“Maaf Nyai, yang berkepala ikan, bertubuh nabusia, juga sebaliknya itu bangsa jin atau bangsa manusia?” tanyaku.
“Itu bangsa manusia.”
“Lhoh kok aneh, apa ada bangsa manusia seperti itu?”
“Lalu yang melintang di jembatan itu apa juga manusia? Juga yang bekerja sambil di cambuki itu?” tanyaku.
“Iya itu juga bangsa manusia.” jawab Dewi Lanjar.
“Wah kok aneh sekali Nyai…, bagaimana bisa terjadi seperti itu?” tanyaku tak mengerti.
“Mereka itu orang-orang yang menjadi
wadal atau tumbal, juga orang-orang yang melakukan perjanjian meminta
kekayaan pada bangsa jin.” jelas Dewi Lanjar.
“Berarti panjenengan menerima perjanjian dengan mereka begitu Nyi..?”
“Sama sekali bukan, itu hanya jin-jin
yang mengaku-aku diriku, aku sendiri seorang mukminah, hal seperti itu
sirik, haram,” jelas Dewi Lanjar.
“Tapi nyatanya ada yang menjadi tumbal begitu?”
“Itu hanya perbuatan jin-jin yang mengaku-aku diriku.”
“Maaf Nyai…sebaiknya aku memanggil apa padamu?”
“Panggil saja Ibu, ibu Dewi..” katanya sambil menatapku dengan pandangan sayu.
“Mari ngger.. mari masuk ke kerajaanku..” kata Dewi Lanjar.
Dan aku mengikuti di sampingnya, di
setiap jalan banyak sekali taman-taman dan perempuan-perempuan yang
menjadi dayang, semua menunduk ketika kami berdua lewat.
“Itu perempuan dari bangsa jin apa dari bangsa manusia bu…?” tanyaku, sambil berjalan di sampingnya.
“Itu dari bangsa jin.”
“Oh ya kalau orang yang melakukan
pesugihan itu, jika bukan perbuatan ibu, dan itu perbuatan para jin,
kenapa ibu tak melarangnya?”
“Aku ini siapa to ngger, itu kan kemauan
manusia itu sendiri, yang mau di perbudak syaitan, yang tamak, dan rakus
terhadap harta.” jelas Dewi Lanjar.
“Lalu ibu ini sebenarnya bangsa manusia atau jin ?” tanyaku.
“Aku ini manusia anakku..” jawabnya yang mengejutkanku.
“Lhoh kok bisa ibu sebagai manusia lalu menjadi orang yang menguasai laut dan membawahi para jin?” tanyaku heran.
Dan kami berdua duduk di sebuah meja dari
kayu tai, yang mengkilap, di dalam ruangan yang indah dan megah, ramai
dengan berbagai ornamen dan lukisan, dengan pencahayaan yang serasi,
beberapa pelayan menatakan makanan.
“Rumah tempat ananda ketemu denganku itulah rumah asliku…” jelas Dewi Lanjar.
“Ooo, lalu kok sampai ibu menjadi penguasa laut utara, bolehkah anak tau ceritanya.?” kataku berhati-hati bicara.
Dewi lanjar menerawang, seperti mengingat kenangan lama.
“Dulu aku ini seorang yang bersuami,
tetapi aku tak mau di kumpuli suamiku, maka setiap malam dari magrib
sampai malam aku tak mau tidur dalam rumah, jadi selalu di luar rumah.
Pada suatu malam aku di datangi
perempuan, wewe gombel aku menyebutnya, dia mengajakku, sampai di Alas
Roban, waktu itu zaman peralihan kekuasaan dari Pajang ke Mataram,
sampai di tengah hutan, aku di suruh duduk bertapa di sebuah batu,
akupun menuruti, duduk bertapa di atas batu, sampai aku sendiri sudah
tak tau sudah berapa lama aku duduk si atas batu itu, dan Ibu Nyai Roro
kidul penguasa laut selatan mendatangiku, lalu mengangkatku sebagai anak
angkatnya, dan menyerahiku kekuasaan laut utara.” jelasnya.
“Beginilah nasibku…”
“Lalu apa ini tidak menyalahi kodrat manusia?” tanyaku.
“Walau seperti ini juga adalah sudah
tertulis di taqdir yang Alloh Yang Maha Kuasa ngger…, jangan menanyakan
kodrat manusia, ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, hal itu
terjadi, dan tidak menunggu akal agar percaya, baru hal itu terjadi,
sekalipun akal tak percaya maka itu tetap terjadi.”
“Memang ibu, saya di sini, di kerajaan
ibu ini, saya juga tak percaya jika telah berada di sini, walau saya
jelas-jelas berada di sini, tapi akal saya tetap menolak, karena
keterbatasan akal saya.” kataku yang memang tak percaya dengan apa yang
aku alami.
“Ngger, kalau angger mau, biar ku bantu
berjuang, memperjuangkan agama, dan biar aku dukung dengan segenap bala
tentaraku, dan segenap harta bendaku.” kata ibu Dewi.
Aku terdiam, terlintas di pikiranku,
ingat ketika Nabi Muhammad di tawari Alloh, gunung Uhud dan pasir tanah
Mekkah di jadikan emas, untuk memperjuangkan agama, tapi Nabi menolak,
dan bagiku Nabi adalah sebaik-baiknya tauladan, tak ada tauladan yang
melebihi Nabi.
“Maaf bu…, aku amat berterima kasih, atas
perhatian ibu, tapi sesuai ajaran Nabiku, dalam perjuangan itu ada
sulitnya menjalankan proses perjuangan, dan ada berbagai pengorbanan,
dan di dalamnya tersimpan kesabaran penempaan diri, sehingga diri kukuh
kuat, tak tergoyahkan, dan semuanya ada pahalanya, jadi atas tawaran
ibu, terpaksa dengan berat hati saya menolaknya…, sekali lagi maafkan
saya bu..” kataku ku ucapkan dengan hati-hati agar tidak menyinggung.
“Ya tak apa-apa, kebersihan hati manusia
itu tercermin pada sikapnya, tapi jika nanda ingin aku membantu, entah
tentara atau harta benda, maka aku siap selalu membantu, kirim saja
fatekhah padaku satu kali tahan nafas, dan minta yang anak maui, maka
aku akan memerintahkan anak buahku segera melaksanakan.”
“Sekali lagi terima kasih ibu.. atas
kebaikan hati ibu, anak hanya berharap jika suatu kali anak ingin main
ke sini, ketempat ibu, ibu menyambut saya dengan terbuka.” kataku.
“Oh tentu-tentu… kapanpun anak mau, kerajaanku ini terbuka seluasnya.”
“Terima kasih bu.. sebaiknya aku mohon diri.” kataku sambil beranjak dari kursi.
“Mari ku antar sampai pintu gerbang.” kata Dewi Lanjar.
Dan akupun di antar, sampai pintu
gerbang, dan ternyata kerajaan itu telah tak nampak, aku telah ada di
jembatan besi, di bagian arah utara kota Pekalongan, aku segera melesat
pulang.
Aku merasa pengalamanku itu suatu proses,
dalam pikiran dan penilaianku, jika kita mau menguasai atau menjadi
suatu penguasa suatu daerah, dalam artian menaklukkan dzahirnya, maka
taklukkan dulu batinnya, dan aku sangat berterima kasih dengan Kyaiku,
yang telah membekaliku dengan ilmu raga sukma, yang ku rasakan amat
banyak manfaat yang dapat ku ambil.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda