Dua hari perjalanan, akhirnya aku sampai
di kota Bojonegoro, selama dua hari ini aku tidur di alam bebas, juga
hanya makan jambu hutan dan pisang yang tumbuh di hutan, jadi perut
kempes, tapi aku berusaha untuk tawakal berserah pada yang memberi
hidup, sore hari ketiga setelah keluar dari tempat pak Fadhol aku sampai
ke Bojonegoro, aku berjalan terus arah selatan terminal lama, aku
berjalan sampai di satu mushola daerah Pacul, aku berbelok mengambil
wudhu kemudian sholat ashar, setelah sholat aku duduk tenggelam dalam
wirid, tiba-tiba di belakangku terdengar piring dan gelas di letakkan di
lantai mushola.
Setelah wirid selesai aku menengok
seorang pemuda berambut panjang dan berpeci putih tengah duduk, di
depannya ada nasi lengkap dengan lauk pauk, umur pemuda itu sekitar 30
tahun, dia tersenyum padaku.
“mari mas makan dulu,” katanya ramah.
“wah saya sudah menunggu dari tadi, takutnya mengganggu wirid.”
Aku mengulurkan tangan, mengajak kenalan, “Febrian.” kataku menjabat tangannya.
“Mashur.” ucapnya memperkenalkan diri,
“sudah ayo makan dulu, ngobrolnya di
lanjutkan nanti, sambil makan.” katanya sambil mengangsurkan piring ke
hadapanku, kulihat sayur terong, ikan bandeng, sambal trasi sebagai
lauk, terasa nikmat.
“mas ian ini musafir ya?” tanyanya.
“iya.” jawabku sambil menikmati makan yang nikmat.
“kok tau aku musafir?” tanyaku.
“ada seorang pemuda yang dari kemarin telah menunggu mas di rumahku,” katanya.
“seorang pemuda?”
“iya mas, katanya dia mendapat bisikan
dari gaib di suruh menunggu mas, pokoknya orang yang ciri-cirinya
seperti mas ini, yang akan singgah di mushola ini, itu orangnya masih di
rumahku,” kata Mashur menjelaskan.
“wah ada apa ya?” tanyaku heran.
“nanti aja tanya sendiri mas ke orangnya, wah ayo mas, nasinya nambah lagi.”
Kami makan dengan lahap, hampir satu bakul kami habiskan berdua, seakan kami ini kenalan lama, di sela-sela makan kami bercanda.
Mashur orangnya supel dan ramah, dia
hidup dengan istri dan dua anaknya, punya pesantren kecil di belakang
rumah, yang isinya santri-santri yang ada sambil sekolah, juga ada yang
sambil kerja. Muridnya cuma 10 orang.
Setelah makan aku di ajak menemui seorang
pemuda yang katanya telah menunggu kedatanganku sejak kemarin di rumah
Mashur. Pemuda itu bernama Ilham, ketika masuk ke rumah Mashur pandang
mataku segera menangkap sosok pemuda kurus, ceking, matanya menjorok ke
dalam, pertanda telah mengalami berbagai keprihatinan, tapi setelah
sebentar mengamati, aku seperti pernah melihat pemuda ini, tapi aku
mengingat-ingat sebentar…..yah pemuda ini pernah ada dalam satu mimpiku,
entah 3 bulan atau berapa bulan yang lalu, aku telah melihat masa
lalunya tanpa aku tau bagaimana caranya, kami bersalaman, dia mencium
tanganku, ku biarkan saja.
“ilham.” katanya menyebutkan nama. Aku
juga memperkenalkan namaku. Aku manggut-manggut kulihat aura hitam
menggumpal-gumpal melingkupi tubuhnya, dan aku benar-benar ingat pada
semua mimpiku.
Dalam mimpi itu aku melihat pemuda ini
mempelajari ilmu tanpa guru, jadi dari membaca-baca buku, tanpa
pembimbing, dia mengikuti petunjuk buku itu, dia menyepi di salah satu
makam yang di keramatkan, berhari-hari dia menyepi, berpuasa dan
menekuni amalan dari buku tersebut, entah di hari yang keberapa, di
suatu malam di makam itu, sendiri dia membaca wirid dari buku, dan
datanglah orang tua berjenggot panjang,
“ngger, aku akan memberikan ilmu padamu,
tapi kau harus menghentikan salat 5 waktu, bersediakah kau ngger?” tanya
orang tua itu. Ilham pun manggut. Maka orang tua berjenggot itu
memasukkan cahaya dari tapak tangannya ke kepala ilham.
Persis setelah kejadian itu ilham tak
pernah sholat, tapi aneh dia bisa mengobati berbagai penyakit. Waktu
berlalu ilham masih aktif duduk di makam keramat itu, sambil membaca
amalan dari buku.
Entah yang ke berapa malam, dia di datangi bung Karno, presiden RI yang pertama,
“ngger ilham, aku akan memberi ilmu padamu, tapi kau harus mau membakar warung tempat menjual minuman keras di ujung desa.” pesan bung Karno.
“ngger ilham, aku akan memberi ilmu padamu, tapi kau harus mau membakar warung tempat menjual minuman keras di ujung desa.” pesan bung Karno.
Setelah pulang dari makam, ilham
linglung, betapa tidak, bagaimana harus membakar sebuah warung minuman?
Bagaimana kalau nanti seluruh desa terbakar? Tapi ini perintah presiden
RI, yang akan memberikan ilmu padanya, tiap malam ilham merenung, tiap
hari dia bengong karena suara bisikan yang berkecamuk tumpang tindih
dalam hatinya.
Malam itu jam 2 dini hari, ilham telah
bertekat, berangkat dengan motornya dan berbekal bensin 5 liter, dia
mendatangi warung bensin di ujung desa, motor dia setandarkan, dia
menghampiri warung dan menyiram pinggir dan dinding warung dengan
bensin, korek api di nyalakan dan wus, warung pun terbakar, ilham kabur
dan mengawasi dari jauh hasil karyanya, dengan seringai puas, sementara
api menjilat habis warung dan segala isinya, rumah di sebelah warung pun
mulai terjilat api, untung yang punya rumah segera terbangun dan
berteriak kebakaran, jadi satu keluarga masih bisa menyelamatkan diri,
orang desa mendengar teriakan kebakaran segera berdatangan bahu membahu
memadamkan api, walau tak urung rumah di sebelah warung ludes terbakar,
tapi api telah dapat di padamkan.
Pemilik warung, suami istri dan anaknya
yang masih bayi hangus terbakar, tak bisa tertolong lagi. Orang-orang
bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab kebakaran, tapi tak ada yang tau,
Sementara Ilham besok malamnya menunggu di pemakaman keramat, dan bung
karno pun datang menyerahkan sebuah keris. Setelah mendapat keris itu,
ilham makin sakti, kebal senjata, dan dia makin serius di pemakaman
keramat, hari-hari berlalu.
Malam itu, ilham masih tekun membaca
amalan, hio telah beberapa kali padam dan dia nyalakan hio yang baru,
tiba-tiba tercium bau wewangian teramat harum menyeruak memenuhi
seantero pemakaman keramat, baunya amat harum, sehingga membangkitkan
birahi, dan perlahan tapi pasti, nampak bentuk perempuan cantik di depan
ilham, cantik tiada terkira, tak pernah ilham melihat wanita cantik
sesempurna perempuan muda yang ada di depannya, biar kata, semua artis
Indonesia di satukan lalu di kareti, masih tak mampu menandingi
perempuan ini, cantiknya sulit di gambarkan, sampai biasanya ilham yang
tak begitu doyan cewek, kali ini jakunnya naik turun kayak gergaji,
seperti kehausan yang teramat sangat di tenggorokannya, kayak jakun itu
kurang oli.
“apakah kau tak ingin jadi suamiku? Dan
tak ingin kaya?” tanya perempuan itu, suaranya merdu, seperti alat musik
petik yang di petik dengan hati-hati takut putus senarnya, atau suling
yang di tiup dengan nafas yang telah berlatih menemukan nada terhalus
dari suara,
“ho-oh mau…mau..mau..” kata ilham air
liurnya sampai membanjir tak karuan, apalagi melihat baju biru tipis
yang membungkus tubuh si perempuan, sehingga memperlihatkan samar
pemandangan yang membangkitkan birahi.
“tapi kau harus memenuhi syaratku.” kata
perempuan itu, sambil melenggak lenggok di depan ilham, yang membuat
pemuda itu makin empot-empotan.
“apa….apa syaratnya..?” tanya ilham dadanya sesek, ampek nahan nafsu yang membuncah.
“syaratnya kau harus membakar pasar
kecamatan.” kata perempuan itu dan ilham terlongong-longong sampai
perempuan itu sirna dari hadapannya.
Setelah pulang dari makam keramat, ilham
pun linglung, membakar pasar kecamatan bangilan? Bagaimana mungkin?
Tempat orang-orang menggantungkan nafkah keluarga, bahkan ibunya ilham
berjualan pakaian di pasar itu. Tapi ketika terdengar bisikan merdu
merayu, dan tercium harum memabukkan, tanpa sadar ilham pun memacu
motornya ke pasar yang berjarak dua kiloan dari rumahnya dengan membawa
jurigen bensin, tapi begitu sampai di pasar, kesadaran dan nuraninya
menolak, maka dia pun linglung, menggelosor begitu saja di tengah pasar,
dan kalau sudah begitu orang-orang di pasar pun ramai, yang susah juga
ibunya ilham harus membawanya pulang dengan becak. Dan hal itu terjadi
berulang-ulang, orang pasar pun menganggap ilham gila, karena terjadi
terus menerus. ilham pun di kunci dalam kamar, kalau bisikan datang dia
menggedor-gedor pintu, ingin membakar pasar, tapi kalau kesadarannya
muncul maka ilham cuma merenung bengong,
Telah bermacam dukun dan paranormal di
datangkan untuk mengobati, tapi malah ada yang di banting dan ada juga
yang sampai di gotong pingsan, itulah yang ku lihat dalam mimpiku.
“bagaimana kabarnya?” tanyaku setelah duduk di kursi kayu rumah Mashur.
“ah ndak baik mas.” katanya, dengan
pandangan cowong matanya menjorok kedalam, dan ada kantung mata di
sekitar mata ilham, menunjukkan dia tak pernah nyenyak tidur.
“hehe…. Kamu kan yang membakar warung minuman keras?” tanyaku sambil tertawa.
“iya mas.., tentu mas sudah tau keadaanku.” kata ilham menunduk.
“kata siapa aku sudah tau keadaanmu? Tapi udahlah yang penting 3 jin dalam tubuhmu musti di hilangkan.”
“saya pasrah saja, apa yang terbaik menurut mas ian.” katanya mengiba.
“tapi aku ingin tau dulu, kenapa kok kamu bisa tau aku akan singgah di mushola sini?”
“ceritanya begini mas, saat aku di kunci
terus dalam kamar oleh orang tuaku, waktu antara sadar dan tidak,
maksudku tidur dan terjaga, aku di datangi orang tua, yang mengaku kakek
buyutku.” katanya bercerita, dia menarik nafas dalam. Biar ceritanya
tambah lama.
“kakek itu berpesan, tunggu pemuda di
mushola annur daerah Pacul, minta tolong untuk membantu masalahmu, apa
yang dia katakan turuti saja. Begitu pesan kakek itu, yang mengaku
sebagai kakek buyutku,” kata ilham mengakhiri ceritanya,
“lalu bagaimana kamu tau pemuda yang kau tunggu itu aku? ” tanyaku.
“kakek itu juga menyebutkan ciri mas
lengkap, dan saya cerita sama mas Mashur juga, jadi ketika mas muncul di
mushola, baru saya yakin mimpi saya bukan mimpi bohong.”
“begitu rupanya,” kataku padahal pakaianku uapek banget, juga bauku kulit yang terbakar matahari,
“terus sekarang bagaimana mas..?” tanya Mashur yang dari tadi diam menyimak.
“ya jinnya harus di keluarkan,” kataku menjawab.
“wah apa perlu kembang setaman, dan menyan mas?, kalau iya, biar saya yang ke pasar, apa aja syaratnya mas?” tanya Mashur.
“ya tak perlu syarat apa-apa.” kataku. “cuma perlu persetujuan ilham aja.”
“persetujuan apa lagi mas?” tanya Ilham setengah bengong.
“ya kamu benar-benar sudah ikhlas, jin yang ada dalam tubuhmu ku cabut?” tanyaku menunggu jawaban mantep dari raut wajahnya.
“kan sudah saya bilang, saya pasrah pada mas ian, apa yang terbaik, jadi saya rela serela-relanya.” katanya mantep.
“walau semua ilmumu hilang?” tanyaku.
Ilham sebentar merenung, tapi kemudian
berucap, “sudah saya siap, walau tak punya ilmu, tak apa-apa, yang
penting saya bisa hidup wajar seperti orang lain.
“baiklah. Sekarang duduk membelakangiku.”
kataku, sementara aku berpikir, ah aku ini belum pernah mencabut ilmu
seseorang, juga jin yang menyatu karena seseorang mengamalkan ilmu,
apakah aku bisa dan mampu?
Ku ingat kyai waktu mencabut ilmu
seseorang, cuma seperti mengambil buah dari punggung orang itu, di
genggam lalu di buang, kalau aku, ah tentu belum bisa setarapan itu,
lalu bagaimana? Pikiranku mencari jalan keluar, tapi tanganku perlahan
menempel ke punggung ilham, wirid ku baca tiga kali-tiga kali, aliran
hawa panas dan dingin segera menggebu dalam pusarku naik mengalir ke
tanganku. Tiba-tiba, tanganku seperti tersedot kekuatan kasat mata di
punggung Ilham, karuan tanganku menempel pada punggung ilham, ku pejam
mata, kurasakan tenang dari tubuhku menggulung-gulung masuk tubuh ilham,
aku segera membaca doa khijab dan minta pada Alloh, supaya mukzijatnya
Nabi dan karomahnya para wali masuk ke tubuhku, ku rasakan udara dingin,
mendekat sejuk mengalir ke setiap pori tubuhku, tangan ku renggangkan
ku sedot apa yang ada di dalam tubuh ilham ku genggam dalam satu tangan,
dan tangan kiriku membuat gerakan mengikat, lalu ku lempar jauh-jauh,
sementara ilham menggelosor di kursi, entah pingsan, entah tidur, tapi
wajahnya menyiratkan kedamaian.
Ku ambil teh yang terhidang di meja,
untuk membasahi tenggorokanku yang lumayan kering, lalu ku nyalakan
rokok Djarum yang di suguhkan di meja.
“bagaimana kang?” tanya Mashur.
“syukur mas, udah beres, udah biarkan dia tidur.” kataku sambil mengusap keringat yang mengalir di jidat.
“wah mau minta doanya mas, biar pondok
saya ramai.” kata mashur, ketika kami berdua duduk di emperan mushola,
meninggalkan ilham yang tengah tidur di kursi.
“ah kita ini sama kang hur, kang hur di beri tangan dan kaki dua, saya juga, jadi pada kenyataannya kita ini sama,” kataku,
“kenapa kang hur tidak berdoa sendiri, minta pada sang kholik agar apa yang kang hur harap bisa terwujud.”
“kalau begitu, saya mbok di kasih amalan, biar santri saya tambah banyak.” kata mashur sambil menyedot dalam-dalam rokok mlinjo.
Aku pun minta pena dan kertas, dan menulis amalan untuk mendapatkan santri banyak.
“aku sebenarnya nyari tempat untuk nyepi, mengheningkan diri, apa di sini ada?” kataku setelah menyerahkan catatan amalan.
Kulihat Mashur menerawang, lama tak menjawab pertanyaanku.
“mas ian mau, ada tempat di pasar Pacul, tempatku yang tak terpakai,” katanya kemudian.
“yah kita lihat aja dulu…” jelasku.
Dengan naik motor GL aku di antar Mashur
ke pasar Pacul, yang telah terlantar tak terurus, dan menunjukkan toko
yang telah jebol dinding papannya, yah cukuplah untuk tempatku menyepi,
maka malam itu aku mulai membersihkan bekas toko itu, dan di tinggal
sendirian di pasar. Ku ambil air di sumur pompa belakang pasar, sedang
waktu magrib telah tiba, ku ambil air wudhu dan menjalankan sholat di
dalam toko, tapi waktu aku selesai wudhu, seorang jin menghadangku,
perawakannya hitam, pakaian sobek-sobek, dan tubuh hitam legam, seperti
mandi oli,
“ada apa kau menghadangku?” tanyaku, sambil mengusap air wudhu yang mengalir di jenggot kecilku.
Wajah tirusnya mengguratkan rasa takut,
bibir merahnya dan taring yang mencuat, meneteskan air liur, yang
membuatku tak bisa untuk tak meludah, dia mundur, “ada apa?” tanyaku
lagi.
Terdengar suaranya mendengung, seperti suara lebah, tapi dengan nada berat, aku pun membuka batin.
“aku mewakili, para penghuni pasar ini, kami minta tuan tidak bertempat di pasar ini….” katanya.
“memangnya kenapa?”
“kami merasa panas.”
“kalau aku tetap bertempat di sini bagaimana?”
“sungguh kami sangat memohon tuan….”
katanya dan perlahan menghilang. Aku pun melangkah ke dalam dan
melakukan sholat magrib, setelah wirid, aku pun beranjak, keluar, ah
mungkin aku tak usah mengganggu keberadaan para jin, aku pun memutuskan
pergi, menelusuri jalan sampai ke setasiun kereta api. Setelah sholat
isyak di musola Setasiun aku selonjorkan tubuh di kursi setasiun.
Seminggu telah berlalu, aku hidup di
stasiun Bojonegoro, tak pernah mandi, tidur seadanya, kadang menggelosor
di lantai setasiun aja, jadi tubuh dan lengan panjang, celana jean
belel sudah tak karuan warnanya, karena tertempel debu dan oli kereta,
juga rambut panjangku lengket dan gimbal, hingga tak jarang orang
menyebutku gila.
Aku tak perduli, terlalu terlena dengan
robul izati, tenggelam dalam wirid-wiridku, tenggelam teramat dalam,
bahkan aku pun tak memikirkan makan, karena memang tak ada sejumputpun
rupiah di saku, aku kadang makan sepotong nasi yang jatuh ke tanah,
Kadang juga cuma minum air wudhu, walau seminggu tubuhku telah teramat kurus.
Hari itu hari minggu, setasiun teramat
ramai, aku menggelosor aja di lantai, tenggelam dalam wiridku, tiba-tiba
tangan halus menepukku dari belakang, “iyan?..iyan khan?.,”
Ku buka mataku yang terpejam, dan
menengok ke belakang, seraut wajah gadis cantik nan anggun dengan
balutan jilbab coklat tua, membungkuk di belakangku, “ya Alloh ian,
kenapa sampai jadi gini….” kata gadis bernama Eka damayanti, dia
langsung memelukku dari belakang.
Eka damayanti, nama gadis itu, ku kenal
waktu aku kelas 2 SMA dan masih aktif menulis di majalah remaja, pertama
perkenalanku, dia waktu itu mencari rumahku, dan dia salah satu dari
penggemar karya tulisku, aku pulang sekolah ketika Eka berdiri di
pinggir jalan menuju lorong rumahku, dia menghentikanku, “mas… Mas..
Berhenti…” tegurnya. Aku baru turun dari Angkot.
Aku pun berhenti, dan menunggunya datang
menghampiri, saat itu Eka masih belum memakai jilbab, rambutnya di ikat
dengan pita merah, dan wajahnya anggun, menyiratkan kedewasaan.
“ada apa mbak?” tanyaku.
“maaf ngeganggu sebentar, mau tanya nih mas…?” katanya dengan nada datar tapi merdu dan terdengar centil di telingaku.
“tau alamat ini gak mas?” tanyanya,
sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Di situ tertulis,
Febrian, kulon pon pes Al-alawi sendang,
“wah itu aku mbak” kataku setelah membaca sebaris alamat di kertas yang di tunjukkan padaku.
“ih yang bener?” katanya tersenyum ceria, dan ada binar bintang di matanya.
“ya benerlah, masak bohong, tau dari mana tentang alamatku? Perasaan aku tak punya kerabat kayak embak.” kataku menyelidik.
“aku ini bukan kerabatmu, tapi
penggemarmu, kamu penulis khan? Nah aku ini salah satu penggemar
beratmu.” katanya menjelaskan dengan mimik yang lucu, kayak guru TK
menerangkan pada muridnya.
“wah jadi malu nih, aku cuma penulis kacangan, karyaku juga cuma ngawur aja, gak bermutu.” kataku salah tingkah.
“tapi aku benar-benar kagum, sungguh, kamu calon penulis besar.” katanya memuji.
“wah ini mau ke rumah atau ngobrol di sini aja.” kataku, karena kami dari tadi cuma berdiri di pinggir jalan.
“eh iya, kayaknya aku juga belum kenal
namamu?” kataku setengah bertanya, saat kami berdua menyusuri tanggul
paping blok jalan di depan rumah,
“Eka damayanti….” katanya, sembari menyodorkan tangan mungilnya. Aku pun menjabat erat, penuh persahabatan.
“Febrian, dah tau namaku khan?” candaku.
Dan tak terlalu lama kami pun nyampai
depan rumahku. Itulah perkenalanku dengan Eka, dan sejak saat itu kami
menjadi akrab, karena Eka hampir tiap minggu main ke rumahku, rumah dia
di daerah rengel, jadi masih satu kabupaten denganku.
Setahun telah berlalu, dan aku telah
kelas tiga SMA, dan Eka menjadi salah satu sahabat, yang mengagumiku,
dia selalu mensuportku untuk menghasilkan karya-karya tulisku.
Aku teramat terbuka dengan Eka, sampai
soal pacar-pacarku Eka juga tau, suatu hari aku dan Eka jalan-jalan ke
tanjung kodok, “yan…” kata Eka, ketika kami duduk di bawah tenda dan
menikmati es kelapa muda, sambil merasakan semilir udara pantai yang
membawa bau air laut yang khas,
“ada apa?” tanyaku sembari mengeluarkan rokok djarum merah.
“umpama kita jadian gimana?” katanya dengan tatapan kepadaku, serius.
“maksudmu mahluk jadi-jadian?” kataku mencandainya, memang aku paling suka kalau dia mbesengut.
“ah kamu, aku ini serius.!!” benar juga dia mbesengut, dan dari situ terlihat jelas kecantikannya yang khas.
“iya…iya, aku ngerti kamu serius.” kataku buru-buru mencegah kemarahannya.
“trus gimana? Kamu setuju enggak?” tanyanya.
“kamu tau sendiri lah ka…, aku kan ceweknya banyak, aku tak tega kalau kamu jadi kemakan hati.”
“kenapa semua cewekmu tak kamu putusin aja.!?”
“wah, aku juga tak setega itu untuk memutusin mereka.” memang waktu itu cewekku ada 18 an, ah bisa di bilang raja pelet,
“wah kamu ini tak tega atau kemaruk,
tamak, aku heran juga kenapa mereka, cewek-cewek itu mau-maunya kamu
renteng renteng kayak tasbih.”
“itu kan urusan mereka ka,”
“aku jadi heran yan…”
“heran kenapa?”
“ya, apa mereka semua akan kamu jadikan istri semua…,?”
“wah laya enggak lah, mana mampu aku melayani mereka semua, bisa habis darah di hisap dan aku tinggal tulang.”
“emangnya cewek lintah? Ngaco kamu.”
“ya mending ngomong ngaco, daripada diam
kayak batu, bisa-bisa di anggap arca, trus di gotong orang di taruh di
klenteng ckakakak.”
“ah jangan ngomong ngaco ah, trus kalau semua tak kamu jadikan istri kan pasti yang tak jadi istrimu akan sakit hati?”
“kan aku terbuka, mereka mau jadi
cewekku, kan udah aku ceritain semua tentang aku, lagian aku udah
ngenalin antara satu dengan yang lain.”
“bener-bener tak habis pikir aku yan.., wah jangan-jangan kamu pakai ilmu pelet.?, wah jangan-jangan juga aku kamu pelet?”
“pelet semar ngakak? Ya kamu ngerasa di pelet enggak?”
“bener aku ingat kamu terus” katanya serius.
“kalau malam ingat sampai kebawa mimpi?” tanyaku.
“he-eh.” jawabnya manggut.
“wah kamu dah kena penyakit cinta, ckakakak.” kataku dan Eka pun mencubit lenganku.
Itulah aku dengan Eka selalu terbuka
lepas, tapi betapapun eka sayang padaku, tapi kami tak pernah menjalin
asmara, karena aku tak pernah mau memutuskan sepihak pada pacarku, dan
hubungan kami sebatas sahabat, sahabat yang saling mengerti, sampai aku
bertaubat, dan meninggalkan masa lalu kelam, bayangan Eka pun ikut
hilang menjadi masa lalu, masa lalu yang ingin ku hapus dari ingatanku,
masa lalu yang hanya ku ingat ketika aku menangis pada satu kekasih
yaitu Alloh. Menghaturkan hina dan dosaku yang minta di ampuni,
“yan…! Kenapa kamu menjadi begini…” suara
Eka memelukku dari belakang, tak perduli pakaianku yang kotor, tak
perduli pandangan aneh semua orang yang ada di setasiun. Aku ingin
menjelaskan pada Eka, aku bukanlah ian yang di kenalnya dulu, tapi aku
ragu apa ia akan mengerti.
“ka… Kamu tak malu di lihat semua orang?”
“aku tak rela kamu begini yan…” katanya
tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengajakku berdiri, air
matanya meleleh membasahi jilbab coklat mudanya. Dulu Eka bukan gadis
yang suka memakai jilbab. Sampai pada pertemuan yang terakhir kami, aku
mengantarnya mendaftar di perguruan tinggi. Kami dalam satu bus menuju
Surabaya.
“yan…! Andai kau menghayal punya istri, kamu mengharap punya istri yang bagaimana?” tanyanya dengan tatapan serius ke wajahku.
“aku?,” aku menerawang “aku membayangkan punya istri yang sholikhah…, ya setidaknya yang memakai jilbab,” kataku pasti.
“berarti aku bukan termasuk katagori yang kau harapkan ya?” tanyanya seperti pertanyaan adikku minta permen.
“ah sudahlah ka, jodoh kan di tangan yang kuasa, andai kamu jodohku, aku juga tak kan menolak.” kataku tandas.
Tapi sampai di surabaya, Eka mengajakku ke Butik busana muslim dan dia memborong jilbab.
“wah untuk apa ka, jilbab sebanyak ini?” tanyaku heran.
“untuk persediaan aja yan, siapa tau, aku
jadi jodohmu hehe…” katanya sambil tersenyum manis, karena salah satu
jilbab langsung dia kenakan.
“hm… Kamu makin cantik aja ka, kalau makai jilbab.” pujiku tulus.
“ah yang bener…” katanya dengan pipi bersemu merah.
Dan sekarang, hatiku teriris, Eka menangis di depanku, karena menangisi keadaanku.
“ya Alloh, ampunkan aku, kenapa kau
jadikan hatiku selalu runtuh oleh tangis wanita… Kenapa tak kau uji aku
dengan yang lain saja.” keluh hatiku, dan aku seperti kerbau yang di
cocok hidungnya, mengikuti saja, kemana Eka menarik tanganku.
Aku di seretnya masuk depot makan, lalu
dia memesan nasi dan sepotong ayam panggang, juga dua gelas es jeruk.
“nih makan… Pasti kamu beberapa hari tak makan….” katanya menyodorkan
kedepanku, seperti seorang ibu menyodorkan nasi pada anaknya,
Ku pandangi nasi di depanku, betapa
nikmatnya ayam bakar, sambel kecap, air liur begitu saja terkuras dari
sela-sela gigi membasahi tenggorokan yang tak sabar ingin menikmati
kelezatan.
Tapi aku terpaku, hatiku seperti terbang entah ke mana, ke dunia yang penuh asma Alloh.
“heh makan..!” kata Eka suaranya seakan jauh, walau tepukannya di pundakku.
“apa kamu sudah lupa cara makan, nih biar
ku suapi…” kata Eka yang segera mengambil piring di depanku, dan mulai
menyuapiku, pandangan mataku kosong, aku telah berjalan jauh, jauh, dan
teramat jauh, sampai di kedalaman dunia, dunia yang hanya kedamaian,
danau menghijau, suara airnya melantunkan ayat-ayat suci, pohon-pohon
menghijau, tertiup angin singkronisasi, mengalunkan dzikir dengan suara
berirama, embun yang setiap waktu turun dan seakan enggan sampai ke
tanah, karena terlena oleh puja puji pada sang khaliq.
Matahari yang bersinar lembut, dengan
kehangatan yang seakan di ukur oleh dokter paling ahli, sehingga seperti
selimut yang membuatku teramat mengantuk dan terlena, dan aku tak sadar
lagi.
“yan…!” suara itu mengagetkanku, suara
Eka yang menangis dan memelukku, air matanya membasahi pipi dan bajuku.
Aku kaget, segera melepas pelukannya. Ku lihat piring di depanku telah
ludes, juga wedang jeruk telah tinggal gelasnya saja.
“yan.,sadar yan…!” eka menepuk-nepuk pipiku.
“aku sadar…” kataku.
“udahlah ka…mending kamu tinggalin aku…” kataku.
“tak bisa, kalau perlu aku akan ikut denganmu…” katanya tegang.
“kamu ini aneh-aneh aja, ya tak bisalah, kamu lihat sendiri keadaanku, bagaimana kamu mau ikut denganku?”
“kamu mau lari dari kenyataan yan? Kamu tak menerima keadaanmu, hingga mau pura-pura gila?” tanya Eka mencari kesepakatan.
“siapa yang lari dari kenyataan? Bahkan
aku sangat menerima kenyataan, sudahlah ka, jangan ngajak berdebat,
untuk saat ini biarlah aku sendiri.” kataku memelas,
“tapi yan, aku tak rela kamu begini….”
Eka menangis lagi, tanganku di raihnya dan di tempel ke pipinya, ada air
mata mengaliri punggung tanganku.
“kadang sesuatu, harus di relakan, aku juga bukan mau mati, kenapa musti kau tangisi.”
Eka melepas tanganku, dan mencopot gelang, cincin, kalung yang di pakainya dan menggenggamkannya ke tanganku.
“ini buatlah bekal, jangan lupakan aku.” katanya dan beranjak pergi.
Sekejap aku bengong, tapi segera mengejar
ke arah mana Eka pergi, ku lihat dia berdiri di tepi jalan, mencegat
bus jurusan Tuban.
“ka ini apa-apaan,” kataku mengangsurkan segenggam emas ke tangannya.
“udah pakai untuk bekalmu.” katanya menampik tanganku.
“gak bisa ka, kamu mau aku di tangkap polisi, dengan tuduhan merampokmu?”
“siapa? Polisi mana yang mau menangkap, kan itu ku berikan ikhlas padamu”
“ka…tak bisa ka…,” ku angsurkan lagi emas ke tangannya tapi dia tolak.
“maumu apa sih yan.?, aku ikut denganmu
tak boleh, aku tak tega kau begini, aku tak bawa uang, biar perhiasanku
untuk kau jadikan bekal…, tolong yan… Jangan kau biarkan aku menangis
tiap malam karena mengkawatirkanmu…” Eka menangis lagi..
“mengapa tak juga kau mengerti, betapa
aku menyayangimu, dan teramat menyayangimu…” katanya sambil berjongkok
dan menangis sampai tubuhnya terguncang.
“baik ka, sekarang apa yang kau mau? Tapi jangan kau suruh aku membawa perhiasanmu…” kataku ikut berjongkok.
Dia membuka tapak tangannya yang di tutupkan ke wajahnya.
“sekarang ikut pulang ke rumahku.” katanya sambil mengusap air mata yg membasahi pipi.
“baik, ini terima perhiasanmu dan
simpan.” kataku mengangsurkan perhiasan ke tangannya, pas ada bus
jurusan Tuban berhenti, dan kami pun segera naik.
Sampai di rumah Eka, aku pun turun dari
bus, masih di gandeng Eka, dengan tatapan aneh para penumpang bus,
sampai di dalam rumah, aku langsung di geret ke sumur, ah biarlah, Eka
juga tak akan membunuhku, tatapan bu Asih, dan pak Junaidi, yang ada di
kamar tamu, tak di gubris, kedua orang itu cuma sempat ngomong, “lho ka,
kok sama mas Ian….” tapi kata mereka tak di jawab, juga tak sempat aku
jawab, aku telah di geret ke sumur, dan air satu timba di guyurkan
padaku,
“udah ka, aku bisa mandi sendiri,” kataku repot, gelagapan.
“udah biar aku yang mandiin….” katanya sambil mengambil sampo dan mencuci rambutku panjangku yang gimbal.
“udah ka… Biar aku mandi sendiri…! Udah ambilin handuk aja.” kataku, ketika Eka mau mencopot kaos lengan panjangku.
Eka tanpa berkata, pergi meninggalkanku,
aku telah selesai mandi ketika Eka datang membawa handuk dan pakaian
ganti, dan tanpa babibu, dia langsung mengelap rambut dan tubuhku.
“udah aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju.” kataku mengambil baju ganti dari tangan
“ku tunggu di kamar tamu ya, tuh ayah nanyain…” kata Eka dari luar kamar mandi.
“heeh, udah nanti aku ke sana.” jawabku.
Setelah ganti baju, aku segera ke ruang
tamu, pak Junaidi, pegawai pemda, orangnya ramah dan suka bercanda, bu
asih ibunya Eka, seorang guru SMP, mereka berdua pun menyambutku dengan
ramah, aku bersalaman dan duduk di kursi.
“ketemu di mana, dengan eka dik iyan?” tanya bu asih.
“wah tadi ku temukan di setasiun, lagi
jadi gelandangan,” kata Eka, yang baru keluar dari dalam dan membawa
sisir, lalu begitu saja menyisir rambutku, ku tolak tapi tetep aja Eka
menyisir sambil berdiri di kursi yang ku duduki.
“udah makan nak ian, mbok sana ka di siapkan makan…” kata pak junaidi.
“em… Ku buatkan pecel lele kesukaanmu ya?” tawar eka masih menyisir rambutku.
“udah ka, jangan repot-repot.” jengahku.
“iya ka… Sana beli lele…” kata bu asih.
“dan eka segera beranjak….”
Tinggal aku dan pak Junaidi, sementara bu Asih masuk.
Sebentar kami terdiam, sampai pak Junaidi membuka pembicaraan.
“nak ian, gimana khabar orang tuanya, baik?” tanya pak Junaidi.
“Alhamdulillah baik pak.”
“ini sebenarnya saya mau tanya ke nak ian, jangan tersinggung lo ya?” kata pak Junaidi dengan nada hati-hati.
“tanya aja pak, tak usah rikuh.” kataku tak enak dengan nada kehati-hatian pak Junaidi.
“begini nak ian, apakah sebenarnya
hubungan nak ian dengan Eka?” tanya pak junaidi, sebentar terdiam,
“sekedar teman, atau ….pacaran… Maksudku kekasih.”
“ya selama ini kami cuma berteman akrab kok pak, tak lebih, juga bukan sepasang kekasih.” jawabku tenang.
“tapi Eka itu sayang banget sama nak ian, yang di ceritakan tiap hari ke ibunya, hanya nak ian aja….” tambah pak Junaidi.
“saya juga sayang sama Eka kok pak, tapi
sayang antara sahabat, tak terkotori nafsu birahi, saya menghargai dan
menghormati Eka, jika ada yang mengganggu Eka, saya akan membelanya
dengan sekuat saya.” kataku masih tanpa emosi.
“ya kalau begitu bapak mengerti… Silahkan di minum tehnya nak, bapak tinggal dulu…” kata pak Junaidi meninggalkanku.
Sebentar kemudian Eka telah datang membawa ikan lele segar, dan langsung memasaknya jadi pecel lele, kami makan bareng.
Sore itu aku pamitan, Eka dan ayah ibunya memintaku tinggal lebih lama, tapi aku memaksa pergi,
Eka mengantarku sampai jalan raya, dan sampai aku mau naik bus, dia memasukkan amplop ke sakuku.
“ini untuk bayar bus..” katanya melepasku.
Aku segera naik bus, ketika kondektur
minta ongkos bus, aku ingat uang yang di masukkan Eka ke dalam sakuku,
ku ambil satu dan tanpa melihat ku serahkan pada kondektur.
“wah mas apa tak ada yang kecil?” katanya.
Aku kaget ternyata yang ku serahkan uang seratusan ribu.
Aku terima uang dari kondektur itu, lalu
kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan ternyata semua
seratusan ribu, wah jadi Eka memberikan uang padaku 1 juta,
“tak ada yang kecil mas, cuma ini.,” kataku menyerahkan uang seratusan.
Di Bojonegoro kembali aku turun di stasiun kereta api.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda