“tadi aku melihat, tapi sekarang aku tak melihat,” jawab Ikrom.
“ya udah, ntar bilangin ya kalau aku nyari dia.”
“kenapa ndak bilang sendiri aja” jelas Ikrom.
“iya deh…” kata Lina sambil berlalu.
“set…set..! orangnya dah pergi..” kata Ikrom setelah Lina berlalu.
Pas kebetulan Edy pun datang membawa celana, dan akupun lekas memakainya, lalu cepat-cepat kembali ke tempat kerja.
Ternyata Lina sudah nunggu di tempat kerjaku toko sepatu bata.
“Kemana aja? ku cari-cari kemana-mana ndak ketemu.” sapanya dengan nada manja.
Aaah perempuan, bener-bener bisa membuat
hati bercabang-cabang, herannya juga kenapa selalu lelaki normal suka
sama perempuan, dan aku termasuk lelaki normal, tapi di dasar hatiku
yang tengah bergulat selalu ada perang batin, perang antara menyenangkan
nafsu, dan berusaha tak di kendalikan nafsu, dan terus terang kelemahan
terbesarku adalah tak bisa tidak suka pada perempuan, karena aku
lelaki, dan perempuan lawan jenisku, jika aku di coba keimanan, maka aku
akan memilih jangan di coba dengan perempuan, sebab kebanyakan aku
pasti yang kalah, tak bisa menolak cinta mereka, tak bisa menyakiti
mereka.
Benar kalau Nabi sendiri menekankan,
seakan ada unsur ancaman di dalamnya: MENIKAHLAH, MENIKAH ADALAH
SUNNAHKU, SIAPA YANG TIDAK MENIKAH BUKAN TERMASUK GOLONGANKU.
Aku merasakan seakan Nabi mencintai
Ummatnya dalam penekanan itu, agar umatnya tidak tergoda dengan lawan
jenisnya, sebab beratnya godaan itu, sehingga Nabi menekankan ancaman
yang tidak menikah bukan golongannya.
“ada apa mbak nyari aku?, mau ngajak nikah ya..” aku mengucapkan dengan kata enteng.
“eh kamu ngigau ya…?” kata Lina dan
matanya menatapku dengan jeli, dan bening matanya seperti
kilatan-kilatan listrik yang menggetarkan nadiku.
“kenapa memandang aku seperti itu?, apa di wajahku telah tumbuh bunga?” kataku asal.
“hm.. kamu cakep.” katanya seperti dengan
ketidak sadaran, karena pandangan matanya tak lepas dari wajahku
seperti mata pisau yang mau mengoperasi kulit wajahku lalu menguraikan
dagingku untuk mencari di dalam ada apanya.
“kamu serius?” katanya kemudian dengan juga seperti seorang penantang, dadanya di busungkan.
“kamu serius?” katanya kemudian dengan juga seperti seorang penantang, dadanya di busungkan.
“serius apa?” tanyaku, kubuat bloon, sebab aku sendiri tak berani menerima kenyataan, misal sampai terjadi menikah sama Lina.
“ya soal nikah.” jawabnya setengah menggantung.
“Aku kan cuma nanya, Mbak Lina nyari aku, ada apa?” jawabku sambil membetulkan sepatu di jejeran rak pemajangan.
“udah sini lihat aku.” katanya menarik tanganku.
“maas…! mas ian..! ” panggilnyamemaksaku mengalihkan perhatian dari deretan sepatu.
“iya ada apa?, kita kan bisa omong sambil menata sepatu, soalnya ini tanggung jawabku, kerja di sini,” jelasku.
“pindah aja kerja di tempaku, bagaimana.” katanya lembut.
Wah setan itu kalau kita mau berbuat
dosa, nyatanya peluang kesana di buat semulus mungkin, ya mungkin saja
jika di depan ada pohon perdu, setan akan berusaha menebanginya, kalau
jalan dosa itu belum teraspal, setan akan berusaha mengaspalnya.
“gak ah, ntar malah terjadi yang engga-enggak.” kataku membuat batasan.
Aku bukan orang suci, dan hatiku amat
pekat di lapisi nafsu, pandanganku saja jika melihat perempuan masih
selalu terfokus pada kesempurnaan bentuk tubuhnya, jelas aku orang yang
masih mudah sekali tergoda, jika aku tak membuat kendali sendiri, apa
aku harus menunggu orang lain membuat kendali di leherku.?
“mas…!”
“iya… ada apa?, bicara aja.” jawabku
sambil tetap menata sepatu, anehnya dia malah memiringkan sepatu yang
tatanannya udah ku benarkan, dia buat miring sehingga kami berdua
muter-muter di situ-situ saja, padahal toko sepatu bata ini luas sekali.
“terus terang, aku sayang, cinta, tak
bisa melupakan mas…, siang malam selalu ku ingat, sehari tak bertemu,
serasa kangeeen minta ampun, aku tak tau, tak sebelumnya aku dengan
cowok lain seperti ini, aku merasa mas inilah yang terbaik untuk hidup
dan masa depanku, yang pantas menjadi imamku, yang pantas membimbingku.”
Lina mengutarakan semua unek-unek di hatinya, dan jongkok di depanku,
karena aku juga sedang jongkok menata sepatu yang di bawah.
Aku menatap wajahnya, dan kulihat matanya
menatapku dengan penuh cinta menggelora, tatapan yang seakan ada ribuan
bintang di setiap inci matanya, dan aku amat tahu, jika aku menatap
lama-lama, pasti akan membuatku hanyut oleh keindahan, wajah yang di
balur aura cinta memang adalah lain daripada yang lain.
Tapi aku menatapnya, malah ingin aku bisa tidak, sanggup tidak melawan tarikan kumparan magned gaib yang di sebut kasih sayang.
Dadaku berdentuman, ada rasa sesak,
ketika tarikan itu mencoba menarik dan meremas-remas jantungku, aku
berusaha bertahan dalam logika totalitas kesadaran. dan perlahan
gelombang magnet yang ada di wajah Lina terlihat biasa di mataku. ku
lihat masih ada getaran kecil di bibirnya karena luapan perasaannya.
“kau kan belum tau siapa aku, terlalu
jauh penilaian yang kau berikan, aku tak mau kau akan menyesal nanti,
sebaiknya pikirkan dengan pikiran jernih.” kataku meredakan gejolaknya.
Orang yang mudah terseret pada satu
keadaan, maka sulit bila menjadi pengayom dan pelindung orang lain, dan
aku harus berlatih mengendalikan perasaanku sendiri.
“Mbak Lina ini kan belum tau secara
keseluruhan, jadi di pikirkan dulu, sebab banyak sifat burukku, nanti
jangan sampai penyesalan akan terjadi, dan itu sudah terlambat.”
jelasku.
“ya kita kan bisa pacaran dulu.” jelasnya juga tak mau kalah.
“hm pacaran? walau aku sendiri suka
pacaran, tapi aku sekarang jika menyukai perempuan, maka akan ku nikahi
saja, tak pakai pacara.”
“nah tu kan.!”
“tuh kan kenapa?” tanyaku.
“ya kelihatan, mas bukan lelaki yang jelek budinya.”
“haha… bilang begitu, kamu anggap sudah
baik budinya, wah dangkal dong nilai suatu budi pekerti yang baik, semua
lelaki juga bisa mengucapkan seperti yang aku ucapkan, suatu budi
pekerti yang baik itu perlu menjalani perjalanan panjang, untuk tau
jelek atau baik budi pekerti seseorang, seseorang yang budi selalu
memberimu barang berharga saja belum tentu dia budi pekertinya baik,
sebab bisa saja dia ada maksud di balik pemberian-pemberiannya, orang
yang selalu menemanimu, kesana kesini, membantumu, selalu kelihatan di
depanmu murah senyum, bisa jadi di belakang dia menikammu, jadi budi
pekerti seseorang itu tidak bisa di tentukan dengan sekali dua kali
pertemuan, seseorang itu bisa di ketahui baik atau tidaknya, jika kau
telah mengumpulinya dalam bersama mengecap keprihatinan, dan bersama
memetik kebahagiaan, bisa saja seseorang itu jika dalam keprihatinan
bisa seiya sekata, tapi jika ada emas di tanganmu, maka dia tak
segan-segan menghunjamkan belati di jantungmu, jika kau maju, bisa saja
dia iri dan berusaha menjatuhkanmu, aku jadinya kok banyak omong ya..!”
kataku.
“gak aku suka, setahun sekalipun jika mas ian bicara di depanku, aku akan rela duduk selalu mendengarkan.”
“ah kau ngaco aja…, udah ah, tuh pemilik sepatu bata liatin kita, kamu balik ke butikmu sana gi…” kataku,
“ntar istirahat siang, ke tempatku ya mas…, aku dah sediain makan siang sepesial.”
“iya entar aku kesana, sama Edy, juga Ikrom ya..?” tanyaku.
“nggak mas sendiri.”
“iya…, ntar habis sholat dzuhur aku kesana. biasanya setiap siang ada istirahat 1 jam, dan penjaga toko bergiliran.
Rasanya dunia seperti ini benar-benar
bukan duniaku, kalau aku tidak segera pergi meninggalkannya, sepertinya
aku akan terseret pada pusarannya, aku harus mengambil keputusan final.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda