Acara makan-makan pun cepat berlalu, apa
yang di pesan tidak sampai seperempat jam telah pindah ke perut kami
bertiga, dan terakhir ku sruput es kelapa muda, ah memang restoran
memang kebanyakan cuma gengsinya doang, kelapa mudanya juga enakan yang
bikinan pinggir jalan, bukannya aku ndak terima dengan apa yang telah
aku telan, ini cuma bahan tulisan saja, atau kali aja lidahku yang lidah
jalanan, tapi ndak kok emang ndak enak setidaknya menurut ukuran harga
es kelapa muda di restoran kalau di belikan kelapa muda di jalan,
kayaknya dapat sejerigen, berlebihan ya, yang ku buat perumpamaan? ya
kalau ndak gitu nanti tidak ada yang di omongkan, nyatanya orang lebih
suka menjual gengsi dari pada nilai suatu kejujuran, juga lebih suka
bangga membeli gengsi dari pada makan yang sesuai di lidah, yah itulah
perputaran kehidupan, kami segera naik mobil lagi, dan kami minta turun
di lorong arah menuju ke tempat kami menginap yaitu di rumah pak Sugeng.
“yan.., mbak Lina itu naksir kamu habis..” kata Edi saat kami berjalan bertiga di gang arah rumah menginap,
“kok tau mas Edi..” kataku, sambil
menyalakan rokok, yang selama di mobil ini aku tahan ingin ngrokok,
minta ampun lebih kebelet dari pada orang yang mau ke toilet,
“kita ini sudah enam taun, baru sekarang
mbak Lina ngajak kita makan-makan, la kalau ndak naksir kamu, apa alasan
lain yang lebih masuk akal?” tanya Edi juga ikutan nyalain rokok.
Ikhrom yang tidak ngrokok memang dia tidak merokok, itu aja bibirnya
sudah hitam banget, mungkin alasan dia tidak ngrokok juga agar bibirnya
tidak malah hitam, tapi aku tak pernah bertanya ke situ,
“bisa saja karena alasan lain..” kataku
sekenanya, karena juga aku bukan orang yang ingin di taksir oleh mbak
Lina, walau menurutku dia cantik lebih cantik dari setandar ukuran
cantik yang ku pakai ukuran,
“kita lihat aja nanti.” kataku menambahkan, sambil nyedot rokok kuat-kuat, biar agak mantepan dikit.
“mbak Lina itu habis putus pacar lo yan.” kata Ikhrom nambahi,
“masak?” kataku agak neleng, kayak serius menanggapi,
“iya.., cowoknya yang dulu di tendang, katanya ndak setia.” tambah Edi, kayak makin seneng aja ngomongin orang.
“lah mbak Lina secantik itu masak
cowoknya bisa ndak setia.?” tanyaku asli merasa heran bukan ku
buat-buat, karena memang aneh juga kalau orang cantik kok ada cowoknya
yang ndak setia,
“sebenarnya itu sih alasan aja, mbak
Linanya sendiri yang udah bosen.” kata Edi menutup pembicaraan, karena
kami sudah sampai pintu rumah pak Sugeng.
Setelah sholat isyak kami pun berangkat
tidur, waktu telah menunjukkan jam 12 lebih lima menit, seperti biasa,
aku dan Edi tidur satu kamar, dan Ikhrom tidur di kamar lain,
“yan kalau mbak Lina naksir kamu beneran,
kamu mau jadi cowoknya?” tanya Edi berbisik, padahal tidak usah
berbisik juga suara Edi kurang keras, karena kebiasaan Edi kalau mau
tidur nyalain tape recorder, dari tape mobil yang sudah bodol, dan yang
di puter lagu itu-itu saja, lagunya Kus plus kalau ndak salah judulnya
telaga sunyi, dan urutannya yang aku sampai hapal itu lagu mari nyanyi
bersama, yah kalau di denger-denger lagu itu makin bosen, tapi lama-lama
enak juga untuk pengantar tidur, tapi malah membuatku tidak konsentrasi
untuk wirid dalam hati,
“apa?” tanyaku karena memang suara Edi yang tak jelas,
“ya kalau mbak Lina beneran naksir kamu,
kamu mu gak jadi cowoknya?” tanyanya mengulang pertanyaan nya dengan
nada yang tak sama,
“kalau nurut kamu aku mau apa ndak?” tanyaku.
“lhoh ini kan yang jalanin kamu yan kok malah tanya aku lagi?” rungut Edi.
“la aku sendiri tidak tau, aku baiknya
mau apa nggak?, udahlah besok aja di bicarakan lagi, sekarang tidur..”
kataku sambil menutupkan tangan pada atas mata.
Hari berlalu seperti melewati lingkaran
yang berputar dalam satu poros, kami ini seperti tikus yang berlari
dalam putaran roda, makin lama kami berlari, maka tetap saja kami ada di
jalan yang sama, Matahari departement stort, jalan rumah nginap, kok
aku pikir makin jenuh saja, pagi jam sembilan berangkat kerja, jam
sepuluh buka toko, sebelumnya sarapan dulu, menghadapi pembeli, sore
pulang, kayaknya kalau kami pikir seperti robot saja, terus terang kalau
aku ndak berjiwa muda, artinya masih anak muda, jenuhnya minta ampun,
untung aku ini anak muda, sekali waktu nggodain cewek cantik yang
jalan-jalan ngelewati toko kami, atau kadang kala aku iseng nggoda
cewek, supaya membeli sepatu yang ku pajang, ku goda sampai akhirnya
beli, padahal asal ngecap saja, kubilang kalau pakai sepatu yang ku
pajang itu malah cakep, malah kelihatan modis, padahal aku ndak ngerti
modis itu apa, dan kadang yang bikin aku ketawa, cewek yang jelas-jelas
wanita, namanya juga cewek ya pasti wanita, ku godain supaya beli sepatu
yang bergaya lelaki, dan ku bilang malah cuantik, dan akhirnya beli dan
di pakai, padahal jelas nyalahi, tapi kok ya mau aja..,
ah kalau di pikir emang makin ngawur
dunia, kebanyakan remaja itu ngikuti kata orang, ndak tau kalau orang
yang di ikuti itu ngawur bicaranya ya mereka tetap saja ngikuti.
“yan,..sini” tiba-tiba pak Sugeng manggil aku.
“ada apa pak?” tanyaku. setelah ada di depannya,
“ya udah besok kamu kerja di sepatu bata, ndak usah potong rambut” kata pak Sugeng.”
“oh gitu ya pak?” tanyaku.
“iya.., orangnya bilang, kamu yang rapi aja, rambutnya di ikat ke belakang yang rapi, besok mulai kerja di sepatu bata ya..” tambah pak Sugeng jawab tanyaku.
“iya.., orangnya bilang, kamu yang rapi aja, rambutnya di ikat ke belakang yang rapi, besok mulai kerja di sepatu bata ya..” tambah pak Sugeng jawab tanyaku.
“iya pak..” kataku hormat, mengingat pak
Sugeng banyak menolongku. Toko sepatu bata tak jauh dari tempatku kerja
sekarang, di pisah empat toko, toko jam tangan toko emas, butik bak
lina, dan toko es krim, jadi toko sepatu bata pas sebelah toko es krim
dan roti.
Waktu istirahat aku sempatkan nyamperi ke
tempat toko septu bata, lalu berkenalan dengan pemiliknya dan dua gadis
pelayannya yang nantinya jadi teman keseharianku,
“mas ini ya yang besok kerja di sini?”
tanya gadis bernama Mona, wajah gadis itu biasa saja, kayak gadis desa,
rambut sebahu, tampang malu-malu, kulit sawo matang, tingginya pun
paling seratus enampuluhan, dia memakai seragam, dan gadis yang satunya
bernama Anna, cantik juga, lumayan tinggi mungkin tingginya seratus
enampuluh enam, wajah cantik, bibir tipis, rambut lurus sepunggung,
kulit kuning langsat, hidung mungil, cuma bedaknya rada tebal, mungkin
untuk menyembunyikan jerawat yang ada di pipinya, padahal nurut aku
makin banyak bedak, makin mudah jerawatan, karena pori-pori tertutup,
itu juga menurut pendapat ndesoku.
Setelah kami melakukan perkenalan
sebentar aku pun kembali ke tempat kerjaku setelah sholat dzuhur di
masjid belakang plaza, esoknya pagi-pagi aku berangkat lagi sama Edi,
walau mulai sekarang aku tak kerja lagi bareng Edi, tapi tetap tidurku
bareng sama Edi di tempat pak Sugeng.
Kami berjalan, melewati lorong panjang
pasar pagi dadakan, yang buka tiap pagi menjual sayur di jalur plaza,
yah pasar yang entah berapa kali di gusur oleh satpol pp, tapi tetap
saja buka tiap pagi, aku juga tak mau menyalahkan para pedagang yang
tiap pagi jualan, mungkin mereka mau menyewa tempat untuk berdagang
secara benar, tidak menggunakan ruas jalan, tapi mungkin harga sewa kios
terlalu mahal, jadi karena modal cekak akhirnya juga tetep jualan di
ruas jalan, dan yang terang saja mengganggu kelancaran lalu lintas, juga
aku tak menyalahkan petugas satpol pp, yang selalu mengobrak abrik
dagangan mereka, karena tuntutan tugas menertibkan kota, tapi hari
berlalu seperti itu akan terulang kalau pemerintah tak bijak mengambil
keputusan, seakan pedagang itu bukan rakyat Indonesia, mereka di gusur,
padahal dagangan itu mungkin dari modal ngutang, untuk menghidupi
keluarganya, ku rasa kalau ini berjalan terus tanpa adanya suatu solusi
bijak, yang di rugikan akhirnya semua, orang yang lewat, juga pedagang
kurasa tak banyak mengambil banyak untung dari dagangan yang di
orat-arit,
aku hanya menatap pada petugas satpol pp,
yang memakai tampang di garangkan, padahal mungkin orang tua mereka
juga bisa saja salah satu yang di gusur, andai orang satpol pp itu
sedikit berpikir andai mereka yang di gusur bagaimana, dan pedagangnya
yang sekali waktu di suruh jadi petugas satpol pp, yah carut marut ini
sebenarnya kuncinya ada di pemerintah, kalau rakyat tak miskin, kurasa
kejadian seperti kejar-kejaran pedagang dan petugas tak mungkin terjadi.
Tapi inilah yang terjadi, terjadi dan terus terjadi entah sampai kapan?
“yan…” suara Edi mengagetkanku.
“ada apa.” kataku sambil menghindari orang yang hilir mudik di jalan yang hampir menabrakku.
“soal mbak Lina, gimana tuh yan ?” tanyanya lagi sambil berjalan cepat di sampingku.
“gimana apanya?” aku balik bertanya.
“maksudku apa ndak kamu kasih perhatian?”
“perhatian yang gimana lagi?” aku balik bertanya.
“ya apa kamu ndak nerima dia?” tanyanya lagi.
“nerima gimana, la dia juga gak nyatain
apa-apa, ndak ngasih apa-apa, aku mau nerima apa?” kataku dan kami mulai
berjalan tenang karena telah melewati pasar sayur.
“si Lina itu naksir aku, atau suka
padaku, itu kan masih perkiraanmu saja, la kenapa harus ribut..” kataku
ku buat dengan nada mangkel. tapi mulutku masih tertawa,
“ya ndak gitu yan, ya emang ini masih
perkiraan, tapi andaikan ini bener-bener terjadi, dia jatuh cinta
padamu, ini misalkan lo ya.., kalau di nilai dari sudut pandangmu, dia
termasuk cewek tipe idamanmu gak?” tanyanya.
“ya… ku akui si Lina tuh cantik, kaya,
malah cantik dan kayanya sudah di atas bayanganku, tapi terus terang
bukan aku takut apabila nanti aku jadi cowoknya, dia bosan, lalu aku di
buangnya kayak buang ingus, di campakkannya kayak nyampakkan sampah ke
tong sampah, bukan takut seperti itu, tapi jujur dia bukan typeku,
terlalu muluk la bagiku, atau mungkin entahlah, walau aku jujur, aku
juga lelaki normal, yang jelas tertarik dan merasa wah dengan
kecantikannya dan keunggulannya, tapi kalau di tanya hati nuraniku, aku
tak ingin jadi kekasihnya, hanya bikin kebat-kebit aja, nyiksa hati..”
kataku panjang lebar, tak tau apa Edi paham dengan yang ku maksudkan.
“wah kenpa kebat-kebit kuwatir yan?”
“banyaklah alasannya, kalau di uraikan
satu persatu, akan makan waktu lama,” kataku singkat, tak terasa kami
berdua telah sampai di belakang Plaza,
“aku ndak ikut ke tempat mbak Ningsih ya.” kataku langsung masuk ke Plaza,
“lhoh ndak sarapan?” kata Edi berhenti,
“gampanglah nanti saja.” kataku nyelonong
masuk lorong depan etalase kerja di sepatu bata, dan melakukan
kesibukan tiap hari, membersihkan barang dagangan, menawarkan dan merayu
pembeli yang datang, apalagi kalau gadis yang datang, pasti kena ku
rayu untuk beli sepatu, kadang padahal aku rayu untuk beli sepatu priya,
tapi karena rayuanku pas jadi ya akhirnya mau juga, apalagi aku copot
sepatunya dan ku pakaikan sepatu baru, kayaknya ku lihat berbunga-bunga
wajahnya pertama ada rasa senang.
Tapi mulai satu minggu bekerja di temani
pelayan wanita yang ada, membuatku bosan, walau dua wanita pelayan
sering mengajakku ngobrol, ah kayaknya duniaku bukan di sini, aku
seperti orang yang tersesat saja, monoton dan tak tau jalan, gelap dan
teramat bisu dari perkembangan, aku seperti robot yang di pakaikan
pakaian manusia, suntuk mulai menggelayuti pikiranku, untung ada hari
jumat libur giliran, jadi aku bisa menelaah diri, mengurai dan
memikirkan apakah ini jalan yang ku ingini?
Seperti hari jumat itu, aku libur dan ku
pakai jalan, mengobati rasa rinduku, dari pagi aku sudah berangkat,
bilang pada Edi dan Ikrom untuk jalan-jalan, karena liburan, aku tak mau
suntuk dalam kamar, aku jalan saja, tak tau arah, dan tak memilih arah,
jam sepuluh sudah sampai di pintu tol porong, aku belok ketika ku lihat
sebuah masjid, ah kurasakan batinku lebih tenang kalau aku jalan
seperti ini lebih bebas dan tanpa terikat siapapun, lebih bebas
merenungi dan menangkap segala gerak-gerik Alloh atas dunia ini, ku
ambil wudhu dan masuk masjid lalu setelah sholat takhiyatul masjid, aku
pun tiduran selonjoran, ah betapa damainya, dunia tanpa beban……
Seseorang setengah tua, menghampiriku,
lalu mengucap salam, ku jawab, dan bersalaman dengan ku dia
memperkenalkan diri bernama pak Teguh.
“dari mana mas?” tanyanya sopan.
“jalan aja pak, saya kerja di matahari plaza…” jawabku juga ku buat halus.
“kok di masjid ini, apa gak kerja?” tanyanya lagi.
“lagi libur pak…, ini lagi jalan-jalan, nyari suasana baru….” jawabku ringan.
Kami pun berdialog, yang asalanya
membahas tentang perkenalan kami, sampai membahas tentang kesukaanku
jalan kaki ternyata pak Teguh juga orang yang suka jalan, walau tak
sesering sepertiku, dia juga cerita kalau dia asalnya bekerja di jawatan
kereta api, sampai waktu azan kami ngobrol, dan adzan di kumandangkan,
kami pun sibuk dengan diri masing-masing, aku mencari Al-qur’an ku baca
sambil menunggu imam naik ke mimbar, untuk khotbah jum’ah.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda