Sampai
di Pekalongan sudah subuh, kami sholat subuh di masjid di luar kota
Pekalongan, dan sarapan pagi di pasar Banyu urip, tak ada perasaan
apa-apa mau sampai di tempat tujuanku, daerah Bligo, Sampai di Bligo
kami berbicara sekedarnya, dan aku di temukan dengan gadis yang di
jodohkan denganku.
Dia terdiam, wajahnya biasa, bukan perempuan berjilbab, juga tak ada yang istimewa.
“Sudah tau kalau kita ini di jodohkan?” tanyaku simpel.
“Dia
manggut,” dan menatapku sesaat, padahal dia ini semalaman kabur dari
rumah, karena menolak perjodohan ini, dan mati-matian tak mau di
jodohkan, tapi setelah di bujuk dengan berbagai hal juga di beri
pengertian kalau menolak kan boleh-boleh saja, jadi tidak harga mati,
baru dia mau pulang.
Dan sekarang duduk di depanku. Tentunya aku tak tau kisah itu. Dan tau setelah kami menikah.
“Lalu bagaimana? kamu mau di jodohkan denganku.?” tanyaku langsung ke poin masalah.
Aku
itu selalu ke poin masalah, kalau mau omong lain nanti itu bisa
menyusul, kalau mau bercanda juga kan bisa di lakukan kapan saja, jadi
pokok masalah harus selesai dulu, jadi orang yang berhadapan denganku
kadang kabet, karena selalu seperti itu, yang ku tanyakan tanpa
basa-basi, baru kalau mau bercanda belakangan kan bisa.
“Aku terserah saja, jika masnya menerimaku, ya aku nurut saja.” jawab Husna calon istriku itu.
Mendapat
jawaban seperti itu sama sekali tidak membuatku bahagia, atau sedih, la
di tolak sekalipun aku tidak kecewa, sebab tujuanku bukan soal di tolak
atau di terima, tapi aku melihat bagaimana Alloh itu menggerakkan
segala sesuatu sesuai kehendakNya. Dan aku bisa melihat segala gerak
geriknya terhadap segala sesuatu.
Kejadian
baik buruk adalah proses, seperti membuat roti, kadang adonannya di
kocok, kadang juga di bakar di oven, jadi menuju kenikmatan itu kadang
kita harus di bakar dengan di beri ujian yang meluluh lantakkan hati,
lalu tercapai kesabaran yang lembut.
Setelah
mendapat jawaban, maka aku di ajak Pak Abdullah ke Tuban untuk mengurus
surat numpang nikah, ke tempat Lurah dan ketempat sekertaris KUA, semua
di lakukan secara marathon, dan anehnya juga semua mendukung, jadi
pengurusan surat amat cepat, lalu kembali ke Pekalongan, malah ketika
Ibuku nanya, aku tak memberitahu, hanya ku bilang lagi usaha.
Seorang lelaki tak butuh wali, maka aku tak perlu memberitahu mereka, aku tak ingin mereka di sibukkan dengan pernikahanku.
Jum’at
pagi di adakan acara ijab qobul, anehnya yang diriku tanpa ada
persiapan sama sekali, bahkan masih tak memegang uang sama sekali,
kecuali dua cincin yang akan ku jadikan mas kawin, itu saja pemberian
dari orang, dari jas untuk pengantin, sampai peci hitam, soalnya aku
biasa memakai peci putih, jadi peci hitam jelas tak punya, semua
tersedia tinggal pakai, acara di lakukan dengan sederhana, dan semua
berjalan lancar.
Dan setelahnya di lakukan walimatul ursyi, aku mau di dandani sebagai penganten pria.
Aku
di minta buka sarung untuk di ganti dengan kain perlengkapan yang di
bawa perias penganten, aku bilang tak memakai celana panjang, si perias
penganten terkejut.
“La bagaimana ini..?” kata dia sambil mondar mandir kayak orang bingung.
Lalu
dia keluar sebentar, dan menemui seseorang, sebab aku di rias jauh dari
rumah tempat acara, karena rencananya akan di iring hadroh,
Perias penganten masuk membawa celana panjang selutut.
“untung
di sini ada yang jual celana, ini di kasih sama yang jual celana.”
katanya perias penganten menyerahkan celana kepadaku, dan ku pakai.
Acara walimah semua lancar tanpa halangan apapun.
—————————————————————–
Seminggu
selesai pernikahan, ku ajak istriku ke Tuban ke rumah orang tuaku,
semua merasa heran dengan perempuan asing yang ku bawa.
“ini siapa nang, kok bawa anak perempuan orang?, nanti kalau hamil kan jadi urusan, mempermalukan keluarga.” tekan ayahku.
“Ini istriku” jawabku santai.
“Jangan
sembarangan, perempuan di akui istri, itu ndak boleh dalam agama,
namanya kumpul kebo.” kata ayahku yang memang orangnya keras dalam
memegang syare’at.
Ku keluarkan surat nikah,
“kalau memakai ini di bilang kumpul kebo tidak pak?” kataku sambil meletakkan surat nikah di meja.
Ayahku memeriksa dengan teliti.
“kapan nikahnya, kenapa tidak memberitahu orang tua?”
“ya aku ndak mau membuat orang tua repot.” kataku,
——————————————-
Beberapa hari di Tuban, aku kembali ke Pekalongan, baru beberapa hari, para kyai sepuh desaku semua datang ke rumahku,
“maaf…ini ada keperluan apa, kok pada ramai-ramai datang ke rumah?” tanyaku pada orang-orang tua.
“begini
pak ustadz, kami sudah bermufakat, kalau pak ustadz menjadi imam
masjid, dan kami minta memberi pengajian setiap selesai sholat subuh.”
jelas Pak Sodiqin, yang biasa menjadi ta’mir masjid.
“Wah apa tidak salah, saya ini bukan orang ngerti soal agama.” jelasku.
“hehehehe…” semua tertawa.
“Lhoh kok pada tertawa to..?” tanyaku.
“Orang
pinter pinter itu kan terlihat di pancaran wajahnya, kelembutan
sikapnya, dan segala sesuatunya mengalir tidak di buat-buat.” jelas pak
Sodiqin lagi.
“Bagaimana
ya…?, ini berat bagiku, soalnya aku sendiri belum punya pekerjaan
tetap, jadi masih mencari maisyah kehidupan untuk anak istri.” kilahku.
“Tapi mbok kami di beri ilmunya to pak kyai.” kata salah seorang lagi. Waduh malah di panggil kyai segala.
“Ya
nanti saya coba, semoga Alloh mengijinkan dan meridhoi, tapi saya ndak
janji, soalnya saya belum istiqomah, juga masih mencari rizqi.” kataku.
“Iya kami maklum.” kata mereka dan setelah semua beres, mereka meminta diri.
Dari acara penganten, dan sisa uang dari tamu, istriku cuma memegang uang 300 ribu, sungguh uang yang minim.
“Gimana mas, kita usaha apa?” tanya Husna.
“Bagaimana kalau membuka toko? ” tanyaku balik.
“Zaman sekarang uang segitu di belikan juga akan dapat apa?” kata Husna mengutarakan logisnya.
“Ya
kita jangan membuat ukuran yang logika dulu, sebab itu tak mungkin,
melihat keterbatasan kita, aku yang tanpa modal, kita menjalankan saja
dulu dengan kesungguhan.” jelasku.
“Ya kalau tidak di akal lalu kita memakai apa?, Segala sesuatu kan harus di rancang dengan akal.” bantah Husna.
Memang
tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak bisa di logika manusia, yaitu
gerak gerik Alloh dalam mengatur hambaNya, satu penggalan ayat sedikit
saja sulit mengimaninya, kalau manusia masih membuat sandaran akalnya.
WAMA MIN DABBATIN ILLA ‘ALALLOHI RIZQOHA.
Semua
apa yang melata dan hidup di bumi itu rizqinya di tangan Alloh, kalau
menurut hemat pemikiran dangkalku, maka karena yang membagi rizqi itu
Alloh di samping usaha, maka kita juga berupaya untuk meminta pada
Alloh, dan kalau meminta itu agar cepat terijabah maka mendekatkan diri
pada Alloh.
Dan
pemikiran itu ku tanamkan pada istriku, teramat sulit. Sesulit
menancapkan tonggak tumpul pada sepotong batu, sehingga malah yang
sering terjadi percekcokan.
“Begini
saja daripada kita berdebat tak ada ujung pangkalnya, bagaimana kalau
kita buktikan, kita jualan, apa juga boleh, asal barang halal, lalu aku
berdo’a bagaimana, kalau nanti tak laku, ya berarti tentang teoriku itu
salah kaprah, bagaimana?” tanyaku yang lelah meyakinkan.
“Ya kita buktikan.” jawabnya, karena ingin membuktikan apa yang ku utarakan itu salah.
Maka
kami membuka toko kecil bekas toko keluarganya, dan di isi dari uang
yang cuma 300 ribu, ya isinya bisa di bayangkan, cuma apa.. Dengan
kesungguhan hati, aku pun mulai menjalankan permintaanku pada Alloh, dan
sungguh di luar dugaan, toko berkembang amat pesat, setiap hari penuh
orang membeli, dan tak sampai sebulan isi toko penuh isinya.
Istriku mulai senang, tapi tetap dia merasa itu kebetulan.
“Bagaimana dik, apa yang ku katakan benar kan?” tanyaku.
“Ah itu hanya kebetulan saja.” katanya.
“Begini
saja, biar ketahuan ini kebetulan atau tidak, besok aku tak minta rizqi
pada Alloh, bagaimana keadaan toko kita, lalu besok besoknya lagi aku
minta, bagaimana perbedaannya. bagaimana?”
“Ya ndak papa di buktikan.” otot istriku.
Dan
aku malamnya tak minta lagi supaya Alloh memberi rizqi, dan esoknya
toko sepi sekali, mungkin sehari cuma ada 2 orang yang beli. Dan malam
setelahnya aku meminta rizqi, dan toko ramai lagi.
“Bagaimana dik?, kan sudah lihat sendiri.?”
“Wah itu masih belum membuktikan, sebab pas sehari itu mungkin sedang ada apa sehingga toko sepi.” bantahnya.
Hmm.. aku memang harus pelan-pelan menanamkan keyakinan yang sebelumnya tak di ketahui dan tidak di pahami Husna.
Gak
papa. Seseorang itu pertama yang harus di bimbing adalah keluarganya,
kalau membimbing keluarganya saja gagal, maka bagaimana mau membimbing
orang lain???
“Biar aku meminta modal pada Kak Abdullah, sepuluh juta juga gak besar bagi mereka yang kaya raya.” kata Husna.
“Ingat…!
Jangan sampai kita punya sandaran pada manusia, apalagi kakakmu, dia
itu manusia, manusia itu lupa, sakit, mati, dan penuh keterbatasan,
kalau Alloh itu tidak mati, tidak lupa, tidak sakit, tak terhalang oleh
apapun, jadi jangan menyandarkan diri pada manusia, bahkan setengah
rupiahpun, karena kalau diri menyandarkan pada manusia maka Alloh akan
menyerahkan nasib kita pada manusia tersebut.” jelasku panjang lebar.
“Ya apa kita tak bisa seperti orang pada umumnya?, ya kalau ndak minta, minjam kan juga gak papa.” kilah Husna tak mau kalah.
“Cobalah
menghilangkan pikiran dan harapan kepada manusia, dan berusaha sekali
saja menggantungkan diri pada Alloh, fatawakkalu Alallohi, waman
yatawakal ‘alallohi fahua khasbuhu. Bertawakallah pada Alloh, siapa yang
bertawakal pada Alloh maka Dia yang akan mencukupi.” kataku
menjelaskan.
“Tak taulah.”
“Ya
jangan tak tau gitu, sekarang kita buktikan lagi bagaimana, biar selama
seminggu toko tak ku do’akan, lalu seminggu ku do’akan, masak kebetulan
kok seminggu.” kataku menekankan.
“Ya kita buktikan.” katanya lagi. Karena apa yang ku bicarakan itu dia ingin hanya omongan kosongku saja.
Maka
selama seminggu, aku sama sekali tak minta supaya di beri rizqi, dan
selama seminggu benar-benar toko sepi, sampai apa yang jadi isinya toko
menyusut kembali, karena tak ada uang untuk membeli barang.
“Sudah-sudah di do’akan, semua barang sudah mau habis untuk makan.” katanya.
“Ya ndak bisa, perjanjiannya kan seminggu,”
“iya aku sudah percaya, sana di do’akan.”
“Ya
tak bisa harus selesai seminggu, mau habis juga gak papa, makanya jadi
orang mbok jangan ngeyel, coba mana logika yang kau banggakan itu?”
kataku menuntut.
Setidaknya aku telah menyelesaikan mengarahkan Husna dalam satu langkah.
Sementara hariannya aku mulai menjadi imam masjid, dan mengisi pengajian waktu subuh.
Sementara hidupku amat santai, dan semua lancar-lancar saja.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda