudah menunggu, sehingga aku tak sempat istirahat.
Ada beberapa orang, yang datang, satu
persatu ku layani setelah sholat magrib, kursi penuh dan yang lain duduk
di lantai, yang menghadapku pertama orang yang dari luar kecamatan,
biar segera bisa pulang.
Yang menarik perhatianku ada seorang lelaki bernama Muhadi,
“Apa pak keluhannya?” tanyaku pada Muhadi lelaki jangkung kurus berumur 50 tahunan.
“Ini ian aku sakit di kaki,” katanya menunjukkan kakinya yang dari pergelangan sampai lutut membusuk.
“Wah kok sampai begitu pak, apa ndak di bawa ke dokter?” tanyaku.
“Ya sudah ku bawa ke dokter ian, ini sama lukanya dengan luka yang di alami istriku.” katanya.
“La istrinya di mana, kok tak di bawa kesini sekalian?” tanyaku.
“Istriku sudah meninggal.” katanya sedih.
“oo maaf.”
“Ini wong lukanya tak wajar kok ian..” jelas Muhadi.
“Iya saya juga lihat tak wajar,” kataku.
“Awalnya bagaimana itu pak?”
“Ini sebenarnya awalnya adalah hal yang
sepele, saya dan istri itu jual beli beras, nah ada salah seorang yang
selalu ngutang beras kami, ya kami kasih, sampai banyak kami tagih
hutangnya, kan wajar to nagih hutang, ee dia marah, dan mengatakan
jangan di kira kami tak mampu bayar hutang, hutang akan kami bayar, tapi
setahun kemudian tak di bayar, ya kami tagih lagi hutangnya, ee malah
mereka marah-marah, dan mengatakan mau nyantet, dan kok malemnya rumah
kami kayak di taburi pasir, lalu ada ledakan, dan besoknya istriku
kakinya gatal sekali, lalu terjadi pembusukan, terus membusuk, pernah
kami obatkan ke dokter juga percuma tak sembuh, juga ku obatkan ke
dukun, malah dukun yang lumayan bisa datang ke rumah, dan di dalam tanah
rumahku di suruh gali, ternyata di dalam tanah ada kayak bungkusan
pocong kecil sepanjang 35 cm, tapi la kok aneh.”
“Anehnya bagaimana pak?”
“Anehnya bungkusan itu hidup, jadi lari
masuk di dalam tanah, bentuknya kayak pocong-pocongan gitu, maka aku di
suruh menggali tanah lain, untuk menghadang arah larinya.”
“Tapi, setiap ku hadang, maka
pocong-pocongan itu membelok ke arah lain, dan itu tidak lewat lubang
larinya, tapi masuk dalam tanah gitu, setelah seharian usaha,
pocong-pocongan dapat di tangkap semuanya ada tuju.”
“Wah di dalamnya apa ada tikusnya? kok bisa lari dalam tanah?” tanyaku yang terus terang merasa heran.
“Ya aku sendiri tak tau ian, la setiap
ada yang tertangkap maka langsung di masukkan kendil tanah liat, tapi
menurut penjelasan dukun, dia cuma bisa mengeluarkan yang di tanah,
sementara yang di udara masih ada,”
“Ada juga yang di udara? ” tanyaku.
“Iya ada.”
“Lah lalu bagaimana bisa? Kalau aku tak tau ilmu seperti itu, ilmu kok ya aneh-aneh.” kataku geleng-geleng kepala.
“Tapi dukun itu menyarankanku meminta
dukun yang lain, yang bisa mengeluarkan yang di udara, aku di beri
alamatnya, maka akupun segera mencari dukun itu, dan ku mintai tolong,
dan dukun itu juga mau, lalu kerumahku, dia bersemadi di tengah rumahku,
sambil bakar kemenyan, dan membuat sesaji kembang tuju rupa, dan kelapa
hijau, serta kopi pahit. Lalu dukun itu selama satu jam bersemedi,
kemudian berdiri dan menarik sesuatu dari tengah udara, dan yang di
tarik itu kain mori orang mati, sampai pengerjaan selesai. Tapi ian,
istriku ya tetap tak sembuh, dan akhirnya meninggal dunia, sekarang aku
yang terkena penyakit yang pernah di alami istriku, tiap malam di
rumahku selalu ada ledakan dan kayak ada pasir atau tanah kering di
taburkan, suaranya seperti gerimis sebentar gitu, nah bagaimana ian, aku
minta kau do’akan, supaya penyakit yang ku derita ini sembuh dan aku
tak kambuh lagi.”
“Ini sekarang ku kasih air saja dulu ya
pak, besok kesini sorean gitu, biar aku bikinkan pagar rumah, dari
kerikil yang di tanam di pojok rumah, biar tidak kena santet lagi, kalau
sekarang sudah malam.”
“Iya insaAlloh aku besok akan datang lagi.”
Lalu ku berikan air untuk penyembuh dengan media do’a dan pagar badannya.
Ganti seorang lagi.
Menemuiku lagi seorang tua, berjalan tertatih-tatih, dengan tongkat, yang ku tau bernama mbah Mulyono.
“Ada apa mbah…?” kataku pada kakek berusia 70 tahunan itu.
“Ini ian, kakiku sakit sekali, tak bisa
di pakai sholat jama’ah di masjid, tolong kau obati.” kata mbah Mulyono
sambil membuka sarungnya.
“Coba tak pegangnya ya mbah…!, coba di
tekuk mbah, di luruskan, di tekuk.”, kataku berulang-ulang sambil ku
salurkan tenaga prana ke sela lutut mbah Mulyono. Terdengar suara
kletuk.
“Wadow enteng sekali.” kata Mbah Mul.
Lalu ku lakukan pada kaki satunya, sampai terdengar suara kluthuk, pertanda pergeseran tulang telah kembali ke semula.
“Bagaimana enakan mbah?”
“Iya enak.”
“Coba di pakai berdiri mbah.”
Mbah Mulyono pun berdiri, awalnya takut-takut, tapi setelah merasa tidak sakit dia mulai berjalan wira wiri.
“Aku pulang dulu ya ian, terimakasih.”
“Iya mbah silahkan, la ini tongkatnya tak di bawa mbah?”
“Udah tak usah, untukmu saja.” kata Mbah Mulyono.
“hehehe makasih mbah, jangan lupa rajin jama’ahnya.” kataku mengantar kepergian mbah Mulyono.
Seorang lagi masuk, dia ku tau bernama
kang Darwis. Dia orang terkaya di kampungnya yang aku tahu, dulu waktu
aku kecil sering di belikan layangan sama dia.
“Ada apa pak Darwis?” tanyaku.
“Ya seperti yang lain ian, mau minta tolong padamu.”
“Apa masalahnya pak?”
“Nanti dulu ian…”
“Kenapa pak?”
“Aku hanya ingin menatapmu lama-lama.”
“Memangnya kenapa pak?”
“Aku hanya ingat di waktu kecilmu, dulu
aku sudah mengira kamu ini akan menjadi orang linuwih, malah aku bilang
ke ibumu, tapi ibumu mana mau percaya.”
“Ah biasa saja to pak.”
“Ah tidak kau waktu kecil itu aneh.”
“Aneh bagaimana pak?” tanyaku heran.
“Lo apa ibumu tak cerita soal masa kecilmu.”
“Ndak itu pak, la masa kecilku bagaimana?”
“Kamu tau? Dulu masa kecilmu, kamu kan di asuh Sarminten yang gila itu.”
“Walah masak bisa begitu pak, kalau itu bukan suatu prestasi lah, namanya aib.”
“ee nanti dulu, Sarminten itu pasti jadi
orang waras kalau sudah momong kamu, di ajak jalan kesana kemari, kalau
sudah gendong kamu, pasti jadi waras edannya, apa ndak aneh, makanya
ibumu tak keberatan kamu di urus Sarminten.”
“Memang ada cerita seperti itu?”
“Ya kamu kan bisa tanya ke orang tua-tua.”
“Trus semua orang gila desa kita ini,
setiap hari bergantian ngisi kolah kamar mandimu, anehnya mereka semua
gantian mengisi kamar mandimu, jadi harinya kayak terjadwal, padahal kan
rumah mereka berjauhan, apa itu tak aneh?”
“Ya itu kan masa lalu to pak Darwis,
masalahe panjenengan nopo?” tanyaku, karena masih ada beberapa orang
yang menunggu ku selesaikan masalahnya, walau tubuh penat, dan sudah
ngantuk, tetap saja hati harus legowo menerima siapa saja, menjadi orang
yang di jadikan pengaduan masyarakat, dan kita di minta mengadukan
kepada Alloh itu kudu lebih beberapa kali sabar, tapi aku juga sama
sekali tak mempermasalahkan pak Darwis yang maunya mengenang masa lalu.
“Ian kamu tau tidak kalau aku sekarang
ini sudah miskin, dan sudah tak punya apa-apa, semua harta kekayaanku
ludes, tak tau ini karmaku atau bagaimana.”
“Masak kekayaan panjenengan yang sebegitu
banyaknya bisa ludes, belum lagi burung walet yang menghasilkan jutaan
tiap bulan itu semua ludes?”
“Iya, semua ludes.”
“La masalahnya apa? Apa panjenengan punya hutang sama bank?” tanyaku.
“Bukan, bukan masalah itu,”
“Lalu masalah apa?”
“Awalnya, kamu ingat dengan Laila anak perempuanku?” tanya pak Darwis.
“Ya ingat.”
“Laila itu pernah di minta oleh pak Rudin.”
“Maksudnya pak Rudin yang jadi dukun itu?” tanyaku.
“Iya yang sudah tua itu, awalnya Laila di
kasih ini itu, tiap di jalan di beri ini itu, lalu sama pak Rudin yang
sudah umur 50 an itu, ternyata mau di nikahi, ya aku sendiri saja lebih
tua pak Rudin, ya ngiranya Laila, dia di beri apa-apa, pak Rudin tak
punya maksud apa-apa, jadi di terima, ternyata malah mau menikahi
Lalila, ya Laila gilo, jeleh ( bahasa Pekalongan ), ya aku sendiri jelas
menolak, la karena ku tolak itu kok malah dia mengancam akan
menghancurkanku. Ya perkirakanku maksudnya menghancurkan, menghancurkan
apa, la kok ternyata semua bisnisku hancur, semua ayam mati, semua
usahaku macet, dan aku bangkrut, bahkan waletku pada kabur. Hanya dalam
dua bulan setelah aku di ancam, setelah itu semua nya ludes. Memang
tetangga sering melihat pak Rudin mengitari rumahku di malam hari,
menyebarkan beras kuning dan kembang, dan aku di lapori tetangga, tapi
tak ku perduli, tapi sekarang pun aku sudah berusaha bangkit, tapi
sampai setelah semua habis, sampai saat ini semua order kontraktor semua
belum ada yang berhasil, sampai-sampai temanku mengajak memakai dukun
untuk melancarkan bisnis kami, bahkan aku pernah di ajak temanku mencari
dukun terkenal di daerah Batang, dekat Pekalongan itu, aku dan temanku
di beri syarat untuk bertapa semalam di tepi air tempuran, kata dukunnya
jangan sampai gagal, kalau ada gangguan apapun kok gagal, maka usahanya
tak akan berhasil, la kebetulan temanku itu pemberani, dia bertapa di
tepi sungai tempuran ( pertemuan empat jalur sungai ), mungkin di
sengaja, sengaja tempat yang di pakai temanku di olesi trasi, agar
datang para biawak, tapi temanku itu pemberani walau di kepung biawak,
sampai pagi temanku itu kuat.”
“Lalu apa berhasil cara itu?” tanyaku.
“Sama sekali tidak.” jawad Darwis.
“Pak… sebenarnya bisnis apa saja, jika di
sertai masuk toreqoh, insaAlloh akan lancar, karena antara lahir dan
batin saling melengkapi.” jelasku.
“Ya nanti itu mudah masuk toreqoh, tapi
mbok sekarang aku kamu do’akan agar bisnisku gol.” aku sekarang lagi
tawar menawar harga soal menguruk sepanjang rel kereta api dari Babat
sampai Bojonegoro, di uruk pakai batu koral, nah itu kamu do’akan
berhasil, nanti kamu tak kasih komisi.”
“heheh.. komisinya untuk panjenengan, panjenengan kan yang lebih membutuhkan.” kataku. “insaAlloh saya do’akan.”
“Oh ya kalau kamu ngasih amalan biar
temanku saja yang mengamalkan, temanku ini sudah pakarnya menjalankan
puasa, mau puasa mutih, ngebleng, bahkan pernah seminggu tidur miring di
makamnya sunan Bonang.”
“Walah tidur miring, apa maksudnya?” tanyaku heran.
“Ya tidur miring, menjalankan lelaku.” jawab Darwis.
“Walah kok sampai gitu, la aku saja belum pernah, ya tentu dia lebih sakti, aku jadi malu kalau ngasih amalan dia.”
“Ya bukan begitu, walau dia sudah
menjalankan amalan macam-macam, juga pernah dalail selama tiga tahun
setengah, tapi tak ada yang nempel ilmunya, jadi semua amalannya tak
mangsah apa-apa.” jelas Darwis.
“Ya kalau ngasih amalan sih aku senang saja.” jelasku.
“Man…, Wagiman sini…!” panggil pak
Darwis, kepada salah seorang pemuda kurus, diantara tamu yang sedang
ngobrol di kursi tamu. Yang di panggil Wagiman pun mendekat.
“Ini Man mau di beri amalan.” kata pak Darwis.
Aku masuk sebentar untuk mengambil lembaran amalan, dan ku serahkan pada Wagiman.
“Itu amalannya cara mengamalkannya sudah
tertulis. Tapi akan ku jelaskan.” kataku pada Wagiman yang sedang
memegangi catatan amalan puasa dariku.
“Nggak usah di terangkan, saya sudah
paham, puasanya juga hanya puasa biasa, pasti saya amalkan.” kata
Wagiman seperti meremehkan amalan yang ku beri. Mungkin tak seberat
amalan dia yang ngebleng (puasa sehari semalam).
“Ini juga puasanya ringan, saya akan jalankan.” kata Wagiman.
Lalu pak Darwis dan Wagiman minta diri.
Setelah hari itu aku tak bertemu lagi
dengan pak Darwis, cuma dia pernah nelpon setelah beberapa bulan,
mengatakan kalau ordernya menguruk rel sedang di jalani, dan aku
bertanya soal Wagiman, apa amalanku sudah di jalankan.
“Wagiman waktu itu besoknya langsung
puasa, tapi langsung pingsan, dan lumpuh sampai sekarang, ku suruh
meminta obat pada mas ian, tapi dia malu, jadi sampai sekarang masih
lumpuh.” cerita pak Darwis,
Aku hanya menarik nafas gegetun, amalan
yang ikhlas karena Alloh, dengan amalan yang karena jin, tentu beda, dan
yang ikhlas biarpun kelihatannya sepele, sebenarnya lebih berat, karena
berkaitan dengan kebersihan hati.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda