Setelah sholat subuh, aku membuat sketsa
lukisan dinding, sambil menyelesaikan wirid. Dingin masih menusuk
tulang, teman-temanku habis wirid subuh semua kembali ke dalam selimut
sarung, kamarku terasa dingin apalagi ketika angin masuk dari sela-sela
papan kayu dinding kamar, yang pemasangannya asal-asalan.
“mas…! Gak nyarap?” suara Khanafi santri dari Cilacap, berdiri di pintu kamar,
“la kamu gak puasa to Fi?” tanyaku balik.
“wah mutung kang,”
“halah fi…fi… La gimana to, apa kamu mau terus di pondok nyampai tua?”
“masuk aja fi, gak di kunci kok…” kataku sambil terus membuat sketsa gambar.
“masuk aja fi, gak di kunci kok…” kataku sambil terus membuat sketsa gambar.
“lagi bikin apa mas?” tanya Khanafi, setelah masuk ke dalam kamar geladakku, yaitu kamar yang beralaskan papan kayu.
“ah ini fi lagi bikin sket, buat lukisan di aula belakang, duduk, tunggu bentar, entar nyari sarapan bareng” kataku.
Hari makin beranjak siang, dingin pun
kian hilang, meninggalkan titik embun di rerumputan, suara burung ramai
bercicit, menyambut matahari yang telah mulai menyembul dari puncak
gunung putri. Seakan dunia ini betapa damainya, tak ada problem, tak ada
dendam iri dengki, tak ada pembunuhan, kematian hanya terjadi karena
kewajaran, seperti daun yang berguguran, seperti matahari yang terbit
kemudian tenggelam. Angin pun mengalir dengan kasih sayang, alam dan
manusia seperti keselarasan yang saling melengkapi, tak ada kejahatan
manusia, atau jin, tapi dunia di luar tak sesempit harapan setiap orang.
Aku pun selesai membuat sketsa, ketika jam tangan butut telah
menunjukkan jam 7 pagi.
“ayolah fi. Kalau mau nyari sarapan…”
kataku setelah selesai memberesi buku. Dan kami pun beranjak untuk pergi
ke tempat nyari makan di warung bu enur, biasa makan nasi uduk, tak
mahal cuma 1500 sudah bisa mengganjal perut, plus teh pahit gratis.
Sebenarnya di warung bu enur, sudah jadi
rahasia umum, bahwa setiap pemuda yang datang bukan hanya yang dituju
makannya tapi anak gadis bu enur yang cantik, manis dan centil, itu juga
tak ketinggalan si Khanafi, dan aku ujung-ujungnya juga ikut ngelirik.
Ah memang syaitan paling gampang menularkan penyakit menular, yang
paling mudah yaitu nafsu. Melewati got-got aliran darah, dann
menghangatkan hati yang kasmaran dengan bisikan-bisikan menghanyutkan.
Dan membumbui sesuatu yang sepele jadi besar, bahkan jadi gunung yang
siap meletus. Karena jaraknya cuma seratus meteran dari pondok, maka
kami berdua pun cepat sampai, tapi rupanya teman-temanku yang ku kira
mendengkur di bawah selimut ternyata sudah pada nongkrong di warung,
sembari menggoda Afifah, anak gadis bu enur yang tak bosan-bosannya
melempar senyum termanis.
“o alah, kalian sudah pada disini to?”
tanyaku di jawab dengan cengengas-cengenges si kolil, udin, tarsan,
majid, dan yang lain. Mereka tak segera beranjak padahal semua nasi di
piring sudah tak ada sebijipun. Heran!
“ah mbok ya gantian to!” kataku agak jengkel, karena kursi penuh sudah tak ada tempat duduk.
Teman-temanku pun segera beranjak, “udah
deh mas, di enak-enakin aja, ku tinggal dulu” kata Udin mewakili yang
lain. Aku dan Khanafi segera memesan nasi uduk, yang segera di bawa
keluar oleh Afifah, biasa Khanafi pun mengeluarkan jurus menggoda,
“aduh ini nasinya apa orangnya ya, yang baunya harum?”
“ih mas Khanafi bisa aja…” jawab Afifah dengan nada kenes.
“mas ian, tolong di lukis Afif dong…” katanya manja sambil duduk di sebelahku.
“kamu minta di lukis?”
“heeh…”
“emang kuat kamu musti duduk seharian?”
“jangankan seharian, bertahun-tahun duduk
di depan mas ian pun aku kuat” jawabnya makin kenes dan manja, wah bisa
membuatku tak bisa tidur. Sementara Khanafi makin mbesengut melihat
Afifah dekat di sampingku. Afifah memang cantik, wajahnya mirip Bunga
Citra Lestari, malah mungkin lebih cantik, kecantikan yang alami tanpa
polesan, sebenarnya beberapa hari yang lalu, ketika aku belanja sendiri
ke warung bu enur dan Afifah yang melayaniku membeli menanyaiku,
“mas iyan ini dari Jawa Timur ya?” kata bu enur.
“iya bu…” jawabku singkat.
“belum punya istri kan mas?” tanya ibu enur lagi.
“apa bu?” kataku pura-pura tak mendengar.
“enggak, kalau mas ian belum punya istri, nyari aja di sini…” wah gelagatnya makin tak baik.
“Afifah ini anak ibu juga sudah besar dan sudah pantas bersuami,” kata ibu enur tanpa basa-basi.
“wah saya ini sudah punya istri tiga bu…” kataku berbohong,
“ah tak mungkin itu, masak masih muda, sudah punya istri tiga,” kata bu enur sambil tertawa.
“la mau bilang apa bu, kenyataanya memang
begitu, kalau saya punya istri 3 lalu bilang masih perjaka, la nanti
kalau ketahuan kan berabe. Mending jujur aja,” kataku meyakinkan.
“wah kalau tiga tentu masih bisa tambah
satu, maukan fa jadi istri yang ke empat” kata bu nur di tujukan pada
Afifah yang sedang ngupas bawang merah, dan Afifah manggut. Edan, aku
jadi melongo, salah tingkah, ibu sama anak kompak banget ngerjain orang.
“gimana mas ian? Afifah sudah mau itu,”
“wah harus ngasih makan empat orang bu,
tiga orang aja mumet, apa kuat ya, kalau di tambah satu?” kataku seakan
akan perkawinan itu akan benar-benar terjadi.
“mas, ifah ini makanya sama tempe aja sudah mau, tak perlu yang mewah.” kata bu enur, seakan memojokkanku.
“sudah jangan terlalu di pikir, di jalani aja.” katanya.
Sementara itu Afifah yang masuk kedalam,
tiba-tiba menjerit “aduh tanganku terbakar…!” bu nur pun lari ke dalam.
Dan keluar lagi dengan afifah sambil ngomel-ngomel.
“kenapa tak hati-hati, sudah tau panci panas, malah di pegang.”
“di kasih pasta gigi aja fa, biar adem.
Dan tak melembung”. Kataku menyarankan. Afifah pun ke dalam dan keluar
lagi sambil membawa pasta gigi yang di sodorkan padaku.
“oleskan…!” katanya manja, kulihat
jarinya memang melepuh, dia mengulurkan jemarinya ke arahku dan aku pun
mengoleskan pasta gigi perlahan. Mata bening Afifah menatapku, yang
sedang tekun mengoleskan pasta gigi, lama di tatap aku jadi jengah.
“mas, sayang aku enggak.?” tanyanya bergetar.
“ya jelas aku sayang kamu, aku sayang
semua manusia, walau kafir sekalipun, walau jahat sekalipun, kalau
kafir, ya upayakan jadi muslim, kalau jahat ya upayakan untuk sadar,
bukankah itu yang di perjuangkan Nabi, kalau tak bisa ya di doakan,
bukankah Alloh menciptakan manusia atau hewan pasti ada maksud dan
tujuannya. Kalau orang jahat dan kafir, itulah ladang amal yang harus di
garap.” kataku panjang lebar.
“Alloh menjadikan ada yang muslim, ada
yang kafir, ada kaya ada miskin, dan sebagainya, Alloh mampu menjadikan
manusia muslim semua, tapi kenapa dia juga menjadikan garis manusia
kafir. Alloh juga menjadikan kambing, tapi juga menjadikan srigala,
kalajengking, macan.” kataku lagi.
“wah mas maksudku bukan itu….” sela Afifah,
“terus apa?” tatapku heran.
“maksudku sayang antara lelaki dan perempuan?” kata afifah menunduk.
“kalau kamu gimana?” tanyaku balik, menutupi kebingunganku menjawab.
“aku,” katanya sambil menunjuk hidung mancungnya yang mungil,
“ah masak tak ngerti, selama ini sikapku
terhadapmu.” aku menerawang, memang Afifah selama ini sikapnya
terhadapku teramat beda, cuma aku aja yang membutakan mata, tiap aku
belanja di tokonya selalu di kasih apa-apa yang tak ku beli. Kadang dia
sempat-sempatkan datang ke pondokku untuk memberi cemilan atau makanan.
Ku pandang wajah Afifah, mata nan jeli, dann bening, bulu mata lentik,
alis melengkung dan tertata rapi, seperti di tanam satu-satu, hidung
mancung nan mungil, pipi putih seperti susu yang di tetesi setetes
perasa strawberi, bibir yang tipis dan terbentuk seperti mudah pecah
memerah tanpa gincu. Di atas bibir bulu kumis halus tumbuh seakan
seperti polesan madu pada ujung es krim, dagu lancip tercetak penuh
kehati-hatian, menunjukkan kekerasan hati.
“gimana mas? Sayang enggak sama aku?”
“Siapa sih lelaki yang melihat bunga mekar sepertimu yang tak merasa sayang? Termasuk aku, aku lelaki normal,” kataku satu-satu.
“makasih mas….” Afifah memotong ucapanku
dan lari kedalam rumah, dan sampai di pintu berhenti dan mengerling
padaku, ah ancur-ancur kalau kayak gini….bisa yang enggak-enggak, desah
batinku, dan ku ambil belanjaan lalu pergi ke pesantren.
“mas ian, aku bener di lukis ya…!” suara
manja Afifah memecah lamunanku. Ah kenapa perempuan lagi-perempuan lagi,
yang akan memecah konsentrasi wiridku.
“iya deh, kapan kapan aku lukis,” jawabku daripada urusan jadi panjang dan bertele-tele,
“berapa lama sih untuk nyelesaikan lukisannya?” tanya Afifah lagi,
“ya tergantung media, dan cara
nglukisnya, kalau pake pencil ya seperempat jam pun jadi, ya kalau pake
air brush ya setengah jam jadi, kalau pake kuas, ya sehari jadi. Kamu
maunya pake apa?” jelasku lengkap, kyak mau jual beli.
“trus kalau air brush, itu nglukis apaan mas?” tanya Afifah serius.
“ya kalau air brush, itu nglukis pakai
pena brush, pake tekanan angin compresor, sebenarnya biasanya di pake
nglukis di motor atau mobil, pernah lihat kan bus yang di lukisin kuda
lagi lari?” Afifah manggut.
“nah itu nglukisnya pake air brush,” kataku sambil ngelihat Afifah yang melongo.
“wah berarti wajahku mau di lukis di mobil ya mas?” tanya Afifah.
“ya enggak lah, di media apa aja kan bisa, maunya kamu di mana, apa di viber?”
“wah itu apa lagi mas, kok kyak nama susu?”
“viber ya plastik akrilik, aduh susah deh njelasinnya….” kataku agak jengkel.
“ya udah deh terserah mas ian aja dech.” katanya menatapku jidatnya mengkerut.
“wah aku malah tak kebagian…” celetuk Khanafi. Yang sejak tadi diam aja mengunyah nasi uduk.
“ini nanti kesiangan, ayo balik dulu…”
kataku seperti di ingatkan. Kulihat jam tangan sudah menunjukkan jam
sembilan lebih. Kami pun pergi meninggalkan warung, seperti biasa aku
dibekali, kali ini krupuk jengkol sekresek. Lumayan buat cemilan.
Sampai di pondok aku segera mengajak
Khanafi membuat adukan semen di campur alkasit untuk memperlambat
pengeringan semen, guna membuat ukiran kaligrafi semen. Hari berlalu
begitu cepat, kebetulan malam nanti jum’at kliwon, tiap jumat kliwon di
pesantren di adakan acara jamiyah khataman torekoh kodiriyah
wanaksabandiayah, sejak sore, tamu yang akan mengikuti khataman sudah
pada datang, selepas magrib mobil-mobil telah mulai memenuhi tempat
parkir. Para santri sibuk menata dan mengarahkan parkir mobil agar mudah
kalau mau masuk arena parkir, sementara santri yang lain menerima tamu,
mengumpulkannya di majlis, majlis dzikir yang terbuat dari bambu.
Berdinding kerai, dan beralaskan bambu yang di pecahkan dan di bentang,
yah orang-orang yang datang dengan mobil mewah, dan yang datang dengan
angkot, duduk bersama tanpa membedakan jabatan, atasan dan bawahan.
Semua datang dengan niat masing-masing. Banyak yang membawa air botol
aqua, juga berbagai macam senjata tajam semua di tumpuk di tengah-tengah
majlis dzikir.
Kyai tak pernah menolak bagaimanapun
orang yang datang, bahkan ada juga orang beragama hindu dan budha atau
kristen yang datang, walau ujung-ujungnya juga masuk islam, tapi kyai
tak pernah memusuhi mereka, semua patut di ajak kejalan kebenaran dengan
kehalusan budi, dengan kasih sayang, belum tentu yang sekarang jahat,
yang sekarang kafir, nantinya malah meninggal dalam islam. Dan sekarang
yang islam juga tak sulit bisa saja nanti mati dalam kekafiran.
Jam masih menunjukkan jam 9 malam, tamu
sudah berjubel sampai jalan, padahal biasanya wirid dan dzikir di mulai
pukul 11 malam. Aku masih di dalam kamarku, di depan kamar telah penuh
orang, ku nyalakan sebatang djarum super, dan ku nikmati secangkir kopi
kapal api duo susu, saat seperti ini apa-apa berlimpah, para tamu banyak
yang membawa rokok ber pak-pak, juga kopi dan makanan, kami anak
pesantren yang jarang makan enak tentu seperti ketiban rizki, walau itu
tetap kami anggap biasa. Kamarku di pakai nongkrong teman-temanku,
sampai penuh sambil menunggu saat wirid di mulai, dan semuanya ngerokok,
sampai asap memenuhi ruangan, kalau sudah begini pakaianku yang
kugantung di gantungan baju, yang nantinya baunya kayak baju dukun
lepus.
Nampak pak Made kepalanya nongol di pintu, pak made adalah wartawan Rcti.
“halah penuh.” katanya pendek.
“iya pak, penuh asap,” kataku.
“masuk pak?”
“enggak lah aku di depan sini aja.”
Aku ingat waktu pak Made pertama ke
pesantren rombongan empat orang, pak Made asalnya beragama hindu. Saat
itu setelah menghadap kyai. Semua orang di kupas satu-satu, semua
melongo karena kyai tau mereka habis berzina dengan wanita panggilan di
salah satu hotel. Semua wajah menunduk seperti di hadapkan pada
pengadilan Tuhan.
“aku saja tahu dengan apa yang kalian
lakukan apalagi Alloh, apa kalian berani menghadapi adzabnya.?” kata
kyai walau masih dengan nada lembut. Besoknya pak Made di suruh
membershkan diri di laut pantai Carita, dan setelah pulang dari pantai,
maka pak made di tuntun membaca dua kalimat syahadah untuk masuk islam,
sejak itu pak Made aktif mengikuti jamaah torekoh kodiriyyah
wankhsabandiyyah, aktif mengikuti jamiyah setiap bulan melakukan
khataman.
Jam telah menunjukkan pukul 11 malam, dan
dzikir berjamaah pun di mulai di pimpin langsung oleh kyai. Para santri
termasuk aku duduk di sekitar kyai, dan para jamaah memenuhi majlis.
Keadaan teramat kyusuk. Semua mengalir pelan, namun penuh ketenangan,
sampai jam 3 dini hari dzikir pun selesai, kami makan bersama dengan
nasi yang dibawa dari rumah makan NIKKI dari Subang, dan orang yang
ingin menyampaikan keluhan menghadap kyai, antri satu-satu.
Masih ada waktu sebelum subuh datang, aku
pun pergi ke kamar, menyelonjorkan tubuh dan melafatkan ilmu melepas
sukma. Sukmaku pun melesat, melintasi ruang dan waktu, kearah sekolah
angker di desaku, mungkin cuma lima menitan aku telah sampai, keadaan
sepi, aku segera masuk ke dalam, tiba-tiba ku dengar suara,
“nah ini orangnya sudah datang, ” suara itu dari 2 arwah yang kemaren berantem denganku.
Tapi dari pintu melompat dua bayangan tinggi besar menghadangku,
“lho kok sampean kang?” kata bayangan satu kebayangan yang lain. Seorang berkumis tebal melintang dengan pakaian ala Madura.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda