Jam
setengah satu siang, berarti ada setengah jam waktu aku berada di
tempat Mbak Lina, dan aku sudah duduk di kursi rotan yang ada di ruangan
belakang Butik, ruangan dengan luas 5 meter persegi, di tata dengan
artistik, setidaknya menurut pandanganku, dinding satu tembok di lapis
wallpaper bermotif kembang, di padu dengan warna cat bermotif warna
bedak yang lembut, di batas garis warna putih, pencahayaan ruangan di
buat terang tapi dalam arah tertentu menyorot, sehingga ruangan
kelihatan setengah redup.
“mas
ian duduk saja yang manis, biar aku yang melayani makannya, ya
itung-itung belajar menjadi istri mas.” kata Lina dengan tanpa canggung,
nadanya di penuhi kebahagiaan.
Di
atas meja di depanku yang berbentuk bundar dari bahan kayu jati dan
dilapis fiber ada berbagai makanan, tapi pandanganku hanya tertuju pada
makanan yang ku suka, ada soto, dan paru goreng, juga begedel kentang.
Tercium
bau harum minyak wangi yang lembut ketika Mbak Lina memasangkan sapu
tangan kecil di pangkuanku, hm ribet amat, kalau menurutku makan ya
makan, langsung santap, langsung selesai, kalau pedesen di rokoki, udah
gitu aja, kenapa pakai repot.
“Lin…”
panggilku, ketika dia menata sendok dan piring di depanku, karena
melihat dia seperti itu, bisa-bisa acara makan belum selesai, waktuku
istirahat kerja sudah habis.
“Ada apa mas?” tanyanya, sambil masih meletakkan garpu, dan kertas tissu.
“Udahlah… kamu duduk kita makan.., aku ndak usah di layani.” kataku sudah tidak sabar.
“mas ian ndak suka ya dengan pelayananku? ” tanyanya, sambil berhenti bergerak.
“Bukan
begitu, tapi waktu kita pendek, coba lihat, ini sudah 10 menit aku
duduk di sini, tapi makannya belum juga mulai, ntar nasi baru aku
masukkan mulut waktu istirahatku sudah habis, nanti saja kalau kita
sudah nikah, kamu menunjukkan pelayananmu yang paling top, sekarang kamu
duduk kita segera makan bareng.” kataku menjelaskan.
“iya… iya aku duduk.” katanya sambil mulut di manyunkan. Dalam hitungan menit, apa-apa yang ingin ku makan segera pindah di perutku, aku bukan orang yang suka bertele-tele, selalu apa adanya, tak suka banyak unggah ungguh asal dalam kebenaran dan tidak menyalahi agama, maka lakukan dengan tanpa ragu. mengambil yang perlu dan meninggalkan yang tidak ada manfaatnya.
“iya… iya aku duduk.” katanya sambil mulut di manyunkan. Dalam hitungan menit, apa-apa yang ingin ku makan segera pindah di perutku, aku bukan orang yang suka bertele-tele, selalu apa adanya, tak suka banyak unggah ungguh asal dalam kebenaran dan tidak menyalahi agama, maka lakukan dengan tanpa ragu. mengambil yang perlu dan meninggalkan yang tidak ada manfaatnya.
Dan tak sampai lima menit makan selesai.
“Bagaimana mas, enak makanan bikinanku?” tanya Mbak Lina.
Aku
acungkan jempol dan tak komentar, dan dia tertawa, kadang bahasa
isyarat itu lebih mewakili dan lebih mendalam, apalagi kalau jempolnya
di goyang berulang-ulang, itu menunjukan penekanan yang amat sangat,
bahasa seperti itu orang tuli juga tahu, kecuali orang buta, kalau orang
buta mungkin harus jempol di tempel di hidungnya, pakai jempol kaki
juga dia gak ngerti, paling bilang jempolmu kok bau trasi ya…
“Mas… apa mas ian gak menembakku?”
“apa?, menembak?” tanyaku heran.
“iya , menembak, kan kalau mau pacaran mau jadian di tembak gitu.”
“ooo maksudnya jadian ?”
“iya, kan kata kerennya pakai kata menembak.” jelasnya.
“kok
kata menembak keren, aku jadi ingat dulu di desa suka menembaki bangau
putih di pohon tertinggi desaku, perasaan kata menembak biasa saja.”
kataku sambil menerawang.
“ya, apa mas ian gak mau kita jadian sekarang.” kata dia sambil menggenggam tangan kasarku.
“sebaiknya kamu pertimbangkan lagi Lin…, kamu kan belum tau betul siapa diriku.”
“apa aku yang harus menembak mas…” katanya. sambil menatapku dengan tatapan tak sabar.
“memangnya ada perempuan yang menembak lelaki?” tanyaku membiarkan tangannya yang lembut memainkan jemariku.
“ya adalah…”
“tapi menurut hematku jangan dulu, aku tak mau kau menyesal di kemudian hari.”
“gak
aku tak akan menyesal, aku sudah yakin seyakin yakinnya, hanya mas yang
pantas menjadi imamku, menjadi pembimbingku, menjadi pendamping
sepanjang hidupku.” katanya bersemangat.
Jelas
membuatku juga tergetar, karena aku juga lelaki normal, mungkin yang
mengatakan kambing yang bisa bicara, aku tak akan perduli, sekarang yang
mengatakan seorang gadis yang sempurna, sedang mimpi dia mengatakan
seperti itu saja tak pernah terlintas di benakku.
Tapi
aku jadi ingat, orang kalah itu adalah orang yang menjadikan nafsunya
sebagai Tuhannya, yang selalu terseret dan di turuti apa dan kemana
nafsu itu menyeret.
Cepat-cepat
aku tulis Asma Alloh di hatiku, ku pejamkan mata sesaat untuk
menyempurnakan bentuknya, terasa aliran hangat mengaliri setiap nadi,
menyadarkan dan membersihkan anasir jahat yang mulai mau menguasai, dan
terasanya sangat nyata.
Siapa yang membaca boleh mempraktekkannya, dan akan merasakan apa yang aku rasakan, jika mengalami hal yang menimpa sepertiku.
Itu yang di namakan, ja’al haq wa zahaqol batil.
Syaitan
itu mengalir di aliran darah, lalu jika kita menghadirkan Asma Alloh,
saat syaitan itu hampir menguasai dan mengalir di setiap darah kita,
maka Asma Alloh yang kita konsentrasikan itu akan menetralisir kekuata
syaitan di tubuh, dan efeknya, alirannya bisa di rasakan benar-benar
nyata.
Tanganku yang di genggam Lina sekarang tak bedanya, aku menggenggam kaki kursi atau meja yang patah, tak ada getaran apa-apa.
“ku
rasa kamu terlalu muluk-muluk, begini saja, kita biarkan seminggu,
nanti kalau sudah seminggu, jika kamu masih suka denganku, aku yang akan
menembakmu, dan kita langsung saja nikah. bagaimana?” kataku.
“bener mas.?”
” bener lah, “
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda