“Lalu apa yang harus saya lakukan mas?” tanya Tejo dengan wajah senang, dan bersemangat.
“Sekarang ambil air wudhu,” kataku.
“oo baik-baik mas…” kata Tejo segera beranjak menuju kamar mandi.
Bagiku di manapun tempat, kalau kita
bisa, maka berbuat baik, dan selalu berusaha berbuat baik, belajar
selalu mengikhlaskan segala perbuatan.
Sebab menurut hematku, jika amal baik itu
menyandarkan pada amal baik diri sendiri, aku ragu jika amalku bersih,
suci dari penyakit, dan lolos bisa tembus langit tuju, dan di terima
oleh Alloh mendapat ACC, kalau amalku itu akan pantas mendapat balasan,
mungkin amalku baru sampai di langit 1 atau 2, telak tertahan oleh
malaikat penjaga pintu langit, karena aku yang penuh dosa dan kotor,
maka aku perlu amal yang dengan sisitim tanam modal, aku mengajak orang
lain untuk melakukan laku ibadah, dan dengan sendirinya aku akan
mendapatkan bagian jika orang yang ku ajak menjalankan ajakanku. Semakin
banyak orang yang kita ajak, maka akan makin banyak pahala yang kita
peroleh, malah bagian kita pasti langsung kita terima utuh, entah ikhlas
atau tak ikhlas orang yang kita ajak dalam menjalankan ibadah, dan
tentu saja tanpa mengurangi pahala orang yang kita ajak.
Teori ini tak bedanya dengan seseorang
yang mendirikan pabrik, misal pabrik pakaian, jika dia menjalankan
pabrik itu sendiri, maka bisa jadi 1 baju bisanya terjual 1 bulan ke
depan, beli bahan sendiri, di ukur sendiri, di potong sendiri, di jahit
sendiri, dan di pasarkan sendiri. Maka akan lama prosesnya, tapi jika
dia mengajak banyak orang menjadi karyawannya, mengerjakan rancangannya,
dan ada yang mengukur, ada yang tukang memotong, ada yang tukang
menjahit, ada yang bagian pemasaran, bisa di pastikan pabrik itu akan
maju dan banyak omsetnya.
Nah itulah yang selalu ku lakukan,
membangun perusahaan, mempunyai banyak karyawan, yang akan mengamalkan
motif yang ku arahkan, jika ingin melesat cepat dalam kesuksesan, maka
hal itu bisa di terapkan siapa saja, dan rasakan buah manisnya amal.
Jika mengandalkan amal perbuatan sendiri, maka kita akan lama sekali berkembang, dan amal kita mungkin bertahun-tahun baru menuai hasil.
Jika mengandalkan amal perbuatan sendiri, maka kita akan lama sekali berkembang, dan amal kita mungkin bertahun-tahun baru menuai hasil.
“Sudah mas, saya sudah wudhu,” kata Tejo.
“Coba duduk membelakangiku.” kataku.
Tejo pun duduk membelakangiku, lalu ku
tempelkan tangan di punggungnya, dan ku salurkan hawa murni ku padukan
dengan do’a dan dzikir, semua kekuatan yang ada di tubuhnya ke sedot
semua, lalu ku buang.
“Wah rasanya ada yang keluar dari tubuhku mas…” kata Tejo.
“Wah sedang pada ngapain ini?” tanya Arif Rahman yang tiba-tiba muncul.
“Ini mas lagi membereskan masalahnya kang Tejo.” jelasku.
“Gimana mas, apa bisa di mulai membersihkan penampungan?” tanya Arif.
“Udah dari sini juga bisa, biar ku
tariknya dan kumpulkan di sini, nanti ku omonginnya biar pada pergi.”
kataku , yang saat itu duduk di tempat duduk depan penampungan.
“Harus dengan sarat apa mas?” tanya Arif.
“Nggak pakai sarat apa-apa, cuma supaya jangan ribut, biar saya konsentrasi.”
“ooo silahkan-silahkan mas…” kata mereka berdua.
Aku segera duduk bersila dan
berkonsentrasi, menarik semua jin yang ada di dalam rumah, hawa gelap
menggulung, makin pekat, dan rasa merinding mulai menjalari tubuh,
pertanda mereka yang tertarik mulai mendekat.
Ku rasakan ada beberapa jin berkumpul kebingungan di depanku, lalu ku beritahu semua, agar meninggalkan tempat penampungan itu.
“Mereka semua di sini, di depan sini.” kataku pada Arif dan Tejo.
“Iya mas kami merinding, tapi ndak melihat.” kata Tejo.
“Coba kamu berjalan ke depan.” kataku
pada Tejo, dan Tejo pun berjalan, lalu jatuh menggrasuk kayak ada yang
menghalangi kakinya.
“Waduh…!” kata Tejo yang segera ketakutan.
Aku katakan pada semua jin yang ada enam
jin itu untuk keluar dari penampungan, ku persilahkan mau menempati
pohon atau apapun, asal jangan mengganggu penampungan, dan semua mau
pindah, tanpa syarat.
Setelah semua beres, kami mengobrol sampai malam.
——————————————
Paginya setelah sholat subuh berjama’ah dengan Arif dan Tejo, kami sarapan pagi bareng.
“Alhamdulillah badan saya enak banget
mas, semalam tidur juga enak, bangun rasanya enteng, biasanya saya kalau
mau tidur resah banget, biasanya bolak-balik ada dua jam an baru bisa
tidur, alhamdulillah sekarang enak banget.” kata Tejo yang wajahnya
kelihatan sudah tidak ada aura hitamnya.
“Ya syukur kalau begitu, jangan lupa
sholat lima waktunya di jaga, soalnya itu juga menjadi modal rizqinya
akan lancar berkah atau akan susah, sebab orang yang rajin sholat akan
berkah rizqinya.” kataku.
“Iya mas, do’akan saya, biar bisa hidup dengan islami.” kata Tejo.
“ya jangan do’a-do’a aja, seseorang itu
harus punya keinginan kuat untuk merubah jalan hidupnya, menempuh rel
jalan yang di ridhoi Alloh, orang tak ada ceritanya bisa bahagia jika
tidak menempuh jalan yang di ridhoi Alloh, di terima atau tak di terima
kita ini ciptaan Alloh, maka jika ingin bahagia maka tempuhlah jalan
yang sudah di tunjukkan Alloh.” jelasku dengan perlahan.
“Maaf mas, bisa kami minta di beri
pegangan dzikir, untuk kami istiqomahkan, agar kami bisa membiasakan
menggantungkan diri pada Alloh.” kata Arif, yang memberesi piring kami.
“Ada kertas gak biar ku tuliskan amalan, ingat di istiqomahkan,” kataku yang segera di ambilkan kertas oleh Arif Rahman.
“Oh ya mas, nanti ku anter pakai motor
untuk ikut medical.” kata Arif sambil menyerahkan pena dan kertas.
Segera ku tulis amalan.
“Nanti setelah medical balik ke sini atau ke penampungan pusat.” tanyaku sambil nulis amalan.
“Ke penampungan pusat aja mas, soalnya pak Daud sama pak Amir ingin juga di lihat rumahnya.” jelas Arif.
——————————————-
Tempat medical suasana ramai sekali, tapi
kebanyakan TKW, aku di tinggal oleh Arif setelah di daftarkan dan
menerima nomer urut, tes urin, di timbang, di ambil darah sudah, tinggal
di foto sinar x, sama pengecekan badan, itu saja sudah seharian,
setelah selesai sholat asar aku ke warung tegal, di dalam ada dua orang
lelaki.
“Makan bu…” ki bilang pada penjaga warung, lalu memilih lauk, dan mulai makan.
“Mari pak…” kataku menawari orang yang juga makan di dalam warung.
“Silahkan…” jawab mereka berdua.
“Bapak ini juga ikut medical?” tanyaku
pada dua orang yang keduanya sudah umur, ku perkirakan yang satu berumur
50 an tahun, yang satu berumur 45 tahun.
“Iya…” kata mereka berdua hampir serempak.
“Mas ini juga ikut medical?” tanya yang tua.
“Iya pak.. la bapak ini mau kerja di mana?” tanyaku.
“Kerja di Saudi, di pabrik semen.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga di pabrik semen, trus bapak ini dari mana asalnya?” tanyaku.
“Kami dari Tuban.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga dari Tuban, Tubannya mana?” tanyaku.
“Wah pasti ini anaknya pak Mustofa…, aku sudah mengira,” kata yang tua.
“Iya aku anak pak Mustofa, wah bapak kok bisa tau, bapak ini dari mana?” tanyaku makin heran.
“Aku ini iparnya mak Mudi, yang rumahnya di belakang rumahmu.” jelas orang yang tua.
“Wah aku kurang paham… gak tau kalau kang Mudi punya ipar yang sudah tua kayak sampean hahah.” kataku bercanda.
Kami segera akrab dan bicara ngalor
ngidul, karena ketemu orang sedesa. Kami jadi bareng medical, dan bareng
pulang ke tempat penampungan bersama.
——————————————-
Besoknya kabar medical sudah bisa di
terima, tapi aku belum bisa di bilang fit, karena ternyata foto sinar x
ku tidak ada kelihatan gambarnya, jadi harus di foto ulang, tapi setelah
di foto ulang, tetap saja tak bisa, tak ada bentuk gambarannya sama
sekali.
Sebenarnya aku juga tau, khodam yang ada
di dadaku berusaha menutup dadaku, karena memang aku punya penyakit
asma, yang sudah lumayan akut, karena sering mengecat dengan kompresor
jadi plak cat menempel di jalur pernapasanku, apalagi kalau nyemprot
vernis, rasanya jalur napasku lengket. Wah bisa gak jadi berangkat ke
Saudi. Aku akhirnya di rujuk ke tempat medical lain. Dan Alhamdulillah
setelah otot-ototan karena foto sinar x ndak ada gambarnya juga,
akhirnya di luluskan.
Karena wira-wiri, terpaksa waktuku habis,
sehingga masa terbang dan jeda istirahat sangat pendek. Menunggu
panggilan, aku terbang pada pemberangkatan pertama rombonganku yang ada
30an orang, di suruh siap-siap besok akan ke Bandara.
Akupun menyiapkan semua barang yang akan
kubawa, malam sudah tak bisa tidur karena membayangkan di pesawat, tapi
esoknya waktu di absen, namaku tak tercantum, aku jadi bingung. Tapi ya
udahlah.
Tapi malam jam 10 malam, ada kabar
pesawat terbakar satu sayapnya, dan terpaksa turun di bandara Singapura,
dan semua penumpang di inapkan di hotel.
Wah ternyata ada maksudnya juga Alloh
menahanku tak ikut terbang, baru paginya aku mendapat panggilan bersama
TKI yang tersisa untuk terbang.
Ketika memasuki bandara Soekarno Hatta
cengkareng, rasanya seperti mimpi, setelah boking tiket, maka kami
menunggu di ruang tunggu, dan jam 3 siang pesawat di berangkatkan.
Semoga selamat sampai tujuan. Dan pesawat
tinggal landas, menuju dunia baru yang tak ketahui bagaimana nasibku di
sana, tapi Alloh selalu di hatiku, sebaik-baik penjagaku.
Sampai Bandara Riad rombonganku transit
ke penerbangan domestik, menuju Jijan. Sampai di bandara Jijan, turun
dari pesawat, panas langsung menampar wajah, keluar dari bandara sudah
ada mobil penjemput dari Perusahaan, dan kami di antar ke perusahaan,
sampai di perusahaan semen kami di tempatkan di Barak yang ada 60 kamar,
setiap kamar di tempati satu orang, tapi karena kami baru datang, dan
rencana sebagian akan di oper ke pabrik baru, maka satu kamar di isi dua
orang, aku dengan orang yang tak ku kanal, walau sama-sama dari
Indonesia.
Badan lelah, tapi pagi jam sepuluh kami
datang, kami harus cepat menghadap ke kantor pabrik, untuk mengurus
administrasi, dan besok langsung kerja, langsung mendapat pakaian
seragam.
Urusan administrasi selesai, kami tetap
harus masuk kerja, walau belum kerja, hanya berkenalan dengan para
pekerja lain. Dan bagusnya berarti langsung di catat gaji.
Jam 4 sore pulang kerja, kamis – jum’at libur, jika masuk maka di hitung overtime.
Malam, aku memilih tidur sore, sebab
badan rasanya lelah setelah perjalanan jauh belum istirahat. Di malam
aku tidur lampu ku matikan, dan lampu dari kamar mandi menyorot. Temanku
sekamarku tidur di ranjang lain di sampingku, karena memang ada dua
ranjang dalam kamar.
Di saat aku tidur, aku merasa ada yang
mengawasi di atasku, aku membuka mata, dan aku kaget, karena ada kepala
dengan pengikat kepala putih, dan berambut panjang, tengah melayang di
atasku.
“he…siapa kau…!” dalam kagetku.
Dia juga kaget, mungkin kaget karena aku
bisa melihat dia, dia langung melesat kabur dan menabrak pintu..
“jedak…!” dan kepalanya mental, menengokku yang bangun dengan pandangan
panik dan takut, lalu melesat lagi menembus pintu.
Aku membetulkan selimutku, karena kamar
serasa dingin sebab ber AC, heran juga baru pertama sampai sudah ada
arwah orang mati penasaran yang mendatangiku. Sepertinya akan ada
kejadian yang lain yang akan menjadi kisah panjangku di Saudi arabia.
Hari kedua, ternyata pabrik ini sangat
besar, mungkin luasnya di Indonesia, seluas satu kecamatan lebih, dan
banyak di kelilingi gunung, yang kerja di bagian peledakan gunung untuk
di ambil batunya harus di antar jemput bus, karena jauhnya, dalam
hitungan ini hari pertama aku bekerja, asalnya salah aku di kirim
bekerja sebagai cleaning servis tapi kemudian di pindah ke tempat
kerjaku sendiri sebagai penulis kaligrafi.
Aku punya ruangan sendiri, berupa gudang,
ah pokoknya di jalani aja, dan tetangga kerjaku servise jok kursi, ada
juga orang Indonesianya, aku kaget ketika melihat orang Indo yang kerja
di sebelahku, karena aku sudah pernah secara tak sengaja menolong orang
itu.
Memang garis taqdir itu melintang-lintang kadang kita tanpa sadar bertemu dengan garis taqdir orang lain.
Ketika menolong orang ini yang bernama
Sarno, saat itu tak sengaja aku meraga sukma, dan terseret pada tarikan
kekuatan, sampai ke suatu daerah Malang, tepatnya Gondang legi, aku
melihat Sarno yang waktu itu belum ku kenal, Sarno memasuki sebuah rumah
mewah, dan di dalam rumah mewah itu ada dua orang perempuan ibu dan
anak, yang sedang membicarakan kalau Sarno akan di korbankan kepada Nyai
Blorong, aku heran kok aku ketarik ke rumah itu,
“Ah aku tak mau bu… wong Sarno itu orangnya jelek.” kata si anak gadisnya.
“Udah jangan mikir soal itu, yang penting
kamu pura-pura saja nikah sama dia, nanti kan dia cuma di jadikan
tumbal.” jelas ibunya.
Aku heran mendengar percakapan mereka.
Dan Sarno masuk lalu aku keluar melayang ke suatu tempat, tempat itu
adalah warung nasi, yang di depannya ada pohon mangga, aku berdiri di
atas pohon mangga, dan melihat ke warung tak mengerti. Di dalam warung
ada dua orang gadis sedang makan nasi sambil ngobrol.
“Apa kamu suka sama kang Sarno?” tanya gadis satunya.
“Iya…, aku terlanjur berbuat dengannya, jika aku tak nikah dengannya aku akan dukunkan dia,” jawab perempuan satunya.
Aku heran kok balik-balik Sarno.
Tiba-tiba aku terseret lagi ke sebuah rumah, di dekat tikungan nampak
Sarno berlarian, menggedor-gedor rumah, aku masih kebingungan karena
tarikan yang tak bisa ku lawan. Aku ikut masuk ke rumah, di mana seorang
lelaki setengah tua membukakan pintu dan Sarno di ajak masuk ke dalam,
dan di dalam ku lihat berbagai sesaji.
“Musuhmu sekarang No..,” kata lelaki setengah tua itu.
“Iya saya tau mbah kyai.” jawab Sarno. “makanya saya minta tolong ke mbah kyai.”
“Aku mau saja menolongmu no…, tapi
taruhannya nyawa, apa kamu mau menjaga dan menikahi anakku.” kata orang
setengah tua itu, “Soalnya bisa saja aku kalah dan taruhannya nyawaku.”
“Iya mbah, saya akan berusaha.” kata Sarno.
Tiba-tiba di luar terdengar suara mendesis, dan suara kook..kok.., aku segera melesat keluar, dan melayang di udara,
“Sudah no, kamu lari dari pintu belakang.” kata lelaki setengah tua, dan dia sendiri keluar rumah sambil membawa keris.
Sementara di luar rumah, seekor ular
sebesar manusia, tengah melata di tanah, anehnya tubuhnya cuma sepanjang
tubuh manusia, dan gerak geriknya seperti sudah berjalan, dan dia
berhadapan dengan lelaki setengah tua itu, aku melayang di atas pohon
tebu, tegang juga karena ingin tau apa yang akan terjadi, ular itu
mulutnya yang besar tiba-tiba memakan tanah, di kunyahnya dan di
semburkan, berupa bola api yang meluncur mengarah pada lelaki tua yang
memegang keris. Lelaki itu melompat, dan bola api lewat, tapi ular itu
bertubi-tubi menyerang dengan api, maka ada satu dua bola api menghantam
lelaki tua itu sehingga tubuhnya terjengkang.
Ular sebesar manusia itu yang di tengah
kepalanya ada satu tanduk di antara rambutnya yang kemerahan, mau
mendekati si orang tua yang mungkin sudah mati, aku segera melesat, dan
ku hantamkan kakiku ke kepalanya, ular itu bergulingan menjerit,
suaranya suara perempuan, dan dia mencorong matanya menatapku heran,
lalu mulutnya memakan tanah dan tanah di semburkan ke arahku berbentuk
bola, aku melompat dan pohon besar di belakangku segera terhantam dan
terbakar, ganas juga serangannya, serasa udara sangat panas, aku mundur,
sekali waktu ku serang dia dari udara dengan hantaman petir dari
tanganku, dia menjerit, sisiknya sangat tebal, sehingga seranganku walau
bisa melemparkannya tapi sama sekali tak bisa melukainya, hanya
tubuhnya sekedar berasap. Aku terus mundur, dan terbang, dia berusaha
mengejar, aku melesat ke arah lebih tinggi, di kejauhan ku lihat sebuah
bendungan, aku turun lagi memancing ular itu ke arah bendungan, sampai
di tepi bendungan yang lumayan berkedalaman, ku hantam tubuhnya
kuat-kuat dengan beberapa kali hantaman petir, yang membuat ular itu
menjerit dan melengking, dan terlempar ke udara, aku hantam lagi dengan
beberapa kali hantaman tangan kanan kiri, dan ular itu jatuh ke dalam
bendungan.
Alhamdulillah, aku segera kembali, tubuh rasanya penat, pertarunganku dengan ular itu cukup menguras tenaga.
“Aku bernama Sarno.” kata mas Sarno.
“Sampean jadi kawin sama anak orang yang menolong sampean,” kataku langsung.
“Lhoh kok sampean tau?” tanya dia heran.
“hehehe ya tau saja,” “ooo jadi perempuan
yang wajahnya seperti ini dan ini itu istri pertama?” kataku
menggambarkan istri pertamanya.
“Iya itu istri pertama, sedang anak orang yang menolongku itu istri kedua.”
“ooo begitu rupanya ceritanya…”
“Rumah istri sampean kan di depan ada pohon besar yang terbakar kan?”
“Iya..”
“Jadi akhirnya mertua sampean itu meninggal?” tanyaku.
“Iya waktu dia menolongku meninggal.” jawab mas Sarno bengong karena aku tau detail keadaannya.
“Kok sampean bisa tau saya semuanya to?”
“Ya kebetulan saja.” jawabku.
“Wah sampean ini dukun apa gimana kok bisa tau semua.” tanyanya.
“Ndak, cuma kebetulan.”
“Kalau ku bilang, misal kalau ke rumah
istri sampean harus melewati pasar, habis itu jembatan, lalu pertigaan,
lalu ada masjid yang berpagar besi, lalu jalaaan terus melewati tikungan
yang banyak pohon bambunya, lalu kalau masuk ke arah depan rumah istri
sampean maka harus belok kanan, di depan rumah istri sampean ada pohon
tebu, di belakang ada sungai kecil yang airnya sering sering kering, ada
pohon pisang dan pepaya, bagaimana detail gak?”
“Wah aneh banget bisa tepat semua…, aku jadi takut.”
“Ya kebetulan saja Alloh menunjukkan padaku.” kataku.
“Wah.. aku tak habis pikir, sungguh aneh banget.” kata mas Sarno sambil ketawa dan kebingungan.
“Nanti main ke kamar ya mas, aku mau curhat, nanti malam atau nanti setelah pulang kerja.” kata mas Sarno.
“Iya insaAlloh.” kataku.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda