Karena tidak merasakan sakit, aku ya
tetap diam saja, cuma suara cambuk ikat pinggang yang terus
menghujaniku, bak-buk, bak-buk, “sudah-sudah…!” teriak orang yang ada di
ruangan itu, sementara orang yang ikut jum’atan pun sudah pada
berdatangan memenuhi kaca, menatapku, juga dari pintu, dan segala lubang
yang ada, aku seperti pencuri yang di nistakan,
“ayo ngaku kau telah mencuri sandal.” kata orang yang memukuliku,
“la saya tidak nyuri sandal, gimana mau ngaku nyuri sandal.” kataku masih dengan tatapan heran,
“benar, kamu tidak nyuri sandal?” tanya salah satu orang yang ada di dalam kantor itu,
“tidak..!” kataku mantap.
“gembel…, mau mungkir, kalau sandal yang
kau pakai itu bukan sandal curian, apa ada gembel sandalnya bagus…?!”
bentak orang yang memukuliku.
“ini sandalku sendiri…” kataku
“puih, gembel hina…mau di hajar lagi?!” bentak orang yaang memukuliku.
“sudah-sudah…,” kta orang setengah baya yang tadi menyela,
“benar kmu tidak mencuri sandal?”
“tidak…!” jawabku.
“apa buktinya kalau sandal itu sandalmu sendiri?” tanya orang setengah baya itu. aku sebentar berpikir, lalu ku ingat,
“sandal ini bawahnya japit ku kasih paku,
karena sudah putus.” kataku mantap. Lalu orang yang memukuliku, menarik
kedua sandal yang ku pakai, dan memandang dengan kecewa, karena apa
yang ku katakan benar adanya. Dia menunjukkan sandal pada orang setengah
baya itu,
“makanya jangan nuduh sembarangan.” kata orang setengah baya itu,
“kalau begini…, untung tidak sampai luka
parah..” kata orang setengah baya itu menggerutu, sementra orang yang
memukuliku, nampak serba salah, sandal kemudian di angsurkan padaku
lagi.
“heh…heh ada apa ini?..” seorang pemuda
tiba-tiba mendesak kerumunan di pintu dan masuk ke kantor masjid
tempatku di pukuli, seorang pemuda yang seumuran denganku, berkulit
kuning dan berwajah tenang, “ada apa?” tanyanya lagi.
“ini salah nangkap maling…” kata orang
setengah baya yang melarang aku di pukuli terus, sambil tangannya
menunjuk padaku, dan pemuda itupun memandangku.
“maling gimana, ini temanku, kenapa di
bilang maling?!” kata pemuda yang baru masuk, dengan nada marah, lalu
menggelandangku berdiri,
“ini temanku, kenapa di bilang maling?” tanyanya lagi, karena tak ada yang menjawab,
“iya kami salah sangka, maaf…!” kata orang yang memukuliku.
“maaf gimana?, mbok kalau ada masalah
jangan langsung main pukul,” kata pemuda yang menyerobot masuk, yang
terus terang aku pun tak kenal sama sekali, aku tetap diam saja, dan tak
memperdulikan pembicaraan mereka, memang aku sendiri kadang merasa
aneh, semakin di timpa musibah, maka aku akan semakin tenang, pasrah,
atau mungkin kalau di bilang tak terlalu, aku makin ngantuk, kalau
tertimpa musibah, hati langsung terisi dengan Alloh jadi ketenangan
teramat dalam, sampai rasanya mata jadi ngantuk
Aku makin tak konsen dengan perdebatan
mereka, sampai aku di geret oleh pemuda sebayaku, dan di ajak jalan ke
dalam Matahari plaza, aku nurut saja… lalu di ajak duduk di etalase toko
sepatu,
“mana yang sakit?” tanyanya,
“nggak ada yang sakit” jawabku.
“ah masak, coba lihat punggungmu?” katanya langsung ke belakangku dan membuka kaos kumal yang ku pakai.
“heran, kok ndak luka sama sekali?, padahal ku lihat kamu di pukuli sampai ancur-ancuran.” katanya, selesai melihat punggungku,
“ndak tau ya, aku sendiri juga heran, kok ndak ada yang sakit, juga waktu di pukul ndak sakit” kataku menimpali.
“wah aneh juga, padahal baru seminggu
yang lalu juga ada yang di tangkap, di tuduh nyuri sendal, lalu di
pukuli sampai hidung dan mulutnya berdarah, dan wajahnya bengep,
njerit-njerit ndak karuan.” katanya menerangkan.
“masak?” tanyaku heran.
“iya, emang itu orang yang jaga masjid
paling suka mukuli orang, udah nggak kehitung yang di pukuli.” katanya
menjelaskan lagi. Lalu datang seorang lagi mendekat.
“ada apa ed?” tanya lelaki yang datang, orangnya juga seumuranku, kulitnya hitam,
“ini tadi di pukuli penjaga masjid.”
“wah…, salah apa?” tanya lelaki itu
“di tuduh nyuri sandal.”
“wah pasti lukanya parah…” kata pemuda yang baru datang yang ku tau bernama Ikhrom,
“malah ndak luka sama sekali..” jawab
pemuda yang bernama Edi yang menolongku. Mereka berdua ramai
membicarakanku, aku tetap diam sampai Edi bertanya padaku,
“kamu tinggal di mana?”
“aku?” tanyaku lagi.
“iya .., tinggal di mana?” ulang edi menanyakan pertanyaanya.
“wah aku ndak punya tempat tinggal.” jawabku enteng.
“la trus kalau tidur di mana?” tanyanya lagi.
“ya di mana aja…,” jawabku masih enteng.
“di mana aja gimana?” tanya Ikhrom
nimbrung. ya aku juga tak heran bila mendengar pertanyaan orang yang
biasa tidur di rumah dengan kasur empuk, dan menyalakan musik pengantar
tidur, aku tak menyalahkan mereka, yang pasti merasa aneh dengan
orang-orang yang biasa tidur sembarangan, mungkin bayangan mereka andai
di gigit ular gimana? andai di rampok orang gimana? atau mungkin barang
pertanyaan yang teramat sepele, wah kalau di gigit nyamuk apa bisa
tidur, tapi selama ini aku juga tidur-tidur aja, apa mungkin nyamuknya
udah pada kenal , atau mungkin darahku yang pahit, karena makan dari
tempat sampah.
“ya kadang di jalan, di emperan toko,
kadang di musolla, atau bahkan kadang tidur di kuburan…” jawabku sambil
melirik mereka, dan menyalakan rokok djisamsoe yang di sodorkan padaku
oleh Edi.
“wah berani sekali.” desah Ikhrom. Sementara Edi masih terbelalak.
“yang bener di kuburan ?” tanya Edi dengan nada heran dan kaget,
“emangnya kenapa?” tanyaku.
“apa ndak boleh?” sambungku.
“ya bukan begitu, maksudku berani sekali, apa pernah di datangi pocong..?” tanya Edi.
“pocong?.., ya mungkin aja pernah, tapi
kali aja pocongnya ngeliat aku ndak punya uang jadi ndak di
takut-takuti, mungkin dia malas nakuti aku, ya mungkin bauku lebih parah
dari mereka, la mereka mau nyumpal hidung, tangannya di ikat, jadi
mending jangan mendekat..” jawabku asal aja. Yang tiap kata ngawurku pun
makin membuat hubungan pertemanan kami pun makin akrab, dan selama itu
aku tetap di tempat penjualan sepatu tempat Edi bekerja, tentunya dengan
pandangan orang yang lewat di koridor merasa aneh padaku, tapi aku cuek
aja, toh pandangan mengucilkan dan menghinakan tak sekali dua kali ku
terima,
Malam itu aku di ajak ke tempat tinggal
Edi dan Ikhrom nginap di tempatnya, yaitu tempat tinggal bossnya, karena
memang mereka berdua di tampung di rumah bossnya, aku di kenalkan,
namanya pak Sugeng, orang dari Jogja, dan orangnya baik sekali, aku di
tawari untuk bekerja, atau lebih tepatnya di carikan pekerjaan, aku heeh
saja, walau niatku bukan untuk mencari pekerjaan, sehari dua hari
seminggu dua minggu aku masih ikut jaga toko sepatunya pak Sugeng
bossnya Edi dan Ikhrom, dan syukur penjualan meningkat beberapa kali
lipat setelah ada aku, jadi pak Sugeng pun royal memberikan tip padaku,
di samping makanku sudah terjamin, karena tiap hari di beri uang makan.
Pagi itu, aku berangkat kerja, dengan Edi
dan Ikhrom, seperti hari biasa, kami mampir ke warung makan, untuk
sarapan nasi bungkus di tempat mbak Asih, penjual nasi bungkus pojok,
tiba-tiba, mbak Asih sudah keluar dari warung menyongsong kami, wajahnya
nampak ceria sekali.
“ayo-ayo cah bagus sini makan,” sambil menggelandang tanganku dan tangan Edi.
“ada apa mbak?” tanya Edi. sementara aku diam saja.
“udah ayo makan,” kata mbak Asih sambil menyodorkan nasi bungkus spesial, di bilang spesial karena pakai daging,
“wah kami ndak pesan ini mbak..” kata Edi nolak,
“udah ini gratis kok ndak bayar, malah
adik iyan boleh makan di sini terus nggak usah bayar…” kata mbak Asih
dengan pandangan berbinar-binar,
“ya ndak bisa gitu mbak..” kataku rikuh.
“la mbak ini kan jualan, kalau aku makan di sini ndak usah bayar, ya mbak Asih nanti yang bangkrut.” kataku.
“udah…, ayo di makan dulu…” kata mbak Asih. kami pun makan dengan lahap.
“wah ini pasti ada apa-apanya, kamu apain
yan mbak Asih?” kata Edi melirikku, sementara sejak tadi Ikhrom cuma,
mengsam-mengsem kaya makan permen kecut.
Dengan cepat nasi bungkus pun telah
pindah tempat di dalam perut kami, tinggal bungkusnya doang, lalu kami
seruput teh manis, mbak Asih mendekatiku dan menyodorkan rokok djarum
sebungkus, ku trima dan ku buka lalu ngambil satu dan ku nyalakan,
“udah mbak, berapa?” tanya Edi, sementara Ikhrom telah keluar dari warung duluan,
“weh di bilang gratis kok ndak percaya…” semprot mbak Asim,
“udah gak usah bayar.” tambahnya.
“la ada apa to mbak?, apa mbak Asih sukuran?” tanya Edi sambil memasukkan uangnya kembali ke sakunya.
“heeh..” jawab, mbak Asih sambil memberesi piring dan gelas.
“sukuran apa mbak?” tanya Edi iseng,
“sini duduk dulu.., tuh rokoknya di ambil
dik ian.. , duduk dulu, akan mbak ceritkan, biar nak Ikhrom yang buka
toko.” kata mbak Asih masih dengan wajah sumringah.
Kami pun duduk anteng.., lagian warung
juga lagi sepi, jadi kami bisa ngobrol. setelah mbak Asih duduk di salah
satu kursi, lalu mulai bercerita, dan matanya selalu mengawasiku, si
Edi sampai kelihatan curiga,
“gini dek Edi.., mbak akhirnya hamil…,
setelah sepuluh taun menunggu …, mbak akhirnya bisa hamil…” kata mbak
Asih masih dengan mulutnya di penuhi dengan senyum bahagia, karena mbak
Asih sambil memandangku, jadi Edi pun ikut memandangku aneh,
“kenapa Ed…?” tanyaku heran.
“aku yang musti nanya kenapa.., bukan kamu…, kamu ada apa-apa ya sama mbak Asih?” tanya edi.
“kenapa kamu nyangka begitu Ed?’ tanyaku makin heran.
“eee.ee.. dengar dulu apa yang mbak akan katakan, kenapa kalian malah ribut?”
“iya ini harus jelas ini ada apa?!.. ”
kata Edi sambil menatapku curiga.. tiba-tiba dari warung muncul suami
mbak Asih, bernama pak Wahyu.. dia langsung menyalamiku.
“makasih doanya adik iyan…” katanya
sambil air matanya mengembang di pelupuk mata., lalu memelukku dengan
erat, jelas Edi makin bingung.
“ini sebenarnya ada apa…?” tanya Edi
setelah pak Wahyu melepaskan pelukannya padaku, dan kami semua duduk,
mbak Asih mulai cerita.
“gini lo ed..” kata mbah Asih mulai cerita,
“kamu kan tau, aku dan mas Wahyu, sudah berumah tangga selama hampir 12 tahun tapi ndak juga di karunia anak, “
“trus?” sela Edi ndak sabaran.
“kami juga sudah berusaha dengan berbagai
cara, ke dokter ke dukun, ke shinshe, ke paranormal, tapi hasilnya
nihil, sampai rumah tangga kami sudah berumur 12 tahun, tetap saja kami
tak punya anak, nah pada minggu yang lalu, waktu nak adik ian kemari
makan sendiri, iseng-iseng, kami minta di doakan, supaya mendapat
keturunan, lalu nak iyan mendoakan, dan seminggu kemudian aku mual-mual
terus, lalu ku periksakan ke dokter kemaren, dan ternyata, aku di
pastikan positif hamil, jadi kami teramat berterimakasih sama nak
iyan,..” Edi menatapku.
“wah diam-diam kamu paranormal.?” tanya Edi, sambil matanya di picingkan.
“wah kalau berdoa., kamu juga bisa,
berdoa juga ajarannya Nabi, apakah Nabi itu, nabinya paranormal?”
tanyaku balik, yang memang orang kayak Edi.., yang hidup bebas, pemuda
yang tanpa kendali siapa pun, mungkin jangankan berdoa, mungkin sholat
aja, setahun bisa di hitung dengan jari, aku juga maklum, maka aku
memilih tak memperuncing masalah.
“ooo gitu jadinya.”
“pak Wahyu, mbak Asih, la ndak usah aku
musti makan gratis di warung ini to, berdoa itu juga kan ndak pakai
biaya, juga belum tentu, hamilnya mbak Asih karena doaku yang di ijabahi
Alloh. Jadi ndak usah memintaku makan di sini gratis, kayaknya kok ndak
etis, rasanya juga ndak pantas kalau mendoakan minta balasan.” kataku
pelan.
“wah ndak bisa, pokoknya dek ian harus
makan di sini , terus…! kata mbak Asih sama pak Wahyu hampir
berbarengan, itu sudah nadar kami…” kata mereka.
“wah kalau gitu ya susah…” kataku berat.
“udah kalau kamu ndak mau, biar aku yang
gantiin…wong di kasih enak kok ndak mau..” kata Eko bercanda dan
menyeretku keluar warung dan berjalan cepat ke arah plaza.
Pagi itu aku di panggil pak Sugeng, “yan ,
kamu dapat kerjaan di toko sepatu bata, mau nggak?” tanya pak Sugeng
ketika aku ada di depannya,
“ya mau aja pak..” jawabku.
“tapi saratnya kamu musti potong rambut,
kamu potong rambutmu yang panjang itu, mau kan?” tanya pak Sugeng lagi
sambil melihat rambutku yang panjang sepunggung dan ku ikat ke belakang
dengan karet.
“ah, kalau syaratnya itu ya ndak usah aja la pak.” kataku berat,
“lho kok gitu, la apa susahnya motong rambut, tinggal bawa ke salon, potong selesai, ndak sakit..” kata pak Sugeng bercanda.
“ya bukan masalah itu pak, tapi ini ada maksudnya sendiri.” kataku berkilah.
“maksud sendiri gimana?, la kalau kamu potong dan kelihatan rapi, juga pasti tambah ganteng.” kata pak Sugeng ngojok-ojoki,
“udah lah pak mending gak usah kerja aja
aku, dari pada di suruh potong rambut.” jawabku agak ndumel. la kok
sarat kok aneh-aneh, walau dalam pikiran wajarku, ya sebenarnya sah saja
kalau kerja jadi pelayan toko itu harus rapi.
“lagian aku juga ndak punya baju yang
rapi pak, celana juga se blongsong ini aja, yang udah koyak sana-sini
jadi ndak usah lah kalau syaratnya aneh-aneh, nanti di turuti malah
saratnya nambah aneh lagi.” kataku membuat alasan.
“ya udah kalau gitu nanti tak bilangi
sama pak Joko, pemilik toko sepatu bata itu..” pak Sugeng berlalu sambil
menepuk bahuku, menyuruh kembali ke tempat kerjaku.
“yan di cari mbak Lina…” kata Edi setelah aku sampai di tempat toko tempat biasa aku nongkrong.
“Lina siapa? aku ndak kenal.” kataku acuh.
“itu Lina yang punya butik sebelah sana.., “kata Edi nambahin.
“ah aku ndak kenal kok, malu ah..”
jawabku sambil duduk di kursi dan buat TTS biasa tiap yang jaga toko
untuk ngisi waktu luang biasa di pakai ngisi TTS, dan aku juga ikutan
keranjingan, kayaknya waktu tak kerasa cepat berlalu kalau di pakai
ngisi TTS.
“kamu yang namanya Febrian?” tanya suara merdu di belakangku.
“aku pun nengok, dan ku lihat gadis
cantik kuning langsat, dengan rambut sebahu, dan aroma wangi bunga
menabur, jadi napas sesek aja, dan wajahnya memang cantik banget, nurut
ukuran aku yang orang desa, juga kulitnya halus mengkilat, kayak biasa
mandi susu, bibirnya tipis di poles lipstik warna natural, alisnya
tertata rapi serasi dengan hidung yang kecil bangir dan mata yang indah
lucu. Sebentar aku terpana, ya maklum kayak ngelihat boneka aja, maklum
orang desa.
“heeh, ” jawabku tanpa eksperi. Dia ngulurin tangannya.
“kenalin aku Lina…” katanya masih dengan
suara merdu. Setidaknya merdu menurut telingku, yang kali aja udah di
ubek-ubek setan, ku jabat tangannya, hm… halus banget kayak megang meg
aja. Kayak ndak kerasa, terus terang bayanganku malah kemana-mana, ya
ndak usah munafik, terus terang belum pernah ku jabat tangan sehalus
itu, kali ini tangan ndak pernah di pakai kerja, dan di rendam sama
henbody semalaman, jadi halus banget, ya itu menurut prasangkaku.
“yuuk main ke butikku..” katanya katanya
tanpa basa-basi, wah kalau di serang langsung tanpa tedeng aling-aling
kayak gini aku malah keki…
“anu.. mbak.. uh.. ak..aku lagi kerja..
nanti di marahi pak Sugeng.” kataku mencari alasan sekenanya. Lagian
kalau dekat cewek terlalu cantik aku jadi agak kringetan dingin, entah
kenapa kok gitu, padahal kalau dekat ama nenek-nenek gak sampai
kringetan, ini kalau dekat cewek agak di atas takaran bayanganku tentang
cewek cantik jadi kringetan ndak karuan, gupuh, entahlah..
“udah ndak papa, om sugeng baik kok sama aku, ndak bakalan apa-apa,” tambahnya memojokkanku.
“ya udah yan sana aja…” kata Edi dari jauh dan lagi ngelayani pembeli sepatu. Tapi aku diam aja.
“ehm.. gimana ya…nanti aja deh aku main ke sana mbak…” kataku, sengaja manggil mbak, supaya ada tercipta jarak.
“bener lo ya ..nanti main, awas kalau
enggak..” katanya sambil berlalu. Aku mantuk aja. sambil pura-pura sibuk
menata sepatu.., ampun jadi keki kayak gini serba salah,
Terus terang, kalau dalam itung-itungan
kurang tambah, kali bagi, grogiku kepada cewek cantik bukan karena
kurang pedenya aku, tapi lebih di titik beratkan pada mimpi yang sama,
yang sering mendatangi dalam bawah sadarku, seorang tua berkepala gundul
dan berbadan gemuk, dengan wajah wibawanya yang menciutkan nyaliku,
orang tua itu selalu mengingatkanku, jangan terlalu banyak bergaul
dengan wanita cantik, karena itu godamu yang utama, jangan terjerumus
dalam nikmat semu yang tak ada nilainya, yang akan meruntuhkan tingkat
yang kau buat. Itu kata orang tua itu, aku paham apa maksudnya tapi aku
juga lelaki biasa. Yang di takdirkan tertarik dengan lawan jenis, dan
ketertarikan itu wajar, setidaknya menurut pikiran pembelaan terhadap
nafsuku, aku mencari pembenaran atas jawaban pertanyaan di sudut hati
setiap lelaki sejati, heh lelaki sejati? Sejati di nilai dari mana?
Jiwaku berdebat. Ah ada apa dengan wanita? Kenapa wanita cobaan? Aku
bukan orang suci? Ramai tanya jawab dalam hati. Itu dialog syaitan dan
malaikat.
Malam itu toko seperti biasa tutup jam
sepuluh malam, aku dan dua temanku Edi sama Ikhrom pun berjalan keluar
dari plaza, tapi sampai di halaman, sebuah mobil avanza berhenti di
depan kami,
“mbak Lina..” kata Edi pelan di
sampingku, memang kaca mobil terbuka, dan muncul seraut wajah ayu, yang
sudah bikin aku was-was aja.
“ayo masuk..!” katanya enteng dan merdu,
kami bertiga diam, ndak ada yang nyaut, ya mungkin kami ini orang yang
terlalu miskin, jangankan naik mobil mewah, menyentuhnya aja ndak
berani, karena mungkin sering melihat mobil mewah yang kalau di sentuh
terus jadi bunyi tit-tit-tit, ribut banget, jangan-jangan kami sentuh
nanti bunyi, itu mungkin pikiran terlalu ndeso ya? ya setidaknya itu
mungkin salah satu pikiran dari 700 pikiran yang melintas di otak kami
bertiga, aku dua temanku ini berpikir lain aku juga ndak tau, tapi aku
lebih memilih pikiran yang simpel aja, aku tak mau nyari masalah, atau
nyari pintu menuju kesuntukan jalan pikiran, nambah beban, mungkin dari
orang yang paling berpikir simpel, aku mungkin adalah orang yang paling
mencari pikiran yang paling gampang dan paling ndak ada unsur njlimet,
bukan takut terbeban dengan pikiran, tapi takut membuang waktu percuma,
dan di akhirat nanti setiap tarikan napasku di pertanyakan, lalu aku
harus menjelaskan setiap waktu yang aku lewati, ah betapa rumit, dan
lamanya. simpel kan jalan pikiranku, kalau menurut orang lain njlimet ya
aku mau bilang apa.?
“ayo…!” kata Lina lagi.
“kok malah pada bengong.” si Edi
garuk-garuk kepala, si ikhrom ku lirik dlengeh senyum dikit aja, membuka
bibirnya yang memang hitam sejak dari sononya, aku mau bergaya apa,
juga ndak ingin, juga ku pikir tak ada gunanya, maka aku manyun aja,
tersenyum enggak, apalagi garuk-garuk, karena ndak punya alasan untuk
menggaruk, la ndak ada yang gatal, terpaksa diam manyun aja, atau tidak
terpaksa, tapi memang itu pembawaan orokku, cuwek, ndak perduli, tapi
akhirnya kami pun masuk ke dalam mobil juga, ndak tau siapa yang mulai
masuk dan tidak tau siapa yang ngasih komando, ya yang jelas kami
bertiga sudah ada di dalam mobil, aku sama Ikhrom di jok belakang
sementara Edi duduk di depan sama mbak Lina.
Dan mobil pun jalan, ku lihat wajah
Ikhrom di sampingku nampak tegang tapi tersungging senyum, tapi aku
biasa saja, apa ketegangan yang di semburatkan di wajah Ikhrom ini
karena naik mobil mewah ini atau karena naik mobil yang di setiri si
cewek cantik dan kaya Lina? atau karena alasan lain, aku tak bertanya,
dan tak ingin bertnya karena itu pasti kan membuatnya tersinggung dan
tak nyaman di sampingku, biarlah kami menyimpan alasan masing-masing,
sejahat atau sesadis alasan apapun asal masih di simpan di dalam hati
kurasa tak membahayakan orang lain, dan masih tak terjangkau hukum dunia
manapun, jadi andai Ikhrom punya alasan yang teramat sadis aku tak mau
mempertanyakannya, dari pada alasan itu kalau ku tanya jadi keluar dan
teramat berbahaya, ah kok aku malah nglantur.
Mobil sudah jalan, mungkin aku tak punya
bayangan punya mobil mewah, atau mungkin tak punya keinginan seujung
rambut pun untuk naik mobil mewah, malah punya 1 baut aja tak
terbayangkan, dan tak termimpikan, jadi aku biasa-biasa naik mobil
mewah, ndak geli, ndak kerasa apa-apa, juga tidak enak, malah menurutku
enakan tidur molor di kasur yang udah kempir karena kapuknya udah nipis,
tidur, dan tidur nunggu pagi,
“mau kemana nih?” tanya mbak Lina membuka
pembicaraan, kayak orang pikun ja, la wong dia yang ngajak kok
bertanya, tapi pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan orang yang lupa
jalan,
“la kemana to mbak, mbak Lina kan yang
ngajak kita, ya kita ngikut aja.” ku dengar jawaban Edi, bukan jawaban
guru agama atau wakil DPR tapi jawabannya menurutku cukup diplomatis,
setidaknya dalam mobil yang lagi jalan ini, karena ndak ada suara
lainnya,
“gimana mas ian? kemana kita?” tanya mbak Lina lagi di tujukan ke arahku, tanpa matanya beralih ke jalan.
“ya kemana aja…, la kok malah tanya, di
bawa kemana juga kita ndak bakalan ngelawan.” jawabanku lebih aneh di
telinga siapa pun, bahkan di telingaku sendiri, bahkan aku tidak
berpikir kalau jawaban itu kayaknya lebih pantas di ucapkan oleh orang
yang dalam keadaan di sandera,
“ya udah ke restoran aja ya…?” tanya mbak
Lina lagi, aku cuma mendengus, tapi dalam pikirku, la daripada ke
restoran mending ke warung bakso, atau ke warung mi ayam, mungkin apa
yang ku pikirkan tidak jauh beda amat dengan apa yang di pikirkan oleh
Edi atau Ikhrom, ya mengingat pengalamanku sendiri, mungkin juga
pengalaman mereka, kalau di restoran itu kebanyakan menjual gengsi aja,
kalau enaknya makan ku rasa ndak ngalahin enaknya makan bakso, panas
asli atau mi ayam, habis makan lalu ngrokok, tapi ini kan dalam mobilnya
mbak Lina, kayaknya bayangan pentol bakso harus di buang jauh-jauh,
dasar wong aku ini orangnya ndableg, tetep aja aku bertanya.
“la ada baksonya ndak mbak di sana?” tanyaku kayak anak kecil yang ngerasa kawatir dengan sesuatu yang tak di dapat.
“ada kok mas yan, pingin bakso ya?” tanya
mbak Lina sekaligus memberi jawaban atas pertanyaanku, Ikhrom mencolek
tanganku, lalu bisiknya,
“jangan kampungan, bikin malu.” aku cuma
mengsem, la orang takut di bilang kampungan, lalu kelaparan karena
mempertahankan gengsi yang tak ada isinya, dan tak ada nilainya,
setidaknya menurut pandanganku, mending jujur aja, dari pada habis makan
nggrundel, karena makanan ndak enak, la kok tidak besyukur itu kok
salah satunya muncul dari sikap yang kayak gitu, ndak jujur, jadi yang
di peroleh tidak sesuai takaran yang di inginkan, akibatnya nggrundel,
kalau dalam hal makanan, ya kok kayaknya saru, nggrundeli makanan yang
sudah terlanjur di telan, tapi aku rasa juga banyak orang yang melakukan
hal yang seperti itu, nggrundeli makanan yang sudah di telan, la kayak
makanan yang sudah di telan itu mau untuk tabungan aja, atau mau untuk
membuat apa gitu, la kok nurut aku keterlaluan banget nggrundeli,
makanya kanjeng Nabi nglarang banget nggrundeli makanan yang tak kita
sukai, karena makanan itu hanya untuk mencetak kotoran, yang susah-susah
kita cetak juga ujung ujungnya di buang, ndak ada orang yang kotorannya
di pajang di lemari sebagai hiasan, walau kotoran itu dari barang yang
paling mahal sekalipun, yang harga seporsi mencapai jutaan.
Tak terasa mobil berhenti, dan kami turun
semua, ku lihat restoran lumayan mewah, dan kami masuk berendeng di
belakang mbak Lina, nampak pelayan restoran juga sudah akrab sekali
dengan mbak Lina, menunjukkan mbak Lina sering masuk ke restoran ini,
kami bertiga pun duduk mojok kayak orang asing, yah malah kayak tawanan
yang telah benar-benar di taklukkan, mbak Lina yang wira-wiri, milih
makanan,
“kamu mau milih makanan apa mas yan?”
tanyanya padaku, aku diam, ah repot amat, kali aja di sini nama makanan
jadi aneh-aneh, la mau makan apa juga jadi repot pesennya, pesennya
harus dengan gaya gengsi yang tinggi, mungkin nama bakso juga jadi
berubah di sini,
“mbakso bener ada mbak di sini?” tanyaku,
cuma di jawab mantuk oleh mbak Lina, lalu dia pesankan, dan penilaianku
ternyata, tidak jauh meleset, baksonya ndak enak. Air kuahnya aja
dingin, la ini bakso apa sirup? tapi aku ndak ngedumel ku seropot aja,
Ikhrom sama Edi pesen nasi goreng, lah dasar orang kampung di restoran
juga tetap pesennya balik-balik nasi goreng.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda