Malam itu nyai Bundo, disuruh mandi oleh
Kyai, setelah di beri petunjuk-petunjuk, setelah mandi nyai Bundo di
tuntun membaca dua kalimah sahadah, dan nyai Bundo pun telah menjadi
seorang muslimah, terlihat wajahnya memancarkan kebahagiaan, dan matanya
berkaca-kaca karena bahagia.
Malam itu nyai Bundo menemani Kyai
menemui para tamu-tamu yang tiada habisnya sampai adzan subuh, nyai
Bundo teramat kagum kepada Kyai, yang begitu dengan telaten mendengar
keluh kesah para tamu, lalu memberi solusi, berbagai macam keluhan
tentang kesempitan hidup, tentang segala macam penyakit.
Kyai dengan sabar melayani, tanpa meminta
imbalan apapun, karena memang Kyai tak membutuhkan apa-apa. Aku sangat
tau pasti itu, kalau soal rumah mewah, aku sangat tau Kyai punya di
mana-mana, yang sering aku di ajak menengok rumah mewahnya yang di
biarkan kosong, di Pondok Indah, di Kelapa Gading, di Tangerang, di
Parung, semua rumah-rumah yang mewah, juga mobil Kyai punya banyak,
sampai akupun tak tau jumlahnya, yang aku tau pasti ada mobil mercedes,
karena aku pernah mengecatnya dengan lukisan airbrush, lalu ada mobil
land cluser yang di beli dari uang daun.
Saat itu Kyai mengajar kami tentang
kemulyaan ilmu, dan banyaknya ilmu Alloh, sehingga ilmu Alloh teramat
banyak sampai jika ilmu Alloh itu di gali dari masa nabi Adam as. sampai
sekarang maka ilmu itu masih lebih banyak lagi, lalu Kyai juga
menyinggung tentang kebersihan hati dari penyakit nafsu, serakah,
sombong, egois, iri, dengki, berburuk sangka, tiada bersyukur,
menjauhkan sifat-sifat dan budi pekerti yang tercela, apa yang kau
lihat, jika orang lain melakukan maka kau tak suka, maka apabila kau
lakukan seperti itu orang lain pun tak suka.
Itu harus di jauhi, dan jauhkan diri dari
memandang sesuatu itu punya kekuatan melebihi kekuatannya Alloh.
Upayakanlah di dalam hati yang ada Allah semata. Maka hatimu nanti
menginginkan, sebenarnya itu keinginan Alloh. Tiba-tiba Kyai menyuruh
para santri mengumpulkan daun kopi sebanyak-banyaknya, kami segera
bertebaran mengambil daun kopi, yang pohonnya tumbuh di sekitar pondok,
setelah di rasa banyak, kamipun segera kembali ke depan Kyai, kemudian
Kyai menyuruh mengikat daun-daun kopi itu degan tali dari gedebong
pisang, di jadikan bundelan-bundelan, lalu Kyai menyuruh semua daun di
satukan di atas sorban, dan sorban itu di ikat, kemudian Kyai mengucap,”
ini adalah suatu contoh jika engkau menginginkan daun jadi uang, jika
hati telah di liputi hanya Alloh, maka daun pun akan jadi uang.”
Kami semua menatap dengan pandangan
kurang yakin, bagaimana pun itu pengalaman yang belum pernah kami alami.
Lalu Kyai menuding pada bungkusan daun. Dan berkata, “Jadilah uang.”
Lalu Kyai menyuruh kami membuka ikatan
sorban itu, dengan hati berdebar-debar kami buka ikatan, dan betapa
terkejutnya kami, semua daun kopi yang kami kumpulkan telah menjadi uang
semua, masih terikat tali gedebong pisang. Kami semua memandang takjub,
termasuk para tamu yang ada, lalu Kyai memanggil salah seorang tamu
yang di kenal baik oleh Kyai. Namanya pak wisnu.
“Pak Wisnu tolong pak Wisnu bawa pergi
uang ini dan saya minta dibelikan mobil landcluser.” kata Kyai. Pak
wisnu he eh aja kemudian pergi membawa uang itu. Besoknya datang mobil
yang masih kinyis-kinyis sesuai permintaan Kyai.
Pagi itu sebelum matahari keluar dari
peraduannya, nyai Bundo telah pergi, sebelumnya mohon diri kepada Kyai,
lalu berjalan ke halaman, membentangkan karpetnya, berdiri di atasnya,
membaca mantra, tubuh dan karpetnya pun melayang terbang, nenek itu
melambai kepada Kyai yang mengantarkan sampai pintu rumah gubugnya.
Wajah nenek itu demikian bercahaya penuh kedamaian.
Begitulah di pesantren ini tiap hari ada
saja orang yang di Islamkan, penyakit yang di sembuhkan, pecandu narkoba
yang di sadarkan, bromocorah yang di taubatkan, preman yang di
sadarkan, dengan kelembutan dan kasih sayang juga kelebihan-kelebihan
Kyai.
Matahari pagi bersinar dengar ceria,
wajahnya berbinar sumringah seperti merahnya para gadis desa yang mau
pergi kesungai untuk mandi, embun di atas rerumputan bagai permadani
manikam, berkilauan bahagia seakan tak takut sebentar lagi sari indahnya
akan hilang berbarengan siang yang mulai menggarang.
Nampak beberapa tamu menunggu Kyai
menemui ada yang ngobrol, ada juga yang duduk bermalasan. Nampak sebuah
sedan BmW hitam dop. Berhenti di tempat parkir, lalu menempatkan ke
parkir jauh dari pohon kelapa yang memang mendomisili tumbuhan di
sekitar pesantren. Selain kopi pesitan, picung, dan cecek juga ada pohon
mlinjo.
Setelah mobil berhenti, keluarlah tiga
orang, satu pria dan dua wanita, nampaknya tiga orang itu, seorang gadis
dan ayah ibunya. Duilah cantiknya, bener-bener gadis yang cantik, walau
di pondok ini sering kedatangan artis, tapi memang gadis ini
benar-benar cantik, mata yang indah wajah yang sempurna hidung mancung
sekali, bibir yang merekah tapi tipis, alis mata yang melengkung seperti
pedang orang Arab, dagu yang lancip, uh kulitnya putih bersih tapi
mengeluarkan cahaya, mungkin sering mandi susu dan madu. Tubuh yang
tinggi tapi padat berisi.
Wah jadi membayangkan yang enggak-enggak,
ternyata bukan aku saja yang terpukau, si Jauhari, Kholil dan Mujaidi,
yang sedang menyapu halaman, terbengong-bengong, sapu di tangan mereka
terlepas. Dan air liur menetes dari tepi mulut mereka, wah bisa malu
maluin, aku segera menghampiri mereka, dan mengingatkan mereka. Mereka
bertiga segera menyadari, dan cepat-cepat melanjutkan menyapu. Aku
sebenarnya juga keluar air liur, tapi dikit, tak sebanyak mereka.
Ketertarikan wanita dan lelaki juga
kekaguman kesempurnaan ciptaan Alloh, adalah wajar, wanita memandang
lelaki, juga sebaliknya, kemudian kagum, itu wajar, asal tidak
meneruskan pandangannya ke dalam pandangan perzinahan mata. Yang tidak
wajar itu kalau lelaki lihat kambing betina, lalu timbul birahi.
Inilah hidup kita ini di beri nafsu
binatang, tapi kita juga di beri pikiran, nafsu membuat kita hina, tapi
dengan menempatkan pada tempatnya sungguh nafsu tak membuat manusia
hina.
Gadis cantik dengan kedua orang tuanya
itu menghampiri salah seorang santri yang sedang menyapu halaman.
Kebetulan yang di dekati si Kolil, Kolil masih pura-pura sibuk menyapu,
keringat dingin keluar membanjir, gemetar dengkulnya bergemelatukan.
Lalu si gadis bertanya, “Mas, Kyainya ada?” tanya gadis itu.
Sebenarnya yang di tanyakan hanyalah
pertanyaan yang biasa saja, yaitu pertanyaan bagi tamu yang baru datang
dan ingin bertemu Kyai. Tapi karena Kolil sudah keder duluan, dan suara
gadis itu seperti suara seruling dari alam lain, maka Kolil pun
gelagapan, seperti orang tenggelam di danau yang dalam “nga…ngu..
uit…nguk…”
Melihat gelagat yang kurang baik, aku segera menghampiri.
“Mau ketemu Kyai ya?” di jawab anggukan
oleh ketiga orang itu. “Mari ikuti saya.” sayapun berjalan duluan,
sambil berpikir, pastilah si Kolil nanti malam tak bisa tidur, kalaupun
bisa tidur, pasti semalaman akan mengigau, sampai pagi.
Setelah sampai di tempat, Kyai masih
sibuk mengobati seorang tamu, sementara tamu yang lain masih mengantri,
segera tiga orang itu kuminta mengantri. Yang di tangani Kyai bernama
Bapak Saipudin, dia seorang jaksa daerah Banten, karena menangani suatu
masalah bapak Saipudin di santet orang. Tiba-tiba lelaki tinggi, umur
empatpuluhan tahun itu memuntahkan darah kental, dari mulutnya,
sementara Kyai mengobati lewat tangan Kyai di tempel di punggungnya.
Lalu Kyai memanggilku, “Suruh si Tarsan mengambil kelapa hijau.” kata Kyai, yang langsung kufahami maksudnya.
Aku segera memanggil Tarsan. Nama Tarsan
adalah nama panggilan kepada seorang santri, karena trampilnya memanjat.
Tarsan adalah santri dari Bojonegoro, umurnya duapuluh tahunan,
tubuhnya kecil tapi kekar, berotot, tarsan segera memanjat kelapa,
tubuhnya sama sekali tak menempel pada pohon kelapa, kaki tangannya
lincah menempel pada pohon kelapa, seperti tangan dan kaki itu milik
spidermen, tak sampai lima menit tiga buah kelapa didapat tanpa di
jatuhkan, karena memang kelapa itu perintah Kyai.
Setelah kelapa itu di isi oleh Kyai, satu
kelapa di minum bapak Saipudin, dan yang dua di buat mandi. Setelah
tamu-tamu di layani, sampailah pada giliran gadis itu dan kedua orang
tuanya. Lelaki itu mulai mengenalkan diri bernama Purnomo, dan istrinya
dan gadis cantik itu adalah anak angkat pak Pur, yang bernama Evo,
aslinya ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, sejak umur 12
tahun ibunya telah meninggal dunia, dan papanya kembali ke negaranya,
sehingga pak Purnomo yang mengasuhnya.
Pak Pur menarik napas, lalu melanjutkan
ceritanya. Namun sayang agamanya Kristen, mengikuti agama ibunya. Tampak
Kyai merenung sebentar kemudian berkata di tujukan kepada Evo,
“Tidakkah engkau ingin tau keadaan ibumu di sana.”
“Bagaimana aku bisa tau, ibuku telah meninggal.” jawab gadis itu polos.
Kyai lalu menyuruhku memanggil Jauhari,
santri asal Madura, yang wajahnya agak kotak, tinggi sedang yang suka
mandi berlama-lama tapi kulitnya tetap hitam juga. Tapi memang Jauhari
orangnya baik, bertemu siapa saja ia akan tersenyum, atau mungkin
sengaja tersenyum karena mau menunjukkan pada semua orang bahwa ia punya
gigi yang putih. Jauhari segera menghadap Kyai masih dengan senyum
khasnya, tapi ia tak berani menatap gadis cantik yang duduk di situ,
takut ilernya tak bisa di tahan dan membanjir, tentu akan membuat malu
Kyai.
“Ada apa Kyai?” katanya, masih tersenyum.
“Hur.! Sini duduk menghadap kesana.” kata Kyai, menyuruh Jauhari duduk membelakangi Kyai, yang segera dilakukan Kyai.
Perlahan tangan kanan Kyai terangkat
tinggi-tinggi telapaknya terbuka, kemudian telapak itu tergenggam. Mata
pak Pur, istrinya, dan Evo memandang tak berkedip, Tiba-tiba tangan Kyai
seperti melempar sesuatu ke punggung Jauhari. Tiba-tiba secara
mengejutkan tubuh Jauhari bergulingan di galar bambu, suaranya
mengaduh-aduh, tapi bukan suara Jauhari yang terdengar melainkan suara
wanita.
“Aduh… tolong, ampun, sakiit.. jangan
pukul lagi, ampun.. huhuu..” suara Jauhari yang menjadi suara perempuan
itu merintih-rintih kadang merangkak, tapi seperti ada yang memukulnya
dari belakang, punggungnya sampai meliuk, lalu bergulingan, seperti tak
kuat menahan derita sakit yang tiada tara.
Pak Purnomo dan istrinya terkejut, heran,
dan berbagai pertanyaan kumpul jadi satu. Tapi yang lebih tekejut lagi
adalah Evo, wajah gadis cantik itu, putih pucat seperti kapas, tanpa
sadar ia menjerit, “mama!”
Mendengar suara Evo, Jauhari yang masih bergulingan itu bangkit lalu merangkak mendekati Evo, masih mengaduh dan menangis,
“Kaukah itu Evo?” suara perempuan yang
ada di tubuh Jauhari bertanya, “Evo Yulianti Dousand.” Evo beringsut
mundur, wajah Jauhari yang hitam makin jelek saja, mungkin itu yang
membuat Evo mundur, aku jadi berpikir kenapa tadi yang jadi medium bukan
aku saja, setidaknya lebih cakep daripada Jauhari.
“Tak mungkin, mama sudah meninggal…, tak mungkin.” Evo beringsut mundur.
“Anak durhaka, setelah ibumu meninggal,
kau tidak mengakui ibumu, aduuh..” tubuh Jauhari terjengkang lagi,
seperti ada yang menyambuk punggungnya. Kyai terlihat mengangkat tangan
seperti menahan seseorang yang tak terlihat supaya tidak memukul lagi,
dan Jauhari pun tak mengaduh lagi.
“Apa bukti nya kau mamaku.” tanya Evo masih ragu.
Lalu suara perempuan itu nerocos
menceritakan Evo dari kecil sampai saat mamanya meninggal, tentang Evo
yang suka bubur kacang hijau, tak pernah mau minum susu, sejak kecil
rambutnya suka di kepang. Belum sampai ceritanya habis, Evo menjerit mau
menubruk Jauhari tapi segera di tahan oleh ibu angkatnya.
“oh mama…” tangis Evo menyayat, “Bagaimana keadaan mama di sana? huhuu…”
“oh aku di siksa terus… di cambuk terus, menyesalpun percuma, kenapa kau tak pernah mendoakan ibumu ini.”
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda