Kyai Cempli itu panggilan penguasa Desa di sebelah desaku, jaraknya kira-kira dari desaku satu kilo meter, di batas sawah.
Tiba-tiba kyai Cempli menyerangku dengan
serangan yang aneh, tangannya seperti mulur memanjang, dan menangkap
tanganku, lalu tubuhnya sekejap telah ada di belakangku, sehingga
tanganku tertarik kebelakang bersilangan antara tangan kiri dan tangan
kanan. Juga kakiku berpalitan tertarik ke belakang.
Anehnya ragaku juga dalam kamar seperti itu, sehingga Husna berusaha membetulkan letak tangan dan kakiku yang menekuk-nekuk.
Sementara aku berusaha melakukan
perlawanan sebisaku, namun berbagai dzikir yang biasa ku lafadzkan tak
juga bisa membebaskanku, bagaimanapun aku berusaha melepaskan diri tetap
tangan dan kakiku terkunci, sampai ku rasakan bisikan dari Kyaiku, aku
harus melafadzkan satu dzikir.
Dan akupun mengikuti anjuran, ku
lafadzkan dzikir itu, dan seketika pegangan Kyai Cempli terlepas, dan
dia bergulingan di tanah minta ampun, dan berulang kali jika ku
lafadzkan lafadz itu maka kyai Cempli menjerit-jerit minta ampun,
“Ampuuuun…! Jangan di lafadzkan asma a’dzom itu aku tak kuat, ampuuun..!” kata kyai Cempli menjerit-jerit.
“Kau menyerah tidak?” tanyaku.
“Iya aku menyerah, kalah, takluk.” jawabnya sambil bersujud.
“Biasanya bangsamu suka menipu, suka mengambil kesempatan, disaat aku lena maka kau akan memanfaatkan kesempatan.”
“Ampuuun…! saya tak berani tuan..”
“Apa janjimu?” kataku mencari kepastian,
sebab yang ku tau bangsa jin sejak jaman Nabi Sulaiman tak bisa di
percaya, selalu mengambil kesempatan bila manusia lena.
“Tuan minta apa, akan ku berikan, aku
punya Jala sutra, wesi aji, batu bertuah, harta benda, emas perak, Tuan
minta apa?” tanya Jin penguasa Desa itu mencoba mencari kelemahan
hatiku.
“Kau kira aku tertarik dengan aneka benda macam itu?.”
“Lalu tuan minta apa?”
“Aku tak minta apa-apa, aku hanya minta kau beserta bangsamu takluk padaku.”
“Iya saya siap… jika tuan membutuhkan bantuan, maka saya akan siap di perintah.”
“Aku juga ingin kau tak mengganggu manusia.” kataku.
“Ya saya siap tuan.”
“Sekarang apa di daerah sini ada tidak yang angker?” tanyaku.
“Ada tuan…”
“Di mana itu?”
“Di daerah bernama Secino,”
“Di mana itu?”
“Di daerah sebelah timur desa.”
“Kenapa kok bisa angker?” tanyaku.
“Karena di sana ada isi keris pusaka yang lepas,”
“Apa bentuknya?”
“Bentuknya macan loreng tuan.”
“Kenapa kau biarkan, tidak kau perintahkan agar tak mengganggu manusia?” tanyaku.
“Kekuasaanku tak meliputi sampai ke situ.”
“Dimana tempatnya, tunjukkan padaku.” kataku memerintah.
“Silahkan tuan mengikutiku.” katanya sambil berjalan mendahuluiku di sertai anak perempuannya.
“Apa yang di lakukan oleh macan itu?”
“Dia sering meminta korban manusia, dan
sering kadang manusia di sesatkan, kadang manusia di masukkan ke tengah
gerumbul bambu, sehingga akan sulit keluar.” jelas Kyai Cempli.
“Lalu sekarang kerisnya dimana?” tanyaku sambil jalan di belakang Kyai Cempli
“Ada di rumah seseorang.” jawab kyai Cempli.
Di dekat barisan gerumbul bambu nampak
seekor macan sebesar anak kerbau tengah berdiri menatapku, kubuat
lingkaran tangan di udara, lalu ku tepukkan tangan dengan tenaga
menyedot, jin yang berbentuk macan itu seperti gambar yang tersedot
mesin penyedot debu, mengecil dan masuk dalam genggamanku.
“Di mana keris tempat jin macan ini?” tanyaku pada Kyai Cempli.
Kyai cempli melangkah mendahuluiku,
menuju satu rumah, dan masuk ke dalam kamar, lalu membuka lemari kuno,
dimana tergeletak keris tua. Ku masukkan jin berbentuk macan itu ke
keris, dan ku ikat dengan kekuatan gaib.
Terus terang hal seperti itu sama sekali
aku awam dan tak tau, segalanya seperti ada yang menuntun, apa yang ku
lakukan aku sendiri sama sekali tak mengerti, hal yang ku lakukan
berurutan itu seperti sudah ada yang merancang, dan aku cuma menjadi
wayang, sedang tanganku terikat oleh yang menggerakkan, hatiku mendapat
petunjuk apa yang harus aku lakukan.
Tugasku ku rasa selesai, “ku rasa aku
sudah cukup di sini, sekarang aku akan kembali ke tempatku, lalu
bagaimana jika aku ingin memerintah membantu keperluanku, aku
memanggilmu apa?” kataku.
“Hamba kyai Cempli, siap di perintah, jika di butuhkan.” jawab pak Tua itu sambil membungkuk.
Aku segera kembali ke ragaku dan bangun,
di mana Husna , istriku bercerita kalau dalam tidur telah terjadi
badanku menekuk-nekuk, dan menggereng-gereng, di kembalikan susah, kok
akhirnya kembali sendiri.
Aku masih berusaha mengitari daerah Pekalongan dengan Raga Sukma.
Dalam kehidupan sehari-hari, aku bukan
termasuk orang yang suka kumpul sama tetangga, bahkan aku kumpul sama
orang hanya saat mengisi pengajian, mengimami masjid, dan kalau tetangga
ada hajadan, selain itu aku sama sekali tak kumpul dengan orang, karena
waktuku habis untuk menjalankan lelaku.
Biji itu kalau ingin menjadi besar, maka
tanamlah dengan di pendam yang dalam di dalam tanah, jika dia tumbuh,
maka akarnya akan jauh tertanam di dalam tanah, sehingga kuat
mencengkeram, jika telah menjadi pohon yang rindang, dan dapat di
tempati berteduh, jika di terjang angin, pohon tak tergoyahkan, karena
kuatnya akar tertanam di dalam tanah.
Begitu juga manusia, jika manusia tidak menyembunyikan dulu, untuk menguatkan akar diri, maka untuk menjadi di pakai orang berteduh tak akan kuat bila diterpa angin cobaan, orang-orang yang besar itu tak akan sibuk nongkrong di gang-gang, dan ngomong ngalor ngidul membicarakan sesuatu yang tak ada manfaatnya.
Begitu juga manusia, jika manusia tidak menyembunyikan dulu, untuk menguatkan akar diri, maka untuk menjadi di pakai orang berteduh tak akan kuat bila diterpa angin cobaan, orang-orang yang besar itu tak akan sibuk nongkrong di gang-gang, dan ngomong ngalor ngidul membicarakan sesuatu yang tak ada manfaatnya.
Sebagaimana Nabi kita sebelum di angkat menjadi Nabi dan Rosul, beliau menyepi di gua Hiro’ selama lima tahun.
Karena menyembunyikan diri, dan tak
jarang kumpul dengan masyarakat, maka bertahun-tahun secara pribadi tak
ada yang mengenal diriku.
Pada suatu hari aku mengantar istri ke
Dukun pijat di Desa yang pernah ku datangi lewat ngeraga sukma untuk
mengurutkan perutnya, biasa orang desa kalau mengandung selalu di tata
perutnya agar pas.
Dukun itu dukun perempuan tua yang sudah
amat terkenal sehingga pasiennya dari mana-mana, sampai ada memakai
nomer antrian, untuk mendapatkan pelayanan, waktu aku datang dengan
Husna, nampak dari luar rumah Dukun urut itu ramai sekali orang sudah
mengantri, padahal aku berusaha datang pas selesai sholat magrib.
Tapi tiba-tiba mbah Dukun keluar rumah menyibak antrian.
“Hari ini pijat di tutup, tidak melayani tamu..” kata mbah Dukun bernama Nyai Sari.
Orang-orang yang asalnya antri pun bubaran, termasuk aku mau balik pulang.
“Wah mungkin lagi tak untungnya kita mas, baru datang malah mbah Sari tak melayani tamu.” kata Husna.
“Ya ndak papa, besok-besok kan bisa.” kataku menghibur, dan ku putar motor untuk kembali.
Tapi mbah Sari malah menghampiriku lalu menggandeng tanganku, dan berbisik di telingaku.
“Ngger mari masuk…” kata mbah Sari, menggandeng tanganku.
“Lhoh bukannya pijitnya di liburkan to mbah?” tanya Husna.
“oo itu untuk orang lain nduk, bukan untuk suamimu.” jelas Mbah Sari.
Aku dan Husna pun mengikuti masuk ke rumah Mbah sari.
Nyi Sari umurnya 60 tahun, orangnya
setengah pendek, dan gerak geriknya cekatan, sudah terkenal di mana-mana
soal kandungan, bahkan mungkin sudah sangat terbiasa soal kandungan,
dia sering pas jika seseorang itu kapan pasnya melahirkan, jika sudah
menginjak kandungan tua.
Masuk rumah mbah Sari, rumahnya
sederhana, terbuat dari bangunan kayu yang lama, tanpa cat berwarna,
hanya di lapis kapur, jika masuk orang akan mendapat kesan yang punya
rumah amat sederhana, walau Mbah Sari ini sudah berangkat haji ketanah
suci, tapi secara penampilan hanya biasa-biasa.
“Mari-mari ngger bagus.. mari duduk.”
kata Mbah Sari sambil membersihkan tempat yang akan ku duduki. Aku amat
rikuh di hormati seperti itu.
“Sudahlah nyai… tak usah repot-repot.” kataku.
“Ndak kok… ndak repot, ini sudah
selayaknya, malah saya minta maaf, kalau pelayanan saya tidak berkenan
di hati panjenengan.” katanya yang membuatku makin bingung.
“Mbah.. sebenarnya ada apa to mbah, kok
panjenengan jadi bingung gitu, aku ini orang biasa.” jelasku, soalnya
aku orangnya tak suka di hormati.
“Orang biasa? Panjenengan itu kok pinter menyembunyikan diri.”
“Menyembunyikan apa to mbah, la ndak ada yang aku sembunyikan kok.”
“Menyembunyikan apa to mbah, la ndak ada yang aku sembunyikan kok.”
“Aku ini tau ngger, semua penguasa desa
ini mengiringmu dari belakang, sekarang semua berbaris ta’dzim di
belakang rumahku, bahkan Kyai Cempli yang penguasa desa juga ada, jadi
saya itu tak bisa di bohongi.”
“ooo soal itu to mbah??”
“Iya.. juga karena panjenengan desa ini
yang sebelumnya angker, sekarang adem ayem, saya sangat berterima kasih,
walau panjenengan menyambunyikan diri, tapi mata batin saya tak bisa di
bohongi.”
“Ya sudah kalau gitu mbah, ndak usah di
sebar luaskan, jadikan rahasia panjenengan wae, monggo istri saya ini di
pijit.” kataku menentramkan suasana.
“ooo nggih-nggih, monggo nduk, saya
pijit, besok-besok kalau mau di pijit, mbok manggil saja, pasti saya
datang.” jelas mbah Sri.
“Yo tak bisa begitu to mbah, panjenengan yang tua, sudah selayaknya yang butuh, yang muda datang.”
“Ya tak bisa seperti itu, itu namanya
saya ndak punya unggah ungguh, la panjenengan penguasa Desa saya, masak
saya yang andahan, rakyatnya di datangi pemimpin desanya. Ya namanya tak
takdzim, ndak hormat.” jelas mbah Sri sambil tangannya lincah memijit
Husna.
Repot juga, aku terdiam.
Memang sejak sa’at itu Mbah Sri sering
datang ke rumah, menawarkan diri memijit keluargaku, dan kadang datang
membawa pisang satu tandan. Sudah ku larang, tapi tetap saja datang.
Pernah lama dia tak datang, dan aku mau
memijitkan Husna, aku pun datang ke rumahnya, ternyata dia sakit, sudah
ada dua bulan terbaring saja di ranjang, melihat aku datang dia langsung
bangun, lalu berkata. “Obatku sudah datang, monggo ngger, saya pijit.”
katanya.
“Ndak aku yang mau di pijit, yang mau ku pijitkan istriku,”
“Ndak kok ngger, ini untukku, aku sakit, dan obatnya itu mijit panjenengan,” kata mbah Sri.
“La kok aneh mbah?” tanyaku heran.
“Apa njenengan tak melihat, saya sudah
dua bulan tak bisa bangun dari ranjang karena sakit, ini panjenengan
datang, saya langsung brigas.” jelas Mbah Sri sambil menunjukan
badannya.
“Wah kok aneh begitu?” heranku tak habis
pikir. Aku terpaksa mau di pijit, walau tak masuk logikaku, tapi memang
setelah itu mbah Sri sehat segar bugar.
Dia sering meminta di ijinkan memijitku,
agar dia sehat, ya aku turuti saja, asal aku bisa bermanfaat untuk
menolong orang lain, di pijiti juga enak.
Karya : Febrian
No comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Comment Anda